Senin, 25 Desember 2023

Yang Tua Masih Sehat, Yang Muda Sudan 'Jompo'

Banyak yang hari ini mengeluh dengan badannya yang terus menggendut, kadar gula dalam darahnya yang terus meningkat, mudah lelah, merasa metabolisme tubuh yang berantakan, menstruasi yang tidak beraturan, dan lain sebagainya. Banyak juga dari mereka yang hanya mengeluh saja tanpa menganalisis apa yang terjadi. Bagaimana pola makan dan asupan yang masuk ke dalam tubuhnya.

Semenjak diserang covid-19, kita baru menyadari bahwa kebiasaan hidup kita ada yang salah sehingga harus diperbaiki. Kita takut segera mati karena imun yang terserang oleh virus covid yang sangat mudah menyerang itu. Pada akhirnya dalam seketika, semua orang mengkonsumsi makanan sehat, beralih ke organik, mulai suka berjemur di pagi hari, dan memperbanyak olahraga. Mengapa dari dulu kita tidak melakukan kebiasaan baik itu? Apakah kita terlalu sibuk untuk bekerja? Apakah kita harus diingatkan oleh serangan penyakit terlebih dahulu? Tapi mengapa harus sibuk bekerja? Apakah ada kesalahan dari sistem pekerjaan kita, entah dari efisiensi waktu, efisiensi tenaga? Bekerja lebih dari 8 jam sehari sudah menjadi hal yang dibuat wajar oleh masyarakat, belum lagi perjalanan berangkat dan pulang ke kantor yang juga memakan waktu lama. Banyak juga pekerjaan yang harus bertatap muka, padahal bisa dikerjakan di mana saja. 

Kembali lagi, aku sendiri sudah memulai bergaya hidup sehat sejak beberapa tahun lalu. Tentu saja jenis gaya hidup sehat di sini versi aku sendiri. Makanan sehat menjadi salah satu fokus aku saat ini. Aku mencoba sebisa mungkin untuk memasak sendiri apa yang aku konsumsi agar semua gizinya dapat tertakar sendiri walaupun tidak sedetail para pakar gizi. Gula menjadi salah satu sumber manis yang sangat aku tekan setelah mengetahui bahwa orangtua dan garis keturunan ke atas memiliki riwayat diabetes. 

Aku sangat tersiksa melihat nenekku hanya bisa terbaring di kasur, harus sangat membatasi makanan, bahkan manis buah asli sekalipun sudah hampir tidak boleh disentuh. Badannya sangat kurus tidak berdaya, kulitnya merasakan gatal yang tidak mengetahui dimana sumbernya. Merasa gatal di sini tapi saat digaruk tidak juga menyembuhkannya. Kegiatan meminum obat setiap hari membuat saya merasa pilu. Sehari bisa berkali-kali dengan jumlah yang tidak sedikit untuk sekali minum. Apalagi, dia mengalami titik kesehatan terendah tersebut pada saat covid sedang marak-maraknya sehingga bukan saja dia yang panik, semua keluarga dan kerabat. Mungkin tidak ada sedetikpun kita merasa tenang.

Selama satu tahun penuh hanya empat sisi dinding kamar saja yang dapat dipandang sepanjang hari, akhirnya dengan keajaiban entah dari mana, dia berangsur pulih. Namun berita mengenai pulihnya tidak juga sepenuhnya menenangkan. Dia harus sangat berhati-hati menjaga asupan makanannya, juga pikirannya agar tidak mudah stress. Karena ternyata kemudian baru disadari selain diabetes, dia juga memiliki keluhan asam lambung yang selalu tinggi dan tentu salah satunya karena tingkat stress yang kerap kali tinggi.

Asam lambung nenek itulah juga menjadi alasanku menjaga pola makan. Dulu aku selalu menyepelekan sarapan, jangankan sarapan, bangun saja selalu kesiangan hingga hampir mendekati waktu makan siang. Saat makan siang aku merasa kembung dan mudah bersendawa. Lalu makan malam yang terlalu malam karena susah untuk tidur pada waktu yang tepat. Pokoknya semua berantakan, baik pola makan maupun pola istirahat. Mungkin itu juga penyebab masa ototku susah naik padahal hampir setiap hari olahraga.

Akhir-akhir ini banyak juga berita tentang stunting, entah itu memang suatu hal yang baru atau aku yang baru mengenalnya. Aku tidak ingin orang-orang di dekatku merasakan hal yang sama. Terutama karena aku tinggal di desa saat ini, menurutku tidak wajar jika ada kasus stunting di desa. Desa kami bertanah subur, menghasilkan sayuran terbaik, tempat hidup yang baik juga untuk ayam yang bisa bertelur dan ikan lele atau mujair yang bisa berkembang biak. Rumah kami tidak terlalu menempel satu sama lain sehingga banyak lahan yang bisa dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan pangan kita. 

Anakku berusia hampir 3 tahun saat ini. Perpindahan keluarga kecil kami dari kota yang sempit ke desa yang luas ini pun salah satu keputusan kami yang beralasan, ingin memberikan lingkungan yang sehat dengan udara yang masih relatif bersih, juga pangan dengan rantai pasok yang pendek. Kita bisa masak sayur yang didapatkan dari kebun sebelah rumah, atau setidaknya dari kebun milik tetangga, atau membuat telur ceplok dari kandang belakang rumah yang diambil tadi pagi sambil memberi sarapan kepada ayam.

