Sabtu, 13 Agustus 2016

Berladang di Tambakbaya

Pagi-pagi sekali aku bangun untuk menjalankan ritual wajib kepada Tuhan. Udara masih terasa dingin dan lembab. Aku bertahan agar tidak tenggelam dalam selimut tipis lagi, apalagi untuk lelap. Kemarin sore aku dan Sonia sudah janjian dengan Bu Makiyah pembuat kue dari Kampung Cilame Desa Tambakbaya untuk pergi ke ladang miliknya. “Banyak tanaman neng, nanti kita ke sana lihat-lihat sambil panen jika ada yang bisa dipanen”, ucapnya kemarin sore. Aku dan Sonia menembus pagi yang dingin menuju rumah Bu Makiyah. Banyak hal yang sudah kami rencanakan, salah satunya adalah liwetan (membuat nasi liwet) untuk bekal ke ladang. Sesampainya di rumah Bu Makiyah ternyata liwet sudah masak. Kami tinggal berangkat saja. “Jangan lupa pakai topinya neng, di lading nanti panas”, ucapnya sembari menutup pintu rumah. Sebelum berangkat kami menjemput Bu Mu’ah dan Bu Makiyah. Mereka bertiga adalah kakak adik, tapi tak ada yang mirip satupun wajah mereka.
petik buncis
Kami berjalan menuju belakang kampung, melewati kebun bambu yang luas dan teduh. Aku keheranan dengan bambu yang sebanyak ini tidak ada warga yang memanfaatkan untuk menjadi produk yang lebih bernilai. Mereka hanya menggunakannya jika diperlukan dan menjualnya jika ada yang mau beli. Setelah aku tanyakan ke beberapa orang ternyata mereka sebenarnya mau, tapi bingung siapa yang akan beli setiap produk yang dihasilkan secara terus menerus? Paling ujung-ujungnya dipakai sendiri. Tak terasa hanya kurang lebih 10 menit kami berjalan kaki hingga sampai di ladangnya.
menu makan siang di ladang
Aku tak kaget kalau ternyata ladang milik Bu Makiyah ditanami banyak tanaman. Dia sudah memberi tahu kami sebelumnya. Sampai di sana kami langsung panen buncis yang katanya sudah 4 hari tidak dipanen. Biasanya dia memanen buncis setiap 2 hari sekali selama dua bulan. Kalau untuk perawatannya sehingga buncis tumbuh, Bu Makiyah kurang ingat karena dia hanya melihat kondisi tanaman saja dia tahu kapan harus dipupuk, kapan harus dibersihkan dari tanaman lain, dan kapan bisa dipanen. Buncis yang dipanen hanya yang muda saja, agar segar untuk dimasak. Buncis yang sudah tua akan terlihat permukaannya menonjolkan biji serta teksturnya lebih keras. Aku dan Sonia belum terbiasa membedakan antara yang tua dan muda, jadi maklum saja kami memanen buncisnya lama. Ibu Makiyah tak menggunakan  bahan-bahan kimia anorganik yang berbahaya untuk semua tanamannya, sehingga bisa dikatakan organik sehingga aku sangat menikmati saat itu dengan sesekali nyemil buncis muda, rasanya manis dan segar. Untung saja tak banyak yang harus kami panen. Tak selesai di situ, kami harus melanjutkan untuk memanen singkong dan ubi.

hasil panen singkong
Selesai di buncis, kami pindah ke petakan lahan sebelah untuk memanen singkong. Hanya beberapa batang, kami dapat menghasilkan sekarung singkong. Sebenarnya masih banyak yang sudah siap panen, tapi Bu Makiyah hanya mengambil seperlunya saja untuk diolah menjadi berbagai jenis makanan. Panen singkong bukanlah hal yang mudah, harus rela berkotor-kotor untuk mengeruk dulu tanah disekitar akar singkong agar mudah dicabut. Karena cara mencabut singkong yang sembarangan bisa membuat singkongnya patah, jadi harus kerja dua kali untuk mengambil kembali singkong tersebut. Aku menyebutnya ‘mencari harta karun’. Pencarian harta karun juga berlaku dalam panen ubi.
hama tanaman ubi

Ada bermacam-macam ubi yang dia tanam seperti ubi putih, ubi kuning, ubi ungu, ada juga ubi yang merupakan hasil pengawinan tanaman dan menghasilkan kulit putih dengan daging ungu atau sebaliknya. Sayang sekali ubi yang dia tanam terserang hama sehingga hasilnya yang kurang maksimal. Hal itu terjadi karena Bu Makiyah memang tidak menggunakan obat untuk membasmi hama tersebut. Beliau hanya ingin menggunakan bahan-bahan organik saja untuk membasmi hama, tapi belum menemukan ramuannya.
hasil panen ubi ungu
Kami selesai panen ketika matahari mulai berada tepat di atas kepala. Kami memilih untuk istirahat. Jarik yang ketiga kakak adik bawa tersebut dibentangkan untuk dijadikan alas duduk. Makanan yang kami bawa juga dibuka. Kang Agus anak tertua Bu Makiyah memotong daun pisang untuk alas makan alias piring. Wah gaya hidup sehat nih, penggunaan alat makan yang mudah diperbaharui. Terlintas dalam benakku betapa indahnya dunia jika tak ada sampah plastik yang berserakan yang mengganggu pemandangan dan kesehatan ketika manusia menggunakan plastik seperlunya saja. Kebersamaan makan siang bersama di ladang saat itu mengingatkanku pada masa kecil. Aku sering ikut bibiku ke sawah hanya karena ingin main lumpur dan makan siang di sana, karena aku sendiri tak punya sawah. Muncul juga pertanyaan suatu hari nanti siapa yang akan menanam? Karena manusia butuh makanan. Semua makanan berasal dari petani.
makan dengan menu sehat

"Jangan lupa makan sayur, anak Indonesia suka makan sayur. Anak Indonesia suka menanam."

Twitter: @viedela_ve
IG; ViedelaAK
WA: 085742283163

1 komentar: