Sabtu, 13 Desember 2014

Sunrise di Puncak Merbabu, Sikunir, dan Prau

Liburan adalah saat yang sangat ditunggu-tunggu bagi setiap orang, entah itu pelajar, nahasiswa, maupun para pekerja. Dengan liburan kita dapat berekspresi sepuasnya. Ada berbagai cara untuk mengekspresikan jiwa setiap orang, ada yang sengaja bersantai di rumah hanya sekedar istirahat, makan, tidur, berkumpul bersama kerabat atau kawan lama, ada yang mengisi liburan dengan belanja, membuat suatu kreativitas, serta ada beberapa orang yang memilih untuk pergi ke suatu tempat yang menarik. Saya sendiri adalah lebih suka dengan pilihan terakhir yang disebutkan itu.
Liburan panjang semester 2 di perkuliahan kali ini saya isi dengan mendaki gunung. Di bulan Agustus adalah waktu yang sangat tepat un
tuk melakukan pendakian. Dengan kondisi yang kering, mengakibatkan langit malam akan terlihat lebih terang dipenuhi bintang.
Saya memilih melakukan pendakian, karena selain ingin melihat seperti apa tiga tempat yang akan saya tuju, juga karena saya gemar bermain di gunung. Entah itu sekedar kopdar dan nyanyi-nyanyi di dalam tenda, masak-masakan, saling berlomba kedinginan tanpa jaket di puncak gunung (walaupun hal tersbut sedikit berbahaya, karena bisa terkena hipotermia), serta mencari teman bermain yang baru.
Kegiatan pendakian tersebut sudah saya rencanakan sejak puluhan hari sebelumnya. Kebetulan teman saya yang bernama Alam Septian, salah satu anggota Lawalata juga mengajak saya untuk melakukan pendakian ke gunung. Saat itu saya memutuskan untuk bergabung bersamanya, yang ternyata ada lagi empat teman anggota Lawalata IPB yang lain serta empat orang teman Alam. Ajakan-ajakan tersebut kami lakukan hanya lewat media telepon genggam dan media sosial.
Dalam pendakian ini, kami memilih Gunung Merbabu yang berada di sekitaran Magelang, dan puncak Sikunir serta Gunung Prau yang tepat berada di dataran tinggi Dieng dengan ketinggian yang beragam.
Tanggal 8 Agustus 2014 akhirnya kami bertemu di suatu tempat di Yogyakarta, yaitu dii Benteng Vendenburg. Tempat tersebut kami pilih karena menurut kami itu adalah titik tengah antara tempat asal mula keberangkatan kami dengan tempat pertama yang akan kami tuju. Saya sendiri berangkat dari Banjarnegara, 3 orang teman saya yaitu Akbar, Galang, dan Kasrizal sudah terlebih dahulu ada di Yogyakarta, Hanif dari Purworejo, Alam dan Gigih dari Bogor, dan Afan dari Probolinggo, dan Reza dan Betseba dari Bandung.
Kami merasa sangat puas melakukan tiga kali pendakian dalam 5 hari. Walaupun perjalanan di setiap puncak adalah jalur-jalur pendek saja. Awalnya kami menuju ke gunung Merbabu melewati jalur Wekas, jadi terlebih dahulu kami harus menuju ke terminal Magelang. Saat itu biaya dari Yogyakarta sampai Magelang adalah Rp.15.000. Setelah itu barulah menuju pos pendakian yang berada di desaWekas dengan satu buah mobil angkutan. mobil tersebut sangat kuat melewati jalanannya yang berliku dan menanjak dengan beberapa badan dan ransel bawaan kami.

Untuk mencapai puncak Merbabu hanya sekitar 7 jam pendakian melewati jalur Wekas. Kala itu kami melakukan camping terlebih dahulu di pos 2 yang telah memakan waktu 2 jam dari perkampungan. Seperti yang saya inginkan dalam melakukan pendakian, kami saling berbincang dan bercengkrama, ngopi bersama, masak-masak dan makan-makan, serta yang paaling menyenangkan adalah tertawa bersama melingkar di depan peraian sambil menyerobot tempat duduk satu sama lain.
Dini hari kami melanjutkan perjalanan untuk mendapatkan pemandangan sunrise di puncak Merbabu. Dalam perjalanannya kami melewati pertigaan pos pemancar, dan disanalah kami beristirahat sembari memandang langit yang mempesona.


Setelah itu kami melanjutkan mengejar sang mentari, dan berharap dapat menyaksikan perjalanannya menuju titik tengah langit untuk menerangi bumi kita ini. Benar saja pemandangan matahari terbit di sana sangat menawan, dengan warna merahnya itu kami terkagum-kagum. Tak henti-henti untuk mengucapkan syukur kepada sang Kuasa. Pemandangan ini memang layak didapatkan ketika telah melewati sebuah perjuangan.


Beberapa jam berlalu, kami tertidur di ketinggian 3142 MDPL itu, kami merasa sangat nyaman menikmati kehangatan sang mentari. Setelah puas, baru kami turun dari puncak dan bersiap untuk melanjutkan perjlanan berikutnya. Kali ini uncak Sikunirlah yang pertama kami tuju.


Kamis, 06 November 2014

Ma Famille


Beberapa hari lalu aku terasa kosong. Hanya jendela mengenga yang ku lihat. Jendela tersebut memberiku kehidupan, dengan menawarkan kesejukan angin yang bertiup di kala senja tiba. Secercah cahaya masuk, agak menyilaukan. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. "Apa lagi kalo ngga utak-utik laptop?", games, edit-edit foto nonton film lama, apa lagi? Tiba-tiba aku menemukan sesuatu yang mungkin telah usang. Yak, catatan cerita dengan bahasa Prancis yang menceritakan tentang aku dan keluargaku. Tulisan tersebut aku buat di masa SMA ku. Lucu saja dibaca sekarang ini. Selain dituliskan, aku pun mempresentasikan cerita tersebut di depan kelas.
Nostalgialah aku hari ini. Bahasa Prancis adalah salah satu pelajaran yang aku sukai. Guruku  itu bernama Ibu Rodiah, atau biasa kami sebut "Memero". Dengan sangat sabar kami diajarinya, walaupun sulit tapi jika kita menyukainya, akan terasa sangat mudah. Tak kusangka tulisan serta gambar yang aku gunakan sebagai ilustrasi persentasi itu diminta oleh Memero untuk dijaadikan percontohan adik-adik kelasku.
Inilah ceritanya. . . .
Ma Famille

Je m’appelle Viedela Aricahyani Kodirin. Je suis née en 6 Juillet 1995. J’aime écoute de la musique. J’aime le rock n roll. Ma mère s’appelle Nur Intarti et mon père s’appelle Kodirin. J’ai un petit frère s’appelle Restu Bangkit Wiguna. Il a 12 ans. J’aspire toujours à ma mère et mon petit frère. Parce que, nous rencontrons un fais par semaine.
Je vous racontre ma famille. Mon père est deuxième entant de Sofiant est Tunut. Il a une sœur. Elle s’appelle Kartini, elle se marier avec Solihin. ils sont différance caractère avec mon père. Elle est très avare et complique, donc je n’aime pas jouer chez-elle, de plus sa fille s’appelle Eli Setyowati demande toujours mon amant, et son fils  s’appelle Diki Yoga Prasetyo est très méchant. Mais mon père est n’avare pas et flexible.
Ma grand-mère s’appelle Cholifah et mon grand-père s’appelle Suhodo. Vous avez 5 enfants. Ma mère est deuxième enfant. Elle est née à Banjarnegara à 1972 est aussi avec mon père. Elle est professeur à MI Muhammadiyah Balun. Elle est belle, bon, et affable, bien que les hommes parler sa visage est horrifier.
Elle a une sœur, elle s’appelle Silviati se marier avec Sahir. Ma tante a deux enfants, il s’appelle Ikhsan Yudha Nur Awal et Sandria Dewi Vanesa. Aujourd’hui elle est gros 2 mois. Son caractère est molle, elle habite a prés des ma grands-parents.
Troisième enfant des ma grands-parents est s’appelle Ahmad Santoso. Il se marier avec Sri Rejeki. Vous avez 2 enfants s’appelle Sazkia Meilinda Saputri et Yanuar Sobrie Saputra. Je déteste avec Sri parce qu’elle est méchant avec ma mère, et elle est avare.
Quatrième enfant s’appelle Pujo Handoko se marie avec Halimah. Ils n’ont pas d’enfants.
Cinquième enfant s’appelle Agus Susilo  se marie avec Lutfi. Ils n’ont pas d’enfants. Ils habite avec mes grands-parents.
Mais aujourd’hui Halimah et Lutfi aussi gros 8 et 3 mois.
Mes grands-parents travaillent forts et ils sont pour cérémonie religieuse. Ma grand mère fait toujours café pour moi au matin.
Aujoutd’hui je habite avec mes grand-parents, mon oncle, ma tante , ma mère, et mon petit frere. Parche que mon parents quons se separer.
Notre maison se trouve a Kalibening Banjarnegara. La-bas il fait tres frais et paix. S’accorder pour faire de camping et la montagne est beau.
C’est ma famille, quoique nous sommes different, mais je l’aime beacuop.
Mercii..

Ya, begitulah kondisi keluargaku.  jika kamu membaca dan tahu artinya. Oh ya ada yang baru, yaitu Budheku Silviati yang sekarang memiliki jagoan kecil bernama Hafal Hafidz Saheer, Om ku Pujo Handoko dengan malaikat kecilnya juga yang bernama Exel., dan Om ku Agus Susilo yang sekarang mempunyai peri cantik bernama Shafa. Di kota ini, aku tetap merindukan mereka, adik-adikku yang nakal dan kerabatku yang lain yang selalu mendoakanku. Aku dilahirkan oleh seorang ibu yang hingga saat ini masih saja mau peduli denganku yang hina ini. Aku sangat menyayangimu Ibu 

@viedela_ve

Kamis, 16 Oktober 2014

Beningnya Tak Sebening Nama Kampungku


Seperti biasa, di bulan bulan Oktober ini kita mulai didatangi hujan. Yak, musim hujan datang. Ada sebagian yang sangat bersyukur setelah beberapa lama merasakan pahitnya kekeringan. Namun ada juga sebagian orang yang mengeluh akan datangnya berkah Tuhan ini. Mungkin aku juga akan sangat kesal ketika aku menjadi “hujan” karena selalu disalahkan oleh sebagian orang tadi. Setiap aku datang, mereka berteriak karena airku menyebabkan jalanan becek, banjir melanda, dan longsor dimana-mana. Dan ketika aku tak datang beberapa lama, mereka semua meraung-raugn kepanasan memohon-mohon aku untuk datang. Untungnya aku bukanlah si “hujan” yang selalu kebingungan akan apa yang harus ia perbuat.
Beberapa hari ini hujan turun di sekitar Bogor setiap hari. Dan menurut informasi dari ibuku hujan juga turun setiap hari di kampungku Kalibening, Kabupaten Banjarnegara, jawa Tengah. Saat hujan turun aku sangat menikmati keajaibannya, keajaiban itulah salah satu hal yang mampu membuka memori terhadap apapun yang terjadi di masa lalu kita.
Hujan kali ini mengingatkanku pada sungai di dekat rumh tinggalku di kampung sana. Sungai tersebut bernama sungai Brukah, sungai itu adalah terusan dari sungai Sindu yang mengalir dari desa Bedana.  warga yang diselenggarai oleh Karang Taruna Majatengah pernah melakukan permainan pukul air yang dilakukan di sungai Brukah. Permainan itu dilakukan dengan cara dua orang pemain yang duduk di sebuah bambu yang di lintangkan memotong arah sungai sehingga seakan-akan membagi sungai menjadi dua bagian antara hulu dan hilir. Setiap orang membawa bantal masing-masing yang tujuannya untuk memukul sang lawan agar terjatuh, dan bagi pemain yang jatuh maka ia dinyataakan kalah dalam permainan.
Mereka bermain tanpa ragu, diatas sungai yang airnya begitu jernih. Penonton pun saling menyemangati pemain yang mereka jagokan. Stelah permainan selesai para pemain maupun penonton mulai dari anak kecil hungga orang dewasa juga tak ragu untuk berenang maupun sekedar bermain di sungai.

Rabu, 15 Oktober 2014

Eloknya Wisata Kampung Merabu

Betapa kagetnya kami saat pertama kali menginjakkan kaki di Kampung Merabu. Semua terlihat gelap dan tak ada yang bisa kami lihat. Cahaya senter membantu kami berjalan menuju rumah berwarna hijau yang terlihat terang. Disanalah kami beristirahat. Maalam itu langit menemani istirahat kami. Banyak orang telah mempersiapkan hidangan untuk kami. Sembari menikmati teh hangat dan rebusan pisang, kami bercerita bersama warga Kampung Merabu. “kampong ini memiliki banyak tempat menarik yang bias kalian kunjungi”, ucap Pak Franly Oley seorang kepala Kampung Merabu.
Pagi datang membawa sang mentari yang memberi senyum semangatnya kepada kami. Mata kami disuguhkan pemandangan kampong yang bersih, nyaman, dan masyarakatnya yang ramah. Di sebelah rumah yang kami tinggali mengalir dengan tenang air sungai Lesan. Masyarakat terlihat sedang mandi dan mencuci baju di sana. Pemandangan yang sangat jarang kami jumpai. Seorang ibu dengan lembut memandikan anaknya sembari menunggu rendaman cuciannya. Mungkin ini adalah salah satu yang mearik menurut sang kepala kampong semalam.
Sebelum memulai kegiatan yang sudah kami rencanakan, terlebih dahulu kami mengenal Kampung Merabu. Kami berjalan menyusuri setiap sudut kampong tersebut. Bangunan-bangunan yang dijadikan kantor untuk urusan pemerintahan tersebar rapih di sana. Ada Kerima Puri, kantor kepala kampung, balai kampong, puskesmas, sekolah dasar, gereja, dan rumah-rumah warga yang berjajar rapih dengan bentuk yang relatif sama.
Saat memasuki kantor kepala kampong, kami dilihatkan peta kampong, foto-foto keadaan kampong, serta banyak tempat menarik yang diceritakan Pak Franly semalam. Banyak tempat menarik di sana yang telah beberapa kali diinjak pengunjung, bahkan diliput oleh salah satu acara di stasiun televisi swasta. Semakin tidak sabar kami melihat secara langsung betapa indahnya tanah Merabu.
Siang menjelang sore adalah saat yang tepat untuk menikmati keindahan Kampung Merabu yang sudah di benak sejak kemarin. Sungai Lesan adalah tempat pertama yang kami kunjungi, karena letaknya yang sangat dekat dengan tempat kami tinggali tepatnya ada di samping rumah tinggal kami. Aliran sungai Lesan yang tenang dan jernih sangat cocok untuk berenang sekaligus menjala ikan. Kami diantarkan menikmati sungai lesan dengan dua pemuda Merabu menggunakan ketinting. Ketinting adalah alat transportasi yang digunakan untuk berjalan di sungai. Bahan bakar yang digunakan agar ketinting bisa berjala adalah bensin. Sungai lesan biasa dijadikan tempat mencari ikan bagi masyarakat Kampung Merabu. Selain itu sungai tersebut juga menjadi tempat bermain yang menyenangkan bagi anak-anak Kampung Merabu. Di sana mata mata kami dipersilahkan secara otomatis untuk menikmati keindahan sungai Lesan secara gratis.

Selasa, 14 Oktober 2014

Ekspedisi Pertama Anggota Muda Lawalata


         Sesuatu yang menarik selalu terbayang di benak Viedela AK perempuan berusia 19 tahun ketika dia mendengar kata “ekspedisi”. “Ekspedisi layaknya dilakukan oleh seluruh makhluk hidup. Contohnya burung elang yang melakukan migrasi musiman. Artinya ekspedisi adalah melakukan perjalanan ke luar dari ruang hidup dan kebiasaan kita.”, tutur salah satu seniornya yang telah beberapa kali melakukan ekspedisi. Ekspedisi yang dilakukan bertujuan mengetahui keadaan di luar sana, sehingga kita bisa menilai seberapa baik dan buruk sesuatu yang telah kita kerjakan di dalam ruang hidup kita sendiri. Harapannya dengan mengetahui hal tersebut, seseorang bisa melakukan perbaikan di ruang hidup dan kebiasaan kita ketika pulang dari ekspedisi yang dilakukan.
beberapa anggota tim, dari kanan Akbar, Hanif, Raycel,
Sherly, Ira, Andayani, Viedela, Sheila, dan Aziz 
menuju keberangkatan ke Balikpapan (dok-L)
Sekelompok Anggota Muda yang baru bergabung di organisasi Lawalata rupanya memiliki rasa penasaran yang cukup tinggi berkaitan dengan ekspedisi termasuk Viedela. Mereka yang berjumlah dua belas orang sangat ingin melakukan ekspedisi. Sosok dua belas orang tersebut adalah Viedela AK dari departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, Aziz Fadhani Jaya departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan dan Akbar Habibie departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Sheila Kharisma Dewi departemen Biologi dan Sherly Gustia Nivo departemen GFM Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Ira Khairunisa departemen Feteriner Diploma IPB, Raycel Sunkar Tarigan departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Husnizon Fajri departemen Teknik Sipil dan Industri dan  Kasrizal departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, Andayani Oerta Ginting departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan, Hanif Ibrahim Arkan departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan, serta Yosafat Gustaav Tangel departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia yang seluruhnya merupakan angkatan 50 IPB akhirnya memutuskan untuk melakukan ekspedisi dengan melaksanakan prosesnya dari awal dengan baik yang didampingi oleh seorang senior bernama Bahrul Septian Dwi Cahyo departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan angkatan 48 IPB.
Karena memiliki keinginan untuk belajar dan melakukan suatu hal yang sama yaitu ekspedisi, mereka terus berbincang untuk menyusun sebuah ekspedisi yang mereka impikan. Akhirnya mereka sepakat untuk konsisten dalam melakukan ekspedisi dari awal hingga akhir.
Beberapa waktu kemudian mereka memilih ekspedisi dengan tema “Menelususri Potensi Ekosistem Karst Sangkulirang sebagai Bahan Pertimbangan Warisan Dunia” dan tempat di Kampung Merabu Kecamatan Kelay Kabupaten Berau Provinsi Kalimantan Timur. Tempat dan tema tersebut mereka pilih karena masih hangatnya isu tentang Karst Sangkulirang yang akan diajukan menjadi warisan dunia. Mereka melakukan banyak pertimbangan yang dikuatkan dengan masukan dari berbagai pihak saat akan menentukan tema dan tempat ekspedisi.

Kamis, 09 Oktober 2014

Banyak Hal yang Kami Pelajari dari Kampung Merabu Asik


Masyarakat Kampung Merabu nyaris hafal dan cekatan dalam melakukan segala hal yang harus dilakukan saat berada di dalam hutan. Hal itu alamiah terjadi karena terlalu seringnya mereka berkegiatan di dalam hutan. Hampir tujuh kali dalam seminggu mereka memasuki hutan, bahkan bisa jadi sehari keluar masuk hutan berkali-kali jika memang diperlukan. Menurut pernyataannya mereka sudah memulai kebiasaan tersebut sejak kecil. Sedangkan kami tidak sesering mereka. Sesering-seringnya kami melakukan kegiatan di hutan adalah maksimal satu kali dalam seminggu.
Kami mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman dari mereka. Mereka sangat paham cara membuat pondok untuk beristirahat, cara mencari makanan yang bisa didapatkan di hutan maupun sungai sekaligus cara mengolahnya hingga menjadi santapan lezat, cara mereka berkoordinasi, kebersamaan dan kepeduliannya yang tinggi, dan cara mereka memahami tingkah laku sesamanya maupun tingkah laku mekhluk hidup lain yang berdampingan dengan mereka.
Pondok merupakan tempat yang ditinggali saat di hutan. Biasanya kami mendirikan sebuah tenda yang biasa kami sebut dom. Namun cara kebiasaan mendirikan dom bagi kami memiliki perbedaan dengan mereka. Di sana kami diajarkan tentang membuat pondok yang mirip rumah panggung. Pondok panggung tersebut dibuat karena keadaan tanah di hutan Merabu adalah rawa. Bayangkan saja jika kami mendirikan tenda di atas tanah berrawa, hal itu sangat berbahaya untuk keselamatan kami. Banyak hewan tanah yang akan masuk ke dalam tenda. Selain itu tanahnya yang berair akan membuat kami basah dan sangat tidak nyaman.
Mereka mendirikan panggung dengan alat yang telah mereka siapkan, yaitu Mandau (golok khas Dayak). Senjata tersebut bisa dikatakan sangat penting, tanpa Mandau semua kegiatan akan terhambat. Mereka mencari kayu yang kuat, lurus, dan aman yang artinya tidak berduri dan tidak bergetah yang akan menimbulkan gatal di kulit.Mereka tidak memerlukan tali buatan maupun paku untuk menyusun kayu-kayu menjadi sebuah pondok. Mereka cukup menggunakan rotan sebagai penyatu kayunya. Awalnya kayu ditancapkan ke dalam tanah sebagi tiangnya. Setelah itu susun lagi kayu sebagai alas panggungnya, bisa langsung disusun seperti lantai. Selain itu kayu juga bisa disusun sepasang-sepasang seperti tandu dengan karung sebagi alasnya. Mereka juga terbiasa menggunakan bahan alami seperti dedaunan yang disusun sebagai atapnya. Namun seringkali mereka mempersiapkan terpal agar lebih praktis.
ikan hasil memarang di aliran sungai Bu (dok-L)
 Setelah selesai bersama-sama membuat pondok, mereka akan secara otomatis membuat api. Tujuannya adalah bisa mengusir hewan yang berbahaya, menghangatkan, serta memasak. Mereka sering kali membawa perlengkapan masak, terutama panci. Sembari istirahat biasanya sebagian dari mereka mencari bahan makanan. Ikan adalah salah satu yang digemari, karena keadaan di hutan Merabu yang memiliki banyak aliran sungai.

Kamis, 02 Oktober 2014

Ilmu Harus Ditransfer Setiap Waktu

Ilmu adalah sesuatu yang terus bertambah. Pertambahan ilmu akan semakin cepat ketika ilmu itu sendiri semakin sering ditularkan kepada orang lain. Cara berbagi ilmu tidak hanya dilakukan di dalam kelas seperti halnya pelajaran di jenjang sekolah dan perguruan tinggi. Alam adalah guru paling besar yang bisa mengajarkan kita tentang kehidupan yang benar-benar nyata. Hidup berdampingan dengan makhluk lain, seperti hewan dan tumbuhan. Ketika sang guru besar dan kita bersatu saling mengajarkan suatu ilmu, maka maka ilmu akan semakin berkumpul dan bersiap menuju orang-orang yang benar-benar membutuhkan.
Sebelum melakukan ekspedisi, kami terlebih dahulu belajar tentang apa saja yang akan kami lakukan di lokasi ekspedisi. Setidaknya kami telah memahami ilmu tersebut. Kami tidak akan melakukan ekspedisi tanpa suatu ilmu yang kami bawa.
Masyarakat kampung Merabu umumnya memiliki kebiasaan berkegiatan di hutan. Selain itu mereka juga sering kali memasuki gua dan cerukan untuk sekedar beristirahat maupun memanen sarang walet. Sayangnya mereka belum sepenuhnya bisa melakukan hal yang lebih dalam berkegiatan di gua. Kebanyakan dari mereka hanya menjadi pengantar  atau porter bagi pengunjung yang akan melakukan pemetaan di gua. Sangat banyak gua yang ada di karst Merabu, sebagian diantaranya sudah ada peta guanya yang dibuat oleh ahli perguaan dari luar Merabu sendiri. Harapan dari pengurus kampung Merabu adalah agar para warganya terutama para pemuda mengikuti jejak para pendatang yang dapat membuat dan mendeskripsikan peta gua.
Harapan pengurus kampung mirip dengan harapan kami. Kami tidak ingin kekayaan yang mereka miliki bahkan tidak mereka pahami sendiri. Justru orang-orang di luar dari merekalah yang lebih paham akan kekayaan mereka.


kanan Henri, kiri Daud melakukan pemetaan
di Gua Sedepan Bu (dok-L)
Kami ingin mereka dapat membuat peta gua dan mendeskripsikannya, melakukan analisis vegetasi, dan yang paling penting adalah bagaimana mereka menjaga semua itu. Untuk itu kami menularkan ilmu yang sudah kami dapat sebelumnya. Hal pertama yang kami kenalkan adalah peralatan yang dibutuhkan dalam melakukan semua itu. Dalam pemetaan gua kami mengenalkan meteran sebagai alat pengukur jarak, kompas senagai alat penunjuk arah, klino sebagai pengukur kemiringan, laser disto sebagai alat pengukur ketinggian, serta alat tulis yang digunakan untuk mencatat segala sesuatu yang di dapatkan di gua.

Rabu, 01 Oktober 2014

Ekspedisi, Mudah atau Rumit?


            Ekspedisi adalah kegiatan yang wajib dilakukan oleh setiap makhluk hidup. Ekspedisi bisa dilakukan secara individu maupun berkelompok. Hal tersebut dilakukan dengan cara keluar dari kebiasaan atau sering disebut dengan zona nyaman. Tujuan dari ekspedisi adalah mengenal diri sendiri dan keadaan sekitar. Dengan keadaan kita yang berbeda dari keadaan maka akan timbul rasa kesendirian dan rasa jauh dari tempat tinggal sehingga dengan sendirinya kepribadian yang asli akan muncul. Keadaan yang mendesak akan mengakibatkan sifat sensitif muncul. Setiap orang memiliki kesensitifan yang berbeda. Beberapa orang akan terlihat lebih mudah marah, sabar, rajin atau malas, mudah bergaul atau tertutup, atau memunculkan sikap bijaknya. Hal itu terjadi secara alamiah.
Dengan mengenal keadaan sekitar maka kita dapat merasa kecil di mata Sang Kuasa. Kita juga bisa membandingkan bahwa apa yang terjadi di tempat kita tinggal dengan  tempat dimana kita berekspedisi. Apa saja yang menjadi kelebihan dan kelemahan diantara keduanya. Sehingga kita bisa mengambil nilai-nilai kehidupan yang patut diterapkan.
Ekspedisi tidak akan terjadi jika hanya dibayangkan saja. Perlu tindakan untuk mewujudkannya. Kadang tindakan yang dibutuhkan tidak cukup dengan perjuangan yang sedikit. Sangat banyak hal yang harus dipersiapkan. Terlebih jika ekspedisi dilakukan secara berkelompok. Sesama anggota kelompok harus terlebih dahulu memiliki ikatan batin yang kuat. Ikatan tersebut akan mewujudkan rasa kebersamaan, kekompakan, kerja sama, koordinasi, tanggung jawab atas sesama anggota, saling membutuhkan dan dibutuhkan, serta rasa saling membantu yang tinggi. Jika ikatan telah terjalin dengan baik, rangkaian ekspedisi akan berjalan dengan lancar.
kebersamaan akan muncul hasil komunikasi yang baik (dok-L)
Hal yang paling penting dalam rangka pengikatan batin adalah komunikasi. Semakin sering komunikasi terjalin maka proses pengikatan tersebut akan semakin  cepat. Komunikasi yang dilakukan bisa dengan cara langsung maupun tidak langsung. Untuk berkomunikasi secara langsung dilakukan dengan bertemu. Intensitas bertemu antar anggota sebaiknya diperbanyak, apalagi sebelum melakukan ekspedisi. Dengan bertemu secara langsung, informasi tidak hanya didapat dari ucapannya, namun juga akan terlihat dari pembawaan dari gerak geriknya secara verbal.

Selasa, 24 Juni 2014

Jogja Istimewa

Kunikmati jalan-jalanku kembali ke Jogja. Salah satu kota yang sangat sering aku kunjungi dan tak pernah bosan rasanya di kita itu. aku serasa hidup ketika di sana. Memang hobiku jalan-jalan mungkin. Kala itu liburan ujian Tengah Semester satu, sangat awal aku kuliah. Aku berjalan dari Bogor dengan seorang teman bernama Resty. Dia yang bawel dan cempreng mirip tante girang. Sedikit menyebalkan, tapi setidaknya ada yang menemaniku sepanjang jalan untuk ngobrol, walaupun sebenarnya aku sudah biasa sendiri.
Kami tak banyak teman disana, yang ada sepupu perempuan dan laki-lakinya dan kakakku. Tak apalah, nanti juga ketemu banyak teman. Hari pertama kami hanya istirahat di kamar kos milik sepupu perempuan Resty. Hanya sehari kami meregangkan otot, dan hari berikutnya kami susuri beberapa tempat terkenal di Jogja. Walaupun kami sempat berpisah di jalan masing-masing, tetap saja seru.
Sebelum berpisah, kami sempat bermain ke Situs Prambanan, Taman Sari, dan karaukean. Saat di Prambanan rupanya kami tidak terlalu beruntung, karena disana mendung. Pemandangan yang di dapatkan oleh lensa kamere tidak terlalu bagus. Tapi dapat lah sedikit foto cantik. Dengan kain khas yang khusus yang dipakaikan di pinggang ketika memasuki situs, serta helm pengaman saat memasuki candinya langsung.
Tidak hany berdua, kami mengajak dua teman untuk menemani kami. Ada mas Eka yang berbaju merah, dia sangat narsis melebihi aku mungkin, da nada kak Fahri yang minta ampun pendiamnya, tidak pernah bercanda dengan kocak seperti kami bertiga.

prambanan



Senin, 23 Juni 2014

Fitrinya hati di Idul Fitri


Ketika senja mulai menampakkan kilaunya, kebahagiaan semakin besar. inilah hari terakhir untuk berpuasa Ramadhan tahun 2013 lalu. Tak terasa kurang dari sebulan lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan yaa. Apa sih yang ditunggu pada bulan Ramadhan? Atau lebih tepatnya apa sih yang ditunggu saat Lebaran? Ini dia jawabanku. 

ngabuburit terakhir di bulan puasa 2013
 Kala fajar membangunkanku, aku langsung  bersiap mandi, tak seperti biasanya yang malas-malasan beranjak dari kasurku yang membelaiku dengan nyaman. Aku harus rapih, wangi, dan cantik hari ini. Karena aku akan bertemu banyak orang, entah yang sudah biasa maupun yang lama tak bertemu. Terasa sangat segar tubuhku ini, walaupun semalam tidur tidak lebih dari tuga jam.
Sebelum berangkat kami harus sarapan terlebih dahulu seperti apa yang dilakukan Rasulullah konon katanya. Makanannya sangat khas dengan gaya lebaran. Ketupat yang wangi akan darun aren karena memang pembungkusnya dipilih dari daun aren, berpaduan dengan opor ayam yang legit khas bumbu nenekku. Dianjurkan jangan makan terlalu kenyang, karena setelah ini kami akan berjalan lumayan jauh, takut mual dijalan.

Senin, 16 Juni 2014

Anjing

Kala itu aku sedang menikmati liburan di jogja, tepatnya di sebuah kamar kos milik kakakku Danu. Saat pagi tiba kami berjalan-jalan iseng ke waduk di dekat kos Danu, sambil membawa anak anjing yang masih lucu. Niatnya kami ingin mengajaknya jogging, namun kata pemilik anjing, dia tinggal di sebelah kamar Danu, anak anjingnya itu masih lemah dan lebih memilih bermalas-malasan di kandangnya dari pada melakukan aktivitas berat juga banyak orang. Hebat juga tuh pemilik sampai tahu perasaan hewan imut ini. Sehingga kami memilih tempat di waduk ini karena memang sepi pengunjung, hanya beberapa terlihat sedang mincing di sana.
Memang sedang dijodohkan dengan anjing barangkali. Untuk menikmati senja yang sejuk di hari yang sama, kami kembali mencari tempat sejuk untuk nongkrong ngga jelas. Kini bukan hanya aku, kakakku dan sianak anjing, ada juga teman kami Wahyu dan satu mas-mas teman kakakku. Menyusuri jalanan dan pada akhirnya kami menemukan sungai, diatas sungi itu terdapat jembatan yang mungkin sudah tak terpakai.

Kamis, 12 Juni 2014

Selamatan di Kasepuhan Ciptagelar

Banyak hal yang dapat dipelajari di Ciptagelar, sebuah Kasepuhan Adat Ciptagelar yang ada di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kasepuhan yang sangat unik sehingga lambat laun saya rasa tempat tersebut menjadi daerah wisata yang cocok untuk pembelajaran. Keunikan tampak sangat jelas saat pertama kali kaki saya melangkah di jalan bebatuan yang memang sedikit susah ditapaki. Rumah-rumah yang terlihat seragam dengan gaya rumah panggungnya, serta gubuk-gubuk kecil yang setelah saya ketahui itu disebut leuit (lumbung padi) dan bentukya agak berbeda pada bagian atapnya yang lebih runcing di depan. Atapnya yang berbeda, karena tersusun rapi dari ijuk hitam seragam. Bukan hanya itu yang saya temui, mata saya melihat jelas setiap lelaki yang lekat dengan ikatan kepalanya, serta perempuan yang anggun dengan kain yang melekat dari pinggang sampai lututnya seolah-olah mereka berseragam.
Untuk pertama kalinya saya mengetahui dan memasuki rumah besar yang ramai dikunjungi orang, ternyata rumah tersebut dinamakan “Imah Gede” karena tulisan tersebut terpampang jelas  di atas pintu rumah. Saya dan 13 orang lainya merasa masuk ke dalam istana yang begitu sejuk dan damai setelah kami membersihkan diri dan menyamakan cara berpakaian dengan mereka. Dalam ruang tamu yang kira-kira berukuran 3x5 meter kami disuguhi minuman hangat dan cemilan yang membuat kami semakin nyaman dengan obrolan kecil dengan senior serta mungkin penerima tamu Imah Gede. Yang membuat kami saling memandang dan saling tersenyum adalah ketika kami dipersilahkan untuk mengisi perut, ya kami yang lapar setelah perjalanan dari hutan Pamegpeuk tanpa makan nasi saat akan berangkat, langsung menuju ruang prasmanan untuk mengambil makananya. Saat kembali ke ruang tamu, kami dibisiki senior bahwa kami disuruh meletakan piring di lantai saat makan, sangat berbeda dengan kebiasaan kami yang saat makan sering menyangga piring di tangan agar lebih dekat dengan mulut. Hal itu sdikit membuat kami bingung, namun sementara kami jalani saja dulu perintahnya.