Bertahun-tahun aku meninggalkan kampungku, banyak makanan yang aku rindukan. Terutama ‘bobo’ buatan nenekku, ya memang lebih banyak makanan nenekku yang aku ingat dibandingkan dengan buatan ibuku. Tentang ibuku, lain hal lagi yang nanti akan ku ceritakan, mengenai kebersihan dan kerapihannya. 

‘Bobo’ adalah makanan yang terbuat dari jagung, nenekku bilang itu juga salah satu makanan yang dia sukai saat kecil, ibunya (buyutku) dulu sering membuatkan untuknya. Nenekku mengatakan bahwa dulunya ‘bobo’ adalah makanan yang dibuat dari jagung yang panenan yang jelek, bahkan sepertinya lebih cocok untuk pakan ternak. Namun saat aku kecil, nenekku membuat ‘bobo’ dari jagung muda yang legit dan segar. Aku tidak bisa melupakan rasa ‘bobo’ yang rasanya manis, gurih, legit, bau jagung bercampur gula aren yang khas ketika dikukus. Dia memang jagonya. 

Aku juga merindukan sambal krangean buatan nenekku dari garis keturunan bapakku. Krangean atau dalam bahasa latin dikenal sebagai Litsea cubeba merupakan salah satu tumbuhan anggota family Lauraceae yang memiliki berbagai kegunaan seperti bahan baku minyak wangi, penyedap rasa, kosmetik, dan obat-obatan. Aroma krangean yang bercampur dengan terasi bakar, cabai, dan bawang juga tidak pernah aku lupakan.

Satu lagi makanan enak adalah buatan tangan tanteku yang terbuat dari bahan yang kebanyakan dilihat sebagai sampah oleh banyak orang, yaitu tumis kulit melinjo. Aku tidak pernah membayangkan bahwa kulit melinjo bisa dimakan, tekstur yang kasar dan warna yang mencolok itu ternyata enak sekali dimasak tumis pedas dan dimakan dengan nasi jagung. Wah tidak ada duanya. Oh ini membuat aku jadi teringat juga dengan pulennya nasi jagung putih.

Nasi jagung merupakan salah satu sumber karbohidrat yang sangat sering aku temui sehari-hari pada masa kecilku. Proses membuatnya termasuk lama, butuh waktu dua malam untuk merendam jagung, menghaluskan (menjadi tepung) dan bahkan memasaknya yang dikukus dua kali untuk mengaron dan mematangkan. Tapi ketika disajikan bersanding dengan nasi beras, maka nasi jagunglah yang aku pilih. Artinya begitu menarik dan enak nasi jagung itu buatku. 

Dari begitu banyak jenis makanan yang menarik, tidak semuanya masih tersedia atau terbiasa dibuat oleh setiap keluarga di kampung halamanku. Bahkan beberapa dari itu sudah diproduksi untuk dijual di hari-hari tertentu saja, misalnya nasi jagung. Alasan repot dan proses yang lama seringkali terungkap dari para orangtua. Dulu mereka membuat nasi jagung karena harganya lebih murah. Jika mereka menanam keduanya, maka lebih baik menjual beras untuk membeli lauk dan jagung dimanfaatkan untuk kebutuhan karbohidrat. Hal itu salah satunya juga karena anggota keluarganya yang begitu banyak, mungkin tidak cukup jika mereka harus memakan nasi beras terus menerus. 

Sebegitu nyaman di hidung, di lidah, dan di lambung. Jenis makanan begitu beragam yang kita kenal sebagai diversifikasi pangan, membuat tubuh memiliki berbagai jenis zat gizi yang saling melengkapi. Itulah trik sehat orang tua kita yang lama-kelamaan pudar. Sangkin sibuknya kita sampai-sampai lupa menyiapkan apa saja yang akan kita makan, baru ingat saat sudah lapar, tinggal pesan saja nanti ada yang antar. Entah bagaimana kebersihan dan kesegaran bahannya, apa saja komposisi lengkapnya, adakah bahan berbahaya yang ditambahkan atau tidak, belum lagi kemasan yang mungkin mengandung bahan berbahaya. 

Selain makanan, orang dulu juga banyak bergerak dengan keberadaan teknologi yang masih minim. Harus jalan untuk memanggil tetangga yang berada di gang sebelah, yang mana sekarang bisa langsung pencet handphone, berdering, dan di sebelah sana sudah mengerti pesan yang ingin kita sampaikan. Orang dulu harus menumbuk padi untuk mendapatkan beras, yang sekarang bisa dikerjakan oleh mesin penggiling padi. Orang dulu harus menunggang kerbau untuk membajak sawah, sekarang ada traktor yang lihai dalam berbagai jenis pekerjaan di sawah. 

Semestinya kita, generasi yang serba instan ini kembali ke gaya hidup orang dulu sebelum terlambat. Yuk makan lebih sehat, lebih beragam, kalau bisa mengolah sendiri pasti akan lebih baik karena kita bisa menakar kebutuhan masing-masing bahan yang diperlukan. Perbanyak juga olahraga jika aktivitas kita tidak begitu menggunakan otot yang digerakkan. Bersosialisasi dengan cara sederhana menghasilkan tawa canda juga yang murni sehingga menghasilkan hormon pembawa bahagia. 


