Kamis, 21 Mei 2020

Singkong Di Atas Tungku

Aku dengan ibu dan adikku menyebut diri sebagai anak singkong. Kami sangat menikmati segala jenis olahan singkong sejak kecil yang entah kapan mulanya. Suatu waktu aku duduk bersama kakek dan nenek, pada saat itu rumah mereka masih mengandalkan tungku dengan kayu bakar sebagai alat bantu memasak. Aku duduk di depan tungku sembari tak henti menyunyah singkong bakar buatan kakek. Mudah saja, singkong tak perlu dikupas langsung peram di dalam abu di bawah bara api, intinya tidak langsung terkena jilatan api untuk menjaga agar daging singkong matang hingga dalam, dia hanya butuh hangatnya abu yang menyelimuti seluruh permukaan. Lagipula singkong yang diperam tidak perlu dibolak-balik sudah pasti dia akan matang merata karena panas abunya melapisi keseluruhan singkong. Tunggu setengah jam atau mungkin sampai satu jam kira-kira, tergantung sebeapa besarnya singkong, makin besar makin lama matangnya. Kakek dengan tangannya yang tebal oleh kapalan itu mengupaskan sebuah untukku, ku makan dulu setengahnya, setengah bagian ditaruh saja di atas tungku agar tetap hangat karena kami tinggal di suatu pegunungan yang suhu udaranya rendah, makanan atau minuman yang dibiarkan begitu saja akan dingin dalam waktu singkat.
Setiap kupasan kulit singkong, kakek bercerita betapa nikmatnya makan singkong pada jaman dia muda. “Hanya dibakar atau direbus, makan dengan ikan asin, sambal terasi udah pasti nambah lagi singkongnya.”, katanya penuh semangat. Seperti kebanyakan keluarga masa kini, beras menjadi makanan pokoknya, tidak puas rasanya jika makan tanpa nasi, belum makan namanya. Singkong menjadi makanan pokoknya pada saat itu. Sekarang dia makan singkong hanya ketika sedang ingin saja, atau ketika dia pergi ke kebun lalu tau ada singkong yang sudah siap diangkat. Dia mengenali dengan jeli mana batang singkong yang punya singkong super di dalam tanagnya. 
Sesekali nenek meminta tolong kepada kakek agar memetik daun singkong jika kakek pergi ke kebun. Daun singkong adalah sayur andalannya, bisa dimasak bening, bisa juga dimasak santan. Nenek lebih sering memasak bening karena takut dengan kolesterol tinggi jika terlalu sering mengkonsumsi santan. Kakek ikut saja, apapun yang tersedia di dapur akan dimakannya dengan penuh gairah hingga keringat meluncur dari dahinya padahal udara di kampung kami kurang dari 25 derajat celcius. Umbi dan daunnya sudah jelas bisa dimakan, batangnya bisa juga dimanfaatkan sebagai kayu bakar atau pagar kebun. Kakek biasanya menancapkan saja batang yang sudah didiamkan tiga sampai tujuh hari dan dipotong pendek-pendek. Tangannya ajaib, batang itu akan tumbuh tidak lama kemudian. Aku percaya, hanya orang-orang terpilih yang tangannya dingin dan bisa menumbuhkan tanaman.
Kini kondisi sudah berubah. Tidak ada lagi tungku di rumah nenek. Kompor gas menjadi pilihan yang lebih simpel. Tidak perlu mencari kayu bakar, tidak perlu mencuci wajan yang hitam berkerak akibat pembakara kayu, tidak perlu membersihkan langit-langit yang berdebu hitam. Harga tabung gas dirasa lebih baik daripada itu semua. Namun ada hal-hal yang tidak tergantikan oleh keberadaan tungku di rumah nenek. Kami tidak lagi duduk di depan tungku setiap pagi dan sore untuk bercerita sembari makan singkong bakar. Cucu kakek yang yang berbeda 10 tahun denganku tidak merasakan hangat dan kasarnya tangan kakek yang mengelus-elus lutut seperti yang dilakukannya padaku dulu dengan lantunan yang khas. Ikatan di depan sebuah tungku hitam itu tidak bisa digantikan dengan kompor gas dua lubang walaupun tungku kakek juga lubangnya dua.
