Selasa, 06 Desember 2016

Anak Kucing Menggemaskan

Zoro dan Nami (Namiatul) itu nama kedua kucing kami (aku dan pacarku). Awalnya ngga terbayang bisa ngurus anak-anak kucing ini, wong ngurus diri sendiri aja masih belum beres (suka lupa makan, lupa mandi, sering juga lupa tidur, kalau udah tidur malah lupa bangun). Kami mengadpsi Nami terlebih dahulu pada akhir Oktober 2016 ketika dia berusia 3 bulan. Dialah si kucing betina berwarna hitam hasil kehilafan Jawa Persia milik tetangga kamar kosan. Jadi wajahnya agak bulat dan ekornya panjang, namun rambutnya pedek. Nami sosok anak kucing yang sehat, enerjik, suka banget main lari-larian itulah kenapa dia kami adopsi.

Malam itu saatnya Nami pidah rumah, namun dia berubah karakter, hanya diam, mainan yang aku berikan tidak dicolek sedikitpun sama dia, sepertinya semalaman dia ngga makan, ngga minum, dan ngga buang air kecil maupun besar. Kasihan sih, tapi kata si pemilik (seorang dokter hewan) “Kucing memang begitu, masih perlu adaptasi. Tapi ngga lama kok soalnya dia masih kecil jadi mudah beradaptasi”. Benar saja malam kedua dia mulai tertarik dengan mainan yang kami berikan, tangannya sedikit-sedikit meraih mainan, tapi masih malu-malu kucing. Malam kedua itupun dia mau makan dan minum, dan buang air besar. OH MY GOD rasanya ngeliatin kucing yang lagi berak itu kaya ludah mu ngga mau tertelah, hanya tertahan di tenggorokan. Belum lagi kepikiran besok harus ngebersihin itu semua. Beberapa hari aku mencoba membiasakan diri, tiap pagi buang eek kucing yag ada di pasir, walaupun harus pakai masker agar baunya ngga menusuk tetep aja masih berasa. Tidak lupa aku harus memberikan dia makanan dan air minum di tempat makannya.
Sekiranya semingguan setelah Nami, tepat pada tanggal 4 November 2016 kami kembali mengadopsi anak kucing jantan yang berusia 4,5 bulan. Dia kami beri nama Zoro, si kucing anggora murni yang warnanya kuning kombinasi putih. Ekornya panjang, pokoknya rambutnya enak banget buat dielus-elus. Inilah malam yang penuh tantangan bagi kami dan Nami. Nami yang seolah-olah tidak terima kalau ada penghuni baru di teritorinya selalu mengeram sambil memasang wajah seram pada Zoro. Sayangnya Zoro terlihat seperti kucing jantan yang tidak terbawa emosi, dia hanya diam dan sepertinya berfikir “Ini kucing ngapain sih, cewek kok marah-marah gitu”. Tingkah Nami memang ngeselin banget tak ada hentinya hingga 3 hari penuh. Walaupun dia tidak berani main tangan, seolah-olah hanya menakut-nakuti saja.

Kamis, 25 Agustus 2016

Ciliwung River

Water is the source of life for all living things. So, I often discuss about water. Especially in Bogor is the Ciliwung River. The river was tipped in Mount Pangrango, West Java. The river flows through the Peak, Ciawi, then turned north through Bogor, Depok, Jakarta and empties into the Bay of Jakarta. Many of the problems that exist in the Ciliwung river, the main problem is the garbage. In fact, most rivers in Indonesia are used as landfill. River is used to the back of the house. So the it is not guarded and look dirty. Trash make the river flow is blocked, so that when the rains come flooding will occur mainly in the upstream area. When the dry season the river will be very dry, there are only scattered rubbish and cause odor. River conditions as it affects the health of residents, especially those living near the river.

Until now I’m with the Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) as care Ciliwung River Comunity always do assessment solve the problem. The activity is the discussion relaxed and filling in important events such as competitions in Bogor garbage scavengers Ciliwung river in commemorating the birthday of the city of Bogor. Every Saturday morning we do a garbage scavengers to clean up, take the trash out of the river and separates organic and inorganic. The ultimate goal is for the community to see firsthand how we cite good things, so they will realize themselves not to throw randomly garbage into the river.
I'm with Komunitas Pecinta Ciliwung (KPC) as care Ciliwung River Comunity campaign to clean up garbage in the river Ciliwung. We share knowledge about the potential of the river. Such as animals and plants there and the benefits for us all. We perform together with volunteers who are mostly youths.
For those of you who wish to join with us to preserve the Ciliwung River, let's please contact us at @tjiliwoeng twitter. Ciliwung clean, all prosperous!

