Senin, 14 September 2015

Kuliah? Liburan aja!

Masih bisu, masih tak dapat melihat apapun. Aku masih merenung dalam lamunanku. Beberapa waktu lalu aku menikmati liburan kuliahku yang mencapai 2 bulan. Aku mengunjungi tempat disela-sela kesibukanku mengasuh anak budheku. Walaupun hanya ‘mengasuh anak’ tapi membuatku kelelahan. Dari hal tersebut aku memahami bagaimana seorang ibu rela remuk badan untuk selalu menjaga anaknya. Rela bangun pagi untuk mengucapkan “selamat pagi malaikat kecil”. Dan pastinya rela mati untuk melihat anaknya menikmati dunia yang sungguh terang dan luas ini, yang pastinya belum pernah kurasakan.


Tempat yang pertama kali aku kunjungi adalah Slamet. Ya, aku merayakan ulang tahunku yang ke-20 tahun di puncak nan megah itu. Aku rasa bisa dilihat di ceritaku http://veviedelaak.blogspot.co.id/2015/09/kado-dari-puncak-tertinggi-jawa-tengah.html . Dieng adalah tempat menarik yang kerap dikunjungi wisatawan lokal hingga asing setiap liburan mapun hari kerja. Sebagian wilayah Dieng masuk ke dalam Kabupaten Wonosobo dan sebagian lainnya Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah. Liburan ini aku sempat mengunjungi dataran tinggi nan dingin itu 2 kali. Untuk pertama kalinya aku mengantar teman seperjuangan di kampung halaman untuk mendaki Gunung Prau yang sedang menjadi destinasi yang ramai akhir-akhir ini.


Ada beberapa pendapat mengapa tempat itu menjadi terkenal, salah satunya adalah karena viewnya yang menarik yang terdapat pada kemasan air mineral ternama di Indonesia. Tak heran memang, karena ketika mendaki gunung tersebut kita merasa seperti berada di bukit ‘teletubbies’ orang menyebutnya. Apalagi suasana di puncaknya yang membuat kita merasaka seperti ada di negeri di atas awan, diselimuti udara dingin yang kadang mencapai minus saat musim kemarau. Selain itu, untuk mendaki gunung ini aksesnya sangat mudah, hanya membayar beberapa ribu rupiah untuk retribusi dan jalur yang aman (pendek dan landai) untuk pemula yang tidak terbiasa naik gunung.

Untuk cerita mendaki Gunung Prau  ini sudah pernah aku ceritakan walaupun pada waktu dan orang yang berbeda, tapi ceritanya tidak terlalu beda. Satu hal yang membedakan hanyalah suasananya yang lebih ramai karena kita mendaki di saat libur lebaran. Oh ya satu lagi, ini adalah kali pertamaku mengajak adikku mendaki gunung. Semoga saja dia tidak ketagihan.


Kedua kalinya aku ke Dieng adalah bersama saudara baikku, tepatnya om dan tante kecilku. Kami ke sana untuk melihat esta lampion yang telah beberapa tahun rutin diadakan di Dieng sebagai simbol penutupan Dieng Culture Festival. Sesuatu yang penting terjadi saat itu, saat tanteku muntah di dalam mobil karena memang jalanan menuju Dieng sangat berliku dan naik turun. Kami sempat merasa bosan saat itu, dan kami mencoba menghibur diri dengan ngopi diiringi musik disko bervolume kencang dari dalam mobil kami. hampir semalaman kami nongkrong di Candi Arjuna sembari menunggu jalanan bisa dilewati, saat itu kemacetan di sana melebihi Jakarta di kala orang-orang kantor mulai pulang kerja.

Siang hari setelah merayakan pesta lampion di Dieng aku memutuskan untuk ikut om ku pulang ke Bogor. Ngomong-ngomong aku kangen juga dengan suasana kota tempatku kuliah, walaupun kuliah masih lama dimulai. Nyatanya hanya 3 hari aku di Kota Hujan rasanya sudah bosan. Aku mengumpulkan beberapa lembar uang yang kemudian kugunakan untuk membeli tiket kereta ke Cilacap. Kebetulan ada teman lama yang mengajakku untuk ikut tour vespa (lagi) ke Pangandaran. Tidak mungkin aku tolak, itu adalah salah satu hobikku yang pernah juga aku ceritakan.

Jumat, 11 September 2015

Kado dari Puncak Tertinggi Jawa Tengah

Usia bukanlah hal yang paling berpengaruh terhadap kedewasaan seseorang. Banyak orang tua yang bersikap seperti anak kecil, mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan dengan matang hal-hal yang berpengaruh. Banyak juga para mudawan yang sudah bisa berfikir dewasa dalam menentukan masa depan maupun mengambil kebijakan. Hari itu aku berfikir tentang usiaku yang semakin bertambah. Adikku pernah bilang “Usia tuh hanya angka kak, kakak bisa menjadi dewasa sebelum usia kakak semakin mena.”

Aku sempat merancang untuk merayakan ulang tahunku yang ke 1/5 abad ini dengan matang. Aku ingin pergi ke suatu tempat yang menawan, bermain di Segara Anak di Gunung Rinjani. Nyatanya aku harus menerima kenyataan kalau Tuhan memilihkan tempat lain yang tentunya lebih baik. Telah lama aku ingin mendaki gunung nan gagah yang biasa ku lihat sepanjang perjalanan di Kota Tegal, yaitu Gunung Slamet. Pasir yang terlihat keabu-abuan dari kejauhan menggodaku, seakan-akan berbisik “Sini, main bersamaku.”

Aku membuat rencana ulang untuk mendaki Gunung Slamet, ada beberapa teman yang bersedaia menemani perjalanan istimewaku kali ini. Mereka adalah Kholik (UPL Unsoed), Tio (Sky Prabumulih), Galang (Lawalata IPB), dan Lukman (Lawalata IPB). Kami bersepakat untuk bertemu di Purwokerto, tepatnya di sekretariat UPL Unsoed, sebelum selanjutnya kami memualai petualangan ini.

Banyak hal yang kita persiapkan untuk perjalanan 3 hari. Manajemen perjalanan yang sehari-hari kami pelajari kita terapkan kembali di sini. Aku tidak akann menceritakan tentang hal itu kali ini. Kita memilih untuk melewati jalur Baturaden, karena ini jalur yang paling dekat dengan posisi kita saat itu, selain perijinannya yang lebih mudah. Aku selalu mengambil posisi di

Selasa, 08 September 2015

Studi Lapangan Kecil nan Pnjang di awal 2015 part 2

masih ingat cerita Studi Lapangan Kecil nan Panjang di awal 2015? lihat kembali http://veviedelaak.blogspot.com/2015/05/studi-lapangan-kecil-nan-pnjang-di-awal.html.

