Kamis, 16 Oktober 2014

Beningnya Tak Sebening Nama Kampungku


Seperti biasa, di bulan bulan Oktober ini kita mulai didatangi hujan. Yak, musim hujan datang. Ada sebagian yang sangat bersyukur setelah beberapa lama merasakan pahitnya kekeringan. Namun ada juga sebagian orang yang mengeluh akan datangnya berkah Tuhan ini. Mungkin aku juga akan sangat kesal ketika aku menjadi “hujan” karena selalu disalahkan oleh sebagian orang tadi. Setiap aku datang, mereka berteriak karena airku menyebabkan jalanan becek, banjir melanda, dan longsor dimana-mana. Dan ketika aku tak datang beberapa lama, mereka semua meraung-raugn kepanasan memohon-mohon aku untuk datang. Untungnya aku bukanlah si “hujan” yang selalu kebingungan akan apa yang harus ia perbuat.
Beberapa hari ini hujan turun di sekitar Bogor setiap hari. Dan menurut informasi dari ibuku hujan juga turun setiap hari di kampungku Kalibening, Kabupaten Banjarnegara, jawa Tengah. Saat hujan turun aku sangat menikmati keajaibannya, keajaiban itulah salah satu hal yang mampu membuka memori terhadap apapun yang terjadi di masa lalu kita.
Hujan kali ini mengingatkanku pada sungai di dekat rumh tinggalku di kampung sana. Sungai tersebut bernama sungai Brukah, sungai itu adalah terusan dari sungai Sindu yang mengalir dari desa Bedana.  warga yang diselenggarai oleh Karang Taruna Majatengah pernah melakukan permainan pukul air yang dilakukan di sungai Brukah. Permainan itu dilakukan dengan cara dua orang pemain yang duduk di sebuah bambu yang di lintangkan memotong arah sungai sehingga seakan-akan membagi sungai menjadi dua bagian antara hulu dan hilir. Setiap orang membawa bantal masing-masing yang tujuannya untuk memukul sang lawan agar terjatuh, dan bagi pemain yang jatuh maka ia dinyataakan kalah dalam permainan.
Mereka bermain tanpa ragu, diatas sungai yang airnya begitu jernih. Penonton pun saling menyemangati pemain yang mereka jagokan. Stelah permainan selesai para pemain maupun penonton mulai dari anak kecil hungga orang dewasa juga tak ragu untuk berenang maupun sekedar bermain di sungai.

Rabu, 15 Oktober 2014

Eloknya Wisata Kampung Merabu

Betapa kagetnya kami saat pertama kali menginjakkan kaki di Kampung Merabu. Semua terlihat gelap dan tak ada yang bisa kami lihat. Cahaya senter membantu kami berjalan menuju rumah berwarna hijau yang terlihat terang. Disanalah kami beristirahat. Maalam itu langit menemani istirahat kami. Banyak orang telah mempersiapkan hidangan untuk kami. Sembari menikmati teh hangat dan rebusan pisang, kami bercerita bersama warga Kampung Merabu. “kampong ini memiliki banyak tempat menarik yang bias kalian kunjungi”, ucap Pak Franly Oley seorang kepala Kampung Merabu.
Pagi datang membawa sang mentari yang memberi senyum semangatnya kepada kami. Mata kami disuguhkan pemandangan kampong yang bersih, nyaman, dan masyarakatnya yang ramah. Di sebelah rumah yang kami tinggali mengalir dengan tenang air sungai Lesan. Masyarakat terlihat sedang mandi dan mencuci baju di sana. Pemandangan yang sangat jarang kami jumpai. Seorang ibu dengan lembut memandikan anaknya sembari menunggu rendaman cuciannya. Mungkin ini adalah salah satu yang mearik menurut sang kepala kampong semalam.
Sebelum memulai kegiatan yang sudah kami rencanakan, terlebih dahulu kami mengenal Kampung Merabu. Kami berjalan menyusuri setiap sudut kampong tersebut. Bangunan-bangunan yang dijadikan kantor untuk urusan pemerintahan tersebar rapih di sana. Ada Kerima Puri, kantor kepala kampung, balai kampong, puskesmas, sekolah dasar, gereja, dan rumah-rumah warga yang berjajar rapih dengan bentuk yang relatif sama.
Saat memasuki kantor kepala kampong, kami dilihatkan peta kampong, foto-foto keadaan kampong, serta banyak tempat menarik yang diceritakan Pak Franly semalam. Banyak tempat menarik di sana yang telah beberapa kali diinjak pengunjung, bahkan diliput oleh salah satu acara di stasiun televisi swasta. Semakin tidak sabar kami melihat secara langsung betapa indahnya tanah Merabu.
Siang menjelang sore adalah saat yang tepat untuk menikmati keindahan Kampung Merabu yang sudah di benak sejak kemarin. Sungai Lesan adalah tempat pertama yang kami kunjungi, karena letaknya yang sangat dekat dengan tempat kami tinggali tepatnya ada di samping rumah tinggal kami. Aliran sungai Lesan yang tenang dan jernih sangat cocok untuk berenang sekaligus menjala ikan. Kami diantarkan menikmati sungai lesan dengan dua pemuda Merabu menggunakan ketinting. Ketinting adalah alat transportasi yang digunakan untuk berjalan di sungai. Bahan bakar yang digunakan agar ketinting bisa berjala adalah bensin. Sungai lesan biasa dijadikan tempat mencari ikan bagi masyarakat Kampung Merabu. Selain itu sungai tersebut juga menjadi tempat bermain yang menyenangkan bagi anak-anak Kampung Merabu. Di sana mata mata kami dipersilahkan secara otomatis untuk menikmati keindahan sungai Lesan secara gratis.