Selasa, 10 Juni 2014

Surga dalam Kegelapan

Ini adalah kali pertama aku merasakan berjalan dalam kegelapan. Bukan dalam gudang bukan juga dengan mata tertutup. Aku berusaha sekeras mungkin untuk membesarkan diameter pupilku, namun apa daya cahaya tak dapat menembus gelapnya pandanganku. Deras angin  terdengar ramai di telingaku. Aku merasa sedikit takut, jantungku berdegub sangat kencang. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang sebenarnya terjadi, dan kuraba seluruh badanku mulai dari kaki sampai kepala. Banyak benda yang menempel pada badanku ini. Saat sampai di kepala, aku tak sengaja menekan sesuatu yang ada di kepalaku ini, dan tiba-tiba semuanya terlihat terang. Oh mungkin ini jawaban dari Tuhan, aku masih ada dalam dunia nyata. Aku masih bisa melihat dinding-dinding yang berkilau dan seperti akan menghimpit badanku ini. Batu-batu seperti digantung itu selalu meneteskan butiran air terasa dingin. Dan benar informasi dari telingaku tadi, aliran sungai terasa di kakiku lumayan deras.

Aku berjalan menyusuri ruang gelap ini, barangkali aku bisa menemukan jalan untuk kembali ke duniaku. Sambil melihat kanan-kiri, batuan yang indah bagaikan ukiran Kayu Jepara. Ingin sekali aku membawanya pulang, namun sesaat aku ingat seseorang berkata bahwa jangan pernah mengambil sesuatu yang bukan hak kita, jadi kunikmati saja pemandanganya, cukup cerita saja untuk kubawa pulang. Walaupun aku tak tahu nantinya akan ku ceritakan dari bagian mana.

Katam Gunung Salak

Gunung Salak adalah salah satu gunung yang ada di daerah Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Gunung ini memiliki area yang sangat luas. Ada 4 puncak yang paling sering dikenang orang, sesuai urutan dari paling tinggi yaitu puncak salak 1, 2, 3, dan 4. Untuk sampai ke sana juga terdapat banyak sekali jalur dengan kesulitan medan dan jarak yang bervariasi. Gunung ini merupakan gunung yang memiliki kekayaan vegetasi cukup tinggi, karena beragam vegetasi pepohonan masih dapat kita temui sampai di puncak. Hanya  saja semakin tinggi maka pepohonan yang tumbuh memiliki ukuran yang semakin kecil. Selain itu udara di sana sangat dingin dan lembab, karena curah hujanya tinggi. Hampir setiap hari air hujan turun di sana.
Kemarin pada tanggal 22 Maret 2014 merupakan hari bersejarah bagi kami, terutama diri saya, karena saya telah berhasil sampai pada keempat puncak dari Gunung Salak yang terkenal dengan medan yang sulit itu. Beru kemarin saya menaiki puncak 2, setelah puncak 1, 2, dan 3 yang telah saya lewati saat mengikuti program pembinaan calon anggota mahasiswa pecinta alam IPB (Lawalata).
Sekarang kami telah resmi menjadi anggota Lawalata, salah satu hal membanggakan dalam hidup saya. Kami berjumlah 17 orang, namun yang ikut naik ke Salak 2 kemarin hanyalah 10 orang, ditambah dengan 3 orang senior yang 2 diantaranya juga belum pernah naik ke Salak 2.
Saya telah ditunjuk menjadi ketua perjalanan ini dari 4 minggu sebelum perjalanan dilakukan. Tugas saya yaitu mempersiapkan segala hal yang akan dilakukan saat kegiatan. Hal pertama yang saya lakukan adalah menugasi anggota agar semua pekerjaan terkoordinir dengan baik, dan semua anggota berperan. Tugas itu saya bagi menjadi penanggung jawab alat, konsumsi, transportasi, keuangan, dan literatur. Untuk run-down perjalanan tidak saya bagi tugas, karena kami buat bersama-sama.

Tebing Panjat, Panjat Tebing

Udara terasa dingin saat itu, sesaat sebelum kami memulai beraktivitas. Setelah mengetahui bahwa kami harus berjalan dari kampus IPB Dramaga menuju Ciampea, maka hati menjadi panas. Apalagi setelah kami benar-benar melakukan aksi gerak itu, yaitu berjalan sampai Ciampea dengan waktu tempuh 2 jam perjalanan, semua terasa panas. Mungkin jika dilakukan saat siang hari, wajah kami akan terlihat merah padam.
Saat berada di Kars Ciampea, kami langsung mendirikan tenda untuk beristirahat. Kami juga membuat api agar sekiranya hewan tidak mendekati kami. Istirahat hanya beberapa jam, dan setelah jam 5 pagi kami bangun, membuat makanan, sarapan, packing, dan meninggalkan camp untuk menuju tebing tempat kita latihan. Langsung memasang segala sesuatu untuk mrmanjat dan menuruni tebing, serta alat pengaman yang saling menempel pada badan kami. Semua serba safety, agar tidak terjadi sesuatu kecelakaan yang tidak kami inginkan.
Satu persatu dari kami mulai menaiki lintasan, ada juga yang sebagian turun terlebih dahulu. Sekarang giliran saya naik tebing, kelihatan susah lintasan itu, dan ternyata memang susah. Namun selalu mencoba, mengulang, dan membenarkan teknik yang saya lakukan agar dapat sampai ke puncaknya. Kaki memijak benjolan-benjolan karst yang rasanya sangat kecil, sesekali juga terpeleset dan jatuh. Keringat bercucuran deras bagaikan air terjun, tenggorokan kering, kaki dan tangan gemetaran, dan kulit terasa terbakar oleh teriknya matahari.