Tanggal 1 Februari kami melanjutkan perjalanan ke Kasepuhan Adat Ciptagelar . seperti biasa sebelum berjalan, terlebih dahulu materi navigasi darat diterapkan, tentunya agar jalur yang akan dilewati benar-benar tepat. Hanya 2 jam perjalanan melewati jalur tanah yang licin dan banyak pohon tumbang kami pun sampai pada kampung tujuan. Melihat pemandangan yang menawan dari atas kampung membuat kami lega, karena sebentar lagi kami akan beristirahat dan pastinya akan ketemu Abah Ugi.

Gambar 4 Kasrizal, Ariya, Akbar, Ve (ki-ka) begaya dalam perjalanan menuju Kasepuhan Adat Ciptagelar
Sesampainya di sana kami langsung bersih-bersih karena badan kami yang basah dan penuh lumpur. Kami merinding, kulitpun mengeriput karena air di kampung ini terasa sangat dingin. Teh hangat adalah minuman ampuh yang dapat meningkatkan suhu tubuh kami. Bersisir-sisir pisang terhidang di depan kami, dan racikan kopi berhasil membuat mata kami liar meliriknya. Dengan gelas-gelas kaca kami dipersilahkan untuk menyeduhnya sendiri, karena kebiasaan warga kampung agar pengunjung merasa berada di rumah senidiri. Dan prasmanan makan sore siap menyambangi perut kami yang rasanya permukaan dalam usus telah saling menempel.

Sambil santai, kami berbincang dengan warga dan menikmatisejuknya kampung adat ini. Kasepuhan Adat Ciptagelar memiliki pranata sosial yang menurut Kang Yoyo berjalan lebih teratur daripada negara kita ini. Dengan beberapa rorokan yang ada, kampung ini sangat teratur. Setiap rorokan yang diibaratkan seperti menteri di suatu negara memiliki fokus pekerjaan tersendiri. Untuk mengkajinya, kami membagi MPCA ke setiap rumah rorokan. Tiap rumah rorokan dibagi ke setiap 2 orang MPCA. Kajian yang dilakukan tidak terpaku pada hal yang dilakukan rorokan yang ditinggali. Mereka bebas akan mencaritahu tentang hal yang membuat mereka tertarik. Waktu satu malam dirasa kurang, namun kami harus melaksanakan rencana kegiatan yang telah dirancang.

Cerita tentang leuit, kesenian, kerajinan tangan, upacara adat, dan lainnya cukup membuat kami penasaran untuk kembali lagi di waktu berikutnya agar bisa mempelajari lebih dalam tentang Kasepuhan Ciptagelar ini.
Gambar 5 Deretan Leuit yang menjadi salah satu kekhasan dari Kasepuhan Adat Ciptagelar

Tiga Dunia Satu Kenangan

Sudah lama aku berjalan. Jauh sebelum aku mengenal dunia ini. malam ini aku mencoba kembali mengingatnya. Dulu aku adalah seorang anak kecil yang renggis. Mas ku menyebutnya seperti itu. Hobiku adalah main becek di sawah atau naik bukit di kebun kopi milik kakekku. Aku kumel dengan rambut yang selalu diikat satu ke atas tanpa poni. Keningku jenong seperti lapangan golf, mereka menyebutnya.

Aku sempat sangat frustasi dan akhirnya aku memotong rambutku cepak. Walaupun itu keinginan yang telah lama tersirat dalam pikiranku juga sih. Pada masa itu rasanya aku sangat jarang punya teman perempuan sebaya. Aku lebih suka main dengan om-om ku yang usianya 3-5 tahun diatasku. Namun pada saat itu aku sangat tidak memanfaatkan keadaan untuk bermanja-manja di depan mereka. Aku selalu mencoba terlihat strong.

Bukan menyombogkan kenakalanku di masa lalu. Tapi aku hanya sedang megingat saja. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Saudaraku lelaki berusia 5 tahun lebih muda dariku. Sifatnya sangat bertolak belakang denganku. Dia yang lembut dan penyayang anak kecil, berbeda denganku yang menjadi ‘hantu’ di depan balita. Dia yang selalu dimanjakan Ibu, aku bahkan lebih sering menyakiti hati Ibu kami.

touring bersama anak Purwokertoke Cirebon.

Rabu, 24 Juni 2015

Apakah kamu telur? kentang? atau biji kopi?

Diantara burung yang terbang di langit
Hanya satu yang nampak gagah mengepakkan sayapnya
Dia sangat menikmati angin yang menabrak wajahnya
Paruhnya kecil namun kakinya terlihat kokoh
Matahari terbenam memantulkan cahayanya ke bulu sang burung
Biru kehitaman menegaskan bahwa ia memang menarik

Tak lama kemudian ia bertengger ke pepohonan yang telah rapuh
Matanya seolah sedang mencari suatu hal
Kanan, kiri, agak menyerong, dan semua sudut ia jelajahi dengan matanya
Sayangnya ia tak dapat memutar lehernyaa untuk melihat ke belakang
Wajahnya yang riang berubah memurung, entah apa yang ia pikirkan

Seekor burung cantik dengan kaki yang pincang diam-diam mengintai
Ia berdiri mengintip dari kejauhan belakang si Biru
Si pincang tak mengerti bagaimana mengungkapkan keinginannya
Yang ia tahu hanyalah mencintainya dari kejauhan
Tidak memikirkan si Biru yang sedang mencari apa yang dicari

Diam dan menunggu, hanya itu yang dilakukan si Pincang
Namun ia tetap berusaha menutupi kelemahannya
Ia tak pernah sedikitpun mengeluh untuk selalu sendiri
Si Biru terus berkelana melukis kisahnya di langit
Sedkiti demi sedikit ia mengumpulkan ranting dan dedaunan

Tak ada yang menyangka matanya yang menjelajah waktu itu
Ya, itu ia lakukan untuk mencari singgasana yang nyaman sebagai rumahnya
Diam-diam si Biru juga telah lama mengintai si Pincang
Niat tulusnya adalah merajut kasih dengan burung berbulu kemerahan itu
Menggendongnya untuk tinggal bersama dalam satu sarang

Mereka saling mencintai sepenuh hati
Langit menjadi kesukaan mereka
Hidup bahagia selamanya
Selama masih ada langit
Dan sarang yang nyaman di bulunya

Twitter : @viedela_ve
IG : veviedelaak
Email : veviedelaak@gmail.com
Phone : 085742283163

Selasa, 16 Juni 2015

Cahaya Bunda

Dialah yang selalu heran dengan segala perbuatanku. bermain dengan saudara kaleng tua (vespa), bercengkrama dengan kucing buluk, fokus dengan ponsel genggamku, kebiasaan susah mandi, dan sebagainya. Nampaknya dia mulai terbiasa dengan kekonyolan yang kuperbuat. Kekonyolan terbaru adalah mengajaknya untuk mendaki sebuah bukit. Ya, kua ajak dirinya untuk sejenak menikmati keindahan-Nya di sebuah bukit bernama Sikunir. Akhir-akhir ini Sikunir yang terletak di Dieng, Jawa Tengah menjadi trend pembicaraan para pemburu keidahan.