Selasa, 16 Agustus 2016

Pembuatan Nugget Tahu di Desa Tambakbaya

Tak seperti biasanya, kali ini pukul 7 pagi kami sudah antre mandi. Rumah yang kami tempati hanya memiliki satu kamar mandi. Secepat-cepatnya mandi, pastilah Sonia yang selalu mengawali. Hal ini terjadi karena semalam kami telah menyusun agenda untuk hari ini. Kami berbagi tugas, namun ada tugas besar bersama yang harus kami lakukan bersama. Yaitu pelatihan pembuatan nugget tahu di Kampung Cilame RW 4 Desa Tambakbaya dengan ibu-ibu yang tak memiliki waktu luang.
Menjelang siang setelah tugas yang dibagikan selesai, saatnya kami bersama menuju Kampung Cilame. Ada sedikit kekhawatiran yang membuat kami sedikit gelisah jika kegiatan ini sepi. Kami menghitung langkah sembari berbincang selama perjalanan di jalan yang menanjak. Aku merasa senang ketika mendapat senyum sapaan warga yang bertemu untuk mendahului ataupun berpapasan. Beberapa aktivitas terlihat dari mereka. Ada anak-anak kecil sedang berjalan dengan tangan yang membawa jerigen air. Kampung Cilame memang terkenal dengan tempat yang susah mendapatkan air. Mereka harus mengangkutnya dari bawah. Warga yang tidak memiliki pompa air harus rela mengangkutnya ember demi ember ke rumahnya. Ada juga bapak-bapak yang turun terlihat seperti baru pulang dari ladang, karena dia membawa cangkul dan memakai sepatu boot serta pakaiannya yang kotor. Ada juga gerombolan remaja berseragam yang berjalan menanjak sambil bergurau dengan temannya, mereka baru pulang sekolah.
Kami disambut hangat oleh warga Kampung Cilame. Rumah Bu Mumah dipilih untuk melakukan pelatihan ini, karena dirasa tempatnya yang strategis, dekat dengan warga lain, dapur dan alat-alat yang memadai. Karena kami hanya bisa menyediakan bahan untuk nugget tahu saja, kami butuh pinjaman alat. Kami ikut mempersiapkan alat yang dibutuhkan, beberapa alat dikeluarkan dari lemari khusus bagi barang-barang yang sepertinya jarang dipakai. Sembari menunggu pukul 2 siang (undangan untuk para ibu), kami berbincang sedikit dengan pemilik rumah. Bu Mumah yang ramah memberikan kami makanan ringan yang sebagian besar dibuatnya sendiri.
Belum juga sampai pada waktu yang kami sepakati bersama, sebagian warga sudah hadir dengan perasaan tak sabar yang terlihat dari raut wajahnya. Beberapa menit selanjutnya dapur Bu Mumah penuh, hingga ada beberapa orang yang harus rela mengikuti pelatihan dari luar. Seeekali ada ibu yang melongokan kepalanya dari pintu. Terdengar bisikan ibu-ibu yang berada di luar “Naon tah resepna? (Apa tuh resepnya?)”, serta pertanyaan lain yang tidak ku mengerti artinya dikarenakan mereka berbicara dengan bahasa sunda.
Anak-anak lebih narsis, ibu-ibu sembunyi di belakang layar
Dengan lantang Baskoro yang kelahiran Medan dan Ninis asal Bekasi menjelaskan langkah-langkah membuat kreasi makanan bergizi itu. Beberapa ibu ikut membantu mengaduk adonan bahkan hingga menggoreng. Ternyata kekhawatiran yang tadi kami rasakan tidak berlaku. Ternyata mereka begitu antusias mengikuti kegiatan ini, banyak pertanyaan yang muncul dari mereka. Sebisa mungkin kami jawab dengan senang hati.
Anak-anak menunggu di dekat penggorengan dengan harapan lebih cepat mendapatkan nuggetnya. Hanya butuh satu sampai dua jam saja nugget tahu selesai digoreng dan membuat mereka saling berebut. Tapi kami punya cara untuk menenangkan dengan mengajak mereka berbaris di depan rumah sekaligus untuk berfoto bersama sambil memegang nugget bersama. Senang bukan main ketika bisa berbagi ilmu dan pengalaman walau tak banyak. Intinya senyum mereka adalah senyum kami juga. Selain berkreasi dalam membuat makanan, ada juga pesan yang terselip dalam kegiatan ini, yaitu menghimbau ibu-ibu untuk membuat makanan sehat sendiri untuk anak, karena makanan ringan yang dijual bebas belum tentu terjamin kesehatannya. Anak Indonesia harus kreatif dan sehat. 
Selain di Kampung Cilame RW 4 Desa Tambakbaya, pelatihan pembuatan nugget tahu juga akan dilaksanakan di setiap RW dengan harapan pengetahuan yang kami bagikan dapat tersebar menyeluruh ke semua warga.
Twitter: @viedela_ve
IG: ViedelaAK
WA: 085742283163