Selasa, 14 Oktober 2014

Ekspedisi Pertama Anggota Muda Lawalata


         Sesuatu yang menarik selalu terbayang di benak Viedela AK perempuan berusia 19 tahun ketika dia mendengar kata “ekspedisi”. “Ekspedisi layaknya dilakukan oleh seluruh makhluk hidup. Contohnya burung elang yang melakukan migrasi musiman. Artinya ekspedisi adalah melakukan perjalanan ke luar dari ruang hidup dan kebiasaan kita.”, tutur salah satu seniornya yang telah beberapa kali melakukan ekspedisi. Ekspedisi yang dilakukan bertujuan mengetahui keadaan di luar sana, sehingga kita bisa menilai seberapa baik dan buruk sesuatu yang telah kita kerjakan di dalam ruang hidup kita sendiri. Harapannya dengan mengetahui hal tersebut, seseorang bisa melakukan perbaikan di ruang hidup dan kebiasaan kita ketika pulang dari ekspedisi yang dilakukan.
beberapa anggota tim, dari kanan Akbar, Hanif, Raycel,
Sherly, Ira, Andayani, Viedela, Sheila, dan Aziz 
menuju keberangkatan ke Balikpapan (dok-L)
Sekelompok Anggota Muda yang baru bergabung di organisasi Lawalata rupanya memiliki rasa penasaran yang cukup tinggi berkaitan dengan ekspedisi termasuk Viedela. Mereka yang berjumlah dua belas orang sangat ingin melakukan ekspedisi. Sosok dua belas orang tersebut adalah Viedela AK dari departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, Aziz Fadhani Jaya departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan dan Akbar Habibie departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Sheila Kharisma Dewi departemen Biologi dan Sherly Gustia Nivo departemen GFM Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Ira Khairunisa departemen Feteriner Diploma IPB, Raycel Sunkar Tarigan departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Husnizon Fajri departemen Teknik Sipil dan Industri dan  Kasrizal departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, Andayani Oerta Ginting departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan, Hanif Ibrahim Arkan departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan, serta Yosafat Gustaav Tangel departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia yang seluruhnya merupakan angkatan 50 IPB akhirnya memutuskan untuk melakukan ekspedisi dengan melaksanakan prosesnya dari awal dengan baik yang didampingi oleh seorang senior bernama Bahrul Septian Dwi Cahyo departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan angkatan 48 IPB.
Karena memiliki keinginan untuk belajar dan melakukan suatu hal yang sama yaitu ekspedisi, mereka terus berbincang untuk menyusun sebuah ekspedisi yang mereka impikan. Akhirnya mereka sepakat untuk konsisten dalam melakukan ekspedisi dari awal hingga akhir.
Beberapa waktu kemudian mereka memilih ekspedisi dengan tema “Menelususri Potensi Ekosistem Karst Sangkulirang sebagai Bahan Pertimbangan Warisan Dunia” dan tempat di Kampung Merabu Kecamatan Kelay Kabupaten Berau Provinsi Kalimantan Timur. Tempat dan tema tersebut mereka pilih karena masih hangatnya isu tentang Karst Sangkulirang yang akan diajukan menjadi warisan dunia. Mereka melakukan banyak pertimbangan yang dikuatkan dengan masukan dari berbagai pihak saat akan menentukan tema dan tempat ekspedisi.