Dia selalu memuji keindahan itu dari beberapa lembar foto yang sering kuperlihatkan padanya. "Daripada hanya melihat di foto saja mending kita lihat langsung.". Tidak kusangka dia menyetujuinya. Oke waktunya bernagkat. Kebetulan ada satu kawanku yang juga ingin pergi ke sana, namanya Cepot. Lucu ya? Ya memang mukanya mirip wayang golek berwajah merah asli Tanah Sunda itu loh, bedanya Cepot yang ini mukanya coklat sawo hampir busuk. Oh ya hampir lupa, aku juga mengajak teman kecilku bernama Dasir orang ngapak yang gaya bicaranya selalu membuat orang tertawa.

Menunggu Cepot di Pertigaan Dieng

Kembali ke topik. Aku, bunda, dan Dasir berangkat dari rumah di siang hari, keadaan saat itu hujan lebat. Apakah ini pertanda buruk? Kami berjanjian dengan Cepot di pertigaan depan terminal Dieng.

Ujikesabaran pertama adalah menunggu selama berjam-jam. sampai ngantuk, lapar, dan sedikit-sedikit muncul prasangka buruk. Beda dengan Bunda yang dengan sabar untuk berprasangka baik. Beda juga dengan Dasir yang selalu bertanya "Dia sampe mana?"



Waktu menjawab pertanyaan kami, Cepot datang dengan muka tak berdosa. Yasudah lanjut saja untuk langsung ke tempat tujuan. Jalanan berkelok dengan lubang jalanan yang tidak beraturan membuat Bunda agak merasa ngeri. Dataran tinggi memang identik dengan kondisi tersebut, ditambah dengan jalanan yang naik turun. Hanya beberapa menit saja kami sampai di lapangan awal pendakian Bukit Sikunir. Pendaki dilarang untuk menginap di puncak, jadi terpaksa kami mendirikan tenda di lapangan itu.

Kali pertama bermalam dengan orang-orang tersayang, bunda dan sahabat-sahabatku. Malam itu rupanya bersahabat juga dengan kami. Sedikit demi sedikit bintang bermunculan menemani obrolan sederhana kami. Tidak lupa bercangkir-cangkir kopi dan teh hangat merasuki tubu kami. Tidak mengnal lagi kesunyian, yang ada hanya tawa yang memecah langit dan membangunkan bulan. Jika Payung Teduh punya lagu Menuju Senja, kami punya kenyataan menuju pagi. Karena mata kami enggan terpejam untuk sedikitpun melewatkan waktu kebersamaan itu (lebay kan sampai tak sedetikpun terpejam). 
 
Sebelum sang fajar datang terlebih dulu kami menjemputnya. Aku menggandeng hangat tangan bundaku untuk mendaki bersama ke Puncak Sikunir. Setengah perjalanan kami menikmati lampu-lampu yang satu per satu mulai dipadamkan. Cahaya mentari pun sedikit-sedikit menyelinap diantara dedaunan. Agak lama ya, karena bundaku sudah lumayan lemas dan harus banyak istirahat di perjalanan. Setelah sabar berjalan akhirnya bundaku sampai loh di puncak itu. Aku sangat bersyukur bunda bisa menikmatinya bukan hanya dalam lembaran fotoku, ya ngga?
Akhirnya tersenyum juga. Fb : Intan Nur Aini
Tau kan lembutnya, hangatnya, indahnya cahaya matahari pagi? Itulah kiasan untuk bundaku. Orang yang kuat, mimpi yang tinggi, tapi tetap lembut, hangat, dan cantik. 


ini bundaku, mana bundamu?
ini sahabatku, mana sahabatmu?
inilah kebahagiaan dari Tuhan.

Seseorang yang selalu bersinar di depan anaknya, selalu memberikan semangat di pagi hari, menyadarkan di siang hari, dan melelapkan di malam hari.
Maafkan aku yang hanya begini-begini saja kerjaannya. Merenung, menghayal, dan memikirkan hal yang tidak penting. Yang pasti aku tidak mau kehilangan CAHAYA BUNDA ku
twitter : @viedela_ve
IG : veviedelaak
phone : 085742283163

Surat untuk Tuhan

Ramadhan datang lagi. Aku belum mempersiapkan apapun untuk menyambutmu. Akulah si dekil, kotor, dan najis penuh dosa.  Aku malu untuk menyambut kedatanganmu tanpa sesuatu yang kuimpikan pada kehadirannmu tahun lalu. Setahun lalu kau memberikan sebuah nilai yang kujanjikan akan kupebaiki tahun ini. Seperti sebuah kompetisi yang kulakukan dengan waktu. Waktu berjalan lebih cepat dari yang kubayangkan tanpa meninggalkan kesalahan sedikitpun. Tapi aku? Banyak yang kulewatkan sampai saat ini. janjiku pada bunda, janjiku pada langit, dan janjiku pada diriku sendiri semua menjadi ingkar oleh diriku sendiri. Nyatanya aku berdusta.  Tapi mengapa tanpa dendam kau tetap mengunjungiku?  Bahkan kau rela menghapuskan dosa-dosaku tanpa pamrih. Masihkah aku pantas mendapatkannya?
Tuhan maafkan segala langkahku yang terlalu sering menyimpang. Maafkan segala pikiran busukku mengenai alam raya beserta isinya. Maafkan mataku yang selalu melirik hal bodoh yang tidak wajar dilakukan oleh seorang muslimah. Seluruh tubuhku yang melakukan yang Kau larang. Aku rela untuk dihempaskan ke dunia hitam agar aku dapat kembali ke keindahanmu dengan suci Tuhan.

Kalau ditanya apakah aku siap mati? Ah rasanya pertanyaan itu bodoh. Atau aku yang tidak berani karena aku belum punya “celengan” untuk menuju-Mu?
Aku tak lai berani untuk berjanji. aku hanya ingin melwatkan Ramadahnku bersama Tuhan, Bunda, Restu, dan sanak saudara dengan ketenangan. Marhaban Ya Ramadhan. Maafkan segala kesalahan kawan.

twitter: @viedela_ve
IG : veviedelaak
phone : 085742283163

Senin, 11 Mei 2015

Studi Lapangan Kecil dan Panjang di awal 2015 part 1

Tidak terasa sudah bulan Mei, dan saya baru ingat ada sesuatu yang belum saya kecitakan. Ini cerita yang pasti ada setiap tahun di Lawalata, tapi kali ini cerita saya berbeda. Tulisan ini saya buat pada bulan Februari 2015.



Gambar 1 anggota MPCA LAWALATA IPB sejumlah 19 orang yang siap menempuh Studi Lapangan Kecil

Saatnya datang kegiatan tahunan yang biasa dilakukan oleh Lawalata yaitu Studi Lapangan Kecil Masa Pembinaan Calon Anggota (SLK MPCA). Tujuan SLK untuk mempertajam materi yang telah diberikan dari pertama MPCA dilantik. Adapun materinya adalah survival, SAR, navigasi darat, metode komunikasi, jurnalistik, dan dokumentasi. SLK juga bertujuan untuk mempererat ikatan antarMPCA sehingga kedepannya akan mudah dilakukan kegiatan besar yang dilakukan bersama.

