Kamis, 25 Agustus 2016

Ciliwung River

Water is the source of life for all living things. So, I often discuss about water. Especially in Bogor is the Ciliwung River. The river was tipped in Mount Pangrango, West Java. The river flows through the Peak, Ciawi, then turned north through Bogor, Depok, Jakarta and empties into the Bay of Jakarta. Many of the problems that exist in the Ciliwung river, the main problem is the garbage. In fact, most rivers in Indonesia are used as landfill. River is used to the back of the house. So the it is not guarded and look dirty. Trash make the river flow is blocked, so that when the rains come flooding will occur mainly in the upstream area. When the dry season the river will be very dry, there are only scattered rubbish and cause odor. River conditions as it affects the health of residents, especially those living near the river.

Until now I’m with the Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) as care Ciliwung River Comunity always do assessment solve the problem. The activity is the discussion relaxed and filling in important events such as competitions in Bogor garbage scavengers Ciliwung river in commemorating the birthday of the city of Bogor. Every Saturday morning we do a garbage scavengers to clean up, take the trash out of the river and separates organic and inorganic. The ultimate goal is for the community to see firsthand how we cite good things, so they will realize themselves not to throw randomly garbage into the river.
I'm with Komunitas Pecinta Ciliwung (KPC) as care Ciliwung River Comunity campaign to clean up garbage in the river Ciliwung. We share knowledge about the potential of the river. Such as animals and plants there and the benefits for us all. We perform together with volunteers who are mostly youths.
For those of you who wish to join with us to preserve the Ciliwung River, let's please contact us at @tjiliwoeng twitter. Ciliwung clean, all prosperous!