Kamis, 09 Oktober 2014

Banyak Hal yang Kami Pelajari dari Kampung Merabu Asik


Masyarakat Kampung Merabu nyaris hafal dan cekatan dalam melakukan segala hal yang harus dilakukan saat berada di dalam hutan. Hal itu alamiah terjadi karena terlalu seringnya mereka berkegiatan di dalam hutan. Hampir tujuh kali dalam seminggu mereka memasuki hutan, bahkan bisa jadi sehari keluar masuk hutan berkali-kali jika memang diperlukan. Menurut pernyataannya mereka sudah memulai kebiasaan tersebut sejak kecil. Sedangkan kami tidak sesering mereka. Sesering-seringnya kami melakukan kegiatan di hutan adalah maksimal satu kali dalam seminggu.
Kami mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman dari mereka. Mereka sangat paham cara membuat pondok untuk beristirahat, cara mencari makanan yang bisa didapatkan di hutan maupun sungai sekaligus cara mengolahnya hingga menjadi santapan lezat, cara mereka berkoordinasi, kebersamaan dan kepeduliannya yang tinggi, dan cara mereka memahami tingkah laku sesamanya maupun tingkah laku mekhluk hidup lain yang berdampingan dengan mereka.
Pondok merupakan tempat yang ditinggali saat di hutan. Biasanya kami mendirikan sebuah tenda yang biasa kami sebut dom. Namun cara kebiasaan mendirikan dom bagi kami memiliki perbedaan dengan mereka. Di sana kami diajarkan tentang membuat pondok yang mirip rumah panggung. Pondok panggung tersebut dibuat karena keadaan tanah di hutan Merabu adalah rawa. Bayangkan saja jika kami mendirikan tenda di atas tanah berrawa, hal itu sangat berbahaya untuk keselamatan kami. Banyak hewan tanah yang akan masuk ke dalam tenda. Selain itu tanahnya yang berair akan membuat kami basah dan sangat tidak nyaman.
Mereka mendirikan panggung dengan alat yang telah mereka siapkan, yaitu Mandau (golok khas Dayak). Senjata tersebut bisa dikatakan sangat penting, tanpa Mandau semua kegiatan akan terhambat. Mereka mencari kayu yang kuat, lurus, dan aman yang artinya tidak berduri dan tidak bergetah yang akan menimbulkan gatal di kulit.Mereka tidak memerlukan tali buatan maupun paku untuk menyusun kayu-kayu menjadi sebuah pondok. Mereka cukup menggunakan rotan sebagai penyatu kayunya. Awalnya kayu ditancapkan ke dalam tanah sebagi tiangnya. Setelah itu susun lagi kayu sebagai alas panggungnya, bisa langsung disusun seperti lantai. Selain itu kayu juga bisa disusun sepasang-sepasang seperti tandu dengan karung sebagi alasnya. Mereka juga terbiasa menggunakan bahan alami seperti dedaunan yang disusun sebagai atapnya. Namun seringkali mereka mempersiapkan terpal agar lebih praktis.
ikan hasil memarang di aliran sungai Bu (dok-L)
 Setelah selesai bersama-sama membuat pondok, mereka akan secara otomatis membuat api. Tujuannya adalah bisa mengusir hewan yang berbahaya, menghangatkan, serta memasak. Mereka sering kali membawa perlengkapan masak, terutama panci. Sembari istirahat biasanya sebagian dari mereka mencari bahan makanan. Ikan adalah salah satu yang digemari, karena keadaan di hutan Merabu yang memiliki banyak aliran sungai.

Kamis, 02 Oktober 2014

Ilmu Harus Ditransfer Setiap Waktu

Ilmu adalah sesuatu yang terus bertambah. Pertambahan ilmu akan semakin cepat ketika ilmu itu sendiri semakin sering ditularkan kepada orang lain. Cara berbagi ilmu tidak hanya dilakukan di dalam kelas seperti halnya pelajaran di jenjang sekolah dan perguruan tinggi. Alam adalah guru paling besar yang bisa mengajarkan kita tentang kehidupan yang benar-benar nyata. Hidup berdampingan dengan makhluk lain, seperti hewan dan tumbuhan. Ketika sang guru besar dan kita bersatu saling mengajarkan suatu ilmu, maka maka ilmu akan semakin berkumpul dan bersiap menuju orang-orang yang benar-benar membutuhkan.
Sebelum melakukan ekspedisi, kami terlebih dahulu belajar tentang apa saja yang akan kami lakukan di lokasi ekspedisi. Setidaknya kami telah memahami ilmu tersebut. Kami tidak akan melakukan ekspedisi tanpa suatu ilmu yang kami bawa.
Masyarakat kampung Merabu umumnya memiliki kebiasaan berkegiatan di hutan. Selain itu mereka juga sering kali memasuki gua dan cerukan untuk sekedar beristirahat maupun memanen sarang walet. Sayangnya mereka belum sepenuhnya bisa melakukan hal yang lebih dalam berkegiatan di gua. Kebanyakan dari mereka hanya menjadi pengantar  atau porter bagi pengunjung yang akan melakukan pemetaan di gua. Sangat banyak gua yang ada di karst Merabu, sebagian diantaranya sudah ada peta guanya yang dibuat oleh ahli perguaan dari luar Merabu sendiri. Harapan dari pengurus kampung Merabu adalah agar para warganya terutama para pemuda mengikuti jejak para pendatang yang dapat membuat dan mendeskripsikan peta gua.
Harapan pengurus kampung mirip dengan harapan kami. Kami tidak ingin kekayaan yang mereka miliki bahkan tidak mereka pahami sendiri. Justru orang-orang di luar dari merekalah yang lebih paham akan kekayaan mereka.