Sabtu, 23 Desember 2023

SELARAS BUMI

Latar belakang

Kehidupan kita saat ini merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan dari generasi sebelumnya. Semakin hari kita semakin merasakan dampak perubahan iklim yang nyata, misalnya udara kampung yang dulu selalu sejuk, sekarang menjadi begitu gerah. Perubahan musim sudah tidak dapat diprediksi dengan bukti tidak ada hujan pada musim yang seharusnya hujan, tidak terbayangkan kita harus merasakan krisis air di kampung yang begitu asri. 


Tumpukan sampah ada di mana-mana seperti di badan sungai, jembatan, pinggiran sungai, bahkan di dalam perkampungan karena konsumsi sampah yang melimpah namun tidak ada tanggungjawab untuk mengolahnya. Orang jaman dahulu hampir selalu memisahkan sampahnya sendiri secara sederhana, sisa makanan masuk ke kandang ayam atau kolam lele, sampah botol dikumpulkan untuk kemudian dijual, sampah plastik kemasan dibakar di perapian (walaupun hal ini tidak perlu ditiru, karena pembakaran plastik adalah hal yang berbahaya baik untuk badan kita ataupun lingkungan, kita bisa ciptakan solusi lain).


Tanpa kita sadari juga, tanah yang dulu subur makmur kini telah sakit karena banyaknya obat pertanian kimia yang telah diserapnya sehingga semakin hari produktivitas pertanian yang kita banggakan ini terus menurun. Sehingga orangtua (petani) kebanyakan tidak mengijinkan keturunannya untuk menjadi petani, bahkan sebagian dari mereka memilih untuk menjual tanahnya untuk menggantikan dengan aset lain atau justru untuk menghidupi kehidupannya. 

Anak muda lebih menyukai dunia perantauan karena tidak ada harapan untuk tinggal di desa.


Selain itu, budaya instan dan individualis yang sangat kuat saat ini telah menggantikan budaya kebersamaan generasi terdahulu yang hampir selalu membuat makanan bersama-sama, sehingga hubungan kekeluargaan mereka sangat erat. Akhirnya makanan tradisional satu per satu punah, apakah kalian bisa mengingat makanan yang kalian sukai di masa kecil dan sekarang sudah tidak ada lagi?


Bumi yang tidak nyaman saat ini dapat kita perbaiki dengan berbagai cara sesuai dengan kemampuan dan kreativitas kita masing-masing. Membuat perubahan tidak perlu harus berkoar-koar di depan banyak orang, tidak perlu juga dengan skala yang luas, semua bisa kita mulai dengan diri sendiri dan kelompok terkecil yang kita miliki. Menggerakkan perubahan pada anggota keluarga dalam rumahmu juga sudah menjadi langkah yang besar.. 


Sehingga kesadaran diri dan kemauan untuk mengenal/ belajar dari lingkungan menjadi hal yang sangat penting terutama untuk generasi muda. Muda yang dimaksud bukan hanya usia, orang tua bisa dikatakan muda jika pikirannya seputar semangat menjalani hidup, mimpi tentang masa depan, juga hati yang kuat untuk menepis anggapan buruk orang lain terhadap diri kita. 



Tujuan


  • Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menjaga lingkungan

  • Belajar dan mempertahankan alam sekitar

  • Mencerdaskan generasi muda untuk kehidupan yang lebih baik untuk generasi mendatang

  • Menjaga kewarasan badan dan jiwa melalui berbagai workshop dan materi kelas



Workshop

  • Pembuatan sabun alami

  • Pembuatan ecoprint

  • Pembuatan makanan lokal

  • Pembuatan kertas daur ulang

  • Penulisan artikel

  • Pengolahan sampah organik

  • Pengolahan sampah kering

  • Budidaya magot

  • Menghidupkan perpustakaan

  • Menanam menghijaukan bumi

  • Kelas bahasa inggri untuk anak

  • Berbagai kegiatan yang bisa kamu buat sendiri

Senin, 18 Desember 2023

Binteng, Permen Tradisional yang Telah Hilang

Menghabiskan masa kecil di desa adalah suatu keistimewaan yang baru saja aku sadari ketika sudah dewasa. Lima belas tahun aku bermain di banyak tekstur alam, aroma makanan, hingga kenakalan kanak-kanak yang memanjat pohon buah tanpa ijin pemiliknya. Kali ini aku ingin mengajak kalian semua untuk mengingat kembali berbagai aroma dan rasa makanan yang pernah kalian nikmati saat menghabiskan masa kecil di desa.

Di kampungku dulu pernah ada pembuat permen tradisional yang kami kenal dengan sebutan binteng. Saat dia membuat, maka aroma wangi legit sampai tersebar hingga ke luar rumahnya yang hanya berselang 4 rumah dari rumah nenekku (garis keturunan bapakku).  Dia menjajakannya keliling kampung dan tentu seringkali dikelilingi banyak anak-anak, salah satunya aku. Kami bisa menikmati binteng sambil berlarian, bermain tanah dan dedaunan, atau lompat karet sekalipun. Binteng terbuat utamanya dari gula aren, selebihnya aku tidak tahu. Tapi aku mengingat betul aroma yang legit itu dan tekstur yang chui agak keras ketika digigit. 

