Selasa, 01 Oktober 2019

Mereka Sebut Saya 'Rambu Jawa'

Sumba dari ketinggian
Merupakan bagian dari provinsi Nusa Tenggara Timur, terkenal dengan daerah padang rumput, seribu bukit, dan tanahnya yang berbatu. Sumba Timur memang menggoda untuk dikunjungi. Banyak pengunjung yang menguber matahari terbit maupun matahari tenggelam yang cantik. Menjadikannya objek wisata yang mulai terkenal. Banyak pihak percaya, Sumba akan menjadi serbuan wisatawan seperti Bali nantinya. Kabar tersebut membuat senang sekaligus gelisah. Jika itu benar terjadi, maka perekonomian masyarakat meningkat. Seperti yang terjadi di banyak terjadi di daerah wisata, masyarakat dapat mejual barang maupun jasa. Kehawatiran juga menyusul, barangkali akan banyak para pemilik modal menanamkan investasi di sana, keuntungan pastinya mengalir kepada mereka. Seperti yang terjadi di daerah wisata lainnya juga, masyarakat lokal hanya menjadi buruh sehingga walaupun ada penambahan pendapatan, tetap saja hanya menjadi kroco.
Terlepas dari hal tesebut, saya ingin cerita mengenai perjalanan di Sumba Timur selama sepuluh hari di pertengahan September 2019. Perjalanan kali ini kami sebut PSS 'Perjalanan Singkong Sumba', karena  perjalanan itu terwujud atas dasar obrolan singkong. Aku memang menyukai singkong karena rasanya yang unik, apalagi dia merupakan bahan dasar dari banyak makanan di kampung halamanku. Sehingga aku bisa merasakan kenikmatan dari ubi kayu itu.
Ibu-ibu di Desa Umamanu, Kecamatan Lewa sedang membuat olahan singkong
Seorang teman yang ku kenal setahun lalu menghubungiku “Hai Ve, bagaimana kabar? Masih suka makan singkong?”, ku jawab “Pastinya! Ada apa dengan singkong?”. Obrolan mengenai singkong berlanjut berhari-hari, sehingga pada akhirnya dia mewarkan kepadaku perjalanan Sumba Timur untuk belajar tentang singkong bersama masyarakat. Tanah Sumba Timur memang cocok untuk tanaman umbi-umbian, salah satunya singkong. Namun masyarakat belum banyak memanfaatkannya. Mereka sudah puas dengan singkong rebus sebagai teman minum kopi di pagi hari. Jika perut mereka dirasa sudah tidak mampu lagi menampung singkong, maka akan dibagikan kepada babi dan ternak lainnya. Aku suka cara mereka berbagi, karena menurut mereka, ternak juga harus merasakan apa yang kita rasakan, terutama dalam hal makanan.