Sebelum melakukan kegiatan SLK tersebut, MPCA terlebih dahulu harus menjalani karantina yang dilakukan di sekertariat Lawalata. Karantina dilakukan untuk mempersiapkan seluruh keperluan untuk perjalanan panjang SLK. Persiapan tersebut antara lain adalah persiapan fisik dengan berolahraga rutin dengan porsi yang telah ditentukan oleh tim Badan Pembinaan Calon Anggota (BPCA) dan menjaga asupan makanan, mental, peralatan jalan minimum, dan berlatih koordinasi seperti membuat saung, taman, dan kolam di halaman sekertariat Lawalata, serta pendalaman literatur tentang jalur dan kegiatan apa saja yang akan dilakukan selama SLK.

Jalur SLK dirumuskan oleh BPCA dengan persetujuan anggota Lawalata. Perjalanan dimulai dari desa Cirasamala, lalu naik ke gunung Halimun, setelah itu turun kembali menuju Kasepuhan Adat Ciptagelar melewati hutan Pameungpeuk, dengan tujuan akhir di pantai Seupang, Sawarna, Sukabumi. Semua rundownpun telah dibuat sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Tanggal 26 Januari 2015 adalah saatnya kami semua untuk packing. Segala sesuatu terkait logistik dipersiapkan dengan baik, tidak ada yang tertinggal, dan membuat packing-an serapih mungkin sehingga ransel terasa nyaman di punggung. MPCA yang mengikuti kegiatan ini berjumlah 19 orang, dan anggota Lawalata yang mendampingi berjumlah 5 orang, yaitu Ve, Daus, Aziz, Raycel, dan Anisa. Sebenarnya anggota MPCA terdiri dari 20 orang, tetapi 1 orang tidak ikut dalam kegiatan SLK karena kecelakaan kecil yang dialaminya saat karantina.

Hari yang ditunggu-tunggupun datang, 19 anggota MPCA dan 5 anggota Lawalata terlihat gagah dengan ransel dan sepatu gunungnya masing-masing. Pukul 9.00 WIB kami berangkat menuju desa Cirasamala menggunakan satu buah truk. Kondisi jalan yang kurang baik karena melewati tumpukan batu membuat badan kami bergoyang dalam truk. Setelah 4 jam perjalanan kamipun sampai di desa Cirasamala. Turun dari truk kami melenjutkan dengan berjalan kaki menuju Gunung Halimun. Sesampainya di pucak 1 Halimun kami mendirikan tenda untuk menginap.

Gambar 2 Anisa, Ve, Daus, Pak Oding (ki-ka) 
selalu mendampingi MPCA selama perjalanan 
SLK di Gunung Halimun

Hari berikutnya adalah saatnya kami untuk menembus puncak utama Halimun ditemani Pak Oding warga asli desa Cirasamala. Perjalanan tersebut sangat menguji kesabaran kami, karena harus melewati 7 puncakan terlebih dahulu. Di puncak utama kami beristirahat dan makan siang terlebih dahulu. Tepat pukul 13.00 WIB kami turun dan langsung menuju hutan Pameungpeuk. Satu anggota Lawalata terlebih dahulu pulang karena ada kepentingan yang harus diselesaikan yaitu Anisa. Selain Anisa, semua melanjutkan perjalanan sampai ke pintu masuk hutan Pameungpeuk. Sampai di sana waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Di pintu masuk hutan Pameungpeuk kami kembali mendirikan tenda untuk beristirahat. Ada tambahan 2 orang anggota yaitu Akbar dan Aji. Hal itu membuat suasana semakin ramai.

Tanggal 29 Januari 2015 pukul 09.00 WIB kami melanjutkan perjalanan sampai setengah sebelum sampai ke Kasepuhan Adat Ciptagelar. Karena di pertengahan hutan itu kami akan menerapkan materi sesuai dengan rencana. Rencana kami adalah bermalam 3 hari di sana. Pada malam kedua ada juga tambahan anggota Lawalata yang menyusul yaitu Sheila, Ariya, Kasrizal, Galang, Irham, Hanif, dan Ira. Di sana, MPCA mempraktekkan lapangan SAR dan survival yang dilakukan dengan lancar.


Gambar 3 MPCA melakukan orientasi medan denga mengaplikasikan navigasi darat sebelum melanjutkan perjalanan

Disambung besok ya kawan, shalat Maghrib dulu. Masih banyak cerita sesampainya di Desa Ciptagelar, dan serunya di Pantai Seupang.

Twitter : @viedela_ve
IG : veviedelaak
Email : veviedelaak@gmail.com

Senin, 04 Mei 2015

Sebuah Buku untuk Hari Pendidikan nasional

Bersyukur bahwa Buku Hasil Ekspedisi Tanah Borneo yang berjuduk “Kampung Merabu, Serpihan Surga Rima Puri Tanah Borneo” telah selesai dibuat. Awalnya aku tak yakin buku ini akan selesai, karna setelah dikuatkan satu sama lain akhirnya kami mencoba memulai terlebih dahulu tanpa memikirkan hasilnya. Bulan November 2014 lalu aku bertemu dengan Mba Rita Mustikasari di suatu tempat secara tidak sengaja. Seminggu setelah itulah kami janjian untuk ketemu lagi.

Setidaknya aku sudah punya beberapa bayangan tentang cerita yang akan kami masukkan ke dalam buku tersebut. Yang pasti kami ingin foto kami mampang di dalam buku (selalu narsis, pengen banget dikenal orang). Salah satu dari kami nyletuk, “Kalau mau fotonya dimasukkin ya tulis ceritanya.”,  betul sih. Oh ya lanjut, paling tidak kalau hari Minggu ga ada kerjaan aku bertemu dengan Mba Itok (panggilan untuk Mba Rita Mustikasari) untuk sharing apa yang telah kami tulis dan curhat dikit tentang kendala peyusunan buku kami ini.

Berbulan-bulan kami mengerjakan ini (walaupun tidak sampai lembur setiap malam), tapi kami masih bisa jalan-jalan. Aku sempat pergi ke Lampung, Palembang, dan melakukan kegiatan perjalanan pajang SLK, mungkin jika aku tidak pergi buku ini bisa selesai lebih cepat. Setelah semua dokumen tulisan dan foto terkumpul, kami kemudian menyusun dan mengeditnya. Kami dibantu oleh Mba Itok da Mba Nonet (bernama asli Sudiah Istiqomah) dalam pengeditan. Wow 2 orang senior ini adalah pentolan-pentolan penulis di Lawalata IPB (organisasi kami), dengan sabarnya mendampingi dan memberi kami pengarahan pembuatan bukudari awal hingga selesai, bahkan hingga pempublikasian buku ini.
Cover Buku "Kampung Merabu, Serpihan Surga Rima Puri Tanah Borneo"

Hingga akhirnya tanggal 1 Mei 2015 buku kami sudah selesai dalam bentuk Pdf. Tanggal 2 Mei 2015 bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional akhirnya kami launching buku “Kampung Merabu, Serpihan Surga Rima Puri Tanah Borneo” di Kedai Kopi Klotok Cibanteng Dramaga, Bogor (sebelah kanan Kantor Pegadaian). Kami memilih Hardiknas agar kita semua saling ingat bahwa menulis dan membaca adalah hal yang sangat penting dan membuat kita bebas berfikir tanpa batas.