Air Adalah Kekayaan

Bicara tentang air? Banyak sekali yang ada di benak kita saat mendengar kata air. Mulai dari jenis air, kehidupan air, serta segala macam permainan tentang air. Karena memang 2/3 bumi ini adalah air.

Mari kita bahas satu per satu dari yang di atas. Jenis-jenis air yang saya ketahui adalah air tawar dan air asin. Di pegunungan, air tawar sangalah mudah ditemukan, dari mata air, sungai, dan juga dari sumur. Sedangkan air asin dapat kita dapatkan di lautan. Asin yang dirasakan di laut memiliki kepekatan yang berbeddatergantung berapa jauh jarak dari pantainya. Semakin dekat dengan pantai maka semakin asin rasa airnya. Ada juga yang disebut muara, yaitu pertemuan antara air sungai dengan air laut.

Banyak sekali kehidupan air yang pemandanganya sangat menarik. Biota di setiap jenis air sangatlah beragam. Hewan mulai dari yang dapat dimakan sampai yang beracun, dari yang kecil sampai yang besar, dengan warna-warni dan tingkah lakunya yang lucu sampai yang menyeramkan. Namun saying karena tingkah laku manusia, semua itu semakin lama menghilang sedikit demi sedikit. Mereka marusak pohon bakau yang menjadi tempat pembesaran bamenyeramkan.

Namun sayang karena tingkah laku manusia, semua itu semakin lama menghilang sedikit demi sedikit. Mereka marusak pohon bakau yang menjadi tempat pembesaran bayi-bayi hewan air oleh induknya. Mereka mencemari air dengan membuang limbah-limbahnya ke perairan sedangkan mereka tidak menyadari bahwa pada limbah memiliki kandungan kimianya yang penuh dengan racun, dan akan membunuh biota yang ada di perairan itu. Dengan begitu kehidupan air menjadi tidak seimbang. Yang ada hanyalah perairan yang dangkal karena pengendapan material yang disebabkan oleh zat kimia tadi.

Sabtu, 22 Maret 2014

Ada yang Kurang dari Sungai Serayu

Siapa tak kenal Sungai Serayu? Semua tahu bahwa sungai itu merupakan spot asik untuk rafting. Rafting ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat setempat. Banyak orang luar Banjarnegara, bahkan orang asing mendatangi Serayu untuk rafting. Disana sering dijadikan pusat perlombaan dari tingkat daerah sampai nasional.
berbicara tentang sungai kita


Kondisi Sungai Serayu sangat tepat untuk olahraga air rafting. Dengan arus yang menantang mungkin tempat itu menjadi pusat perhatian para pencinta rafting.

Setiap kita googling tentang Serayu, yang muncul selalu tentang rafting. Hanya ada sedikit informasi tentang Festival Parak serayu. Parak merupakan bahasa Jawa khususnya Banjarnegara yang artinya menjaring ikan. Namun pada saat festival ini, maka penjaringan ikan dilakukan secara bersamaan.

Festival Parak sangat ramai dikunjungi mulai dari anak kecil sampai orang tua, orang lokal sampai orang luar kota, orang biasa sampai pejabat tinggi. Festival ini hanya dilakukan setiap satu tahun sekali.
Bagi sebagian orang, hal itu sangat menguntungkan. Namun bagi sebagian lagi, hal itu membosankan. Mungkin tulisan tentang rafting sudah cukup banyak. Perlu lebih banyak lagi informasi tentang festival yang sangat unik dan menarik itu. Yang  terpenting adalah perlu yang lebih baru, selain rafting dan festival.

Banyak juga yang membutuhkan tentang apa saja kesenian yang masih ada di sana. Apakah ada tarian, gamelan, nyanyian, atau apapun itu. Jika ada, maka apa yang telah punah? Mulai kapan seni itu tidak ditemukan lagi? Apa saja factor yang membuatnya punah? Serta bagaimana sikap kita sabagai warga sekitar Serayu, serta para pejabat yang mempunyai wewenang?

Selain seni, mungkin banyak juga makanan khas sekitar Serayu yang bisa dikenalkan pada khalayak. Sampai sejauh mana makanan itu diminati? Apakah sama banyaknya peminat makanan ini dengan yang meminati rafting sendiri?

Karena saya melihat bahwa sekarang sudah jarang yang mengetahui kesenian dan kekhasan dari Serayu. Seluk beluknya juga masyarakat kurang memahami.

Sejauh mana perawatan sungai Serayu dilakukan, mengingat sering banyak orang luar datang ke sungai kita ini? Tidak hanya perta dan keramaiannya saja yang di ceritakan.


Sebenarnya saya ingin mendapatkan jawaban atas semua pertanyaan yang ada di benakku itu. Saya ingin terjun langsung ke Sungai Serayu, tidak hanya untuk menikmati keindahan dan tantangan wahananya, namun juga menguak segala yang ada di sana. perlu waktu untuk kegiatan itu. Setidaknya saya harus sadar bahwa saya adalah anggota masyarakat Sungai Serayu.

blog anyar

Saya membuat blog baru ini di Samdhana. Berlatih bersama teman-teman. Seru banget latihan menulis, apalagi temanya tentang air. Mengingat hari ini adalah Hari Air Sedunia. Air adalah kehidupan kita semua.