Minggu, 05 Juni 2016

Selamat Datang (lagi) Ramadhan - 1437 H

Segelas es teh dengan gelas berkeringat menemaniku pagi ini. menghilangkan dahaga selepas mencuci pakaian yang hampir penuh dua ember itu. Tiap tegukan kurasakan manis menyegarkan, seperti air surga rasanya. Sekarang sudah tanggal 30 Sya’ban 1437 H, artinya besok memasuki bulan Ramadhan. Yeay, bulan yang selalu ditunggu umat muslim. Di bulan penuh rahmat itulah amat banyak penghapusan dosa dengan mudah.
Kali ini ijinkan aku mengingat masa laluku pada bulan-bulan Ramadhan sebelumnya. Aku diajarkan puasa oleh Bundaku ketika usiaku memasuki tahun ke-4. Namanya juga anak-anak, belajar berpuasa mulai dari setangah hari dulu, baru kemudian bisa sampai Maghrib. Justru saat itu aku merasa puasaku lebih mulia, halangan puasaku hanyalah lapar dan haus. Tak seperti sekarang sudah memasuki dewasa, halangan puasanya adalah nafsu yang lain, emosi yang susah dikontrol, apalagi kalau udah ngumpul sama temen-temen bawaannya kurang kalau tidak ngegosip. Kembali lahi ke masa kecilku, saat usiaku memasuki 5 tahun puasaku mulai penuh karena aku sudah mengenal sebuah hadiah berupa baju lebaran. Semakin banyak puasa semakin banyak pula baju lebaran yang dibelikan untukku.
Usiaku menginjak 6 tahun, aku sudah masuk SD. Setiap Ramadhan pihak sekolah memberikan buku saku khusus Ramadahan untuk mencatat amal yang kita perbuat seperti shalat, baca al-qur’an, dan mengunjungi/mendengarkan pengajian. Sekarang baru aku mikir, kenapa kita harus repot mencatat sendiri padahal malaikat sudah ditugasli oleh Allah untuk mencatat apapun yang kita lakukan. Ternyata buku saku yang diberikan bu guru sengaja untuk membuat kita lebih rajin dan termotivasi, karena biasanya anak-anak selalu ingin berlomba dalam hal kebaikan. Melihat temannya sudah mengaji sampai surat tertentu, pasti kita ingin segera menyusulnya. Tak seperti sekarang yang lebih sering malu kalau terlihat melakukan kebaikan oleh orang lain.
Saat belum baligh, aku selalu bersemangat untuk mengikuti setiap tarawih. Walaupun kadang milih-milih, kalau imamnya terkenal lama dalam membaca doa maka lebih baik pindah ke masjid/mushola lain yang kira-kira lebih cepat selesai. Tak jarang membawa jajanan untuk camilan kalau bosen mendengarkan ceramah di sela  tarawih. Pulang tarawih tak lupa main petak umpet dengan teman-teman. Belum banyak lampu apalagi telpon genggam seperti sekarang yang membuat ingin cepat pulang setelah tarawih karena khawatir ada gebetan yang mengirim pesan atau menelepon.
Sahur adalah saat yang menyenangkan, karena kita bisa menonton acara yang aku lupa apa namanya, yang ku ingat pasti adalah jargonnya “tut tut gujes gujes” bersama Eko Patrio. Jargon itulah yang membuat mataku mau terbuka. Itulah saatnya aku bermanja-manja, mau makan kalau disuapin, di atas kasur dengan selimut yang masih melapisi tubuhku. Tapi tak lama ketika suara sirine dari masjid berbunyi menandakan imsak tinggal beberapa menit lagi, kakiku langsung ngibrit lari ke belakang untuk minum air putih yang banyak berharap siang tidak kehausan. Tapi apa daya, setelah pulang dari masjid justru ingin selalu buang air kecil, jadi beser. Setiap setelah shalat subuh pasti imam memberikan kuliah subuh terlebih dahulu. Mau tak mau aku bersama teman-teman setia mendengarkan sembari sedikit mencatat isinya di buku saku Ramadhan yang kami miliki. Imam akan memparaf buku saku kami setelah kuliah subuh selesai. Tak selesai sampai di situ, pulang dari masjid kami biasanya jalan sehat dulu mengelilingi kampung. Tak jarang pula kami sedikit bercanda dan berlari kejar-kejaran. Tawa kami masih polos dan ikhlas tanpa paksaan. Kami tidak harus terburu-buru pulang untuk mandi dan berangkat sekolah, karena sekolahan memberi keringanan berupa jadwal masuk kelas yang lebih siang 1-2 jam dari biasanya saat Ramadhan. Selain itu bapak dan ibu guru jarang memeberikan PR untuk kami ketika Ramadhan. Nikmatnya.
dok 1 Syawal 1437 H
Tak kalah serunya dari sahur, justru waktu inilah yang sangat ditunggu tiap hari ketika Ramadhan. Yak, maghrib, saatnya berbuka puasa. Kami banyak melakukan sesuatu untuk menyambut saat berbuka itu. Seringkali kami jalan-jalan entah di sawah atau di sekitar kampung saja. Jalan kaki maupun mengayuh sepeda tak masalah bagi kami. Tak jarang juga kami banyak jajan untuk berta’jil, yang biasanya justru tak habis dimakan. Namanya saja orang lapar, pasti hanya laper mata. Cendol yang biasanya terlihat biasa saja seolah menjadi amat menggoda di sore hari menjelang maghrib, mau tak mau aku membelinya. Kadang aku juga membantu bundaku menyiapkan hidangan untuk berbuka, tapi tetap sama aku menginginkan beragam jenis makanan, bundaku menuruti untuk membeli bahannya, kami memasaknya bersama. Saat berbuka tiba ternyata semua itu tak habis dimakan. Sekali lagi, laper mata. Makanan yang paling aku sukai dan menjadi ciri khas saat Ramadhan adalah kolak pisang dengan gula merah sebagai pemanisnya. Hmm, kan jadi ngiler siang bolong.
Sepuluh hari sebelum lebaran tiba merupakan agenda wajib bagiku untuk melakukan iktikaf dengan nenek dan kakek. Merekalah yang mengajarkanku caranya mendapatkan pahala yang banyak walaupun sampai sekarang aku tak tahu bagaimana wujud sebuah pahala. Setiap malam ganjil dalam 10 hari menjelang lebaran kami berdiam dalam gelap di sebuah masjid. Shalat dan berdoa kepada Allah untuk sebuah kebaikan, apapun yang aku mau aku lontarkan pada-Nya. Sekarang aku malu, karena untuk shalat wajibpun tak jarang  masih terlewat. Sungguh aku merindukan cara melewati dan menikmati Ramadhan seperti masa kecilku.
Mari kita saling memaafkan mengosongkan dendam sesama untuk menyambut datangnya Ramadhan 1437 H. Semoga kita semua bisa mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya dan menghapus dosa hingga sebersih-bersihnya. Marhaban Ya Ramadhan.

Twitter       : @viedela_ve
IG                 : ViedelaAK

Phone        : 085742283163