Bagi saya, yang paling tidak, pernah merasakan berbagai makanan yang terbuat dari singkong sejak masa kanak-kanak, rasanya sayang sekali jika diresbus saja sudah memuaskan. Ya, perjalanan ini menjadi dilema sebenarnya. Kami ingin membuat masyarakat bisa mengolah pangan lokalnya, singkong itulah tadi. Tapi kami juga khawatir nantinya jika masyarakat sudah bisa mengolah singkong menjadi berbagai macam makanan manusia, bagaimana nasib ternak? Tapi seiring berjalannya waktu, banyaknya diskusi membuat kami menemukan solusi sehingga ternak masih tetap bisa makan walaupun bukan singkong.
Opak singkong yang telah dikukus
Sepuluh hari kami menyusuri beberapa kampung untuk berbagi resep produk olahan singkong. Kami berusaha untuk berbekal pengetahuan dan alat sederhana untuk mengolah singkong. Sehingga kami bisa berbagai beberapa macam olahan seperti keripik singkong, opak, kerupuk combro, biskuit, kue, hingga mie. Mereka menyambut kami hangat. Hal itu ditunjukkan dengan pemberian cium Sumba, yaitu dengan menggesekkan pucuk hidung ke kanan dan ke kiri. Mereka mencoba menerka apa yang akan kami lakukan di sana. "Rambu Jawa" adalah sebutan untuk saya. Pemuda perempuan disebut Rambu, sedangkan laki-laki disebut  Umbu. Saya suka dengan sebutan itu.  Senyum mereka membuat saya bersemangat.  Kami memulainya dengan bercerita mengenai singkong, terutama bagaimana mengolahnya agar makanan bisa bervariasi. Pengolahan singkong adalah hal baru bagi mereka. Kami makan bersama olahan singkong berupa keripik, opak, dan kerupuk combro, mereka menyukainya. Sontak beberapa dari mereka berkata “Oh mudah ya membuatnya, besok saya akan buat dan saya jual”. Lega dan teduh hati saya mendengar ucapan itu. beberapa hari kemudian setelah kami belajar bersama mengolah singkong, saya dan kawan datang lagi untuk belajar lagi mengolah singkong menjadi produk olahan lain. Sebelum mulai belajar, seorang ibu berbisik “Rambu (sebutan untuk anak muda perempuan), saya kemarin sudah membuat keripik, saya bungkus kecil-kecil, dan dijual di sekolahan, habis semua 20 bungkus”. Saya tidak sadar tiba-tiba memeluk dia hingga dia kaget.
Makan Kerupuk Combro
Kami bersemangat bersama-sama untuk menumbuhkan rasa cinta pada bahan pangan lokal. Mimpi sederhana sekaligus luar biasa dari kami adalah membuat semua orang di Sumba bisa manikmati makanan dari tanahnya sendiri. Mimpi itu muncul setelah kami lama tertidur. Banyak produk yang beredar di Sumba Timur sendiri ternyata berasal dari pulau lain. Padahal kami tahu bahwa di banyak bahan pangan di Sumba Timur. Saya sedih, pertama kali datang ke kios kecil di sana, ada anak-anak kecil membeli mie instan kemudian mereka bermain sambil ngemil mie instan tanpa dimasak. Ya, mie instan menjadi jajanan kesukaan mereka. Saya berharap setelah ini jajanan anak-anak beralih ke makanan ringan lokal.
AYO MAKAN SINGKONG!