Aku menyesali ketidaktahuanku dan kurangnya rasa penasaranku untuk mencari tahu mengenai binteng pada saat itu. Kini aku kembali ke kampung halamanku, setelah sepuluh tahun merantau ke sana ke mari. Tapi tidak lagi ku temukan binteng itu. Nenek yang membuatnya pun sudah meninggalkan dunia. Aku menanyakan tentang binteng kepada banyak orang. Anak-anak tidak lagi tahu apa itu binteng, anak seusiaku merasakan kerinduan yang sama terhadap binteng, orang-orang tua tahu bahan dasar membuat binteng, tapi kebanyakan tidak tahu bagaimana membuatnya.

Itulah salah satu makanan lokal yang hilang dari kehidupanku. Aku akan terus mencarinya hingga ketemu lagi aroma, rasa, dan tekstur binteng.


Mengapa Aku Memakai Clodi untuk Anakku?

Aku adalah seorang ibu dari balita berusia hampir 3 tahun.

Saat ini kami tinggal di kampung halamanku, di Kalibening, Banjarnegara, Jawa Tengah. Aku ingin anakku merasakah jebahagiaan yang sama dengan masa kecilku. Masa kecilku dihabiskan untuk bermain di alam. Sawah menjadi lahan berkubang, sungai menjadi tempat berendam, mencari ikan, bersenang-senang dengan teman-teman. Hal itu tidak aku temukan di tempat lain yang aku kunjungi setelah habis masa remajaku. 

Aku pernah tinggal di Bogor, dengan Sungai Ciliwung yang harus menanggung beban sampah dari rumah tangga dan pabrik di sepanjang sungai. Air di sana tidak sejernih, sebening, sesegar air di kampung halamanku. Beberapa kali akut mencoba menyeburkan diri ke Sungai Ciliwung, aku merasakan air yang kotor, bau, dan rasa ketidaknyamanan. Begitu banyak sampah plastik, kaleng, hingga popok bekas. Semoga saja hanya Ciliwung. 

Lalu aku tinggalkan Ciliwung untuk kembali ke sungai masa kecilku. Keputusan untuk mengasuh anak di kampung adalah hal yang benar, tapi harapanku tentang sungai masa kecilku harus terpatahkan. Ternyata dia sudah berubah, sudah hampir menyerupai Ciliwung dengan air yang keruh, banyak sampah ikut mengalir, dan bau menyengat dari popok bekas yang tidak diterima oleh penciumanku. 

"Sungai lebih dari sekedar kemudahan, itu adalah harta karun." yang diungkapkan Oliver Wendell Holmes tidak berlaku lagi sekarang. Tidak ada harta karun, hanya ada keburukan yang kita buang ke sana. 

Kita pasti menginginkan alam yang baik sebagai tempat tinggal kita bersama orang-orang tersayang. Adanya sungai yang buruk saat ini memang bukan hanya ulah kita, ada beberapa generasi sebelumnya yang memulai kebiasaan mengotori sungai. Tapi kita bisa mulai membantu memulihkan sungai kembali agar menjadi seperti sungai masa kecil yang bening, segar, banyak ikannya dengan berbagai cara.

Membangun masa depan tidak hanya tentang menambah keturunan yang baik, tapi juga merawat alam dengan baik untuk tempat hidupnya. Hiduplah seperti pendahulu kita yang bisa melakukan keduanya bersamaan. Semestinya kita bisa kembali memakaikan popok kain kapada anak-anak kita agar mereka tetap terawat dan sungai tetap selamat.

Aku dan We Speak Up ingin mengumpulkan banyak cerita lagi tentang sungai, tentang anak, dan tentang popok. Sehingga aku berharap kamu bisa membantuku untuk mengisi survey ini dan kita sama-sama bergerak untuk memulihkan alam kita. 

https://docs.google.com/forms/d/e/1FAIpQLSetK4Ai8XapOTibX0dC3KQGTnYHrZPd-r59LnUe-wxF2wNHdQ/viewform?usp=sf_link 