Pernah di suatu sore yang hujan, kakek pulang dari kebun dengan badan yang basah kuyup. Dia minta diambilkan handuk oleh nenek dan segera mandi. Setelah mandi tak lupa sembahyang dulu karena saat itu mungkin pukul 4 sore. Setelah selesai semua, dia membongkar karung yang dibawa dari kebun, isinya beberapa buah singkong. Saat itu aku yang paling kegirangan karena singkongnya yang besar-besar sekali lebih besar dari pahaku dulu. Aku tahu karena kakek menempelkan singkongnya di pahaku lalu berkata “pahamu kecil sekali kalo dibakar ngga enak, lebih enak singkong ini jadi kenyang” sambil tertawa memamerkan gigi-giginya . Nenek menawarkan diri untuk membuat salah satu olahan singkong yang kami sebut krekel dan kakek tentu menyetujuinya, apapun yang terbuat dari singkong menurutnya istimewa. Tak lama kemudian nenek mengupasnya satu per satu dan melanjutkan prosesnya sendiri, aku tetap di depan tungku bersama kakek dan membakar satu buah singkong yang lebih besar dari pahaku tadi.
Selain krekel, banyak jenis makanan yang bisa dibuat dari singkong, misalnya ondol, makanan ringan bulat kecil-kecil sebesar buah ceri. Ada juga cantir atau opak, makanan ringan sejenis kerupuk yang gurih. Lemek, kue basah dari singkong bertekstur lembek dan manis dibungkus dengan daun pisang lalu dikukus. Atau keripik singkong juga menjadi pilihan menarik untuk camilan yang bisa bertahan lama. Ada juga manggleng yang keras sampai kakek tidak bisa mengunyahnya, sehingga harus diulum dulu hingga lembek. Ngomongin singkong ngga ada habisnya, banyak makanan yang bisa dibuat dari umbi yang satu ini. Semuanya enak, semuanya punya cerita.
Sembari mengupas singkong bakar yang telah matang, dia bercerita mengapa dia tetap menjadi petani hingga sekarang, padahal dia adalah seorang guru yang berstatus PNS. Ternyata bukan hanya kecukupan secara finansial saja yang dicarinya, menjadi guru menjadi bagian dari pengabdiannya terhadap negara, secara singkat dia senang membuat muridnya mau belajar. Menjadi petani adalah pengabdiannya yang lebih tinggi, yaitu terhadap alam semesta, menurutnya merawat tanaman adalah merawat semesta, dan dampaknya tidak hanya untuk keluarga tapi kepada hewan-hewan, tetangga, hingga orang lain yang tidak dikenalnya. Menurutnya menjadi seorang petani juga berkaitan dengan keimanannya yang dia jelaskan panjang lebar.
Kakek tidak pernah melarang maupun memaksa anak cucunya untuk mengikuti jejaknya menjadi seorang petani. Sejak aku kecil, aku seringkali diajak pergi ke sawah maupun ke kebun. Momen itu menjadi penting untukku saat ini, aku baru menyadari bahwa yang dilakukan oleh kakek kepadaku dulu adalah untuk mengenalkan bagaimana manusia bekerja, bagaimana manusia mendapatkan makanan, jadi sekarang aku berusaha agar mengetahui asal dari makanan yang aku makan. Kakek secara tidak sengaja mengawinkan aku dengan alam semesta, dia menyederhanakan apa yang ada dalam pikirannya untuk disampaikan melalui perlakuannya terhadapku. Duduk di depan tungku dengannya mengajarkan juga kesederhananan dan kebahagiaan, dari api yang tidak harus berarti kemarahan, dari hitan yang tidak harus berarti kekelaman, dari putihnya singkong yang tidak berarti kekosongan makna.
Singkong masih menjadi makanan kesukaan di rumah kakek dan nenek saat ini, walaupun tidak ada tungku di dapurnya. Kakek masih rajin pergi ke kebun, dan sesekali pulang membawa singkong. Nenek biasanya mengupasnya lalu direbus atau dikukus, karena tak ada lagi tungku di dapurnya. Singkong kukus atau rebus yang masih hangat beruap dihidangkan dengan piring di ruang tamu. Kini kami melakukan obrolan di ruang tamu, dengan cucu-cucu kakek yang menggemaskan dan olahan singkong di atas meja. Ketika udara sedang dingin, masing-masing orang mengenakan selimutnya yang dibawa dari kamar masing-masing. Tidak ada lagi tangan yang dihadapkan ke lubang depan tungku yang hangat. Tidak ada lagi tungku di dapur rumah kakek. Semuanya berbeda.