Sabtu, 02 Maret 2019

Sumber Daya Alam milik siapa?


Sebutan kampung nelayan karena mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai nelayan. Nelayan adalah orang yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan, terutama di laut. Sehingga tidak semua kampung pesisir dapat disebut kampung nelayan. Desa Les memiliki 9 banjar (dusun) yang beberapa diantaranya berada di pesisir dan mayroritas masyarakatnya adalah nelayan. Salah satunya adalah Banjar Penyumbahan, berada paling selatan desa dan berdampingan dengan laut. Banyak perahu  bersandar di pantai yang berbatu, kira-kira 70 perahu, salah satunya adalah milik Pak Cik, seorang nelayan yang telah melaut sejak muda.
Namun selain melaut, dulu dia pernah bekerja di sebuah perusahaan pengekspor karang yang sekarang sudah ditutup karena regulasi yang melarang penjualan karang. Dia juga pernah menjadi penangkap ikan hias yang saat ini sudah tidak lagi karena tidak ada tengkulak lagi yang menampung tangkapan ikan hias. Selain itu penangkapan ikan hias dengan cara yang tidak ramah lingkungan seperti menggunakan potassium sudah dilarang dan beriringan dengan kesadaran masayarakat itu sendiri.
Saat ini Pak Cik mengerjakan banyak hal seain melaut, contohnya adalah sebagai pmelihara sapi. Sapi itu adalah milik orang lain yang dititipkan kepada keluarga Pak Cik untuk merawatnya, kemudian akan dijual dalam jangka waktu tertentu atau sesuai dengan keinginan pemilik modal, namun biasanya minimal 6 bulan baru bisa dijual. Mereka memiliki sistem tersendiri dalam mengatur pembagian hasil yang harus sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Pekerjaan seperti ini banyak dilakukan oleh masyarakat penyumbahan sebagai pendapatan sampingan selain melaut.
Prosesnya adalah pemilik modal menyerahkan uang kepada pemeliraha untuk dibelikan anakan sapi. Anakan sapi dipilih sendiri oleh pemelihara, karena biasanya mereka yang tahu bibit unggul yang sehat dan lebih cepat tumbuh, karena ini berpengaruh juga dengan pendapatan mereka nantinya. Sistem yang Pak Cik pakai adalah 30% keuntungan untuk pemelihara, dan 70% untuk pemilik modal. Disamping itu Pak Cik juga mmemelihara babi miliknya sendiri. dia memilih babi karena perawatannya yang mudah dan permintaannya  banyak. dia bisa menjual babi kapan saja dia mau. Istrinya juga membantu dalam pekerjaan ini, seperti menyiapkan makanan untuk hewan-hewan ternaknya. Terutama ketika Pak Cik sedang pergi untuk bekerja di tempat lain seperti menjadi guide untuk diving dan snorkeling, atau sesekali menjadi buruh bangunan.
Istri Pak Cik merawat anaknya sepanang hari, sembari merawat kebun kopi milik orang lain. Hal yang dilakukan adalah memanen buah cokelat setiap pekan. Setelah panen dia harus mengupas dan menyimpannya dulu di dalam karung tertutut selama 2-3 hari agar air keluar dengan sendirinya sehingga proses penjemuran nantiya tidak teralu lama. Jika itu diilakukan maka penjemuran di bawah matahari ketika musim kemarau hanya membutuhkan waktu 2-3 hari. Selain lebih cepat dalam pengeringan, menyimpan biji cokelat dalam karung juga membuat biji kerig lebih awet dan bagus. Karena proses penjemuran yang tidak terlalu lama sehingga paparan matahari dan bakteri di biji cokelat tidak terlalu banyak. Pekerjaan merawat kebun cokelat akhirnya harus dilakukan setiap hari karena pohon yang dipanen berbeda-beda. Pemelihara memiliki hak 30% dari penjualan biji cokelat kering, sisanya untuk pemilik lahan. Harga biji cokelat kering saat ini berkisar antara Rp.25.000 sampai Rp.30.000 per kg. Dia menjualnya ke tengkulak yang seringkali datang atau diantarkan sendiri ke tengkulak jika hasilnyasudah menumpuk. Karena jika tidak langsung dijual maka akan cepat rusak dengan penyimpanan sederhana. Keluarga Pak Cik menghasilkan kurang lebih 30 kg per bulan.
Kepemilikan lahan sampai saat ini belum merata. Ketimpangan terjadi dimana-mana dan terlihat sangat jelas. Hal ini membuat petani kecil kurang berdaya. Kemudian seringkali msayarakat desa terusir ke tempat yang lebih jauh dari lahan pertanian, misalnyake daerah urban perkotaan. Mereka menjadi buruh di perusahaan-perusahaan milik konglongmerat. Selanjutnya mereka diperlalukan sama, tidak mendapatkan hak yang layak/ setimpal dengan apa yang dikerjakan. Atau mereka terusir ke daerah terpencil dengan sumberdaya yang terbatas sehingga harus bekerja lebih keras untuk menghidupi kehidupannya, misalnya di hutan pedalaman yang kemudian harus membuka hutan terlebih dahulu untuk dijadikan lahan pertanian. Namun setelah itu turunlah kebijakan pemerintah yang membatasi gerak masyarakat bahkan hanya untuk mencari makan sehari-hari karena alasan konservasi. Banyak lagi hal yang mungkin terjadi dengan melihat kasus ini. Itu semua adalah dampak dari lambatnya pemerintah dalam menjalankan Reforma Agraria. Semakin lama maka masyarakat kecil yang persentasenya jauh lebih tinggi akan semakin terhimpit dan tidak berdaya sedangkan masyrakat kelas atas saling berebut kekuasaan.


