Senin, 10 Juli 2017

Bagiku Ramadahan dan Lebaran

Aku sudah tinggal di Bogor sejak kurang lebih 4 tahun lalu. Bogor seru, walaupun tak selamanaya menyenangkan. Setidaaknya di sana aku bias dapet banyak teman baru dengan jenis yang berbeda-beda. Selama 4 tahun itu aku menjaring ilmu di sebuah universitas negeri yang katanya kampus rakyat, ya Institut Pertanian Bogor (IPB). Artinya ini adalah tahun terakhir menjadi mahasiswa di tingkat sarjana. Sudah berbulan-bulan saat itu aku mulai menyusun tugas akhir. Banyak rintangan tentunya, mulai dari dosen yang susah ditemui hingga perusahaan calon objek penelitian yang susah dilobi. Selama 5 bulan gonta ganti proposal dan ku ajukan ke perusahaan ini itu tak kunjung diterima, yang ada mereka menolak dan mendiamkan permohonanku. Sempat mikir buat ganti judul, tapi berujung pada “Ah belum rejekinya, nanti juga dapet”
Selama 10 hari pertama Ramadhan merupakan berkah luar biasa bagiku, karena ada satu hari yang mana ada perusahaan yang menerimaku untuk melakukan penelitian di sana, sebut saja PT. X. Walaupun teman yang lain sudah menyandang gelar sarjana dibelakang namanya dan aku baru akan memulai penelitian, tapi aku yakin ada jalan-Nya yang sudah diatur untuk kebaikanku. Ya itu semua kehendak-Nya, diterimanya aku di sini adalah jalan-Nya yang diturunkan kepada seorang alumni IPB untuk membantuku. Ga usaha banyak mikir dua hari kemudian berusaha untuk mendapatkan tiket pesawat. PT. X berada di Samarinda, Kalimantan Timur. Setelah membeli tiket ternyata salah satu manajer di sana menghubungiku dan meberi kabar bahwa aku di sana bisa tinggal di mes nya agar tidak perlu menyewa tempat tinggal, terlebih aku diberi akses ke kantin agar tidak perlu membeli makan sendiri. Ini namanya 10 hari pertama Ramadhan yang sungguh berkahnya turun kepada para hambaNya.  
Hari-hari selama penelitianku di sana terasa menyenangkan. Banyak teman baru yang profesional dan memberikan kemudahan mendapatkan data menjadi salah satu faktor kesenangkanku. Taman-teman se kantor sangat baik dan ramah, segala sesuatu yang ku tanyakan dijawabnaya dengan detail. Setelah satu pekan terlewati aku mencoba untuk menyegarkan diri pergi beribur ke kota. Maklum karena PT. X berada di kampung, jarak ke kota lumayan jauh dan dapat ditempuh selama kurang lebih 1 jam.
Akhir pekan saat itu mengalahkan akhir akhir pekan selama 5 bulan yang lalu yang rasanya sangat biasa saja. Baru aku tau rasanya bahwa akhir pekan memang ditunggu oleh para pekerja kantoran. Tak mau rugi aku pergi berkeliling kota bersama seorang kawan yang baru ku kenal, namanya Mba Rahma dan Mba Nuy yang hobinya jalan-jalan. Kami mengunjungi sebuah masjid tertua di Samarinda. Di sana selalu digelar buka bersama dengan takjil seadanya. Masjidnya tidak terlalu luas, paling cukup untuk shalat sejumlah kurang lebih 300 orang.
Pemandangan dari Bukit Steling
Anak-anak kecil bersemangat menunggu waktu iftar datang, beberapa ibu-ibu membagikan bubur yang dilengkapi dengan telur rebus serta minuman berupa susu dan air putih. “Semuanya kebagian, sabar ya”, ucap salah satu orang. Ya memang mereka selalu menyediakan takjil tersebut dengan dana dari beberapa pihak.
Masjid Shiratal Mustaqiem

Setelah makan dan shalat, kami berkelilng masjid mencari hal yang unik, yaitu masjid itu sendiri yang dilengkapi dengan menara setinggi kurang lebih 15 meter yang membuat masjid berama Shiratal Mustaqiem itu semakin gagah dan hidup karena lampu-lampu terangnya. Kami tak mau kehilangan momen untuk mengambil gambarnya, bagiku untuk kenang-kenangan, kapan lagi aku bisa ke sana.