Rabu, 13 Mei 2020

Berapa Banyak Upacara di Bali?

Tidak hanya perut sendiri yang dipikirin, hidup di Bali pasti dekat dengan perayaan, artinya harus memberikan sesajian untuk para Dewa juga. Seluruhnya itu berkaitan dengan kepercayan. Kebutuhan itu juga nilainya besar. Setiap hari setiap keluarha harus merogoh kocek untuk membeli canang yang digunakan 3 kali dalam sehari. Bagi mereka yang bisa membuat canang sendiri, biaya yang dikeluarkan lebih sedikit. Namun sayangnya lebih banyak dari mereka yang memilih membeli saja canang untuk ibadah. Sebuah canang berisi 4 warna bunga yang diletakkan sesuai dengan arah mata angin, ditambah dengan irisan pandan, roti, permen, rokok, kopi, maupun teh. Selain itu juga ada jenis sesajian yang isinya hanyalah apa yang dimakan oleh keluarga di hari iru, sehingga persembahannya dilakukan di pagi hari setelah perempuan memasak. Peletakkan sesajian itu setiap keluarga berbeda, sesuai dengan apa yang mereka hormati. Misalnya salah satu tempat penguburan ari-ari anaknya. Namun umumnya adalah sanggah keluarga, kamar besar (kamar pasangan suami istri), dapur, pintu gerbang masuk rumah, alat transportasi/ barang berharga lainnya.
Pada saat itu kebetulan aku berkesempatan mengunjungi malam 3 harian kematian ayah Luh Nia. selanjutnya ada acara 11 harian dan 21 harian. Serupa dengan umat Islam, di sini pun ada acara doa bersama yang diadakan di rumah duka selama 3 malam. Pelantun doa diawali oleh orang dari pura yang terhormat, kemudian disusul bergantian dengan orang lain. Orang silih berganti mungunjungi untuk turut berduka dan mendoakan yang terbaik. Pemilik rumah juga sibuk mempersiapkan persediaan untuk para tamu, minimal minuman. Jika memiliki kemampuan yang berlebih biasanya mereka menyugihkan makanan ringan, makanan berat, hingga alkohol. Keseluruhan rangkaian tersebut membutuhkan biaya yang besar. Sesame keluarga biasanya saling bahu-membahu untuk menanggung beban tersebut. Sehingga terlihat kerjasama yang masih terjaga hingga saat ini.
Selain kematian, penyambutan kehamilan hingga kelahiran juga menjadi hajat yang tidak kalah banyak mengeluarkan uang. Apalagi sebuah pernikahnan, dan banyak lagi upacara yang dilakukan. Selain upacara yang tidak dapat diprediksi itu, ada juga upacara rutin yang harus dilakukan.
Selain itu, obrolan dengan Pak Eka juga menghasilkan kesimpulan bahwa di Bali terdapat enam hari suci yang disebut tumpek atau keselamatan. Pertama, Tumpek Landep yaitu upacara untuk selamatan senjata taja, serperti pada bahasa Bali yaitu landep berarti tajam. Kedua, Tumpek Uye yaitu upacara untuk keselamatan kandang yang mana mereka memberikan keselamatan pada kandang ternak atau binatang peliharaan. Ketiga, Tumpek Wayang yaitu untuk selamatan wayang. Keempat, Tumpek Kuningan yang dilakukan untuk keselamatan gamelan atau alat musik. Kelima, Tumpek Bubuh yaitu selamatan yang dilakukan untuk tumbuhan agar mendapatkan hasil yang berkah untuk kehidupan mereka. Keenam, Tumpek Krulut yang dilakukan untuk selamatan unggas, namun tumpek ini biasa digabungkan dengan Tumpek Uye.
Nyepi adalah salah satu perayaan di Bali yang ditunggu-tunggu. Perayaan ini dilakukan setiap tahun baru Saka. Perayaan ini ditujukan untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk menyucikan alam manusia (Bhuana Alit) sebagai microcosmos dan alam semesta (Bhuana Agung) sebagai macrocosmos. Selain umat Hindu dan warga Bali, Nyepi menjadi hal yang unik bagi wistawan. Sebelum nyepi, ada banyak rangkaian upacara adat di Bali, misalnya Melasti yang mana seluruh sarana persembahyangan yang ada di pura diarak ke laut atau danau (air) karena zat itulah sumber kesucian (tirta amerta). Upacara ini dilakukan antara dua hingga 3 hari sebelum nyepi. Kemudian sehari sebelum nyepi dilakukan upacara Buta Yadnya. Inilah yang seringkali ditunggu-tunggu, yaitu mengarak buta ke seluruh desa yang disimbolkan dengan patung raksasa dengan muka menyeramkan. Patung tersebut biasanya dibuat di masing-masing tingkatan masyarakat, misalnya keluarga, banjar, hingga desa. Sebulan bahkan dua bulan sebelum arakan tersebut, warga bergotong-royong membuat patung tersebut, hingga larut malam itu sudah biasa. Kebersamaan dapat terlihat jelas pada prosesnya. Arakan di hari yang ditunggu itu diiringi dengan tabuhan atau pukulan pada benda apa saja, biasanya dengan kentongan dari bambu sehingga menimbulkan suara gaduh yang bertujuan mengusir buta kala. Masyarakat menyebutnya pawai ogoh-ogoh. Setelah selesai diarak, kemudian patung-patung tersebut dibakar karena sebuah kepercayaan bahwa setelah diarak keliling desa, Buta Kala dan segala keburukan/ kejahatan masuk ke patung tersebut yang harus dimusnahkan.
Selesai semua perayaan itu, masuklah Hari Raya Nyepi di keesokan harinya. Hari tersebut seluruh Bali sama sekali harus beristirahat, tidak ada kendaraan bermotor yang berlalu lalang, tidak ada aktivitas jual beli, bahkan menyalakan api juga merupakan larangan sehingga masyarakat biasanya mempersiapkan makanan di hari sebelum nyepi karena tentunya proses memasak memerlukan api. Beberapa daerah memiliki aturan yang lebih ketat seperti mematikan aliran listrik dan koneksi internet. Beberapa orang memaknai nyepi secara dalam hingga melakukan puasa, tidak makan atau minum. Mereka yang melakukannya percaya, ketika berpuasa kita dapat berpikit lebih jernih untuk merefleksikan diri apa saja kesalahan yang telah dibuat selama setahun lalu dan membangun lagi mimpi di lembaran baru yang suci setelah nyepi sehingga diharapkan tidak melakukan kesalahan yang sama. Beberapa anak menangis ketika malam hari karena kegelapan tanpa cahaya lampu maupun karena pansa tanpa kipas/ AC. Para ibu dari anak-anak tersebut diuji kesabarannya untuk menenangkan mereka hingga pagi menjelang.