Kamis, 21 Mei 2020

Singkong Di Atas Tungku

Aku dengan ibu dan adikku menyebut diri sebagai anak singkong. Kami sangat menikmati segala jenis olahan singkong sejak kecil yang entah kapan mulanya. Suatu waktu aku duduk bersama kakek dan nenek, pada saat itu rumah mereka masih mengandalkan tungku dengan kayu bakar sebagai alat bantu memasak. Aku duduk di depan tungku sembari tak henti menyunyah singkong bakar buatan kakek. Mudah saja, singkong tak perlu dikupas langsung peram di dalam abu di bawah bara api, intinya tidak langsung terkena jilatan api untuk menjaga agar daging singkong matang hingga dalam, dia hanya butuh hangatnya abu yang menyelimuti seluruh permukaan. Lagipula singkong yang diperam tidak perlu dibolak-balik sudah pasti dia akan matang merata karena panas abunya melapisi keseluruhan singkong. Tunggu setengah jam atau mungkin sampai satu jam kira-kira, tergantung sebeapa besarnya singkong, makin besar makin lama matangnya. Kakek dengan tangannya yang tebal oleh kapalan itu mengupaskan sebuah untukku, ku makan dulu setengahnya, setengah bagian ditaruh saja di atas tungku agar tetap hangat karena kami tinggal di suatu pegunungan yang suhu udaranya rendah, makanan atau minuman yang dibiarkan begitu saja akan dingin dalam waktu singkat.
Setiap kupasan kulit singkong, kakek bercerita betapa nikmatnya makan singkong pada jaman dia muda. “Hanya dibakar atau direbus, makan dengan ikan asin, sambal terasi udah pasti nambah lagi singkongnya.”, katanya penuh semangat. Seperti kebanyakan keluarga masa kini, beras menjadi makanan pokoknya, tidak puas rasanya jika makan tanpa nasi, belum makan namanya. Singkong menjadi makanan pokoknya pada saat itu. Sekarang dia makan singkong hanya ketika sedang ingin saja, atau ketika dia pergi ke kebun lalu tau ada singkong yang sudah siap diangkat. Dia mengenali dengan jeli mana batang singkong yang punya singkong super di dalam tanagnya. 
Sesekali nenek meminta tolong kepada kakek agar memetik daun singkong jika kakek pergi ke kebun. Daun singkong adalah sayur andalannya, bisa dimasak bening, bisa juga dimasak santan. Nenek lebih sering memasak bening karena takut dengan kolesterol tinggi jika terlalu sering mengkonsumsi santan. Kakek ikut saja, apapun yang tersedia di dapur akan dimakannya dengan penuh gairah hingga keringat meluncur dari dahinya padahal udara di kampung kami kurang dari 25 derajat celcius. Umbi dan daunnya sudah jelas bisa dimakan, batangnya bisa juga dimanfaatkan sebagai kayu bakar atau pagar kebun. Kakek biasanya menancapkan saja batang yang sudah didiamkan tiga sampai tujuh hari dan dipotong pendek-pendek. Tangannya ajaib, batang itu akan tumbuh tidak lama kemudian. Aku percaya, hanya orang-orang terpilih yang tangannya dingin dan bisa menumbuhkan tanaman.
Kini kondisi sudah berubah. Tidak ada lagi tungku di rumah nenek. Kompor gas menjadi pilihan yang lebih simpel. Tidak perlu mencari kayu bakar, tidak perlu mencuci wajan yang hitam berkerak akibat pembakara kayu, tidak perlu membersihkan langit-langit yang berdebu hitam. Harga tabung gas dirasa lebih baik daripada itu semua. Namun ada hal-hal yang tidak tergantikan oleh keberadaan tungku di rumah nenek. Kami tidak lagi duduk di depan tungku setiap pagi dan sore untuk bercerita sembari makan singkong bakar. Cucu kakek yang yang berbeda 10 tahun denganku tidak merasakan hangat dan kasarnya tangan kakek yang mengelus-elus lutut seperti yang dilakukannya padaku dulu dengan lantunan yang khas. Ikatan di depan sebuah tungku hitam itu tidak bisa digantikan dengan kompor gas dua lubang walaupun tungku kakek juga lubangnya dua.