Sabtu, 13 Agustus 2016

Berladang di Tambakbaya

Pagi-pagi sekali aku bangun untuk menjalankan ritual wajib kepada Tuhan. Udara masih terasa dingin dan lembab. Aku bertahan agar tidak tenggelam dalam selimut tipis lagi, apalagi untuk lelap. Kemarin sore aku dan Sonia sudah janjian dengan Bu Makiyah pembuat kue dari Kampung Cilame Desa Tambakbaya untuk pergi ke ladang miliknya. “Banyak tanaman neng, nanti kita ke sana lihat-lihat sambil panen jika ada yang bisa dipanen”, ucapnya kemarin sore. Aku dan Sonia menembus pagi yang dingin menuju rumah Bu Makiyah. Banyak hal yang sudah kami rencanakan, salah satunya adalah liwetan (membuat nasi liwet) untuk bekal ke ladang. Sesampainya di rumah Bu Makiyah ternyata liwet sudah masak. Kami tinggal berangkat saja. “Jangan lupa pakai topinya neng, di lading nanti panas”, ucapnya sembari menutup pintu rumah. Sebelum berangkat kami menjemput Bu Mu’ah dan Bu Makiyah. Mereka bertiga adalah kakak adik, tapi tak ada yang mirip satupun wajah mereka.
petik buncis
Kami berjalan menuju belakang kampung, melewati kebun bambu yang luas dan teduh. Aku keheranan dengan bambu yang sebanyak ini tidak ada warga yang memanfaatkan untuk menjadi produk yang lebih bernilai. Mereka hanya menggunakannya jika diperlukan dan menjualnya jika ada yang mau beli. Setelah aku tanyakan ke beberapa orang ternyata mereka sebenarnya mau, tapi bingung siapa yang akan beli setiap produk yang dihasilkan secara terus menerus? Paling ujung-ujungnya dipakai sendiri. Tak terasa hanya kurang lebih 10 menit kami berjalan kaki hingga sampai di ladangnya.
menu makan siang di ladang
Aku tak kaget kalau ternyata ladang milik Bu Makiyah ditanami banyak tanaman. Dia sudah memberi tahu kami sebelumnya. Sampai di sana kami langsung panen buncis yang katanya sudah 4 hari tidak dipanen. Biasanya dia memanen buncis setiap 2 hari sekali selama dua bulan. Kalau untuk perawatannya sehingga buncis tumbuh, Bu Makiyah kurang ingat karena dia hanya melihat kondisi tanaman saja dia tahu kapan harus dipupuk, kapan harus dibersihkan dari tanaman lain, dan kapan bisa dipanen. Buncis yang dipanen hanya yang muda saja, agar segar untuk dimasak. Buncis yang sudah tua akan terlihat permukaannya menonjolkan biji serta teksturnya lebih keras. Aku dan Sonia belum terbiasa membedakan antara yang tua dan muda, jadi maklum saja kami memanen buncisnya lama. Ibu Makiyah tak menggunakan  bahan-bahan kimia anorganik yang berbahaya untuk semua tanamannya, sehingga bisa dikatakan organik sehingga aku sangat menikmati saat itu dengan sesekali nyemil buncis muda, rasanya manis dan segar. Untung saja tak banyak yang harus kami panen. Tak selesai di situ, kami harus melanjutkan untuk memanen singkong dan ubi.

hasil panen singkong
Selesai di buncis, kami pindah ke petakan lahan sebelah untuk memanen singkong. Hanya beberapa batang, kami dapat menghasilkan sekarung singkong. Sebenarnya masih banyak yang sudah siap panen, tapi Bu Makiyah hanya mengambil seperlunya saja untuk diolah menjadi berbagai jenis makanan. Panen singkong bukanlah hal yang mudah, harus rela berkotor-kotor untuk mengeruk dulu tanah disekitar akar singkong agar mudah dicabut. Karena cara mencabut singkong yang sembarangan bisa membuat singkongnya patah, jadi harus kerja dua kali untuk mengambil kembali singkong tersebut. Aku menyebutnya ‘mencari harta karun’. Pencarian harta karun juga berlaku dalam panen ubi.
hama tanaman ubi

Ada bermacam-macam ubi yang dia tanam seperti ubi putih, ubi kuning, ubi ungu, ada juga ubi yang merupakan hasil pengawinan tanaman dan menghasilkan kulit putih dengan daging ungu atau sebaliknya. Sayang sekali ubi yang dia tanam terserang hama sehingga hasilnya yang kurang maksimal. Hal itu terjadi karena Bu Makiyah memang tidak menggunakan obat untuk membasmi hama tersebut. Beliau hanya ingin menggunakan bahan-bahan organik saja untuk membasmi hama, tapi belum menemukan ramuannya.
hasil panen ubi ungu
Kami selesai panen ketika matahari mulai berada tepat di atas kepala. Kami memilih untuk istirahat. Jarik yang ketiga kakak adik bawa tersebut dibentangkan untuk dijadikan alas duduk. Makanan yang kami bawa juga dibuka. Kang Agus anak tertua Bu Makiyah memotong daun pisang untuk alas makan alias piring. Wah gaya hidup sehat nih, penggunaan alat makan yang mudah diperbaharui. Terlintas dalam benakku betapa indahnya dunia jika tak ada sampah plastik yang berserakan yang mengganggu pemandangan dan kesehatan ketika manusia menggunakan plastik seperlunya saja. Kebersamaan makan siang bersama di ladang saat itu mengingatkanku pada masa kecil. Aku sering ikut bibiku ke sawah hanya karena ingin main lumpur dan makan siang di sana, karena aku sendiri tak punya sawah. Muncul juga pertanyaan suatu hari nanti siapa yang akan menanam? Karena manusia butuh makanan. Semua makanan berasal dari petani.
makan dengan menu sehat

