Selasa, 09 Agustus 2016

Desa Tambakbaya Garut dalam Kuliah Kerja Nyata - Tematik (KKN-T) IPB 2016

Telepon genggam tak pernah lepas dari genggaman kami, dari mata terbuka hingga terpejam lagi. Seharian kami membaca apapun yang dapat ditampilkan di layar telepon masing-masing. Mulai berita aktual, gosip panas, serta status-status teman yang kadang kurang penting. Hal itu lebih baik daripada kami tak melakukan apapun. Kami berenam yaitu aku, Sonia, Ninis, Anita, Baskoro, dan Jefry tergabung dalam kelompok Kuliah Kerja Nyata - Tematik (KKN-T) yang ditempatkan di Desa Tambakbaya, Kecamatan Cisurupan, Garut. Lokasinya tak terlalu jauh dari kampus kami di IPB Dramaga dibanding teman lain yang ditempatkan di luar Pulau Jawa. Ternyata jarak yang tak jauh itu masih tetap saja menjadi alasan untuk kita mengeluh. Udara, kondisi alam, dan kondisi sosial yang berbeda dari tempat tinggal menjadi topik utama keluhan bagi beberapa orang yang belum siap atau belum terbiasa melakukan hal ini. Akupun masih mencoba menikmati keadaan dimanapun berada. Kalau bias dibuat enak dengan hal yang baik, kenapa harus berbuat yang tidak penting (mengeluh) yang tak ada gunanya?
Desa kami tak terlalu jauh dari jalan utama. Akses untuk ke kantor kecamatan sangat mudah, hanya sekali naik angkot dengan biaya dua ribu rupiah. Suhu udara yang dingin dapat dimaklumi karena desa ini terletak di kaki gunung. Gunung CIkuray, Gunung Papandayan, dan Gunung Guntur terlihat jelas dari sini, bahkan dari rumah tinggal kami. Setiap pagi, aku selalu menikmati pemandangan Gunung Cikuray nan gagah dari jendela kamar mandi yang terbuat dari jaring-jaring. Sinar mentari mengintip di sela pepohonan menyapaku setiap pagi. Itulah yang membuatku rajin bangun pagi dan menguatkanku untuk membasuh air ke tubuh yang selalu kedinginan dengan suhu 13-15 derajat celcius. Sesekali puncak itu meneriakkan sesuatu padaku “Sini lah, bukankah kau tak merindukan memandang seluruh Garut dari puncaku ini?” yang menimbulkan perasaan ingin mendaki gunung itu lagi, tapi KKN-T ini harus kami selesaikan dulu.
Gunung Cikuray
Tak boleh dilewatkan agenda yang disusun tiap malam untuk esok hari. Pembagian tugas menjadi solusi ketika harus menyelesaikan agenda dalam satu waktu. Aku sendiri lebih suka berurusan dengan warga, berkeliling yang intelek biasa sebut ‘observasi’. Banyak juga hal-hal menarik diantara mereka, kegiatan sehari-hari, masalah yang dihadapi, dan paling penting adalah potensi alam maupun usaha yang dapat dikembangkan. Mendatangi ibu-ibu yang sedang bergerombol di teras rumah pada sore hari menjadi peluang besar untuk menjaring informasi. Bawalah bungkusan permen saja, tak perlu yang mahal, mereka mudah sekali menerima orang baru dan berbincang mengenai apa saja yang aku tanyakan.

Sebagian besar mereka bekerja sebagai buruh dan pedagang kecil-kecilan. Buruh bangunan, bahkan buruh petani. Terenyuh ketika sawah yang luas di desa ini kebanyakan bukan milik warganya sendiri, justru orang dari luar desa yang memilikinya, warga hanya menjadi buruh di tanah desanya sendiri. Pekerjaan itu mungkin dipilihnya karena dirasa dapat mencukupi kebutuhan dan mereka merasa sangat menikmati, atau mungkin juga mereka tidak mendapatkan pekerjaan yang lebih baik karena sulit diraihnya. Tingkat pendidikan yang rendah menjadi salah satu alasan. Banyak dari remaja yang aku temui hanya lulusan SMP bahkan SD saja. “Kami sebenarnya ingin lanjut sekolah teh (panggilan kepada perempuan yang lebih tua), tapi orang tua tidak punya dana.”, ucap salah satu dari mereka. Terbayang sekali betapa mahal pendidikan bagi mereka. Isu besar yang selalu menjadi topik bahasan para pejabat tinggi dan solusi nyata sepertinya sulit dikabulkan.
Beberapa remaja yang telah lulus SD atau SMP memilih bekerja, ada juga yang memilih untuk menikah atau dinikahkan. Hal ini yang kemudian menjadi pertanyaan selanjutnya. Bukankan biaya hidup setelah menikah akan lebih besar? Aku kurang mengerti atas pilihan mereka. Pastinya aku tak perlu terlalu khawatir, karena bergurau dengan mereka membuatku melihat raut-raut bahagia yang sepertinya sangat menikmati segala hal atas pilihannya tanpa ada tekanan.
Desa yang memiliki lahan luas dan subur menjadi sesuatu yang dapat membanggakan desa ini. Banyak sekali komoditas yang dihasilkan. Mulai dari beras, kentang, tomat, cabai, singkong, ubi, dan banyak lagi. Selain itu hewan seperti domba, ayam, dan sapi juga menjadi ternak yang cocok di sini, suhunya cocok. Sangkin banyaknya, desa ini justru tidak memiliki ciri khas komoditas yang dihasilkan. Hal tersebut harus dipikirkan bagaimana SDM dan pejabat desa berkolaborasi memanfaatkan potensi yang ada itu.
Nenek membungkus bugis
Kebanyakan rumah di sini memiliki ruang usaha sendiri. Membuat kue basah seperti bugis, lepet, jewel, awug, dan sebagainya. Mereka membuat dengan telaten di malam hari, pagi buta mereka jual ke pasar. Pukul 9 pagi habis, mereka bias mengerjakan pekerjaan lain. Suatu sore aku dan Sonia salah satu anggota tim kami mengunjungi rumah panggung dengan papan dan bambu sebagai pagar rumahnya. Rumah itu dihuni beberapa orang. Dua diantaranya adalah nenek-nenek yang sedang membungkus adonan untuk dikukus menjadi bugis. Tangannya cekatan walaupun kulitnya sudah keriput. Tak sampai 10 detik, satu calon bugis telah terbungkus. Aku dan Sonia kewalahan mengikuti gerakannya, beberapa kali mencoba dan beberapa kali juga daun yang digunakan untuk membungkus selalu sobek.

Sebelum adzan maghrib, satu baskom adonan sudah habis terbungkus semua. Siap untuk dikukus. Hanya satu sampai dua jam akan matang. Tak sabar aku mencicipinya, hangat dan manis sudah terbayang dalam benakku. Kami menjaga tungku dan sesekali memasukkan kayu ke dalamnya hingga api melahap dengan cepat. “Gas harganya mahal neng, lagian kalau pakai tungku bugisnya lebih enak, sekaligus rumah menjadi hangat”, ucap nenek yang berusia 107 tahun dengan bahasa dan logat sundanya yang kental.
Setelah beberapa malam di desa yang dikelilingi gunung ini, aku mulai terbiasa dengan suhu yang rendah. Aku tak lagi menggigil.
Twitter : @viedela_ve
IG : ViedelaAK
Whatsapp: 085742283163

Tidak ada komentar:

Posting Komentar