Pernah di suatu sore yang hujan, kakek pulang dari kebun dengan badan yang basah kuyup. Dia minta diambilkan handuk oleh nenek dan segera mandi. Setelah mandi tak lupa sembahyang dulu karena saat itu mungkin pukul 4 sore. Setelah selesai semua, dia membongkar karung yang dibawa dari kebun, isinya beberapa buah singkong. Saat itu aku yang paling kegirangan karena singkongnya yang besar-besar sekali lebih besar dari pahaku dulu. Aku tahu karena kakek menempelkan singkongnya di pahaku lalu berkata “pahamu kecil sekali kalo dibakar ngga enak, lebih enak singkong ini jadi kenyang” sambil tertawa memamerkan gigi-giginya . Nenek menawarkan diri untuk membuat salah satu olahan singkong yang kami sebut krekel dan kakek tentu menyetujuinya, apapun yang terbuat dari singkong menurutnya istimewa. Tak lama kemudian nenek mengupasnya satu per satu dan melanjutkan prosesnya sendiri, aku tetap di depan tungku bersama kakek dan membakar satu buah singkong yang lebih besar dari pahaku tadi.
Selain krekel, banyak jenis makanan yang bisa dibuat dari singkong, misalnya ondol, makanan ringan bulat kecil-kecil sebesar buah ceri. Ada juga cantir atau opak, makanan ringan sejenis kerupuk yang gurih. Lemek, kue basah dari singkong bertekstur lembek dan manis dibungkus dengan daun pisang lalu dikukus. Atau keripik singkong juga menjadi pilihan menarik untuk camilan yang bisa bertahan lama. Ada juga manggleng yang keras sampai kakek tidak bisa mengunyahnya, sehingga harus diulum dulu hingga lembek. Ngomongin singkong ngga ada habisnya, banyak makanan yang bisa dibuat dari umbi yang satu ini. Semuanya enak, semuanya punya cerita.
Sembari mengupas singkong bakar yang telah matang, dia bercerita mengapa dia tetap menjadi petani hingga sekarang, padahal dia adalah seorang guru yang berstatus PNS. Ternyata bukan hanya kecukupan secara finansial saja yang dicarinya, menjadi guru menjadi bagian dari pengabdiannya terhadap negara, secara singkat dia senang membuat muridnya mau belajar. Menjadi petani adalah pengabdiannya yang lebih tinggi, yaitu terhadap alam semesta, menurutnya merawat tanaman adalah merawat semesta, dan dampaknya tidak hanya untuk keluarga tapi kepada hewan-hewan, tetangga, hingga orang lain yang tidak dikenalnya. Menurutnya menjadi seorang petani juga berkaitan dengan keimanannya yang dia jelaskan panjang lebar.
Kakek tidak pernah melarang maupun memaksa anak cucunya untuk mengikuti jejaknya menjadi seorang petani. Sejak aku kecil, aku seringkali diajak pergi ke sawah maupun ke kebun. Momen itu menjadi penting untukku saat ini, aku baru menyadari bahwa yang dilakukan oleh kakek kepadaku dulu adalah untuk mengenalkan bagaimana manusia bekerja, bagaimana manusia mendapatkan makanan, jadi sekarang aku berusaha agar mengetahui asal dari makanan yang aku makan. Kakek secara tidak sengaja mengawinkan aku dengan alam semesta, dia menyederhanakan apa yang ada dalam pikirannya untuk disampaikan melalui perlakuannya terhadapku. Duduk di depan tungku dengannya mengajarkan juga kesederhananan dan kebahagiaan, dari api yang tidak harus berarti kemarahan, dari hitan yang tidak harus berarti kekelaman, dari putihnya singkong yang tidak berarti kekosongan makna.
Singkong masih menjadi makanan kesukaan di rumah kakek dan nenek saat ini, walaupun tidak ada tungku di dapurnya. Kakek masih rajin pergi ke kebun, dan sesekali pulang membawa singkong. Nenek biasanya mengupasnya lalu direbus atau dikukus, karena tak ada lagi tungku di dapurnya. Singkong kukus atau rebus yang masih hangat beruap dihidangkan dengan piring di ruang tamu. Kini kami melakukan obrolan di ruang tamu, dengan cucu-cucu kakek yang menggemaskan dan olahan singkong di atas meja. Ketika udara sedang dingin, masing-masing orang mengenakan selimutnya yang dibawa dari kamar masing-masing. Tidak ada lagi tangan yang dihadapkan ke lubang depan tungku yang hangat. Tidak ada lagi tungku di dapur rumah kakek. Semuanya berbeda.