"Jangan lupa makan sayur, anak Indonesia suka makan sayur. Anak Indonesia suka menanam."

Twitter: @viedela_ve
IG; ViedelaAK
WA: 085742283163

Selasa, 09 Agustus 2016

Desa Tambakbaya Garut dalam Kuliah Kerja Nyata - Tematik (KKN-T) IPB 2016

Telepon genggam tak pernah lepas dari genggaman kami, dari mata terbuka hingga terpejam lagi. Seharian kami membaca apapun yang dapat ditampilkan di layar telepon masing-masing. Mulai berita aktual, gosip panas, serta status-status teman yang kadang kurang penting. Hal itu lebih baik daripada kami tak melakukan apapun. Kami berenam yaitu aku, Sonia, Ninis, Anita, Baskoro, dan Jefry tergabung dalam kelompok Kuliah Kerja Nyata - Tematik (KKN-T) yang ditempatkan di Desa Tambakbaya, Kecamatan Cisurupan, Garut. Lokasinya tak terlalu jauh dari kampus kami di IPB Dramaga dibanding teman lain yang ditempatkan di luar Pulau Jawa. Ternyata jarak yang tak jauh itu masih tetap saja menjadi alasan untuk kita mengeluh. Udara, kondisi alam, dan kondisi sosial yang berbeda dari tempat tinggal menjadi topik utama keluhan bagi beberapa orang yang belum siap atau belum terbiasa melakukan hal ini. Akupun masih mencoba menikmati keadaan dimanapun berada. Kalau bias dibuat enak dengan hal yang baik, kenapa harus berbuat yang tidak penting (mengeluh) yang tak ada gunanya?
Desa kami tak terlalu jauh dari jalan utama. Akses untuk ke kantor kecamatan sangat mudah, hanya sekali naik angkot dengan biaya dua ribu rupiah. Suhu udara yang dingin dapat dimaklumi karena desa ini terletak di kaki gunung. Gunung CIkuray, Gunung Papandayan, dan Gunung Guntur terlihat jelas dari sini, bahkan dari rumah tinggal kami. Setiap pagi, aku selalu menikmati pemandangan Gunung Cikuray nan gagah dari jendela kamar mandi yang terbuat dari jaring-jaring. Sinar mentari mengintip di sela pepohonan menyapaku setiap pagi. Itulah yang membuatku rajin bangun pagi dan menguatkanku untuk membasuh air ke tubuh yang selalu kedinginan dengan suhu 13-15 derajat celcius. Sesekali puncak itu meneriakkan sesuatu padaku “Sini lah, bukankah kau tak merindukan memandang seluruh Garut dari puncaku ini?” yang menimbulkan perasaan ingin mendaki gunung itu lagi, tapi KKN-T ini harus kami selesaikan dulu.
Gunung Cikuray
Tak boleh dilewatkan agenda yang disusun tiap malam untuk esok hari. Pembagian tugas menjadi solusi ketika harus menyelesaikan agenda dalam satu waktu. Aku sendiri lebih suka berurusan dengan warga, berkeliling yang intelek biasa sebut ‘observasi’. Banyak juga hal-hal menarik diantara mereka, kegiatan sehari-hari, masalah yang dihadapi, dan paling penting adalah potensi alam maupun usaha yang dapat dikembangkan. Mendatangi ibu-ibu yang sedang bergerombol di teras rumah pada sore hari menjadi peluang besar untuk menjaring informasi. Bawalah bungkusan permen saja, tak perlu yang mahal, mereka mudah sekali menerima orang baru dan berbincang mengenai apa saja yang aku tanyakan.

Minggu, 05 Juni 2016

Selamat Datang (lagi) Ramadhan - 1437 H

Segelas es teh dengan gelas berkeringat menemaniku pagi ini. menghilangkan dahaga selepas mencuci pakaian yang hampir penuh dua ember itu. Tiap tegukan kurasakan manis menyegarkan, seperti air surga rasanya. Sekarang sudah tanggal 30 Sya’ban 1437 H, artinya besok memasuki bulan Ramadhan. Yeay, bulan yang selalu ditunggu umat muslim. Di bulan penuh rahmat itulah amat banyak penghapusan dosa dengan mudah.
Kali ini ijinkan aku mengingat masa laluku pada bulan-bulan Ramadhan sebelumnya. Aku diajarkan puasa oleh Bundaku ketika usiaku memasuki tahun ke-4. Namanya juga anak-anak, belajar berpuasa mulai dari setangah hari dulu, baru kemudian bisa sampai Maghrib. Justru saat itu aku merasa puasaku lebih mulia, halangan puasaku hanyalah lapar dan haus. Tak seperti sekarang sudah memasuki dewasa, halangan puasanya adalah nafsu yang lain, emosi yang susah dikontrol, apalagi kalau udah ngumpul sama temen-temen bawaannya kurang kalau tidak ngegosip. Kembali lahi ke masa kecilku, saat usiaku memasuki 5 tahun puasaku mulai penuh karena aku sudah mengenal sebuah hadiah berupa baju lebaran. Semakin banyak puasa semakin banyak pula baju lebaran yang dibelikan untukku.
Usiaku menginjak 6 tahun, aku sudah masuk SD. Setiap Ramadhan pihak sekolah memberikan buku saku khusus Ramadahan untuk mencatat amal yang kita perbuat seperti shalat, baca al-qur’an, dan mengunjungi/mendengarkan pengajian. Sekarang baru aku mikir, kenapa kita harus repot mencatat sendiri padahal malaikat sudah ditugasli oleh Allah untuk mencatat apapun yang kita lakukan. Ternyata buku saku yang diberikan bu guru sengaja untuk membuat kita lebih rajin dan termotivasi, karena biasanya anak-anak selalu ingin berlomba dalam hal kebaikan. Melihat temannya sudah mengaji sampai surat tertentu, pasti kita ingin segera menyusulnya. Tak seperti sekarang yang lebih sering malu kalau terlihat melakukan kebaikan oleh orang lain.
Saat belum baligh, aku selalu bersemangat untuk mengikuti setiap tarawih. Walaupun kadang milih-milih, kalau imamnya terkenal lama dalam membaca doa maka lebih baik pindah ke masjid/mushola lain yang kira-kira lebih cepat selesai. Tak jarang membawa jajanan untuk camilan kalau bosen mendengarkan ceramah di sela  tarawih. Pulang tarawih tak lupa main petak umpet dengan teman-teman. Belum banyak lampu apalagi telpon genggam seperti sekarang yang membuat ingin cepat pulang setelah tarawih karena khawatir ada gebetan yang mengirim pesan atau menelepon.
Sahur adalah saat yang menyenangkan, karena kita bisa menonton acara yang aku lupa apa namanya, yang ku ingat pasti adalah jargonnya “tut tut gujes gujes” bersama Eko Patrio. Jargon itulah yang membuat mataku mau terbuka. Itulah saatnya aku bermanja-manja, mau makan kalau disuapin, di atas kasur dengan selimut yang masih melapisi tubuhku. Tapi tak lama ketika suara sirine dari masjid berbunyi menandakan imsak tinggal beberapa menit lagi, kakiku langsung ngibrit lari ke belakang untuk minum air putih yang banyak berharap siang tidak kehausan. Tapi apa daya, setelah pulang dari masjid justru ingin selalu buang air kecil, jadi beser. Setiap setelah shalat subuh pasti imam memberikan kuliah subuh terlebih dahulu. Mau tak mau aku bersama teman-teman setia mendengarkan sembari sedikit mencatat isinya di buku saku Ramadhan yang kami miliki. Imam akan memparaf buku saku kami setelah kuliah subuh selesai. Tak selesai sampai di situ, pulang dari masjid kami biasanya jalan sehat dulu mengelilingi kampung. Tak jarang pula kami sedikit bercanda dan berlari kejar-kejaran. Tawa kami masih polos dan ikhlas tanpa paksaan. Kami tidak harus terburu-buru pulang untuk mandi dan berangkat sekolah, karena sekolahan memberi keringanan berupa jadwal masuk kelas yang lebih siang 1-2 jam dari biasanya saat Ramadhan. Selain itu bapak dan ibu guru jarang memeberikan PR untuk kami ketika Ramadhan. Nikmatnya.
dok 1 Syawal 1437 H
Tak kalah serunya dari sahur, justru waktu inilah yang sangat ditunggu tiap hari ketika Ramadhan. Yak, maghrib, saatnya berbuka puasa. Kami banyak melakukan sesuatu untuk menyambut saat berbuka itu. Seringkali kami jalan-jalan entah di sawah atau di sekitar kampung saja. Jalan kaki maupun mengayuh sepeda tak masalah bagi kami. Tak jarang juga kami banyak jajan untuk berta’jil, yang biasanya justru tak habis dimakan. Namanya saja orang lapar, pasti hanya laper mata. Cendol yang biasanya terlihat biasa saja seolah menjadi amat menggoda di sore hari menjelang maghrib, mau tak mau aku membelinya. Kadang aku juga membantu bundaku menyiapkan hidangan untuk berbuka, tapi tetap sama aku menginginkan beragam jenis makanan, bundaku menuruti untuk membeli bahannya, kami memasaknya bersama. Saat berbuka tiba ternyata semua itu tak habis dimakan. Sekali lagi, laper mata. Makanan yang paling aku sukai dan menjadi ciri khas saat Ramadhan adalah kolak pisang dengan gula merah sebagai pemanisnya. Hmm, kan jadi ngiler siang bolong.
Sepuluh hari sebelum lebaran tiba merupakan agenda wajib bagiku untuk melakukan iktikaf dengan nenek dan kakek. Merekalah yang mengajarkanku caranya mendapatkan pahala yang banyak walaupun sampai sekarang aku tak tahu bagaimana wujud sebuah pahala. Setiap malam ganjil dalam 10 hari menjelang lebaran kami berdiam dalam gelap di sebuah masjid. Shalat dan berdoa kepada Allah untuk sebuah kebaikan, apapun yang aku mau aku lontarkan pada-Nya. Sekarang aku malu, karena untuk shalat wajibpun tak jarang  masih terlewat. Sungguh aku merindukan cara melewati dan menikmati Ramadhan seperti masa kecilku.
Mari kita saling memaafkan mengosongkan dendam sesama untuk menyambut datangnya Ramadhan 1437 H. Semoga kita semua bisa mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya dan menghapus dosa hingga sebersih-bersihnya. Marhaban Ya Ramadhan.

Twitter       : @viedela_ve
IG                 : ViedelaAK

Phone        : 085742283163

Jumat, 22 April 2016

Senja di Pulau Dewata

Biarkan aku sedikit mengenang pulau indah penuh pesona di siang bolong. Saat ini aku sedang menikmati secangkir kopi pahit lengkap dengan beberapa batang rokok.
Pura Uluwatu

Oke, berawal dari sebuah obrolan singkat mengenai liburan, aku dengan temanku DIJ. kami adalah muda-mudi yang gila jalan-jalan. Perjalanan kali ini berbeda dari biasanya, karna kali ini kami berdua (sejujurnya aku tak pernah melakukan ini dan lebih suka melakukan solo travelling). Seperti burung yang di masa migrasi, kesana kemari mengepakan sayap dan singgah di suatu sarang dengan pemandangan yang cantik di depannya. Awalnya naik gunung adalah tujuan kami, karena naik gunung merupakan sebagian dari hobi yang tidak bisa kami hilangkan. Bahkan pertemuan pertama kami ya di gunung kala itu. Namun setelah pertimbangan yang panjang dari alternatif yang banyak, kami pun memutuskan untuk berlibur ke Bali, Pulau Dewata dengan kecantikan alam, kekayaan budaya, maupun kota yang hampir serupa dengan Jakarta, macet dan panas.

Jogja-Banyuwangi
Perjalanan dimulai dari Bogor. Kami memilih menggunakan transportasi darat demi menghemat biaya dan memboroskan waktu. Setidaknya kami bisa menikmati perjalanan lebih lama biar berasa capeknya. Sehingga dari commuterline, kereta antar kota, bus, angkot, hingga kapal veri penyebrangan dapat kami rasakan. Aku rasa tak usah jauh bercerita tentang waktu dan harga untuk sampai Bali dan kembali lagi ke Bogor ya.

Kami meluangkan waktu selama 11 hari untuk liburan, terhitung hanya seminggu waktu kita bermain-main setelah dikurangi dengan lamanya perjalanannya. Banyak sekali perdebatan selama mata sama-sama terbuka. Mengenai lokasi tujuan, penginapan, makan, dan rokok yang pasti. Kami benar merasakan bahwa manajemen perjalanan memang sangat penting. Selamat datang di Bali, hmm kali ke berapa ya aku ke sana, namun rasanya tak jauh berbeda, ramai wisatawan lokal maupun asing berkeliaran dan pribumi menjajakan dagangannya. Miris sih sebenarnya. Kute adalah tempat wajib dan mungkin menjadi pilihan terakhir kami di hari pertama ada di Bali, karena penginapan kami di area dekat Kute. Pantai Kute dan Legian menjadi tempat kami menikmati matahari tenggelam di sore pertama di Bali. Paling tidak kami tak terlalu capek untuk pergi jauh, karena perjalanan kami juga baru saja sangat jauh untuk sampai di kota yang dikelilingi laut itu.