Canang Bu Cening


Perempuan baginya adalah seseorang yang dikodratkan sebagai pendaming bagi lelaki. Hal itu ditunjukkan dengan ucapannya ketika perbincangan hangat mengenai peran dalam keluarga. Dia adalah isteri Pak Eka, seorang nelayan yang sekaligus menjadi tokoh dalam pembentukan kelompok masyarakat di Desa Les untuk pembangunan desa yang lebih baik. Bu Cening mengatakan bahwa dulu ketika musim cumi setiap pagi dia pergi ke pantai untuk menjemput suaminya yang telah semalaman melaut. dia harus bangun pagi-pagi sekali untuk memulai hari. paling tidak sebelum pergi ke pantai dia sudah menyiapkan air panas untuk membuat minuman hangat sebagai pelengkap sarapan. Ini adalah hal yang wajar dilihat setiap pagi di Pantai Penyumbahan, Desa Les. Para isteri menjemput dan membantu suaminya seperti mengaitkan tali penahan perahu, memasang papan dan kayu yang berbentuk tabung untuk memudahkan perahu naik ke daratan ketika ditarik, hingga membereskan isi perahu seperti hasil tangkapan ikan dan sisa bekal makanan para suami. Semua itu ditata rapih, tampat makan, jas hujan, pancing, jarring, atau alat lainnya agar mudah diambil ketika akan digunakan lagi.
Setelah itu dia akan  memisahkaan  ikan hasil tangkapan, yang mana akan dijual dan yang mana akan dikonsumsi sendiri atau sekedar dibagikan kepada kerabat yang saat itu tidak melaut. Kegiatan itu selesai hingga ikan sampai di tangan pembeli. Biasanya ada pemborong yang siap menampung hasil tangkapan nelayan dengan menerapkan syarat tertentu. Misalnya kebijakan peminjaman dana, peminjaman bahan bakar, penentuan harga, dan lain-lain.
Bu Cening dan isteri nelayan lainnya kembali ke rumah untuk menyiapkan sarapan suaminya, lalu masak, sampai bersih-bersih rumah. Seringkali pekerjaan itu dilakukan dalam waktu yang sama agar dapat selesai lebih cepat.  Terutama bagi mereka yang memiliki target waktu karena dikejar pekerjaan lain di luar tanggung jawab rumah.
Memasak baginya adalah hal yang wajib bisa dilakukan oleh perempuan. Karena perempuanlah yang mengurus seberapa banyak pengeluaran dapur untuk membantu suaminya mengatur rumah tangga. Karena makanan merupakan kebutuhan pokok yang harus ada setiap hari. Maka jika tidak memasak pastinya sebuah keluarga harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli masakan yang siap santap. Memasak sendiri di rumah adalah jawaban yang tepat untuk memperkecil pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga yang lain masih terlalu banyak untuk dihitung dan bisa jadi tidak dapat terpenuhi jika dari dapur saja perlu banyak pengeluaran.
Selain itu rutinitas setiap pagi yang wajib dilakukan adalah sembahyang. Setelah selesai memasak, dia menyiapkan sesajen dari segala sesuatu yang keluarganya makan. Ini dapat diartikan sebagai ucapan terimakasih kepada Tuhan atas segala kenikmatan, keselamatan, dan kehidupan yang telah diberikan hingga saat itu juga. Setiap orang memiliki tempat ibadah yang berbeda, misalnya tempat penguburan ari-ari anak, sudut, ruangan tertentu, tempat tertentu yang menandakan suatu kejadian, pintu, dan lain-lain, kecuali pura keluarga yang harus diberikan sesajen oleh seluruh anggota keuarga itu sendiri.
Sembahyang selesai bukan berarti seluruh kegiatan selesai juga. Seperti Bu Cening, dan bisa jadi beberapa isteri nelayan lain melakukan hal ini, yaitu membuat canang. Bu Cening memilih membantu suaminya untuk menghidupi kehidupan dengan cara menjadi penyedia canang, banyak pedagang kecil datang ke rumahnya untuk mengambil canang dan dijual kembali. Tangannya lihai, memotong, menyusun, dan menghias canang dengan cantik. Canang digunakan untuk alat sembahyang setiap penganut Hindu sehingga selalu ada permintaan setiap hari. seharusnya seluruh perempuan Bali terutama penganut Hindu harus bisa membuat canang sendiri karena merupakan kebutuhan harian untuk sembahyang, namun karena kesibukan lain biasanya mereka memilih membeli saja agar dapat melakukan pekerjaan lain,. Pekerjaan membuat canang  ini dilakukan Bu Cening dengan senang hati. Seringkali dia dibantu oleh menantunya ketika pesanan sedang banyak, terutama di waktu tilem atau pertengahan bulan kalender Bali. Kadang juga dihibur oleh kedua cucu perempuannya yang lucu, walaupun seringkali justru menghambat pekerjaan tapi dia terlihat senang.
Inilah saatnya istirahat di pertengahan siang. Hal ini bagus untuk menjaga kestabilan daya tahan tubuh setelah pekerjaan yang berat sejak matahari belum terbit. Dia mengajak cucu pertamanya tidur siang bersama. Setelah itu bangun dan menyuapinya. Dia megasuh cucu pertamanya yang bernama Astrini setiap hari karena ditinggal kerja oleh ibunya pada pukul 9 pagi hingga 5 sore. Usianya dibawah 5 tahun dan sedang banyak bergerak membuat neneknya harus mengawasinya extra agar tetap selamat dan senang.
Baginya laut adalah sumber kehidupan, karena bisa membuat suami dan anak-anaknya mendapatkan penghasilan dari sana. Walaupun suaminya saat ini jarang melaut karena sudah memiliki pekerjaan lain, namun slogan itu masih tetap sama, karena pekerjaan lain suaminya itu juga banyak berhubungan dengan laut.