Puncak Bukit Steling
Malam minggu kami lewati untuk sekedar bersantai di pinggir sungai tepat di belakang Big Mall. Karena ketika aku diajak ke mall kok tiba-tiba mual. Hehehe. Nongkrong sambil menikmati kerupuk amplang khas Samarinda dan anginnya yang sepoy itu menjadikan badan kembali rileks setelah seminggu mengerjakan laopran tugas akhir. Ngobrol sana sini, pengalamanku dan pengalaman teman-teman baruku itu. Ternyata perjalananku belum seberapa dibanding dengan mereka. Akhirnya malam itu kami akhiri untuk menyambut hari esok yang menyenangkan.

Menuju Kampung Tenun
Hari Minggu datang, akhir dari akhir pekan adalah waktu yang berharga. Pagi itu kami bangun dengan semangat, langsung mandi dan bersiap. Kami pergi ke sebuah bukit bernama Bukit Steling, letaknya tak jauh dari rumah Mba Rahma. Cukup 10 menit menggunakan sepeda motor kemudian mendaki deh. Pagi menuju siang begini mendaki rasanya berat sekali, apalagi dalam keadaan berpuasa. Namun setelah kurng lebih 20 menit mencoba mengayunkan kaki untuk naik akhirnya sampailah kami di puncak bukit itu. Pemandangan dari atas sana rasanya membuat mata melek lagi. Sungai Mahakam yang luas dan rumah penduduk yang padat, serta aktivitas lain yang terlihat dari atas sana mengobati rasa haus selama perjalanan. Kami berfikir seandainya di sana menjadi sebuah tempat wisata yang dikelola dengan baik pastinya akan lebih bagus untuk kita semua terutama penduduk di sekitar yang mendapatkan manfaatnya.

Tak puas hanya mendaki bukit saja. Kami melanjutkan perjalanan untuk menyeberangi Sungai Mahakam menuju ke Kampung Tenun. Hanya cukup mengeluarkan uang sejumlah Rp.5.000 saja kami bisa sampai di sana. Berkeliling di Kampung Tenun biasa dilakukan para wisatawan lokal maupun mancanegara. Sekedar melihat-lihat proses pembuatakn sarung tenun tak menjadi masalah bagi warga sana. Hampir setiap rumah memiliki alat untuk menenun sarung. Setelah selesai bisa dikumpulkan ke pengepul barus selanjutnya dijual ke konsumen. Harga sarung tenun berkisar dengan harga paling murah adalah Rp.300.000 sesuai dengan jumlah kain yang digunakan, kesulitan motif, dan warnanya. Selain sarung tenun, di sana juga menjadi tempat produksi kerajinan manik-manik, seperti kalung, gelang, syal, ikat pinggang, dan lain-lain.
Sarung tenun




Puas berkeliling di sana kami melanjutkan lagi pergi ke puncak menara Islamic Center. Pengunjung dikenakan biaya Rp.15.000 untuk orang dewasa dan Rp.7.500 untuk anak-anak. Harga tersebut tergolong cukup murah untuk melihat pemandangan dari lantai 15.

Proses menenun sarung
Setelah menikmati jalan-jalan, saatnya bertemu dengan kawan-kawan. Aku membuat janji untuk ketemu dengan Kak Miftah (seniorku di organisasi Lawalata IPB) dan Om Suhardi (Alumni Kehutanan IPB). Hanya sekedar canda tawa dan saling menyapa saja sudah cukup untuk mengakhiri puasa hari itu. Malam pun datang, kami (aku, Kak Miftah, dan Mba Rahma) memutuskan pergi nongkrong di sebuah cafe yaitu Lopecafe. Kami nikmati kopi hingga larut malam. Obrolan kami tidak akan ada habisnya jika tidak segera diakhiri. Padahal besok aku harus masuk kantor lagi melanjutkan tugas akhirku.

