Selasa, 14 Oktober 2014

Ekspedisi Pertama Anggota Muda Lawalata


         Sesuatu yang menarik selalu terbayang di benak Viedela AK perempuan berusia 19 tahun ketika dia mendengar kata “ekspedisi”. “Ekspedisi layaknya dilakukan oleh seluruh makhluk hidup. Contohnya burung elang yang melakukan migrasi musiman. Artinya ekspedisi adalah melakukan perjalanan ke luar dari ruang hidup dan kebiasaan kita.”, tutur salah satu seniornya yang telah beberapa kali melakukan ekspedisi. Ekspedisi yang dilakukan bertujuan mengetahui keadaan di luar sana, sehingga kita bisa menilai seberapa baik dan buruk sesuatu yang telah kita kerjakan di dalam ruang hidup kita sendiri. Harapannya dengan mengetahui hal tersebut, seseorang bisa melakukan perbaikan di ruang hidup dan kebiasaan kita ketika pulang dari ekspedisi yang dilakukan.
beberapa anggota tim, dari kanan Akbar, Hanif, Raycel,
Sherly, Ira, Andayani, Viedela, Sheila, dan Aziz 
menuju keberangkatan ke Balikpapan (dok-L)
Sekelompok Anggota Muda yang baru bergabung di organisasi Lawalata rupanya memiliki rasa penasaran yang cukup tinggi berkaitan dengan ekspedisi termasuk Viedela. Mereka yang berjumlah dua belas orang sangat ingin melakukan ekspedisi. Sosok dua belas orang tersebut adalah Viedela AK dari departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, Aziz Fadhani Jaya departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan dan Akbar Habibie departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Sheila Kharisma Dewi departemen Biologi dan Sherly Gustia Nivo departemen GFM Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Ira Khairunisa departemen Feteriner Diploma IPB, Raycel Sunkar Tarigan departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Husnizon Fajri departemen Teknik Sipil dan Industri dan  Kasrizal departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, Andayani Oerta Ginting departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan, Hanif Ibrahim Arkan departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan, serta Yosafat Gustaav Tangel departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia yang seluruhnya merupakan angkatan 50 IPB akhirnya memutuskan untuk melakukan ekspedisi dengan melaksanakan prosesnya dari awal dengan baik yang didampingi oleh seorang senior bernama Bahrul Septian Dwi Cahyo departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan angkatan 48 IPB.
Karena memiliki keinginan untuk belajar dan melakukan suatu hal yang sama yaitu ekspedisi, mereka terus berbincang untuk menyusun sebuah ekspedisi yang mereka impikan. Akhirnya mereka sepakat untuk konsisten dalam melakukan ekspedisi dari awal hingga akhir.
Beberapa waktu kemudian mereka memilih ekspedisi dengan tema “Menelususri Potensi Ekosistem Karst Sangkulirang sebagai Bahan Pertimbangan Warisan Dunia” dan tempat di Kampung Merabu Kecamatan Kelay Kabupaten Berau Provinsi Kalimantan Timur. Tempat dan tema tersebut mereka pilih karena masih hangatnya isu tentang Karst Sangkulirang yang akan diajukan menjadi warisan dunia. Mereka melakukan banyak pertimbangan yang dikuatkan dengan masukan dari berbagai pihak saat akan menentukan tema dan tempat ekspedisi.
Setelah menentukan tema dan tempat, mereka memulai banyak persiapan sebelum berangkat. Persipan tersebut antara lain dari segi materi dan ketrampilan, penyusunan rundown kegiatan, persiapan finansial, pengompakan anggota, dan yang paling penting adalah penguatan mental. Setelah dirasa cukup, mereka terlebih dahulu melakukan simulasi di beberapa tempat di Bogor, yaitu di kars Ciampea dan Karst Jasinga. Simulasi tersebut dilakukan dengan tujuan untuk lebih memperdalam kemampuan sesuai yang akan dilakukan saat ekspedisi dan lebih  mengeratkan ikatan antaranggota.
Tepat pada tanggal 1 Juli 2014 akhirnya dengan keyakinan tinggi mereka berangkat menuju Kampung Merabu. Dan sesampainya di tempat tujuan, mereka melakukan kegiatan yang telah direncanakan sesuai rundown. Adapun inti kegiatan yang dilakukan adalah menelusuri gua dengan pengambilan data untuk keperluan pembuatan peta gua dan inventarisasi biota gua, analisis vegetasi di sekitar mulut gua, serta kegiatan sosial di kampung untuk mengetahui sejarah, kegiatan yang dilakukan masyarakat, dan seberapa besar ketergantungan masyarakat terhadap hutan dan sumberdaya yang ada di sekitar mereka.
Beberapa gua yang mereka telusuri adalaah gua Bloyot, Sedepan Bu, dan Lubang Tembus. Setiap gua yang berada di sana memiliki keunikan masing-masing, seperti cap tangan dan beberapa lukisan gua purba yang ada di gua Bloyot yang dipercaya milik Bunga Inu, aliran air sungai yang ada di dalam gua Sedepan Bu, serta pancaran sinar yang unik dari jendela-jendela gua yang ada di Lubang Tembus. Ada beberapa keunikan biota dalam gua yang mereka temukan disana, seperti Scutigeridae dengan warna ungu dan ukurannya yang kecil. Biota tersebut sangat langka dan belum pernah ditemukan di gua-gua di pulau Jawa.
beberapa cap tangan di Gua Bloyot (dok-L)
Mereka juga menemukan keberadaan vegetasi di hutan Kampung Merabu yang kondisinya masih sangat lebat dan beragam. Banyak mengalir sungai hutan tersebut yang membantu mereka mendapatkan air dengan mudah. Airnya yang jernih tersebut juga menyimpan kekayaan biota sungai seperti berbagai macam ikan, kepiting, dan labi-labi. “Memakan ikan segar hasil memarang sendiri adalah suatu kepuasan tersendiri.”, tutur Viedela dengan bangganya.
setiap upacara selalu ada tarian
             khas Merabu (dok-L)