Jumat, 08 Mei 2020

Ujung Timur Indonesia





Jalan Trans Papua Menuju Kampung Tambat
Sebelum sore kami berangkat dari Kota Merauke menuju ke Kampung Tambat yang ada di kecamatan Tanah Miring. Perjalanan kami dengan kendaraan bermotor memakan waktu kurang lebih 1 jam. Melewati jembatan menyeberangi Sungai Maro menjadi pengalaman yang tidak terlupakan. Setelah itu masuklah ke jalan trans dengan padang di sisinya. Saat itu cuaca tidak terprediksi, tiba-tiba gerimis turun. Kami berhenti untuk memakai jas hujan saja, karena tidak ada tempat berteduh. Selain itu kami juga suka mengendarai sepeda motor di bawah rintik hujan. Beberapa saat kemudian gerimis berhenti, kami juga berhenti pada akhirnya untuk melepas jas hujan. Sembari beristirahat di tepi jalan, kami makan rambutan yang kami beli di kota sebelum berangkat. “Ini kitong pu rambutan paling enak sudah se-musantara”, ucap Monic yang gemar sekali dengan buah berambut satu itu.

Masuk Kampung Tambat, Distrik Tanah Miring


Kami mulai memasuki area kampung, jalanan dengan aspal tipis sehingga masih terlihat bebatuannya. Langit di sana cerah, biru, dengan awan yang sesekali bergeser ke sana kemari. “Tidak lama lagi, kitong su mau sampai”, kata Adriana sambil terus memakan rambutan dengan tangah kirinya.