Islamic Center
Semua itu merupakan berkah Ramadhan yang tak dapat digantikan. Untuk ku Ramadhan itu silaturahmi. Sekarang sudah saatnya 10 hari terakhir sebelum lebaran. Bagiku lebaran itu bertemu orang baru. Aku rela tidak merayakan lebaran di kampung halaman bersama keluarga karena aku pikir nanti aku akan mendapat lebih banyak saudara di sini sembari menyelesaikan tugas akhirku. Sehingga pasca lebaran semoga dengan segera aku mendapat gelar sarjana di belakang namaku agar bias menyusul kawan-kawan yang lain.
Ramadhan dan Lebaran itu bagi kamu?

Kasepuhan Ciptagelar

Kasepuhan Ciptagelar adalah salah satu bagian dari Kasepuhan Banten Kidul selain Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cisitu, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek, serta Kasepuhan Cibedug. Warganya masih melestarikan budaya tradisional dalam kehidupan sehari-hari, sehingga disebut Kasepuhan. Setiap hari mereka memakai baju adat berupa kebaya dan samping bagi perempuan, serta penutup kepala atau iket bagi laki-laki. Semua warga taat kepada aturan adat yang berlaku. Aturan adat tersebut dibuat oleh Abah, seorang pemimpin kasepuhan yang ditunjuk oleh leluhur. Kasepuhan Ciptagelar dipimpin oleh Abah Ugie sejak 2007. Usianya 28 tahun saat ini. Dia menggantikan ayahnya yang bernama Abah Anom yang meninggal dunia.
Abah Ugie merupakan perantara warga Kasepuhan Ciptagelar dengan leluhur. Dia sebagai pemimpin dapat menentukan segala hal sesuai dengan ajaran dan wangsit dari leluhurnya, kemudian perintah tersebut harus dijalankan warga. Warga yang tidak menjalankan perintah dari Abah akan mengalami musibah langsung dari leluhur. Jadi warga lain akan tau jika salah satu dari mereka mengalami musibah artinya diatelah melakukan kesahalan. Musibah tersebut dapat berhenti atau tidak sesuai dengan perbuatannya, serta atas ijin Abah dari wangsit yang diterimanya. Hal tersebut juga mempengaruhi pelaksanaan kegiatan religinya didominasi oleh kepercayaan adat dan tradisi yang dari para leluhur walaupun kepercayaan mereka adalah Islam.
Walaupun mereka sangat taat kepada aturan adat, namun pemikiran mereka sudah terbuka. Banyak dari mereka yang sudah mendapatkan pendidikan formal. Selain itu Kasepuhan Adat Ciptagelar sudah mulai terbuka dengan dunia luar dengan menggunakan listrik. Namun bukan dari pembangkit listrik negara, mereka membuat pembangkit listrik dari tenaga air yang disebut turbin mikrohidro yang dibuat sendiri oleh swadaya warga. Hal tersebut menunjukkan mereka sudah terbuka akan teknologi. Banyak juga warga telah menggunakan alat-alat tradisional seperti handphone, laptop, televisi, sepeda motor, dan lain-lain.
Aliran sungai digunakan untuk pembangkit listrik mikrohidro

Kasepuhan ini terletak di kaki Gunung Halimun yang merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Secara administratif, Kampung Ciptagelar berada di wilayah Kampung Sukamulya Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Jarak Kampung Ciptagelar dari Desa Sirnaresmi 14 Km, dari kota kecamatan 27 Km, dari pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi 103 Km dan dari Bandung 203 Km ke arah Barat. walaupun merupakan bagian dari administratif desa, Kampung Ciptagelar juga mempunyai pemerintahan sendiri yang dipimpin Abah Ugie. Jadi secara langsung mereka menaati dua peraturan, yaitu dari desa yang merupakan bagian sebuah negara, serta dari kasepuhan itu sendiri. Kedua peraturan dimusyawarahkan dengan baik sehingga tidak menimbulkan perselisihan.
Leuit (lumbung padi)