Oke menuju hari ke dua. Masih bersemangat dan lagi-lagi kami ke pantai. Berjemur di Pantai Pandawa sejak mentari tepat di atas kepala hingga sore  sembari menikmati beberapa kelapa muda dan beberapa bungkus rokok. Yay ini lokasi berhasil membuat kulitku melegam, gosong, love it much! Eksotisme kulit ini kami bawa ke pantai ke dua di hari itu. Yak setelah puas menikmati dan mengambil beberapa gambar di Pantai Pandawa itu kami lanjutkan ke salah satu pantai dekat sana. *lupa nama pantainya.
Ngemper di Pantai Pandawa
Menuju tenggelamnya mentari di pantai yang lupa namanya




Kami duduk di atas pasir putih menikmati ombak-ombak kecil yang bergulung bergiliran. Obrolan kala itu sungguh tidak jelas, tapi seneng, bawaannya mau ketawa aja. Matahari mulai tenggelam nampak di sebelah kanan kami. Kemilau jingganya menyorot hingga bola mataku. Kami menyipit dan tak tau membayangkan hal apa hingga kami saling berpandang dan makin ngakak. Betapa indah ciptaan-Nya.  Hari itu ditutup dengan makan ayam goreng di warung lamongan pinggiran jalan. Oh ya, dijamin halal. Mas penjualnya orang Jawa Timur looh.

"Mentari datanglah kembali esok hari untukku"


Pantai Legian

Rabu, 30 Maret 2016

Godaan Biji Kopi Serasa Coklat Semanis Ceri

Tanah ini subur. Indonesia aku mencintaimu, sungguh mencintaimu. Alam dan segala isimu. Salah satunya adalah si biji kopi yang berwarna coklat menggoda. Sejak lama aku tertarik dengan kopi. Rasanya sejak usia 2 tahun aku sudah dicekokin kopi, katanya agar tidak mudah terserang penyakit jantung, maka setiap hari waktu aku balita, 1-2 sendok kopi masu ke dalam tubuhku. Hal itu mungkin membuat aku ketergantungan dengan kopi, karena memang semua orang di rumah tinggalku doyan minum kopi. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah aku selalu ngopi walaupun hanya seseruput dua seruput. Teman-temanku selalu membawa bekal sebotol susu atau teh manis, aku cukup minum kopi sebelum beraktivitas di pagi hari, tidak perlu lagi menenteng botol minum. Kebiasaan itu terbawa hingga SMA. Bedanya adalah saat SMA aku harus membuat sendiri secangkir kopi di pagi dan malam hari, karena saat itu aku harus tinggal terpisah dengan orang tua, artinya aku ngekos. Hal itu juga yang membuatku menemukan takaran kopi yang cocok untukku. Kopi hitam dengan sepucuk sendok atau sama sekali tanpa gula.
Pertengahan tahun 2013 aku merantau ke Bogor, di sini banyak tempat ngopi asik. Mulai dari kedai kopi di pinggir jalan yang menawarkan jenis kopi alakadarnya seperti kopi sachetan dan harga terjangkau hingga cafe dengan beragam jenis kopi nusantara maupun mancanegara yang harganya sama bahkan lebih tinggi dari pada uang jajanku dua hari. Kalaupun tidak terbeli kopi mahal itu, setidaknya aku sering kali minum kopi nusantara oleh-oleh beberapa teman yang bepergian ke pelosok negeri yang indah ini, Indonesia. Sama sepertiku yang selalu mencari kopi dalam setiap perjalanan (walaupun jarang jalan-jalan juga), karena menurutku biji kopi itu selalu menggoda mata, hati, dan pikiranku. Yak, Indonesia sangat kaya akan kopinya, dari ujung Sabang hingga ujung Merauke, buah kopi yang diasilkan memiliki cita rasa sendiri, itu unik. Mau pilih kopi dengan kadar asam yang tinggi atau rendah, kopi dengan aroma buah-buahan atau cokelat, dan lain sebagainya. Aku sendiri belum teralu memahami karakteristik kopi dari setiap daerah, yang pasti aku menyukai bentuk dan rasanya, warnanya yang cokelat dan bentuknya lunik. Mempelajari segala hal tentang kopi merupakan salah satu impianku. Maka dari itu aku saat ini memilih bekerja di sebuah cafe, ‘Cafeeiro Coffee’. Cafe ini berada di Jalan RE. Martadinata No. 3A, Bogor. Hari ini 29 Maret 2016 adalah hari pertama aku bekerja di cafe yang baru saja dibuka pada Januari 2016 itu.
Bukan tanpa alasan aku meminum kopi setiap hari, bahkan bisa 3 kali sehari melebihi jumlah kali makan pokok yang kadang hanya sekali sehari. Bukan juga hanya untuk pamer, sekedar gengsi, atau mencari tempat yang ada ‘wifi’nya. Aku merasa segar dan lebih fokus dalam melakukan segala hal setelah ngopi di pagi hari. Banyak ide yang muncul (walaupun kadang tidak tersampaikan dengan baik) ketika aku ngopi di malam hari. Secangkir kopi selalu menjadi teman asikku, saat sendiri, berdua, maupun dalam keramaian. Tidak peduli bentuk cangkirnya (di gelas plastik pun nikmat), aku selalu suka kopinya. Dialah yang selalu menenangkan ketika aku marah, menyemangati saat lelah, dan memberi kehangatan saat dingin. Dimanapun, di kosan, kampus, rumah nenek, dan di gunung akan terasa lebih asik setelah ngopi. Kopi adalah salah satu hal yang pantang tak terbawa saat aku naik gunung (karena naik gunung adalah salah satu hobiku).
Aku tak menyangka, hanya dalam waktu 6 jam (17.00-23.00 WIB) aku telah banyak belajar. Mulai dari jenis minuman yang berbahan dasar kopi, membedakan rasa setiap minuman olahan dari kopi, krieria kopi yang bagus untuk digunakan agar hasilnya maksimal, alat untuk membuat minuman tersebut, cara menggunakan, dan membersihkannya. Hari ini aku minum 3 gelas espresso dengan jenis yang berbeda, segelas capucino yang lebut dan gurih, serta segelas kopi Toraja dengan proses manual blowing. Inilah salah satu hari yang tak akan terlupakan olehku. Seharian bersama kopi, aku tak mau lepas untuk hari esok dengannya. Aku menyisihkan beberapa gram ampas kopi sisa pembuatan espresso untuk kubawa pulang ke kosan, aku ingin mencoba menggunakannya untuk masker wajah, kita lihat apa yang terjadi besok.
“Maybe coffee has become my boy, I can't life without a cup of coffee in the morning”
IG             : ViedelaAK
Twitter      : @viedela_ve
Email        : veviedelaak@gmail.com

Kamis, 24 Maret 2016

Bulan Kelabu (Kehilangan Nenek dari Kampung Merabu)

Bulan malam ini begitu terang keemasan, namun aku sedang bersedih, hatiku kelabu. Malam ini aku kangen banget sama Kampung Merabu yang pernah aku kunjungi pada Juli 2014 yang lalu bersama saudara-saudaraku di Lawalata IPB. Di Kampung Merabu kami diajarkan untuk selalu bersemangat, berdamai, dan untuk menyadari bahwa kami harus melakukan sesuatu untuk bertahan hidup, sesuai dengan jalan yang benar.
Saat itu aku dipertemukan dengan sosok nenek yang menghargai sebuah kehidupan, sangat menghargai lingkungannya. Aku tidak bisa melupakannya. Dia adalah mama dari wanita tangguh bernama Marja Yanti. Sebelum itu aku bertemu lebih dulu dengan Mba Mar (sebutan bagi Marja Yanti). Aku yakin dibalik sosok Mba Mar, pasti ada orang tuanya yang pasti sangat mengasihi dengan penuh cinta dan mengajarkan cara terbaiknya untuk mencintai sesama dan semesta. Hal itu terbukti ketik aku bertemu nenek.
“Nenek lagi ngapain?”, tanyaku waktu itu kepada nenek. Aku kaget dengan jawabannya yang sederhana namun ngena banget di hati dan pikiranku saat itu “Lagi bersih-bersih, begini saja nenek kalau sore, kalau sekitar rumah bersih pasti nyaman dan enak dilihat.”, jawabnya sembari menyibakkan sapunya di lantai tanah samping rumah. Dia memberi makan bebek disela menyapu.
Hari ini kami berduka, semalam dia telah berpulang kepada pangkuan Tuhan. Sangat menyesal, ketika saat itu aku tak belajar banyak padanya. Aku tak banyak menghabiskan waktu dengannya. Namun dirinya selalu terkenang dalam benakku. Kelembutan, keramahan, senyum, dan hangatnya kasih sayang yang ku rasakan ketika terakhir memeluknya, saat itu adalah hari terakhhir kami berada di Kampung Merabu, mengingat pengambilan data dalam rangkaian Ekspedisi Tanah Borneo telah selesai.

Aku teringat pada foto nenek, di sedang menabuh alat musik untuk menghibur kami saat pesta pelepasan kami di balai Kampung Merabu. Berkolaborasi dengan ibu-ibu lain yang juga memainkan alat musik lain, serta dibarengi dengan tarian khas Dayak Lebo. Seandainya masih ada waktu untukku bertemu dengan nenek, aku ingin mendekap erat dirinya, bercerita tentaang kampungnya yang asri, dan belajar menabuh kepadanya. Seandainya aku masih bisa bertemu dengannya, aku ingin memberikan sehelai selendang kepadanya agar dia selalu mengenangku.
Tak tau lagi apa yang harus ku ungkapkan untuk mewakili kesedihanku. Walaupun jauh, nenek selalu berada di dekat kami. Selamat jalan nenek, bahagia di sorga ya nek, aku harap kita dapat bertemu di sana. Mungkin Tuhan lebih menyayangimu, Ia ingin nenek berada di sisi-Nya. Keluarga Kampung Merabu dan kami yang ditinggalkan senantiasa mendoakan