Rabu, 30 Maret 2016

Godaan Biji Kopi Serasa Coklat Semanis Ceri

Tanah ini subur. Indonesia aku mencintaimu, sungguh mencintaimu. Alam dan segala isimu. Salah satunya adalah si biji kopi yang berwarna coklat menggoda. Sejak lama aku tertarik dengan kopi. Rasanya sejak usia 2 tahun aku sudah dicekokin kopi, katanya agar tidak mudah terserang penyakit jantung, maka setiap hari waktu aku balita, 1-2 sendok kopi masu ke dalam tubuhku. Hal itu mungkin membuat aku ketergantungan dengan kopi, karena memang semua orang di rumah tinggalku doyan minum kopi. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah aku selalu ngopi walaupun hanya seseruput dua seruput. Teman-temanku selalu membawa bekal sebotol susu atau teh manis, aku cukup minum kopi sebelum beraktivitas di pagi hari, tidak perlu lagi menenteng botol minum. Kebiasaan itu terbawa hingga SMA. Bedanya adalah saat SMA aku harus membuat sendiri secangkir kopi di pagi dan malam hari, karena saat itu aku harus tinggal terpisah dengan orang tua, artinya aku ngekos. Hal itu juga yang membuatku menemukan takaran kopi yang cocok untukku. Kopi hitam dengan sepucuk sendok atau sama sekali tanpa gula.
Pertengahan tahun 2013 aku merantau ke Bogor, di sini banyak tempat ngopi asik. Mulai dari kedai kopi di pinggir jalan yang menawarkan jenis kopi alakadarnya seperti kopi sachetan dan harga terjangkau hingga cafe dengan beragam jenis kopi nusantara maupun mancanegara yang harganya sama bahkan lebih tinggi dari pada uang jajanku dua hari. Kalaupun tidak terbeli kopi mahal itu, setidaknya aku sering kali minum kopi nusantara oleh-oleh beberapa teman yang bepergian ke pelosok negeri yang indah ini, Indonesia. Sama sepertiku yang selalu mencari kopi dalam setiap perjalanan (walaupun jarang jalan-jalan juga), karena menurutku biji kopi itu selalu menggoda mata, hati, dan pikiranku. Yak, Indonesia sangat kaya akan kopinya, dari ujung Sabang hingga ujung Merauke, buah kopi yang diasilkan memiliki cita rasa sendiri, itu unik. Mau pilih kopi dengan kadar asam yang tinggi atau rendah, kopi dengan aroma buah-buahan atau cokelat, dan lain sebagainya. Aku sendiri belum teralu memahami karakteristik kopi dari setiap daerah, yang pasti aku menyukai bentuk dan rasanya, warnanya yang cokelat dan bentuknya lunik. Mempelajari segala hal tentang kopi merupakan salah satu impianku. Maka dari itu aku saat ini memilih bekerja di sebuah cafe, ‘Cafeeiro Coffee’. Cafe ini berada di Jalan RE. Martadinata No. 3A, Bogor. Hari ini 29 Maret 2016 adalah hari pertama aku bekerja di cafe yang baru saja dibuka pada Januari 2016 itu.
Bukan tanpa alasan aku meminum kopi setiap hari, bahkan bisa 3 kali sehari melebihi jumlah kali makan pokok yang kadang hanya sekali sehari. Bukan juga hanya untuk pamer, sekedar gengsi, atau mencari tempat yang ada ‘wifi’nya. Aku merasa segar dan lebih fokus dalam melakukan segala hal setelah ngopi di pagi hari. Banyak ide yang muncul (walaupun kadang tidak tersampaikan dengan baik) ketika aku ngopi di malam hari. Secangkir kopi selalu menjadi teman asikku, saat sendiri, berdua, maupun dalam keramaian. Tidak peduli bentuk cangkirnya (di gelas plastik pun nikmat), aku selalu suka kopinya. Dialah yang selalu menenangkan ketika aku marah, menyemangati saat lelah, dan memberi kehangatan saat dingin. Dimanapun, di kosan, kampus, rumah nenek, dan di gunung akan terasa lebih asik setelah ngopi. Kopi adalah salah satu hal yang pantang tak terbawa saat aku naik gunung (karena naik gunung adalah salah satu hobiku).
Aku tak menyangka, hanya dalam waktu 6 jam (17.00-23.00 WIB) aku telah banyak belajar. Mulai dari jenis minuman yang berbahan dasar kopi, membedakan rasa setiap minuman olahan dari kopi, krieria kopi yang bagus untuk digunakan agar hasilnya maksimal, alat untuk membuat minuman tersebut, cara menggunakan, dan membersihkannya. Hari ini aku minum 3 gelas espresso dengan jenis yang berbeda, segelas capucino yang lebut dan gurih, serta segelas kopi Toraja dengan proses manual blowing. Inilah salah satu hari yang tak akan terlupakan olehku. Seharian bersama kopi, aku tak mau lepas untuk hari esok dengannya. Aku menyisihkan beberapa gram ampas kopi sisa pembuatan espresso untuk kubawa pulang ke kosan, aku ingin mencoba menggunakannya untuk masker wajah, kita lihat apa yang terjadi besok.
“Maybe coffee has become my boy, I can't life without a cup of coffee in the morning”
IG             : ViedelaAK
Twitter      : @viedela_ve
Email        : veviedelaak@gmail.com

Kamis, 24 Maret 2016

Bulan Kelabu (Kehilangan Nenek dari Kampung Merabu)

Bulan malam ini begitu terang keemasan, namun aku sedang bersedih, hatiku kelabu. Malam ini aku kangen banget sama Kampung Merabu yang pernah aku kunjungi pada Juli 2014 yang lalu bersama saudara-saudaraku di Lawalata IPB. Di Kampung Merabu kami diajarkan untuk selalu bersemangat, berdamai, dan untuk menyadari bahwa kami harus melakukan sesuatu untuk bertahan hidup, sesuai dengan jalan yang benar.
Saat itu aku dipertemukan dengan sosok nenek yang menghargai sebuah kehidupan, sangat menghargai lingkungannya. Aku tidak bisa melupakannya. Dia adalah mama dari wanita tangguh bernama Marja Yanti. Sebelum itu aku bertemu lebih dulu dengan Mba Mar (sebutan bagi Marja Yanti). Aku yakin dibalik sosok Mba Mar, pasti ada orang tuanya yang pasti sangat mengasihi dengan penuh cinta dan mengajarkan cara terbaiknya untuk mencintai sesama dan semesta. Hal itu terbukti ketik aku bertemu nenek.
“Nenek lagi ngapain?”, tanyaku waktu itu kepada nenek. Aku kaget dengan jawabannya yang sederhana namun ngena banget di hati dan pikiranku saat itu “Lagi bersih-bersih, begini saja nenek kalau sore, kalau sekitar rumah bersih pasti nyaman dan enak dilihat.”, jawabnya sembari menyibakkan sapunya di lantai tanah samping rumah. Dia memberi makan bebek disela menyapu.
Hari ini kami berduka, semalam dia telah berpulang kepada pangkuan Tuhan. Sangat menyesal, ketika saat itu aku tak belajar banyak padanya. Aku tak banyak menghabiskan waktu dengannya. Namun dirinya selalu terkenang dalam benakku. Kelembutan, keramahan, senyum, dan hangatnya kasih sayang yang ku rasakan ketika terakhir memeluknya, saat itu adalah hari terakhhir kami berada di Kampung Merabu, mengingat pengambilan data dalam rangkaian Ekspedisi Tanah Borneo telah selesai.

Aku teringat pada foto nenek, di sedang menabuh alat musik untuk menghibur kami saat pesta pelepasan kami di balai Kampung Merabu. Berkolaborasi dengan ibu-ibu lain yang juga memainkan alat musik lain, serta dibarengi dengan tarian khas Dayak Lebo. Seandainya masih ada waktu untukku bertemu dengan nenek, aku ingin mendekap erat dirinya, bercerita tentaang kampungnya yang asri, dan belajar menabuh kepadanya. Seandainya aku masih bisa bertemu dengannya, aku ingin memberikan sehelai selendang kepadanya agar dia selalu mengenangku.
Tak tau lagi apa yang harus ku ungkapkan untuk mewakili kesedihanku. Walaupun jauh, nenek selalu berada di dekat kami. Selamat jalan nenek, bahagia di sorga ya nek, aku harap kita dapat bertemu di sana. Mungkin Tuhan lebih menyayangimu, Ia ingin nenek berada di sisi-Nya. Keluarga Kampung Merabu dan kami yang ditinggalkan senantiasa mendoakan