Menokok batang sagu, diawasi Mama Magdalena berbaju biru



Benar saja, di sore yang cerah itu kami segera sampai di pabrik Sagu Dwitrap, Kampung Tambat, Tanah Miring. Ternyata Om Jack, begitu sebutannya seorang ayah berusia kurang lebih 40 tahun dengan nama asli Yakobus, dialah yang kami cari sedang tidak ada di rumah. Om Jack yang mengkoordinir produksi tepung sagu di pabrik Sagu Dwitrap. Kemudian kami menyusulnya ke tepian sungai di ujung kampung tempat dia menunggu potongan pohon sagu yang baru saja dipanen sampai ke kampung. Selain Om Jack, ada juga beberapa orang yang sedang memproses batang sagu yang dipanen di sekitaran sungai tersebut, “ada yang sedang memarut! Ko mo coba kah?”, kata Kak Nurmala, perempuan 30 tahunan dengan rambut panjang terkepang rapih. Gak pakai lama, aku melepas sepatu, bergabung menokok batang sagu dengan Mama Magdalena. Om Jack mengatakan bahwa di tempat itu biasa orang bekerja, bersana-sama di pagi hingga sore hari. Biasanya sebatang pohon dikerjakan bersama oleh anggota keluarga. Anak-anak kecil ikutan berkumpul meramaikan tempat tersebut tentunya tetap asik bermain sembari membantu orangtuanya. Hal yang paling bagi mereka adalah berenang di sungai itu, melompat dari pinggiran jalan membuat mereka terlihat lebih seru. “Besok kitong lihat”, tambahnya.

Potongan batang sagu 1 meter,
diangkut dengan mobil bak terbuka

Om Jack dengan karyawannya langsung cepat saja memotong menjadi per 1 meter batang sagu yang sudah sampai di tepian. Hal itu memudahkan untuk diangkut ke dalam mobil bak terbuka menuju ke pabrik Sagu Dwitrap, juga lebih mudah diproses selanjutnya. Sesampainya di depan pabrik Sagu Dwitrap, dibongkar saja di pinggiran agar tidak menghalangi jalan. “Besok kitong kupas dan belah, su sore kitong istirahat dulu.”, ungkap salah satu karyawan Om Jack sembari menurunkan potongan sagu.


Mengangkut batang sagu yang sudah dibelah ke pabrik


Istri Om Jack ikut membantu dalam proses produksi. Salah satunya dia mengangkut belahan batang sagu ke dalam pabrik. Pekerjaan yang tidak mudah karena beban yang begitu berat di dalam kereta dorongnya. Dia melakukannya dengan senang hati, ketika lelah dia akan berhenti sejenak, “Kalau su minum sa angkat lagi itu barang” katanya. Pekerjaan lain yang dia lakukan juga dalam mengurus anak, menyiapkan bahan makanan untuk para karyawan yang bekerja di Dwitrap, membersihkan rumah, dan tidak jarang berkebun.


Kukis Sagu yang dibuat oleh Nurmala
Malam itu kami menginap di kediaman Om Jack. Tepatnya di sebuah ruangan yang telah dipersiapkan untuk tempat produksi lanjutan, yaitu mengolah tepung sagu menjadi berbagai macam makanan siap santap. Di ruangan itu terdapat banyak alat yang siap digunakan, namun rupanya masih bersegel belum pernah digunakan, ruangan itu belum beroperasi. Om Jack menjelaskan, dirinya belum menemukan orang yang tertarik untuk mengolah sagu menjadi berbagai macam makanan, selain itu juga belum ada tenaga yang berkompeten untuk mengajari masyarakat mengolah tepung sagu. “Kitong suka makan sagu bakar saja, dengan kopi atau teh sudah cukup, tapi sa sendiri punya keinginan membuat berbagai olahan sagu agar sagu terserap dengan baik dan semua orang bisa menikmatinya”

Matahari terbit dari timur
Jalan pagi dengan Tante Tina

Malam berlalu terasa singkat karena kami berbincang hingga larut. Banyak hal yang diceritakan oleh Om Jack dan keluarganya. Ketika pagi menjelang, kami dibangunkan oleh suara burung yang mulai mencari makanan. Aku keluar dari ruang tidur dan melihat langit yang terlalu cantik untuk dilewatkan, fajar yang jingga. Akupun mulai berjalan mengikuti jalan kampung. Tidak lupa ku ajak Tante Tina yang menemani kami dalam perjalanan Kampung Tambat kali ini. Tante Tina adalah bagian dari Kon Muyu. Kami melepas alas kaki dan mulai menikmati aspal tipis sambil berbincang. “Ko pu muka itu bentol semua Ve, ko banyak dapat nyamuk kah semalam?”, tanyanya sambil memperhatikan wajahku. “Sa tidak berasa, mungkin karena kelelahan jadi sa tidur lelap sekali.”, jawabku. Kami bercengkrama layaknya kawan lama yang bertahun-tahun tak bertemu. Nyatanya mereka memang ramah. Mereka sangat terbuka dan menyenangkan, aku paling suka logat mereka yang membuat aku jadi terbawa. “Ko pu logat ni su rupa orang papua bicaranya.”,  Tante Tina mengakhirinya dalam perjalanan pagi itu.