Setelah launching rasanya seperti bisul yang pecah (walaupun aku belum pernah bisulan), lega banget. Bagus juga tanggapannya yang secara langsung diungkapkan kepada kami maupun lewat media sosial yang kami miliki. Beberapa orang yang memberi tanggapan menginginkan memiliki buku ini. Kami merasa sangat berharga bisa membagi pengalaman dengan orang lain. Kami harap dengan membaca buku ini, pembaca dapat merasakan berada di Kampung Merabu. Menikmati  keramahan warganya, bisa berenang di Sungai Lesan, dan bercerita tentang Bunga Inu dengan Pak Ransum (wakil kepala adat Dayak Lebo Kampung Merabu), berpesta serta menarikan tarian Remit Bunga, dan mencicipi manisnya Madu Hutan yang diproduksi sendiri oleh warga Kampung Merabu. 
Andayani, Kasrizal, Sheila, Ve (saya)

Twitter : @viedela_ve
Fb : Viedela AK
Email : veviedelaak@gmail.com
IG : veviedelaak

Selasa, 03 Maret 2015

Maling dan Keamanan

Seringkali aku merasa gelisah, keamananku terganggu. Berita begal dan maling sedang memarak di Bogor dan sekitarnya. Detak jantungku belakangan ini selalu berdetak lebih cepat setelah kejadian kemalingan 5 hari lalu. Bisa-bisanya maling sekarang sangat cerdas dalam memahami teori peluang. Tau aja kalau rumahku sedang tidak kosong.
Sepulang kuliah sore itu aku berniat pulang dan mengecek listrik di rumah kontrakanku di Perumahan Taman Dramaga Permai. Awalnya aku melihat suatu kejanggalan yang ada di dalam rumah, posisi kotak buku yang terbuka, kopet yang berada tidak pada tempatnya, dan saat membuka lemaripun rasanya baju berantakan. Padahal sebelumnya aku baru saja merapihkan semua itu.
Aku mulai curiga, kutelusuri setiap sudut rumahku apa yang sebenarnya telah terjadi, karena aku merasa perbuatan itu tidak mungkin dilakukan oleh makhluk halus yang licik. Itu adalah hasil tangan manusia yang serakah. Benar saja, pintu kamar sebelah telah terbongkar gemboknya. Di sana aku belum mengetahui barang yang hilang dari kamarku. Langsung saja aku ke ruang belakang dan melihat tembok yang sudah berlubang. Kalau sudah begini pasti ada yang tidak beres. Benar saja kulihat pompa air yang berada di dapur telah lenyap. Aku masih belum mempermasalahkan hal itu.
Beberapa detik aku merasa tidak punya tulag ketika aku tahu barang kesayanganku menghilang. Redo menghilang, Redo adalah kawan berpetualangku selama ini, dia adalah ransel gunungku. Saat itu aku mulai meneteskan air mata, rasanya separuh jiwaku pergi. Betapa teganya si maling, karena ternyata bukan hanya dua barang itu yang dia ambil, namun banyak lagi barang-barang yang tidak bisa juga dianggap remeh, seperti jaket, pakaian, HP (walaupun sudah tidak aku pakai), hingga barang-barang kecil seperti stop kontak dan beberapa celengan uang koin yang sengaja aku kumpulkan.
Kurang nikmat apa hidup di dunia ini, dengan bodohnya dia mengotori dengan perbuatan yang memalukan seerti itu. Atau mungkin aku yang sedang kurang beruntung, dan barang-barang yang diambilnya lebih berguna untuk dia. Aku tidak bisa memaknai dengan sempurna. Walaupun begitu aku harap kota ini masih aman untuk aku bermain dan belajar. Aku himbau untuk para pembaca agar selalu waspada, jaga diri dan barang anda dimanapun anda berada. Laporkan segera ke pihak keamanan jika terjadi suatu hal yang mengancam keamanan anda.
Twitter : @viedela_ve

Jumat, 13 Februari 2015

Merabu Juga Punya Rambo

Hutan Merabu adalah tempat main bapak borotot yang satu ini. Pak Rana adalah pribadi yang unik di Kampung Merabu. Parasnya yang kekar dengan gigi yang sedikit hitam membuat penampilannya semakin gagah, sehingga warga sering memanggilnya Rambo. Kebiasaan tidak memakai baju adalah salah satu hal unik Pak Rana yang memudahkan kami mengenalnya. Celana pendek dan sepatu karet cukup untuk menemaninya dalam petualangan di hutan. Dan seperti suku Dayak pada umumnya, Pak Rana tidak pernah lalai menggantungkan mandau di pinggangnya. “Kalau tidak bawa mandau, aku merasa ada yang kurang.”, ucap Rambo saat membersihkan tanah dari rumput liar.

Parasnya yang seram membuat kami takut menatapnya saat pertemuan pertama kami. Saat itu kami beradaa di kantor Kerima Puri sembari melakukan pembagian sumberdaya warga yang menemani kami dalam pengambilan data di hutan. Asap rokok pekat menyebul dari mulutnya, duduk di pojok ruangan Kantor Kerima Puri. Kami belum sempat berbincang dengannya, hanya saja beberapa kali kami meliriknya dari kejauhan tanpa sepengetahuannya.
Betapa kagetnya kami ketika mendengarnya tertawa, kami tertawa melihatnya tertawa. Gigi-gigi hitamnya ditonjolkan dan matanya yang sipit semakin tak terlihat ketika beliau tertawa. Dari hal tersebut kami tidak lagi canggung berkegiatan dengan beliau. Tergambar jelas bahwa beliau benar-benar seorang kawan yang peduli. Kami dibuat selalu ceria oleh Rambo yang satu ini. Hatinya begitu lembut, jauh berbeda dengan paras seramnya.
Pak Rana adalah mertua dari Kepala Kampung Merabu, Pak Franly Oley. Saat itu beliau sudah memiliki seorang cucu yang berernama Jesica Oley hasil perkawinan anak perempuannya. Pak Rana menyayangi Jesica, beliau mengabulkan semua kemauan cucu pertamanya tersebut.
Bicara tentang Merabu, tidak lepas juga bicara tentang hutannya yang menyimpan kekayaan nan melimpah. Hutan menjadi tempatnya unruk pulang. Karena hampir setiap hari beliau pergi ke sana. Banyak yang ia kerjakaan, dan sangkin seringnya hingga beliau hafal semua jenis pohon di hutan Merabu. Bukan hanya jenisnya, beliaupun paham manfaat dari setiap pohon. Karena beliau sendiri dengan warga Kampung Merabu masih sering menggunakan obat-obat alamiah yang diambil dari hutan. Sehingga beliau diutus oleh pihak The Nature Concervation untuk membantu kami mengambil data pohon dalam analisis vegetasi, untuk mengetahui nama lokal dan fungsi pohon tersebut.
Pak Rana menemani kami dalam pengambilan data analisi vegetasi di sekitar mulut gua Bloyot, Lubang Tembus, dan Sedepan Bu. Di Bloyot didapatkan hasil beberapa jenis pohon, yaitu petek, kelideng, ngelo, ketek-ketek, repeh, goros. Di Lubang Tembus memiliki beberapa jenis pohon, yaitu nayub, merenai, binang, langkor, dan ketek. Di sana juga terdapat banyak tumbuhan liana dan rotan yang biasa dimanfaatkan warga Merabu sebagai bahan kreatifitas. Sedangkan di gua Sedepan Bu hanya terdapat beberapa jenis pohon saja, hal tersebut terjadi karena jenis tanahnya yang berbeda dari Gua Bloyot dan Lubang Tembus. Tanah di Gua Sedepan Bu relatif lebih becek (karena merupakan aliran Sungai Bu), dan berbatu. Jenis yang diamati seperti binang dan ngelo, ukuran pohon juga relatif lebih kecil dari pohon-pohon yang diamati di eksokarst Bloyot dan Lubang Tembus.