Selain pakaian adat, Kasepuhan Ciptagelar juga memiliki keunikan bentuk rumah. Semua rumah warga Kasepuhan Ciptagelar berbentuk panggung. Material yang digunakan untuk membuat rumah merupakan hasil alam, seperti kayu sebagai lantai, anyaman bambu sebagai dinding, serta ijuk sebagai atap rumahnya. Mereka tidak menggunakan genteng sebagai atap karena menurut mereka tidak wajar orang yang masih hidup berada di bawah tanah (genteng terbuat dari tanah), seperti kuburan. Selain itu warga tidak membuat rumah secara permanen karena Kasepuhan Ciptagelar dapat berpindah kapanpun jika ada perintah leluhur. Warga kasepuhan tidak hanya berada di wiliayah kampung tersebut, namun ada dimana-mana. Area Kasepuhan Ciptagelar yang berada di Kampung Sukamulya Desa Sirnaresmi merupakan pusat pemerintahan Kasepuhan Ciptagelar, warga lain yang berada di luar area tersebut dapat dikenali dari bentuk rumahnya. Walaupun hidup di aera lain namun dia adalah warga Kasepuhan Ciptagelar, pasti rumahnya panggung atau setidaknya dapurnya berbentuk panggung. Karena menurut warga Kasepuhan Ciptagelar, dapur merupakan ruangan utama bagi sebuah keluarga. Dapur memberikan mereka kahidupan, tempat untuk makan dan bersilaturahmi.
Seperti yang dijelaskan di atas bahwa Kasepuhan Ciptagelar memiliki pemerintahan sendiri yang dipimpin oleh Abah. Dia tidak sendirian mengurus kasepuhan, dia dibantu beberapa bawahan dia yang disebut kolot. Ada beberapa kolot yaitu kolot Girang Serat, Sesepuh Kampung, Pamakayan (Dukun Tani), Bengkong, Juru Pantun, Indung Beurang, Dalang, Tukang Tinggar, Penghulu, Tukang Bas (kayu/bangunan), Panganteur, Tukang Bebersih, dan Kemit. Dalam melancarkan urusan di bumi ageung terdapat beberapa orang yang membantu, yaitu sebagai : Candoli, Palawari, Pangejeg, dan Tukang Potong. Setiap kolot memiliki tugas masing-masing sesuai dengan aturan dari Abah serta wangsit yang diterima. Biasanya kolot merupakan jabatan turun temurun, atau sesuai dengan wangsit yang didapatkan.
Hamparan di Ciptagelar
Kasepuhan Ciptagelar terkenal dengan sistem pertanian yang unik. Mereka sangat menjaga kelestarian alamnya sehingga tidak menggunakan bahan kimia berbahaya apapun dalam pertanian. Padi merupakan komoditas pertanian yang paling terkenal di Kasepuhan Ciptagelar. Padi hanya dipanen sekali dalam setahun. Namun mereka tidak pernah kekurangan, justru selalu berlebih. Sehingga mereka tidak pernah membeli beras dari luar, hal itu menjadi larangan bagi warga Kasepuhan Ciptagelar. Pra hingga pasca penanaman merupakan proses yang panjang. Setiap proses selalu menggunakan upacara adat. Upacara-upacara yang berkaitan dengan kegiatan bercocok tanam adalah upacara membuka ladang, upacara ngaseuk, upacara mipit/nyalin (upacara pendahuluan sebelum dilakukan panen pertama), upacara seren taun (upacara adat pasca panen), upacara nganyaran (makan nasi yang pertama kali dari hasil panen), dan upacara ngahudangkeun (membangunkan padi yang telah didiukeun di dalam leuit sebelum dipergunakan oleh pemilik leuit). Dari semua upacara tersebut, seren taun merupakan upacara yang paling ditunggu oleh warga dalam maupun luar Kasepuhan Ciptagelar.
Ibu-ibu sedang menumbuk padi

Selain upacara, padi juga diistimewakan dengan cara menyimpannya dalam lumbung. Lumbung padi dimiliki paling tidak setiap kepala rumah tangga. Lumbung padi disebut Leuit. Bentuknya seperti rumah panggung namun hanya memiliki satu ruangan. Kasepuhan Ciptagelar sendiri memiliki satu Leuit Ageng yang merupakan lumbung untuk menyimpan padi dari setiap leuit-leuit perorangan. Padi dari Leuit Ageng merupakan cadangan yang hanya digunakan untuk acara tertentu saja dengan izin Abah. Cara meletakkan dan megambil padi di leut juga sangat hati-hati, tidak sembarang orang dapat melakukannya.

Kerajinan tangan dari rotan

Padi yang dihasilkan di tanah Kasepuhan Ciptagelar adalah dari bibit turun temurun yang saat ini jumlahnya sudah lebih dari 120 jenis padi. Kebanyakan merupakan hasil kawin antara bibit padi sebelumnya. Jadi hasilnya juga berbeda dan tidak dapat ditiru dan ditanam oleh warga luar Kasepuhan Ciptagelar. Mereka tidak mengijinkan bibit lain ditanam di sana. Padi juga tidak diperjualbelikan. Mereka menggunakannya sendiri. Jika ada yang membutuhkan biasanya hanya diberikan gratis sesama warga Kasepuhan Ciptagelar. Warga luar yang menginginkan biasanya diberikan dalam bentuk yang sudah matang. Karena padi sangat dihargai oleh mereka. Mulai dari cara mereka mengupas kulit padi menjadi beras hingga memasaknya juga dengan cara yang berbeda. Padi dikupas dengan cara ditumbuk dalam lesung yang terbuat dari kayu. Penumbukan padi juga menjadi kesenian yang unik karena menghasilkan berbagai macam suara ketukan. Ibu-ibu yang menumbuk padi seringkali bernyanyi bersama lagu dengan bahas sunda. Hal itu yang ditakutkan jika beras diberikan kepada yang bukan warga Kasepuhan Ciptagelar, akan perlakukan tidak sesuai dengan cara mereka yang menjadi larangan dari kasepuhan.

Wayang golek salah satu budaya Ciptagelar
Ada juga upacara lain yang dilakukan selain yang berkaitan dengan pertanian, seperti upacara empatbelasan, upacara tersebut dilakukan setiap bulan di tanggal 14 menurut kalender perhitungan kasepuhan. Pada hari tersebut bulan selalu dalam keadaan purnama. Ada juga selamatan pemberian nama dan upacara mengubur bali (ari-ari atau tembuni), upacara masa kanak-kanak bagi anak laki-laki biasa dilakukan upacara khitanan dan upacara helaran, upacara yang berkaitan dengan perkawinan seperti lamaran, akad nikah, dan upacara yang berkaitan dengan kematian. Makanan yang disajikan dalam setiap upacara berbeda dan memiliki arti masing-masing yang menjadi kekuatan mereka. selain itu juga disuguhkan beberapa kesenian adat yang menjadi simbol bagi Kasepuhan Ciptagelar yang ditampilkan oleh warga sendiri. Hampir semua upacara dilakukan beramai-ramai dan mengundang perhatian warga lain.
Jembatan penyeberang sungai sebelum Ciptagelar

Selain pertanian, Kasepuhan Ciptagelar juga memiliki sistem pengelolaan hutan yang rapih dan berlaku hingga saat ini. Mereka membagi hutan menjadi tiga jenis hutan berdasarkan filosofi hidup mereka, yaitu hutan titipan, hutan tutupan dan hutan garapan atau bukaan. Hutan titipan adalah wilayah hutan yang dijaga dan dilindungi manusia serta roh pelindung hutan. Warga dilarang memasuki hutan titipan tanpa seijin Abah apalagi mengambil sesuatu dari sana. Hal itu menunjukkan mereka menjaga keseimbangan kehidupan dan tidak serakah menggunakan hasil alam. Hutan tutupan adalah hutan penyangga yang juga berfungsi sebagai hutan lindung. Wargahanya dapat mengambil rempah-rempah dan akar-akaran untuk keperluan pengobatan dengan jangka waktu terstentu. Hutan tutupan dapat dibuka menjadi lahan garapan pertanian jika keadaan mendesak untuk kepentingan seluruh masyarakat adat Kasepuhan dan atas izin Abah. Sedangkan di hutan bukaan atau garapan, masyarakat hanya boleh beraktivitas untuk bersawah, berladang, berkebun, membangun rumah, membuat jalan, membangun tempat ibadah, pemakaman, penggembalaan dan sebagainya.
Hutan tetap diistimewakan dengan adanya aturan untuk memasuki dan memperlakukan hutan dengan baik. Sesekali ada gotong royong untuk membersihkan hutan. Hal itu juga menunjukkan kepedulian warga Kasepuhan Ciptagelar terhadap keberlangsungan hidup keturunannya.

Hal diatas sudah menjelaskan beberapa keunikan dari Kasepuhan Ciptagelar yang akan sangat bermanfaat untuk diikuti caranya. Mereka yang menghargai dan melestarikan budayanya. Mereka melakukan segala hal secara bersama-sama tanpa pamrih. Hal yang paling penting adalah mereka yang mengelola alamnya dengan baik, menjadikan alam sebagai sahabat yang meguntungkan. Indonesia yang disebut negara agraris perlu mencontoh sistem pertanian yang dilakukan oleh Kasepuhan Ciptagelar agar tidak lagi melakukan impor hasil pertanian dari negara tetangga. Dan sebuah perbedaan setiap budaya sangat perlu dilestarikan karena Indonesia menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu.
IG : ViedelaAK
Twitter : @viedela_ve
Phone : 085692226002
Nyanyi ngasal Salam dari Ciptagelar

Rabu, 05 Juli 2017

Pulang Kampung ke Kampung Merabu

Setiap tahun banyak dari kita melakukan mudik, tepatnya untuk merayakan hari idul fitri bersama keluarga di kampung halaman. Hal tersebut juga berlaku padaku. Aku lahir dan dibesarkan di sebuah kampung kecil di Banjarnegara. Jarang orang mengetahui keberadaanya tapi kampungku patut ku banggakan karena memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Tahun lalu aku pulang kampung, tahun sebelumnya juga aku ikut meramaikan pulang kampung. Lagi-lagi pulang kampung sudah menjadi hal yang biasa saja bagiku.
Menuju shalat Ied bersama Nabila dan Tante Ayu

Tahun ini aku ingin melakukan pulang kampung yang berbeda. Aku memilih untuk merayakan lebaran bersama keluarga orang lain yang ku kenal karena ikatan himpunan alumni dari perguruan tinggi tempatku menuntut ilmu. Rumahnya beradad di Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Suhardi namanya, biasa ku panggil dengan Om Kecap, dia berbeda seperempat abad lebih tua denganku. Dia sudah ku anggap sebagai om bahkan ayah sendiri. Aku numpang di sana selama beberapa hari sebelum hingga sesudah lebaran. Istrinya, Tante Ayu juga alumni kampusku jadi semua obrolan kami nyambung yang seringnya membahas perbedaan kampus dulu dan sekarang. Mereka memiliki 3 anak yang juga menerimaku dengan baik di rumahnya, namanya Ian, Ghaza, dan Nabila. Aku sering membuat mereka kerepotan entah untuk mengantar dan menjemputku, juga membukakan pintu rumah ketika aku pulang larut malam.


Rasanya cukup beberapa hari aku menikmati lebaran di kota. Saatnya lebaran di kampung yang sesungguhnya. Sudah terpaut lama aku tak pulang ke kampung yang satu itu. Yak Kampung Merabu, yang berada di Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Tiga tahun lalu aku pernah ke sana bersama 12 orang lainnya untuk melakukan Ekspedisi Tanah Borneo. Hampir 3 pekan kami di sana untuk melakukan pendataan gua, hutan, dan sosial masyarakat Kampung Merabu. Waktu tersebut terasa kurang bagi kami, tapi bagaimanapun juga kami harus kembali ke kampus untuk melaporkan apa yang kami dapatkan. Sebelum pulang, masyarakat Kampung Merabu menyelenggarakan pesta untuk melepas kepergian kami. Beberapa orang sudah ‘sreg’ dengan keberadaan kami sehingga mereka berat melepas kami pulang dan menginginkan kami kembali ke Kampung Merabu lagi nantinya. Begitu juga dengan beberapa orang dari tim ekspedisi yang tidak ingin pulang karena kenyamanan yang diberikan Kampung Merabu, salah satunya adalah aku. Tangisku tak henti-hentinya hingga terisak menyesakkan dada ketika mobil penjemput sudah dating ke kampung. Hal tersebut yang menguatkan aku untuk kembali lagi ke sana. Tahun ini terbukti aku pulang kampung ke Kampung Merabu. Aku sudah menganggap Merabu adalah kampungku, kampung kita semua.
Selamat datang di Kampung Merabu

H+3 Idul Fitri 1438 H ku pilih untuk melakukan perjalanan pulang kampung. Aku mempersiapkan diri dengan baik untuk perjalanan darat yang membutuhkan waktu 13 jam. Aku mencoba menikmati perjalanan dengan baik karena itulah perjalanan yang sungguh ku impikan sejak lama. Pagi hari pada 29 Juni 2017 aku sampai di Kampung Merabu. Aku disambut oleh suasana sepi. Banyak warga yang sedang berkegiatan di luar kampung, yaitu pekan pemuda di Miau Baru dan RAKERDA di Merasa, serta beberapa yang lain mendaftarkan anak-anaknya untuk masuk ke sekolah menengah.
Maudy (anak Mba Mar)

Kakiku secara sadar melangkah menuju rumah Pak Asrani, beberapa kali ku ketuk pintunya ternyata rumahnya kosong, “Mereka sedang ke Miau Baru”, ucap Bu Bidan yang rumahnya tepat di kiri rumah Pak Ra (Asrani). Lalu mau tak mau aku ke rumah Mba Marjayanti atau akrab kupanggil Mba Mar, karena dia adalah salah satu sosok yang dulu paling ku kagumi di kampung, perempuan hebat dan berbakat. Bersyukurlah ketika aku dating ternyata dia ada di rumahnya, sedang memberi susu botol kepada bayi berusaia 3 bulan. Aku terkaget ketika mengetahui bahwa bayi lucu itu adalah anak perempuannya hasil dari pernikahan dengan seorang pekerja media bernama Mas Erwin. Aku disuguhi teh hangat dan bebrapa biskuit, kami saling menanyakan kabar dan bernostalgia. Bahagianya aku karena masih diterima di sana. Aku merasa sedang berada di rumah sendiri.
Sungai Lesan sepi tidak ada aktivitas warga

Rumah Mba Mar tepat menghadap ke Sungai Lesan. Dulu kami sering sekali mandi bersama di sana ditemani beberapa ibu-ibu lain yang mencuci baju maupun sekedar cuci muka serta anak-anak kecil yang berenang dengan riang. Pagi itu berbeda, tak ada satupun orang melakukan aktivitas di sungai kecuali seorang bapak yang menyiapkan ketinting (perahu kayu) untuk pergi. Sedangkan suasana di sungai yang ramai adalah salah satu yang aku rindukan. Tak banyak pikir aku bersiap untuk mandi di sungai, ternyata Mba Mar mengikutiku. “Sekarang jarang orang mandi dan mencuci di sungai Ve semenjak air sudah mengalir ke rumah-rumah warga”, ucap Mba Mar sembari ‘mengucek’ baju-baju kecil milik Maudy, anaknya. Hal tersebut benar bahwa ada program dari desa yang berhasil mengalirkan air dari Danau Nyadeng ke seluruh rumah warga. Dampak baiknya adalah mereka mendapatkan air bersih dengan mudah, namun bagiku kurang oke ketika hal tersebut jutru merubah kebiasaan warga untuk beraktivitas di sungai yang merupakan kegiatan yang sudah jarang ditemukan di lain tempat. Aku sangat menyayangkan karena bagiku mandi di sungai adalah salah satu cara untuk membuat kita menyatu erat dengan alam. Mandi di sungai membuat kita menjaga sungai agar tetap bersih karena kita tau airnya kita gunakan untuk keperluan sehari-hari. Bagaimana ya caranya agar warga mendapat air bersih tapi tak harus merubah kebiasaan mandi di sungai? Itu menjadi pertanyaan bagi kita semua termasuk aku.
Pulang Kampung Merabu masih berlanjut di sesi berikutnya

Twitter : @viedela_ve
IG : ViedelaAK

Phone : 085692226002