Rabu, 13 Mei 2020

Berapa Banyak Upacara di Bali?

Tidak hanya perut sendiri yang dipikirin, hidup di Bali pasti dekat dengan perayaan, artinya harus memberikan sesajian untuk para Dewa juga. Seluruhnya itu berkaitan dengan kepercayan. Kebutuhan itu juga nilainya besar. Setiap hari setiap keluarha harus merogoh kocek untuk membeli canang yang digunakan 3 kali dalam sehari. Bagi mereka yang bisa membuat canang sendiri, biaya yang dikeluarkan lebih sedikit. Namun sayangnya lebih banyak dari mereka yang memilih membeli saja canang untuk ibadah. Sebuah canang berisi 4 warna bunga yang diletakkan sesuai dengan arah mata angin, ditambah dengan irisan pandan, roti, permen, rokok, kopi, maupun teh. Selain itu juga ada jenis sesajian yang isinya hanyalah apa yang dimakan oleh keluarga di hari iru, sehingga persembahannya dilakukan di pagi hari setelah perempuan memasak. Peletakkan sesajian itu setiap keluarga berbeda, sesuai dengan apa yang mereka hormati. Misalnya salah satu tempat penguburan ari-ari anaknya. Namun umumnya adalah sanggah keluarga, kamar besar (kamar pasangan suami istri), dapur, pintu gerbang masuk rumah, alat transportasi/ barang berharga lainnya.
Pada saat itu kebetulan aku berkesempatan mengunjungi malam 3 harian kematian ayah Luh Nia. selanjutnya ada acara 11 harian dan 21 harian. Serupa dengan umat Islam, di sini pun ada acara doa bersama yang diadakan di rumah duka selama 3 malam. Pelantun doa diawali oleh orang dari pura yang terhormat, kemudian disusul bergantian dengan orang lain. Orang silih berganti mungunjungi untuk turut berduka dan mendoakan yang terbaik. Pemilik rumah juga sibuk mempersiapkan persediaan untuk para tamu, minimal minuman. Jika memiliki kemampuan yang berlebih biasanya mereka menyugihkan makanan ringan, makanan berat, hingga alkohol. Keseluruhan rangkaian tersebut membutuhkan biaya yang besar. Sesame keluarga biasanya saling bahu-membahu untuk menanggung beban tersebut. Sehingga terlihat kerjasama yang masih terjaga hingga saat ini.
Selain kematian, penyambutan kehamilan hingga kelahiran juga menjadi hajat yang tidak kalah banyak mengeluarkan uang. Apalagi sebuah pernikahnan, dan banyak lagi upacara yang dilakukan. Selain upacara yang tidak dapat diprediksi itu, ada juga upacara rutin yang harus dilakukan.
Selain itu, obrolan dengan Pak Eka juga menghasilkan kesimpulan bahwa di Bali terdapat enam hari suci yang disebut tumpek atau keselamatan. Pertama, Tumpek Landep yaitu upacara untuk selamatan senjata taja, serperti pada bahasa Bali yaitu landep berarti tajam. Kedua, Tumpek Uye yaitu upacara untuk keselamatan kandang yang mana mereka memberikan keselamatan pada kandang ternak atau binatang peliharaan. Ketiga, Tumpek Wayang yaitu untuk selamatan wayang. Keempat, Tumpek Kuningan yang dilakukan untuk keselamatan gamelan atau alat musik. Kelima, Tumpek Bubuh yaitu selamatan yang dilakukan untuk tumbuhan agar mendapatkan hasil yang berkah untuk kehidupan mereka. Keenam, Tumpek Krulut yang dilakukan untuk selamatan unggas, namun tumpek ini biasa digabungkan dengan Tumpek Uye.
Nyepi adalah salah satu perayaan di Bali yang ditunggu-tunggu. Perayaan ini dilakukan setiap tahun baru Saka. Perayaan ini ditujukan untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk menyucikan alam manusia (Bhuana Alit) sebagai microcosmos dan alam semesta (Bhuana Agung) sebagai macrocosmos. Selain umat Hindu dan warga Bali, Nyepi menjadi hal yang unik bagi wistawan. Sebelum nyepi, ada banyak rangkaian upacara adat di Bali, misalnya Melasti yang mana seluruh sarana persembahyangan yang ada di pura diarak ke laut atau danau (air) karena zat itulah sumber kesucian (tirta amerta). Upacara ini dilakukan antara dua hingga 3 hari sebelum nyepi. Kemudian sehari sebelum nyepi dilakukan upacara Buta Yadnya. Inilah yang seringkali ditunggu-tunggu, yaitu mengarak buta ke seluruh desa yang disimbolkan dengan patung raksasa dengan muka menyeramkan. Patung tersebut biasanya dibuat di masing-masing tingkatan masyarakat, misalnya keluarga, banjar, hingga desa. Sebulan bahkan dua bulan sebelum arakan tersebut, warga bergotong-royong membuat patung tersebut, hingga larut malam itu sudah biasa. Kebersamaan dapat terlihat jelas pada prosesnya. Arakan di hari yang ditunggu itu diiringi dengan tabuhan atau pukulan pada benda apa saja, biasanya dengan kentongan dari bambu sehingga menimbulkan suara gaduh yang bertujuan mengusir buta kala. Masyarakat menyebutnya pawai ogoh-ogoh. Setelah selesai diarak, kemudian patung-patung tersebut dibakar karena sebuah kepercayaan bahwa setelah diarak keliling desa, Buta Kala dan segala keburukan/ kejahatan masuk ke patung tersebut yang harus dimusnahkan.
Selesai semua perayaan itu, masuklah Hari Raya Nyepi di keesokan harinya. Hari tersebut seluruh Bali sama sekali harus beristirahat, tidak ada kendaraan bermotor yang berlalu lalang, tidak ada aktivitas jual beli, bahkan menyalakan api juga merupakan larangan sehingga masyarakat biasanya mempersiapkan makanan di hari sebelum nyepi karena tentunya proses memasak memerlukan api. Beberapa daerah memiliki aturan yang lebih ketat seperti mematikan aliran listrik dan koneksi internet. Beberapa orang memaknai nyepi secara dalam hingga melakukan puasa, tidak makan atau minum. Mereka yang melakukannya percaya, ketika berpuasa kita dapat berpikit lebih jernih untuk merefleksikan diri apa saja kesalahan yang telah dibuat selama setahun lalu dan membangun lagi mimpi di lembaran baru yang suci setelah nyepi sehingga diharapkan tidak melakukan kesalahan yang sama. Beberapa anak menangis ketika malam hari karena kegelapan tanpa cahaya lampu maupun karena pansa tanpa kipas/ AC. Para ibu dari anak-anak tersebut diuji kesabarannya untuk menenangkan mereka hingga pagi menjelang.

Jumat, 08 Mei 2020

Ujung Timur Indonesia





Jalan Trans Papua Menuju Kampung Tambat
Sebelum sore kami berangkat dari Kota Merauke menuju ke Kampung Tambat yang ada di kecamatan Tanah Miring. Perjalanan kami dengan kendaraan bermotor memakan waktu kurang lebih 1 jam. Melewati jembatan menyeberangi Sungai Maro menjadi pengalaman yang tidak terlupakan. Setelah itu masuklah ke jalan trans dengan padang di sisinya. Saat itu cuaca tidak terprediksi, tiba-tiba gerimis turun. Kami berhenti untuk memakai jas hujan saja, karena tidak ada tempat berteduh. Selain itu kami juga suka mengendarai sepeda motor di bawah rintik hujan. Beberapa saat kemudian gerimis berhenti, kami juga berhenti pada akhirnya untuk melepas jas hujan. Sembari beristirahat di tepi jalan, kami makan rambutan yang kami beli di kota sebelum berangkat. “Ini kitong pu rambutan paling enak sudah se-musantara”, ucap Monic yang gemar sekali dengan buah berambut satu itu.

Masuk Kampung Tambat, Distrik Tanah Miring


Kami mulai memasuki area kampung, jalanan dengan aspal tipis sehingga masih terlihat bebatuannya. Langit di sana cerah, biru, dengan awan yang sesekali bergeser ke sana kemari. “Tidak lama lagi, kitong su mau sampai”, kata Adriana sambil terus memakan rambutan dengan tangah kirinya.