Memiliki Ibu dan Ayah di Kampung Merabu

Satu lagi yang unik di Kampung Merabu, pertama kalinya dipakaikan gelang oleh sebuah keluarga belum lama kami kenal. Gelang atau kalung yang terbuat dari manik-manik telah diberikan kepada seseorang, artinya dia telah sah diangkat menjadi anaknya. Dayak terkenal dengan manik-maniknya, keberadaan manik-manik sudah sangat lekat dengan kehidupan suku Dayak. Namun dayak Lebo yang ada di Merabu  tidak memproduksi manik-manik sendiri, pembuatan kerajinan manik-manik hanya dilakukan ketika ada keperluan saja, seperti sebagai hadian kepada pendatang yang diangkat menjadi anaknya. Tim ekspedisi yang berjumlah 13 orang semua diangkat menjadi anak oleh 13 keluarga. Prosesi pengangkatan dilakuakan dalam pesta pelepasan sebelum kami pulang.
Banyak jenis manik-manik khas Suku Dayak. Jenisnya digolongkan menurut bentuknya maupun bahan utama pembuatnya yang berasal dari batu, plastik, maupun yang lainnya. Setiap manik-manik juga digolongkan sesuai warnanya, karena setiap warna memiliki makna yang dalam dan sakral bagi setiap pemiliknya. Warna yang mencolok juga menjadi ciri bahwa manik tersebut merupakan manik Dayak, ada merah, kuning, hijau, dan biru. Merah bermakna semangat hidup, biru bermakna sumber kekuatan dari segala penjuru yang tidak mudah luntur, kuning bermakna simbol keagungan dan keramat, hijau bermakna intisari alam semesta, serta putih bermakna lambang kesucian iman seseorang kepada sang Pencipta.
Gelang yang diberikan kepada kami didominasi oleh warna kuning. Namun kami tidak mengetahui pasti apa tujuan mereka memberikan warna cerah tersebut, tapi yang pasti kami selalu mengagungkan dan menjadikan keramat untuk kampung Merabu. Jiwa kami telah tertanam di sana, dan kami tidak rela jika ada tangan-tangan yang mengusik kampung tanpa memperhatikan kesejahteraan orang tua kami. Kami juga tahu bahwa dengan dipakaikan gelang dan kalung oleh mereka, kami akan terjaga, terhindar dari gangguan roh jahat yang menginginkan mara bahaya bagi kami.
Ada kebanggan tersendiri ketika menjadi anak mereka. Kami merasa bahwa kami telah menjadi bagian dari Merabu. Kami bisa leluasa berkomunikasi pribadi dengan mereka, layaknya orang tua sendiri. Ada nama baik yang harus dijaga, bukan sebagai beban, namun justru menjadi kewajiban yang menyenangkan. Pengangkatan tersebut juga menandakan bahwa Merabu telah terbuka untuk kami, kapanpun kami datang sama artinya kami pulang, dan rumah pertama yang akan dituju pastilah orangtua di kampung tersebut.
Di waktu yang tersisa, kami menyempatkan diri untuk sekedar menyambangi rumah orang tua kami. Tujuannya agar lebih bisa terkenang kisahnya, kami bisa memandang wajah mereka dengan jelas, sehingga kami tahu bagaimana tepatnya garis wajah yang terlukis di sana. Lalu waktu tersebutlah yang kami manfaatkan untuk berpamitan. Kebaikan hati warga Merabu memang tidak pernah terukur, baru semalam kami menjadi anak mereka namun mereka sudah sangat menganggap kami seperti anak mereka yang keluar dari rahimhya. Segala perbekalan kami dapatkan, wejangan kehidupan telah kami genggam, satu lagi yang tak kalah mencirikan bahwa kami adalah anak dari kampung Merabu adalah dibekalinya kami dengan beberapa botol madu hutan asli khas Merabu.
Beberapa hal yang kami pelajari dalam keluarga mereka adalah adanya kenyamanan untuk selalu tinggal berssama. Sebagian besar warga tidak pergi dari rumahnya untuk meninggalkan keluarga. Pekerjaan yang dilakukan seluruhnya ada di kampung mereka. Siang hari mereka bekerja, malam tetap bisa berkumpul, bercengkrama dengan anak-anak membuat rasa lelah orangtua akan hilang. Di hari Minggu, mereka bersama-sama berjalan menuju gereja untuk beribadah.

twitter : @viedela_ve

Kamis, 12 Februari 2015

Pempek Jembatan Ampera

Hari ini begitu panas aku rasakan. Tak seperti hari-hari kemarin saat aku berada di kota empek-empek. Kota yang menyimpan banyak tempat wisata menarik tersebut tak sengaja menarik seluruh jiwa dan ragaku ke sana. Mau tidak mau aku harus meluangkan waktu untuk menyelesaikan sebuah misi rahasia di sana.

Beruntunglah aku karena misi tersebut datang pada saat ujian akhir semester tiga pada perkuliahanku di Institut Pertanian Bogor telah usai. Langsung saja aku bersiap untuk berangkat ke kota Palembang. Sebelum itu terlebih dahulu aku menuju ke Jakarta untuk memperjelas misi yang harus ku selesaikan. Esok harinya aku tancap gas, walaupun pak supir yang menginjak gas bus nya menuju ke pelabuhan Merak. Aku sengaja tidak menunggangi pesawat untuk menuju ke kota tujuan. Bukan karena takut setelah kecelakaan Air Asia, namun karena uangku pas-pasan. Dengan uang lima puluh ribu rupiah aku diantarkaan bus kota sampai pelabuhan Merak. Barulah sesamainya di sana aku menyebrangi lautan dengan kapal yang harga tiketnya adalah lima belas ribu rupiah untuk  sampa di pelabuhan Bakauheni. Saat kapal menepi, mulailah pemuda-pemuda ini beraksi, para penumpang melemparkan koin kepada mereka. Itulah cara mereka mendapatkan uang, sungguh membahayakan, tapi mereka seperti tak memiliki rasa takut.