kanan Henri, kiri Daud melakukan pemetaan
di Gua Sedepan Bu (dok-L)
Kami ingin mereka dapat membuat peta gua dan mendeskripsikannya, melakukan analisis vegetasi, dan yang paling penting adalah bagaimana mereka menjaga semua itu. Untuk itu kami menularkan ilmu yang sudah kami dapat sebelumnya. Hal pertama yang kami kenalkan adalah peralatan yang dibutuhkan dalam melakukan semua itu. Dalam pemetaan gua kami mengenalkan meteran sebagai alat pengukur jarak, kompas senagai alat penunjuk arah, klino sebagai pengukur kemiringan, laser disto sebagai alat pengukur ketinggian, serta alat tulis yang digunakan untuk mencatat segala sesuatu yang di dapatkan di gua.

Rabu, 01 Oktober 2014

Ekspedisi, Mudah atau Rumit?


            Ekspedisi adalah kegiatan yang wajib dilakukan oleh setiap makhluk hidup. Ekspedisi bisa dilakukan secara individu maupun berkelompok. Hal tersebut dilakukan dengan cara keluar dari kebiasaan atau sering disebut dengan zona nyaman. Tujuan dari ekspedisi adalah mengenal diri sendiri dan keadaan sekitar. Dengan keadaan kita yang berbeda dari keadaan maka akan timbul rasa kesendirian dan rasa jauh dari tempat tinggal sehingga dengan sendirinya kepribadian yang asli akan muncul. Keadaan yang mendesak akan mengakibatkan sifat sensitif muncul. Setiap orang memiliki kesensitifan yang berbeda. Beberapa orang akan terlihat lebih mudah marah, sabar, rajin atau malas, mudah bergaul atau tertutup, atau memunculkan sikap bijaknya. Hal itu terjadi secara alamiah.
Dengan mengenal keadaan sekitar maka kita dapat merasa kecil di mata Sang Kuasa. Kita juga bisa membandingkan bahwa apa yang terjadi di tempat kita tinggal dengan  tempat dimana kita berekspedisi. Apa saja yang menjadi kelebihan dan kelemahan diantara keduanya. Sehingga kita bisa mengambil nilai-nilai kehidupan yang patut diterapkan.
Ekspedisi tidak akan terjadi jika hanya dibayangkan saja. Perlu tindakan untuk mewujudkannya. Kadang tindakan yang dibutuhkan tidak cukup dengan perjuangan yang sedikit. Sangat banyak hal yang harus dipersiapkan. Terlebih jika ekspedisi dilakukan secara berkelompok. Sesama anggota kelompok harus terlebih dahulu memiliki ikatan batin yang kuat. Ikatan tersebut akan mewujudkan rasa kebersamaan, kekompakan, kerja sama, koordinasi, tanggung jawab atas sesama anggota, saling membutuhkan dan dibutuhkan, serta rasa saling membantu yang tinggi. Jika ikatan telah terjalin dengan baik, rangkaian ekspedisi akan berjalan dengan lancar.
kebersamaan akan muncul hasil komunikasi yang baik (dok-L)
Hal yang paling penting dalam rangka pengikatan batin adalah komunikasi. Semakin sering komunikasi terjalin maka proses pengikatan tersebut akan semakin  cepat. Komunikasi yang dilakukan bisa dengan cara langsung maupun tidak langsung. Untuk berkomunikasi secara langsung dilakukan dengan bertemu. Intensitas bertemu antar anggota sebaiknya diperbanyak, apalagi sebelum melakukan ekspedisi. Dengan bertemu secara langsung, informasi tidak hanya didapat dari ucapannya, namun juga akan terlihat dari pembawaan dari gerak geriknya secara verbal.