Selasa, 16 Agustus 2016

Pembuatan Nugget Tahu di Desa Tambakbaya

Tak seperti biasanya, kali ini pukul 7 pagi kami sudah antre mandi. Rumah yang kami tempati hanya memiliki satu kamar mandi. Secepat-cepatnya mandi, pastilah Sonia yang selalu mengawali. Hal ini terjadi karena semalam kami telah menyusun agenda untuk hari ini. Kami berbagi tugas, namun ada tugas besar bersama yang harus kami lakukan bersama. Yaitu pelatihan pembuatan nugget tahu di Kampung Cilame RW 4 Desa Tambakbaya dengan ibu-ibu yang tak memiliki waktu luang.
Menjelang siang setelah tugas yang dibagikan selesai, saatnya kami bersama menuju Kampung Cilame. Ada sedikit kekhawatiran yang membuat kami sedikit gelisah jika kegiatan ini sepi. Kami menghitung langkah sembari berbincang selama perjalanan di jalan yang menanjak. Aku merasa senang ketika mendapat senyum sapaan warga yang bertemu untuk mendahului ataupun berpapasan. Beberapa aktivitas terlihat dari mereka. Ada anak-anak kecil sedang berjalan dengan tangan yang membawa jerigen air. Kampung Cilame memang terkenal dengan tempat yang susah mendapatkan air. Mereka harus mengangkutnya dari bawah. Warga yang tidak memiliki pompa air harus rela mengangkutnya ember demi ember ke rumahnya. Ada juga bapak-bapak yang turun terlihat seperti baru pulang dari ladang, karena dia membawa cangkul dan memakai sepatu boot serta pakaiannya yang kotor. Ada juga gerombolan remaja berseragam yang berjalan menanjak sambil bergurau dengan temannya, mereka baru pulang sekolah.
Kami disambut hangat oleh warga Kampung Cilame. Rumah Bu Mumah dipilih untuk melakukan pelatihan ini, karena dirasa tempatnya yang strategis, dekat dengan warga lain, dapur dan alat-alat yang memadai. Karena kami hanya bisa menyediakan bahan untuk nugget tahu saja, kami butuh pinjaman alat. Kami ikut mempersiapkan alat yang dibutuhkan, beberapa alat dikeluarkan dari lemari khusus bagi barang-barang yang sepertinya jarang dipakai. Sembari menunggu pukul 2 siang (undangan untuk para ibu), kami berbincang sedikit dengan pemilik rumah. Bu Mumah yang ramah memberikan kami makanan ringan yang sebagian besar dibuatnya sendiri.
Belum juga sampai pada waktu yang kami sepakati bersama, sebagian warga sudah hadir dengan perasaan tak sabar yang terlihat dari raut wajahnya. Beberapa menit selanjutnya dapur Bu Mumah penuh, hingga ada beberapa orang yang harus rela mengikuti pelatihan dari luar. Seeekali ada ibu yang melongokan kepalanya dari pintu. Terdengar bisikan ibu-ibu yang berada di luar “Naon tah resepna? (Apa tuh resepnya?)”, serta pertanyaan lain yang tidak ku mengerti artinya dikarenakan mereka berbicara dengan bahasa sunda.
Anak-anak lebih narsis, ibu-ibu sembunyi di belakang layar
Dengan lantang Baskoro yang kelahiran Medan dan Ninis asal Bekasi menjelaskan langkah-langkah membuat kreasi makanan bergizi itu. Beberapa ibu ikut membantu mengaduk adonan bahkan hingga menggoreng. Ternyata kekhawatiran yang tadi kami rasakan tidak berlaku. Ternyata mereka begitu antusias mengikuti kegiatan ini, banyak pertanyaan yang muncul dari mereka. Sebisa mungkin kami jawab dengan senang hati.
Anak-anak menunggu di dekat penggorengan dengan harapan lebih cepat mendapatkan nuggetnya. Hanya butuh satu sampai dua jam saja nugget tahu selesai digoreng dan membuat mereka saling berebut. Tapi kami punya cara untuk menenangkan dengan mengajak mereka berbaris di depan rumah sekaligus untuk berfoto bersama sambil memegang nugget bersama. Senang bukan main ketika bisa berbagi ilmu dan pengalaman walau tak banyak. Intinya senyum mereka adalah senyum kami juga. Selain berkreasi dalam membuat makanan, ada juga pesan yang terselip dalam kegiatan ini, yaitu menghimbau ibu-ibu untuk membuat makanan sehat sendiri untuk anak, karena makanan ringan yang dijual bebas belum tentu terjamin kesehatannya. Anak Indonesia harus kreatif dan sehat. 
Selain di Kampung Cilame RW 4 Desa Tambakbaya, pelatihan pembuatan nugget tahu juga akan dilaksanakan di setiap RW dengan harapan pengetahuan yang kami bagikan dapat tersebar menyeluruh ke semua warga.
Twitter: @viedela_ve
IG: ViedelaAK
WA: 085742283163