Di bakauheni aku memilih beberapa bus yang bisa mengantrkanku ke terminal Rajabasa. Sore itu aku sengaja menuju ke rumah kos temanku terlebih dahulu, karena perjalanan ke Palembang masih jauh. Bus tersebut berpenumpang sangat paat, dan sialnya teryata bus yang ku naiki tidak memiliki fasilitas AC. Pantas saja harganya murah, hanya dengan Rp25.000 aku sampai di terminal Rajabasa.

Semalam istirahat di Lampung, aku pun melanjutkan perjalanan ke Palembang di pagi harinya. Kala itu sedikit melakukan kesalahan teknis. Harusnya aku memesan tiket kereta pagi dari stasiun tanjung karang menuju Palembang yang harganya Rp30.000, namun hal itu tidak ku lakukan. Hasilnya adalah aku harus menggunakan bus kembali, yang tentunya dengan harga yang lebih mahal, yaitu Rp125.000.  selama 12 jam perjalananku melewati lintas timur Sumatera dengan jalan yang berkelok, naik turun, dan seringkali berlubang membuat badanku serasa remuk berkeping-keping.

Tempat yang pertama aku tuju adalah sekertariat Mapatri Universitas Tridinanti, karena tidak ada tempat lain untuk ku beristirahat. Sepuasnya aku beristirahat semalaman di sana. seperti biasa, namanya saja Palembang, aku selalu di suguhi empek-empek, jajanan yang tidak pernah membuatku bosan. Pada malam hari berikutnya aku diajak berkeliling kota Palembang nan berwarna itu. Kami mengelilingi jembatan Ampera, Benteng Kuto Besak, Monpera, dan gelora Sriwijaya. Betapa bahagianya kami, sehingga beban misi yang kubawa agak terasa ringan.

Hadiah Termanis dari Kota Empek-Empek




Gunung Dempo, salah satu wisata pendakian yang terkenal di Palembang selain Serelo dan bukit Jempol. Kali ini dempo menjadi hadiah awal tahun untukku. Keindahan pemandangannya membuat aku tertarik. Apalagi dengan kawah gunung Merapinya yang seringkali berganti warna mulai dari abu-abu, biru, dan hijau.

Kebetulan saat itu ada beberapa nama yang sudah mempersiapkan diri untuk mendaki bersamaku, namun karena beberapa hal yang tidak bisa diganggu gugat akhirya aku melakukan pendakian ditemani dengan Tio, anggota Mapal Sky Prabumulih dan Buduk anggota Mapatri Palembang yang akan menyusul tim Mapatri lain yang sudah berada di kampung IV. Kami berangkat dari sekertariat Mapatri.

Untuk menuju gunung dengan ketinggian 3159 MDPL tersebut, terlebih dahulu kami harus menuju pagaralaam, menggunakan bus dengan tiket seharga Rp60.000 kami sampai di sana dengan waktu maksimal 9 jam. Pukul satu dini hari pada tanggal 18 Januari kami sampai. Rumah pertama yang harus dituju adalah Ayah Anton yang berada di Kampung I. Karena di sanalah pendaki harus mengisi daftar pendakian. Maka sediakanlah fotokopi KTP atau tanda pengenal lainnya seperti SIM dan Kartu Anggota. Biasanya untuk anggota kelompok mahasiswa pencinta alam, perlu menggunakan surat jalan dengan persetujuan ketua umumnya. Serta tidak lupa uang Rp5.000 kepada Ayah Anton.
Sampi di basecamp Ayah Anton, kami mandi, tujuannya adalah membiasakan diri dengan kedinginan, agar badan tidak terlalu kaget. Setelah mandi tentu saja mnghangatkan diri kembali dengan segelas kopi dan bercanda dengan pendaki lain. Tak lama kemudian Ayah Anton menemui kami dan obrolannya semakin seru, karena beliau yang sangat lucu sehingga kami puas tertawa.
Rencana memulai pendakian menuju kampung IV pada pukul 07.00 wib akhirnya gagal, karena kami baru terbangun pada pukul 10.00. Dengan gerakan cepat kami mulai packing dan berpamitan kepada keluarga Ayah Anton untuk berangkat. Namun sebelum berangkat kami terlebih dahulu mengisi perut di kantin. Rata-rata penghuni daerah kampung I ini adalah orang Jawa, sehingga masakan yang kami makan di pagi itu sangat kental dengan rasa jawanya, yaitu manis gurih.

Siang itu juga kami langsung menuju ke kampung IV. Perjalanan kami ditemani bukit-bukit yang penuh daun teh milik PTPN. Memang segar sih semuanya hijau, membuat mata kami terbuka lebar, namun lama kelamaan kami merasa bosan dengan pemandangan yang sama. Kami berjalan sangat santai, banyak istirahat, karena perjaanan ini adalah awal yang kami jadikan pemanasan.

Udara dingin yang awalnya menembus kulit berubah mejadi cucuran keringat di pori-pori kulit kami. Namun akhirnya lelah kami berakhir. 3 jam perjalanan yang kami tempuh cukup untuk membuat kami kepanasan. Pukul 15.00 wib kami sampai di resort, tempat yang biasa digunakan untuk mendirikan tenda. Di sana sudah ada beberapa tenda yang berdiri, yaitu dari Mapatri dan Alfedya.

Cikuray bersama Redo

Aku tidak pernah menyangka akan seraapuh ini. Awalnyaa aku anggap masalah itu biasa saja, tapi aku lama-kelamaan frasa “aku rapopo” tidak lagi sanggup aku ucapkan. Biasanya untuk memulihkan keadaan, aku akan pulang dan melepaskan segalanya di rumah, dengan kondisi yang tenang, semua serba aman. Perasaanku terjaga di rumah sana.
Kali ini aku juga pulang, namun rumah yang kutuju berbeda dari biasanya. Aku menuju ketinggian 2821 MPDL. Yak, puncak gunung Cikuray, yang letaknya di Garut, Jawa Barat. Tanpa ragu aku mengajak temanku yang lama tidak bertemu, dia bernama Rendi, tapi aku biasa memanggilnya Kompas. Saat ajakanku sampai padanya, diapun langsung menerima tawaranku. Oke, mendaki berdua tidak masalah, karena memang suasanya sunyi yang sedang aku inginkan.
Segala persiapan kami komunikasikan lewat media sosial. Apa saja yang harus dibawa, Kapan akan berangakat, dan bagaimana cara meuju ke sana. Kami memutuskan untuk berangkat pada hari Selasa sore, 11 November 2014. Setelah sepakat,  aku belanja  dengan waktu yang singkat, alhasil barang belanjaan yang harusnya kubawa akhirnya tidak lengkap. Tapi tidak apa-apa, lanjut saja packing. Lihatlah packinganku berdiri sempurna, haha gagah kali si Redo (nama ranselku)