Selain kekayaan gua dan ekosistem hutan, Kampung Merabu juga memiliki kearifan lokal dan adat istiadat yang cukup tinggi. Masyarakat sangat percaya dengan sejarahnya yang berasal dari sosok bidadari cantik bernama Bunga Inu. Seringkali masyarakat Kampung Merabu melakukan pesta sebagai tanda penyambutaan dan pelepasan pengunjung yang dirasakan sendiri oleh tim ekspedisi saat datang dan saat akan pulang, pesta panen, dan masih banyak pesta lain. Kehidupan di Kampung Merabu sangat kental dengan kebersamaannya. Bersih dan nyaman selalu disuguhkan di kampung tersebut, sangat damai dan jauh dari hiruk pikuk perkotaan.




keindahan karst yang berbentuk tower-tower
nampak indah di Puncak Ketepu (dok-L)
Setelah selesai kegiatan inti, mereka memanfaatkan waktu untuk menelusuri potensi wisata yang ada di Kampung Merabu. Salah satu tempat spesial kampong tersebut yang kami kunjungi adalah Telaga Nyadeng dan Puncak Ketepu. Air di Telaga Nyadeng berwarna biru segar dan meiliki beragam jenis ikan yang terlihat dari permukaan air. Sedangkan dari Puncak Ketepu, keindahan yang disuguhkan adalah hijaunya tower-tower karst yang menjulang ke langit. Selain itu masih banyak lagi tempat unik di sekitar Kampung Merabu yang belum sempat mereka kunjungi dikarenakan waktu yang mereka miliki sangatlah sempit seperti Danau Tebo yang konon memiliki air sangat jernih serta hamparan lahan yang luas dengan kehidupan flora dan fauna liar yang masih asri.
Ekspedisi yang mereka lakukan berakhir pada tanggal 28 Juli 2014. Ekspedisi tersebut membuat mereka merasakan puas dan bersyukur bahwa ada tempat di Indonesia yang masih asri keberadaannya. Hal tersebut juga mengajarkan mereka betapa pentingnya melakukan perjalanan untuk mengetahui seberapa indahnya keadaan di luar sana. “Kami tidak akan berhenti melakukan perjalanan sampai disini, masih banyak lagi keindahan dan kekayaan negri kami ini yang belum sempat kami lihat untuk mengaguminya.”, pungkasan dari perempuan yang baru pertama kali melakukan ekspedisi tersebut.
oleh : ViedelaAK (@viedela_ve)

1 komentar:

  1. Lima perempuan keren di angkatan 50, Sherly, Ira, Andayani, Viedela dan Sheila. Selamat atas Ekspedisi Sangkulirang! Senang bisa melihat ada banyak perempuan jalan-jalan menikmati indahnya Nusantara.

    Beneran itu gambar tangan di Gua Bloyot? Tangannya siapa...

    BalasHapus