Sabtu, 13 Agustus 2016

Berladang di Tambakbaya

Pagi-pagi sekali aku bangun untuk menjalankan ritual wajib kepada Tuhan. Udara masih terasa dingin dan lembab. Aku bertahan agar tidak tenggelam dalam selimut tipis lagi, apalagi untuk lelap. Kemarin sore aku dan Sonia sudah janjian dengan Bu Makiyah pembuat kue dari Kampung Cilame Desa Tambakbaya untuk pergi ke ladang miliknya. “Banyak tanaman neng, nanti kita ke sana lihat-lihat sambil panen jika ada yang bisa dipanen”, ucapnya kemarin sore. Aku dan Sonia menembus pagi yang dingin menuju rumah Bu Makiyah. Banyak hal yang sudah kami rencanakan, salah satunya adalah liwetan (membuat nasi liwet) untuk bekal ke ladang. Sesampainya di rumah Bu Makiyah ternyata liwet sudah masak. Kami tinggal berangkat saja. “Jangan lupa pakai topinya neng, di lading nanti panas”, ucapnya sembari menutup pintu rumah. Sebelum berangkat kami menjemput Bu Mu’ah dan Bu Makiyah. Mereka bertiga adalah kakak adik, tapi tak ada yang mirip satupun wajah mereka.
petik buncis
Kami berjalan menuju belakang kampung, melewati kebun bambu yang luas dan teduh. Aku keheranan dengan bambu yang sebanyak ini tidak ada warga yang memanfaatkan untuk menjadi produk yang lebih bernilai. Mereka hanya menggunakannya jika diperlukan dan menjualnya jika ada yang mau beli. Setelah aku tanyakan ke beberapa orang ternyata mereka sebenarnya mau, tapi bingung siapa yang akan beli setiap produk yang dihasilkan secara terus menerus? Paling ujung-ujungnya dipakai sendiri. Tak terasa hanya kurang lebih 10 menit kami berjalan kaki hingga sampai di ladangnya.
menu makan siang di ladang
Aku tak kaget kalau ternyata ladang milik Bu Makiyah ditanami banyak tanaman. Dia sudah memberi tahu kami sebelumnya. Sampai di sana kami langsung panen buncis yang katanya sudah 4 hari tidak dipanen. Biasanya dia memanen buncis setiap 2 hari sekali selama dua bulan. Kalau untuk perawatannya sehingga buncis tumbuh, Bu Makiyah kurang ingat karena dia hanya melihat kondisi tanaman saja dia tahu kapan harus dipupuk, kapan harus dibersihkan dari tanaman lain, dan kapan bisa dipanen. Buncis yang dipanen hanya yang muda saja, agar segar untuk dimasak. Buncis yang sudah tua akan terlihat permukaannya menonjolkan biji serta teksturnya lebih keras. Aku dan Sonia belum terbiasa membedakan antara yang tua dan muda, jadi maklum saja kami memanen buncisnya lama. Ibu Makiyah tak menggunakan  bahan-bahan kimia anorganik yang berbahaya untuk semua tanamannya, sehingga bisa dikatakan organik sehingga aku sangat menikmati saat itu dengan sesekali nyemil buncis muda, rasanya manis dan segar. Untung saja tak banyak yang harus kami panen. Tak selesai di situ, kami harus melanjutkan untuk memanen singkong dan ubi.

hasil panen singkong
Selesai di buncis, kami pindah ke petakan lahan sebelah untuk memanen singkong. Hanya beberapa batang, kami dapat menghasilkan sekarung singkong. Sebenarnya masih banyak yang sudah siap panen, tapi Bu Makiyah hanya mengambil seperlunya saja untuk diolah menjadi berbagai jenis makanan. Panen singkong bukanlah hal yang mudah, harus rela berkotor-kotor untuk mengeruk dulu tanah disekitar akar singkong agar mudah dicabut. Karena cara mencabut singkong yang sembarangan bisa membuat singkongnya patah, jadi harus kerja dua kali untuk mengambil kembali singkong tersebut. Aku menyebutnya ‘mencari harta karun’. Pencarian harta karun juga berlaku dalam panen ubi.
hama tanaman ubi

Ada bermacam-macam ubi yang dia tanam seperti ubi putih, ubi kuning, ubi ungu, ada juga ubi yang merupakan hasil pengawinan tanaman dan menghasilkan kulit putih dengan daging ungu atau sebaliknya. Sayang sekali ubi yang dia tanam terserang hama sehingga hasilnya yang kurang maksimal. Hal itu terjadi karena Bu Makiyah memang tidak menggunakan obat untuk membasmi hama tersebut. Beliau hanya ingin menggunakan bahan-bahan organik saja untuk membasmi hama, tapi belum menemukan ramuannya.
hasil panen ubi ungu
Kami selesai panen ketika matahari mulai berada tepat di atas kepala. Kami memilih untuk istirahat. Jarik yang ketiga kakak adik bawa tersebut dibentangkan untuk dijadikan alas duduk. Makanan yang kami bawa juga dibuka. Kang Agus anak tertua Bu Makiyah memotong daun pisang untuk alas makan alias piring. Wah gaya hidup sehat nih, penggunaan alat makan yang mudah diperbaharui. Terlintas dalam benakku betapa indahnya dunia jika tak ada sampah plastik yang berserakan yang mengganggu pemandangan dan kesehatan ketika manusia menggunakan plastik seperlunya saja. Kebersamaan makan siang bersama di ladang saat itu mengingatkanku pada masa kecil. Aku sering ikut bibiku ke sawah hanya karena ingin main lumpur dan makan siang di sana, karena aku sendiri tak punya sawah. Muncul juga pertanyaan suatu hari nanti siapa yang akan menanam? Karena manusia butuh makanan. Semua makanan berasal dari petani.
makan dengan menu sehat

"Jangan lupa makan sayur, anak Indonesia suka makan sayur. Anak Indonesia suka menanam."