Minggu, 24 Februari 2019

Sampah di Desa Les, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali

 Dese Les to salah satu Dese di Kecamatan Tejakule, Kabupaten Buleleng, Bali. Jumlah penduduk  ane ade di Les to 3.984 (telung tali sangatus kutus dase pat) lanang lan 3.806 (telung tali domas nem) istri. Luas wilayah dese niki sekitar 769 (pitungatus nem dase sie) hektar, ane ngelah bentuk len. Care gunung lan pasih.dese niki ngelah 9 (sie) banjar, sekadi Butiyang, Kanginan, Panjingan, Tegallinggah, Selonding, Kawanan, Lempedu, Tubuh, Penyumbahan.
Sebilang wai ade peken tradisional di pusat dese. Liu jeleme di peken sane ngadol lan numbas bahan masak. Liu be uli pasih lan sayur uli dese len. Tapi liu wah-wahan hasil uling dese les sekadi, buluan, poh, juuk, gedang, manggis, buah naga, miwah sane lianan. Semengan meme luas ke peken apang manang be lan sayur ane luung. Dagange sampun nyiapang pis cenik(uang receh) anggen nyusuk lan plastik anggen wadah peblanjaan.
Sebilang hujan luu ne uli kaje anyud ke pasih ane ngaenang luune metumpuk di sisin pasihe lan ngusak pemandangan. Padahal luu lan plastik nike sing luung untuk kesehatan irage. Yening toya  sane keanggen mengandung bahan kimia uling sampah plastike nike, Irage bakal kene wabah penyakit. Ape buin irage demen naar be. Yening plastike nike sampe ke pasih lan mekelo-mekelo ade di tengah pasihe nike dados keadanin mikroplastik lan be sane wenten di tengah pasihe sube pasti ngamah mikroplastike nike. Berarti be ne mengandung plastik dong? Yening be ne sane irage ajeng mengandung plastik,berarti irage masi ngajeng plastik.
Alit”e demen gati ngajeng jaje, ngajengne jaen ngutang luu masi jaen dalam artian ngutang luu sembarangan. seharusne irage nyimpen luu ne nike sampe irage nepuk wadah luu. Men yen tempat sampahe nike sube bek, napi sane patut irage lakukan? antos sampai petugas Tempat Pengolahan Sampah Terpadu(TPST) Desa Les nuduk nggih. De jejeh, petugase nike lakar nyemak 2 minggu cepok untuk daur ulang. Tapi tulungin petugase milah luun irage di umahe nggih. Lenang wadah luu plastik keras care botol wadah sampo ,botol wadah minuman, botol wadah oli, miwah sane lianan. lan wadah luu plastik lembut care plastik jaje lan plastik wadah rinso apang pengolahan sampahe nike lebih efektif.
(wawancara dengan petugas TPST)
Nyen adanne?
Dije umahe?
Uli pidan megae dini?
Ape ane gaene dini? (mengelola,pengambilan dari rumah-rumah pemilahan)
Ngude dadi ade TPST sampe jani?
Kude liun sampahe sane mekumpul setiap pengambilan?
Seberapa berat megae pengelola sampah?
Ngude nyak tetep megae dini?

Ape harapan irage untuk warga Dese LES terhadap sampah?
Daur ulang nike cara terakhir ane ngidaang irage jalanin. Tapi daripada daur ulang, adean irage ngurangin penggunaan ne. meme meme ane demen mebelanje di peken dadi ngabe tas uli jumah anggon wadah pebelanjan. Setondene mejalan ke peken , kenoang malu ape ane lakar irage beli di peken. Amen irage lakar meli be, tahu/ bahan basah ane lenan, abe wadah ane metekep. Care wadah nasi/rantang ane irage  gelahang di jumah.
Yening irage ngelah panak masuk, bise  masi mekelin cerik cerike nasi anggone ngajeng tengaine nganggon kotak makan apang cerik cerike tusing meli jaje sembarangan ane nganggon plastik  di subane istirahat. Lenan ken to, nelayane ane melaut dadi masi ngabe bekel nasi/jaje tanpa plastik sekali pakai.
Yening lingkungane bersih, irage masi demen, luung tingalin, lan sube pasti lebih sehat . karna sube pasti irage tetep merluang ajengan ane sehat uli hewan hewan ane ade di pasih lan yeh sane bersih uli gunung.  Irage sing ngidaang ngelaksanayang pedidian, irage mesti bergerak ajak mekejang lan saling ngingetang satu sama lain.