Sebelum berangkat, kami janjian dulu di terminal Kampung Rambutan, jam 7 malam kami bertemu dengan ranselnya masing-masing. Nggaa tau kenapa bawaan kita banyak banget, padahal Cuma berdua. Ya sudah lanjut saja, kami terlebih dahulu membeli memori card untuk kamera yang kubawa. Dan perjuangan dimulai, untuk mendapatkan barang yang kecil itu kami harus berjalan sekitar 1,5 km.
Tak lama kemudian kami naik bus menuju Patrol, tempat awal pendakian gunung Cikuray. Ongkos bis dengan fasilitas AC tersebut adalah Rp.42.000. Lelah seharian tadi untuk kuliah, dan packing membuat perjalanan di bis itu aku terlelap sangat pulas hingga sampai di Patrol. Oh ya, jangan lupa siapkan jaket untuk penghangat di dalam bis. Karena lumayan dingin juga 4 jam terkena AC.

Sampai di Patrol sekitar pulul 00.00 WIB kami mencari tempat untuk istirahat. Mushola menjadi pilihan terakhir kami. Di sana kami bisa nge’cas handphone, dan tidur. Walaupun sebenarnya tempat ibadah sebaiknya jangan digunakan untuk tidur. Baru saja sejam kami tertidur, ada seorang laki-laki berusia sekitar 50 tahun membangunkan dan akhirnya membawa kami untuk istirahat di rumah beliau. Beliau ini bernama mang Nana. “Kalau sudah malam tidak ada lagi ojek ke pemancar dek.”, ujarnya.
Ya sudah, semalaman kami istirahat di rumah mang Nana. pukul 6 pagi kami bangun. Kicauan burung terdengar merdu, dan pemandangan gunung Papandayan yang terlihaat dari jendela rumah mang Nana membuka mata kami di pagi itu. Jadi makin semangat. Suasana ini menemani kami sarapan, dengan masakan istri mang Nana yang rasanya sunda banget.
Selesai sarapan, kami menuju ke pemancar dengan ojek seharga Rp.35.000 selama 40 menit. Jalanan yang berbatu membuat kami bergoyang-goyang di atas sepeda motor. Asik juga pagi-pagi udah goyang. Kami meewati kebun teh milik PTPN. Ibu-ibu yang sedang memetik pucuk teh segar menyapa kami dengan ramah. Sinergitass antara manusia dan alamnya lagi-lagi membuat aku kagum.
Sampai di pemancar waktu itu pukul 8 pagi. Dan ternyat ada sekelompok orang yang akan mendaki juga, mereka berjumalh 6 orang yang bekerja di Carefur Jakarta Timur. Akhirnya kami memmutuskan untuk naik bersama. Selama 15 meni kami berjalan melewati perkebbunan teh, dengan sedikit kelelahan, mungkin karena belum panas. Nah setelah masuk hutan barulah lebih nyaman untuk berjalan. Pohon-pohon menyambut kedatangan kami, dengan angin sepoy-sepoy yang lebut membelai wajah kami. Hanya sekitar 90 menit kami sampai di pos 2. Di sana kami istirahat dulu melemaskan otot-otot kaki agar tidak kejang. Lalu kami berjalan lagi, namun sebelum sampai pos 3, salah satu dari kelompok Carefur sedikit trouble, kakinya sakit dan bengkak, hingga memerah, dia pun melepaskan sepatunya. Mereka berhenti agak lama, dan kami berdua memutuskan untuk berjalan pelan terlebih dahulu.
Tidak terasa sekitar 90 menit kami berjalan, sampai juga di pos 3. Tempatnya lebar, namun banyak sekali sampah di sana. Di sana kami istirahat lumayan lama, sambil menunggu kelompok Carefur barangkali mereka bisa menyusuli kami. Yap, ternyata benar, hampir satu jam kami menunggu, mereka nongol juga.

Hehehe, karena mereka juga ingin istirahat ya sudah kami jalan lagi terus dan terus hingga pos 6. Perjalanan memakan waktu 3 jam, itu pun dengan jalan santai. Karena melihat tracknya yang terjal. Akar-akar membantu perjalanan kami, mereka rela dijadikan pegangan. Mungkin ribuan orang juga melakukan hal sama dengan kami, hingga permukaan akar-akar tersebut terasa halus. Awas hati-hati, licin. Untung saja cuaca hari itu cerah, padahal menurut ornag-orang yang turun dari puncak, semalaman mereka kehujanan.

Jumat, 23 Januari 2015

Mba Mar sang wanita tangguh dari Kampung Merabu

Mba Mar sang wanita tangguh dari Kampung Merabu
Wanita berusia sekitar ¼ abad ini terkenal dengan mana mba Mar, dia adalah salah satu orang asli Merabu yang setia menemani perjalanan ekspedisi kami. Dia memiliki kebiasaan sangat kental khas Dayak Lebo, terutama logat  berbicaranya yang lugas dan sopan. Beliau yang menjadi salah satu jembatan atas segala informasi yang kami butuhkan. Dia merupakan adik pak Asrani, yang juga membantu kakaknya menjadi pengurus Kerima Puri sekaligus TNC. Beliau paham betul akan keadaan kampungnya. Dia menceritakan tentang lokasi menarik yang dimiliki kampung Merabu kepada kami di awal pertemuan kami dengannya.
dandanan mba Mar dengan celana lapangan, kemeja, dan topinya memperlihatkan bahwa dirinya adalah orang yang sering turun ke lapangan. Hal itu membuat diirnya terlihat tangguh dengan jiwa yang kuat dan pemberani. Benar saja, dia sering melakukan pertemuan dengan orang-orang penting karena pekerjaannya di TNC. Dia juga sering menjalankan tugasnya untuk ke luar kota demi memperjuangkan kesejahteraan kampung yang dicintainya.
Kecintaannya dengan anak-anak dan remaja semakin mendongkrak semangatnya untuk mengajar di SD Merabu, selain kenyataan bahwa gelarnya Sarjana Pendidikan yang telah didapatkannya. mba Mar adalah sosok yang sangat sabar menghadapi anak-anak. Hal itu terlihat saat bel masik sekolah dibunyikan dan siswa-siswi masih asik bermain di sekitar kampung, lalu Mba Mar keliling kampung dan memanggil mereka dengan halus untuk mengajak mereka kembali belajar. Walaupun orang lapangaan, wanita yang satu ini terlihat begitu anggun dengan seragam PNS yang berwarna kecoklatan, roknya panjang dengan sedikit terbelah di belakangnya. Dia juga memakai pantofel dengan hak standarnya.