Menokok batang sagu, diawasi Mama Magdalena berbaju biru



Benar saja, di sore yang cerah itu kami segera sampai di pabrik Sagu Dwitrap, Kampung Tambat, Tanah Miring. Ternyata Om Jack, begitu sebutannya seorang ayah berusia kurang lebih 40 tahun dengan nama asli Yakobus, dialah yang kami cari sedang tidak ada di rumah. Om Jack yang mengkoordinir produksi tepung sagu di pabrik Sagu Dwitrap. Kemudian kami menyusulnya ke tepian sungai di ujung kampung tempat dia menunggu potongan pohon sagu yang baru saja dipanen sampai ke kampung. Selain Om Jack, ada juga beberapa orang yang sedang memproses batang sagu yang dipanen di sekitaran sungai tersebut, “ada yang sedang memarut! Ko mo coba kah?”, kata Kak Nurmala, perempuan 30 tahunan dengan rambut panjang terkepang rapih. Gak pakai lama, aku melepas sepatu, bergabung menokok batang sagu dengan Mama Magdalena. Om Jack mengatakan bahwa di tempat itu biasa orang bekerja, bersana-sama di pagi hingga sore hari. Biasanya sebatang pohon dikerjakan bersama oleh anggota keluarga. Anak-anak kecil ikutan berkumpul meramaikan tempat tersebut tentunya tetap asik bermain sembari membantu orangtuanya. Hal yang paling bagi mereka adalah berenang di sungai itu, melompat dari pinggiran jalan membuat mereka terlihat lebih seru. “Besok kitong lihat”, tambahnya.

Potongan batang sagu 1 meter,
diangkut dengan mobil bak terbuka

Om Jack dengan karyawannya langsung cepat saja memotong menjadi per 1 meter batang sagu yang sudah sampai di tepian. Hal itu memudahkan untuk diangkut ke dalam mobil bak terbuka menuju ke pabrik Sagu Dwitrap, juga lebih mudah diproses selanjutnya. Sesampainya di depan pabrik Sagu Dwitrap, dibongkar saja di pinggiran agar tidak menghalangi jalan. “Besok kitong kupas dan belah, su sore kitong istirahat dulu.”, ungkap salah satu karyawan Om Jack sembari menurunkan potongan sagu.


Mengangkut batang sagu yang sudah dibelah ke pabrik


Istri Om Jack ikut membantu dalam proses produksi. Salah satunya dia mengangkut belahan batang sagu ke dalam pabrik. Pekerjaan yang tidak mudah karena beban yang begitu berat di dalam kereta dorongnya. Dia melakukannya dengan senang hati, ketika lelah dia akan berhenti sejenak, “Kalau su minum sa angkat lagi itu barang” katanya. Pekerjaan lain yang dia lakukan juga dalam mengurus anak, menyiapkan bahan makanan untuk para karyawan yang bekerja di Dwitrap, membersihkan rumah, dan tidak jarang berkebun.


Kukis Sagu yang dibuat oleh Nurmala
Malam itu kami menginap di kediaman Om Jack. Tepatnya di sebuah ruangan yang telah dipersiapkan untuk tempat produksi lanjutan, yaitu mengolah tepung sagu menjadi berbagai macam makanan siap santap. Di ruangan itu terdapat banyak alat yang siap digunakan, namun rupanya masih bersegel belum pernah digunakan, ruangan itu belum beroperasi. Om Jack menjelaskan, dirinya belum menemukan orang yang tertarik untuk mengolah sagu menjadi berbagai macam makanan, selain itu juga belum ada tenaga yang berkompeten untuk mengajari masyarakat mengolah tepung sagu. “Kitong suka makan sagu bakar saja, dengan kopi atau teh sudah cukup, tapi sa sendiri punya keinginan membuat berbagai olahan sagu agar sagu terserap dengan baik dan semua orang bisa menikmatinya”

Matahari terbit dari timur
Jalan pagi dengan Tante Tina

Malam berlalu terasa singkat karena kami berbincang hingga larut. Banyak hal yang diceritakan oleh Om Jack dan keluarganya. Ketika pagi menjelang, kami dibangunkan oleh suara burung yang mulai mencari makanan. Aku keluar dari ruang tidur dan melihat langit yang terlalu cantik untuk dilewatkan, fajar yang jingga. Akupun mulai berjalan mengikuti jalan kampung. Tidak lupa ku ajak Tante Tina yang menemani kami dalam perjalanan Kampung Tambat kali ini. Tante Tina adalah bagian dari Kon Muyu. Kami melepas alas kaki dan mulai menikmati aspal tipis sambil berbincang. “Ko pu muka itu bentol semua Ve, ko banyak dapat nyamuk kah semalam?”, tanyanya sambil memperhatikan wajahku. “Sa tidak berasa, mungkin karena kelelahan jadi sa tidur lelap sekali.”, jawabku. Kami bercengkrama layaknya kawan lama yang bertahun-tahun tak bertemu. Nyatanya mereka memang ramah. Mereka sangat terbuka dan menyenangkan, aku paling suka logat mereka yang membuat aku jadi terbawa. “Ko pu logat ni su rupa orang papua bicaranya.”,  Tante Tina mengakhirinya dalam perjalanan pagi itu.