Ampure yening wenten salah kata. Kirang langkung tityang ngaturang suksme.



Desa Les merupakan salah satu desa di Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali. Jumlah orang yang ada di desa ini adalah 3.984 laki-laki dan 3.806 perempuan. Luas wilayah desa ini adalah 769 Hektar yang memiliki karakter berbeda seperti dataran tinggi hingga laut. Desa ini terbagi menjadi 9 banjar dinas, yaitu Butiyang, Kanginan, Panjingan, Tegallinggah, Selonding, Kawanan, Lempedu, Tubuh, Penyumbahan.
Setiap hari ada pasar tradisional di pusat desa. Banyak orang di pasar, menjual dan membeli bahan masakan. Banyak ikan dari laut dan sayur dari desa lain. Tapi banyak buah-buahan hasil desa sendiri seperti rambutan, manga, jeruk, papaya, manggis, buah naga, dan lain-lain. Ibu-ibu pergi ke pasar pagi-pagi sekali biar mendapatkan bahan masakan yang segar. Pedagang siap dengan uang kecil untuk kembalian dan plasik untuk membungkus belanjaan.
Air hujan membawa sampah dari dataran yang lebih tinggi hingga ke pantai dan masuk ke laut. Ombak besar membawa sampah kembali lagi ke pantai. Sehingga banyak sampah menumpuk di pantai dan merusak pemandangan. Padahal sampah, apalagi plastik sangat tidak bagus untuk kesehatan. Kalau air yang kita gunakan mengandung bahan kimia dari plastik maka kita akan sakit. Apalagi kita suka makan ikan. Kalau plastik sampai ke laut dan lama ada di laut lalu rapuh dan menjadi mikroplastik maka akan dimakan ikan. Berarti ikannya juga mengandung plastik dong? Kalau ikannya kita makan, kita artinya makan plastik juga?
Anak-anak suka sekali dengan makanan ringan. Makannya enak, buang sampahnya juga enak, artinya sembarangan dimana saja. Harusnya simpan dulu sampahnya sampai menemukan tempat sampah, setelah itu baru dibuang di tempat sampah. Tapi setelah tempat sampah penuh, apa yang harus dilakukan? Tunggu sampai petugas Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Desa Les mengambilnya ya. Jangan khawatir, mereka akan mengambilnya 2 pekan sekali untuk didaur ulang. Tapi bantu petugas dengan cara memilah sampah di rumah kalian, yaitu plastik lembut seperti pembungkus jajanan dan plastik keras seperti botol sampo, botol minuman, botol oli, dan lain lain . Agar pengolahan sampah lebih efektif.
(wawancara dengan petugas TPST)
Siapa nama anda?
Dimana rumahnya?
Sejak kapan kerja di sini?
Apa yang dilakukan di sini?  (mengelola, pengambilan dari rumah-rumah, pemilahan)
Bagaimana bisa ada TPST ini sampai sekarang?
Berapa banyak sampah yang terkumpul setiap pengambilannya?
Seberapa berat pekerjaan mengelola sampah?
Mengapa mau tetap bekerja di sini?

Harapan apa kepada warga Desa Les terhadap sampah?
Tapi daur ulang hanyalah jalan terakhir yang bisa kita lakukan. Tapi daripada daur ulang lebih baik kita mengurangi penggunaannya. Ibu-ibu yang suka belanja di pasar bisa membawa tas dari rumah untuk mewadahi belanjaannya. Sebelum berangkat ke pasar, rencanakan dulu apa yang akan dibeli, kalau mau belanja ikan/ daging/ tahu atau bahan basahh yang lain maka bawalah wadah tertutup, misalnya seperti kotak makan yang ibu-ibu miliki di rumah.
Ibu-ibu yang punya anak sekolah bisa juga membekali anaknya dengan makanan untuk makan siang dengan kotak makan agar anaknya tidak perlu membeli jajan untuk mengisi perutnya ketika istirahat. Selain itu para nelayan yang melaut juga bisa membawa bekal makanan yang tanpa plastik sekali pakai.
Kalau lingkungan bersih kita juga nyaman, enak dipandang, dan pastinya akan lebih sehat. Karena pasti kita tetap membutuhkan makanan yang sehat dari hewan-hewan yang ada di laut, juga air bersih dari gunung. Kita tidak bisa melakukannya sendiri, tapi harus bergerak bersama dan saling mengingatka satu sama lain.