Twitter: @viedela_ve
IG; ViedelaAK
WA: 085742283163

Selasa, 09 Agustus 2016

Desa Tambakbaya Garut dalam Kuliah Kerja Nyata - Tematik (KKN-T) IPB 2016

Telepon genggam tak pernah lepas dari genggaman kami, dari mata terbuka hingga terpejam lagi. Seharian kami membaca apapun yang dapat ditampilkan di layar telepon masing-masing. Mulai berita aktual, gosip panas, serta status-status teman yang kadang kurang penting. Hal itu lebih baik daripada kami tak melakukan apapun. Kami berenam yaitu aku, Sonia, Ninis, Anita, Baskoro, dan Jefry tergabung dalam kelompok Kuliah Kerja Nyata - Tematik (KKN-T) yang ditempatkan di Desa Tambakbaya, Kecamatan Cisurupan, Garut. Lokasinya tak terlalu jauh dari kampus kami di IPB Dramaga dibanding teman lain yang ditempatkan di luar Pulau Jawa. Ternyata jarak yang tak jauh itu masih tetap saja menjadi alasan untuk kita mengeluh. Udara, kondisi alam, dan kondisi sosial yang berbeda dari tempat tinggal menjadi topik utama keluhan bagi beberapa orang yang belum siap atau belum terbiasa melakukan hal ini. Akupun masih mencoba menikmati keadaan dimanapun berada. Kalau bias dibuat enak dengan hal yang baik, kenapa harus berbuat yang tidak penting (mengeluh) yang tak ada gunanya?
Desa kami tak terlalu jauh dari jalan utama. Akses untuk ke kantor kecamatan sangat mudah, hanya sekali naik angkot dengan biaya dua ribu rupiah. Suhu udara yang dingin dapat dimaklumi karena desa ini terletak di kaki gunung. Gunung CIkuray, Gunung Papandayan, dan Gunung Guntur terlihat jelas dari sini, bahkan dari rumah tinggal kami. Setiap pagi, aku selalu menikmati pemandangan Gunung Cikuray nan gagah dari jendela kamar mandi yang terbuat dari jaring-jaring. Sinar mentari mengintip di sela pepohonan menyapaku setiap pagi. Itulah yang membuatku rajin bangun pagi dan menguatkanku untuk membasuh air ke tubuh yang selalu kedinginan dengan suhu 13-15 derajat celcius. Sesekali puncak itu meneriakkan sesuatu padaku “Sini lah, bukankah kau tak merindukan memandang seluruh Garut dari puncaku ini?” yang menimbulkan perasaan ingin mendaki gunung itu lagi, tapi KKN-T ini harus kami selesaikan dulu.
Gunung Cikuray
Tak boleh dilewatkan agenda yang disusun tiap malam untuk esok hari. Pembagian tugas menjadi solusi ketika harus menyelesaikan agenda dalam satu waktu. Aku sendiri lebih suka berurusan dengan warga, berkeliling yang intelek biasa sebut ‘observasi’. Banyak juga hal-hal menarik diantara mereka, kegiatan sehari-hari, masalah yang dihadapi, dan paling penting adalah potensi alam maupun usaha yang dapat dikembangkan. Mendatangi ibu-ibu yang sedang bergerombol di teras rumah pada sore hari menjadi peluang besar untuk menjaring informasi. Bawalah bungkusan permen saja, tak perlu yang mahal, mereka mudah sekali menerima orang baru dan berbincang mengenai apa saja yang aku tanyakan.