Les village is one of the villages in Tejakula District, Buleleng Regency, Bali. The number of people in this village is 3,984 men and 3,806 women. The area of ​​this village is 769 hectares which have different characters such as highlands to the sea. This village is divided into 9 official area (banjar), namely Butiyang, Kanginan, Panjingan, Tegallinggah, Selonding, Kawanan, Lempedu, Tubuh,Penyumbahan. 
Every day there is a traditional market in the center of the village. Many people on the market, sell and buy many things. Lots of fish from the sea and vegetables from other villages. But there are many fruits from the village itself such as rambutan, manga, oranges, papaya, mangosteen, dragon fruit, and others. Womens go to the market early in the morning to get fresh food materials. Sellers are ready with small change and change to wrap groceries.
Rainwater carries trash from higher ground to the beach and into the sea. Big waves bring garbage back to the beach again. So a lot of garbage stop up on the beach and damages the scenery. Even though garbage, especially plastic is not good for health. If the water we use contains chemicals from plastic, we will get sick. Moreover, we like to eat fish. If the plastic reaches the sea and is long in the sea, it is fragile and becomes microplastic, it will be eaten by fish. Means the fish also contains plastic? If we eat fish, we mean eating plastic too?
Children love to eat snacks. They can get them easy, throwing away the trash is also easy, which means it is careless everywhere. Better war is you should first save the trash until you find a trash can, after that it is just thrown in the trash. But after the bin is full, what should be done? Just wait until the village officials from the Tempat Pengelolaan Sampah TErpadu (TPST) which Integrated Waste Management Site take it. Don't worry, they will take it 2 weeks for recycling. But help the officer by sorting the garbage in your house, namely soft plastic like snack wrappers and hard plastic such as shampoo bottles, drink bottles, oil bottles, and others. So that waste processing is more effective.
(interview with TPST officer)
What is your name?
Where is the house?
When do you start this work here?
What is done here? (example answer: managing, taking from houses, sorting)
How can there be TPST until now?
How much garbage has been collected each time?
How heavy is the job of managing waste?
Why do you want to keep working here?
What hope for residents of Les Village for garbage?

But recycling is only the last resort we can do. Rather than recycling we better reduce its use. Women who like to shop on the market can carry bags from home to accommodate their groceries. Before leaving to the market, first plan what you want to buy, if you want to shop for fish / meat / tofu or other wet ingredients, bring a closed container, such as a lunch box that you have at home. 
Women who has school children can also provide your children with food for lunch with a lunch box so that their children do not need to buy snacks to fill their stomachs during breaks. In addition, fishermen who go out to sea can also bring food supplies without single use plastic.
Clean environment is make us comfortable, beautiful view, and certainly will be healthier. Because surely we still need healthy food from animals in the sea, also clean water from the mountains. We cannot do it alone, but we must move together and remember each other.

Sabtu, 19 Januari 2019

Minyak Kelapa di Bali


Bali memang selalu mempesona di mata saya. Keindahan alamnya, keramahan penghuninya, kemewahan kotanya, dan kelezatan makanannya. Walaupun beberapa hal yang terjadi di Bali seringkali membuat saya sedih. Daya tarik Pulau Dewata yang sangat kuat akhirnya mampu membuat saya kembali ke sini. Kali ini saya tinggal di Desa Les. Sebuah desa yang mulai dilirik oleh wisatawan asing karena keberhasilannya dalam kegiatan penyelamatan terumbu karang. Selain itu, hal yang membuat saya tertarik dengan Desa Les adalah keberadaan produk lokal yang mulai berkurang karena perubahan gaya hidup yang serba bisa membeli produk kebutuhan. Aktivitas produksi dari hasil bumi mulai berkurang, karena lebih praktis membeli daripada membuatnya.
Hari pertama pada tanggal 3 Januari saya memulai kegiatan dengan berjalan keliling desa. Saya melihat banyak jajaran pohon kelapa di sepanjang pantai desa ini. Beberapa kali juga dikagetkan dengan kelapa yang jatuh ke tanah, setelah dilihat ternyata banyak juga kelapa yang ada di tanah tidak dimanfaatkan. Saya menemui salah seorang ibu yang sedang menganyam daun kelapa yang kemudian saya tahu itu adalah canang sari untuk keperluan ibadah penganut hindu. Beberapa hari kemudian saya bertemu dengan Pak Komang Wi, dia kerja di sebuah villa di Pantai Penyumbahan, Desa Les. Setelah bercerita mengenai perjalanan saya ke sini dan mengenai pohon kelapa, dia mengungkapkan bahwa mertuanya dulu adalah pembuat minyak kelapa. Akhirnya saya memutuskan untuk mengunjungi rumahnya karena ingin melihat proses pembuatan dengan resep yang sudah diturunkan kepada isteri Pak Komang Wi.
Indonesia memiliki tanah yang bagus untuk pertumbuhan pohon kelapa, terutama di daratan rendah misalnya daerah pesisir. Salah satu daerah pesisir yang indah dan lestari sebagai penghasil kelapa adalah Desa Les, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali. Kebanyakan warga Desa Les bekerja sebagai nelayan. Selain itu mereka juga memiliki lahan pertanian yang dimafaatkan ketika cuaca sedang buruk sehingga tidak bisa melaut. Tanaman yang biasanya dimanfaatkan adalah jagung, umbi-umbian, dan kelapa. Saat ini sudah jarang ditemukan nelayan yang sekaligus menjadi petani jagung maupun umbi-umbian, namun pohon kelapa masih tetap banyak. Kelapa seringkali tidak dimanfaatkan, buahnya berjatuhan ketika sudah tua.
Seluruh bagian pada pohon kelapa dapat dimanfaatkan. Warga Desa Les lebih banyak memanfaatkan daunnya untuk membuat canang sari sebagai wadah sajen dalam peribadahan. Sesekali mereka menggunakannya sebagai pelengkap jaje Bali (berbagai jenis makanan ringan khas Bali). Kali ini Desa Les sedang berupaya mengembangkan minyak kelapa untuk bahan masakan dan bahan kecantikan.
Warga Desa Les sebenarnya memiliki potensi menjadi penghasil olahan kelapa, misalnya minyak kelapa karena banyak orangtua yang dulu sering membuat minyak kelapa untuk dikonsumsi sendiri. Bahkan kebanyakan pembuat minyak kelapa memiliki resep khusus untuk menghasilkan minyak kelapa yang berkualitas. Sehingga minyak kelapa yang dihasilkan oleh warga Desa Les lebih bening, tahan lama, dan aromanya wangi bersahabat.  
Minyak Kelapa buatan keluarga Komang Wi
Minyak kelapa adalah minyak yang berasal dari buah kelapa dengan proses pemasakan/ pemanasan. Minyak kelapa mengandung lemak jenuh dan asam laurat tinggi. Lemak jenuh yang terkandung berjenis Medium Chain Triglycerides (MCT) yang digunakan secara langsug oleh hati sebagai energy. Asam laurat memiliki khasiat yang sama dengan air susu ibu (ASI) yaitu sebagai antivirus, antibakteri dan antiprotozoal. Di dalam tubuh asam laurat akan merubah bentuk menjadi monolauin agar lebih berfungsi dalam menjaga kesehatan manusia. Selain itu minyak kelapa juga dapat menurunkan kadar kolesterol dalam tubun, meembantu menurunkan berat badan, melembabkan kulit, menjauhkan kutu rambut, dan mengatur kadar gula darah.

Pembuatan Minyak Kelapa

Kelapa 20 butir (harga 3rb per butir dan biaya parut 15 rb)
Ditambahkan air 2-3 liter
Diremas agar keluar santan
Ambil santannya, pisahkan dengan ampas
Rebus santan dengan api besar hingga mendidih
Tambahkan lagi air agar terlihat pemisahan minyaknya
Tunggu hingga mendidih lagi, sesekali diaduk
Matikan api jika sudah mendidih
Diamkan hingga dingin
Pisahkan minyak dengan ampas kentalnya
Menghasilka 1,5 liter dengan waktu kurang lebih 2 jam.
Kandungan minyak setiap kelapa berbeda
Bahan tambahan (resep rahasia)

Untuk tau bagaimana proses pembuatannya, silahkan klik link di bawah ini. Kali ini saya bocorkan resep rahasianya loh.