Senin, 14 September 2015

Kuliah? Liburan aja!

Masih bisu, masih tak dapat melihat apapun. Aku masih merenung dalam lamunanku. Beberapa waktu lalu aku menikmati liburan kuliahku yang mencapai 2 bulan. Aku mengunjungi tempat disela-sela kesibukanku mengasuh anak budheku. Walaupun hanya ‘mengasuh anak’ tapi membuatku kelelahan. Dari hal tersebut aku memahami bagaimana seorang ibu rela remuk badan untuk selalu menjaga anaknya. Rela bangun pagi untuk mengucapkan “selamat pagi malaikat kecil”. Dan pastinya rela mati untuk melihat anaknya menikmati dunia yang sungguh terang dan luas ini, yang pastinya belum pernah kurasakan.


Tempat yang pertama kali aku kunjungi adalah Slamet. Ya, aku merayakan ulang tahunku yang ke-20 tahun di puncak nan megah itu. Aku rasa bisa dilihat di ceritaku http://veviedelaak.blogspot.co.id/2015/09/kado-dari-puncak-tertinggi-jawa-tengah.html . Dieng adalah tempat menarik yang kerap dikunjungi wisatawan lokal hingga asing setiap liburan mapun hari kerja. Sebagian wilayah Dieng masuk ke dalam Kabupaten Wonosobo dan sebagian lainnya Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah. Liburan ini aku sempat mengunjungi dataran tinggi nan dingin itu 2 kali. Untuk pertama kalinya aku mengantar teman seperjuangan di kampung halaman untuk mendaki Gunung Prau yang sedang menjadi destinasi yang ramai akhir-akhir ini.


Ada beberapa pendapat mengapa tempat itu menjadi terkenal, salah satunya adalah karena viewnya yang menarik yang terdapat pada kemasan air mineral ternama di Indonesia. Tak heran memang, karena ketika mendaki gunung tersebut kita merasa seperti berada di bukit ‘teletubbies’ orang menyebutnya. Apalagi suasana di puncaknya yang membuat kita merasaka seperti ada di negeri di atas awan, diselimuti udara dingin yang kadang mencapai minus saat musim kemarau. Selain itu, untuk mendaki gunung ini aksesnya sangat mudah, hanya membayar beberapa ribu rupiah untuk retribusi dan jalur yang aman (pendek dan landai) untuk pemula yang tidak terbiasa naik gunung.

Untuk cerita mendaki Gunung Prau  ini sudah pernah aku ceritakan walaupun pada waktu dan orang yang berbeda, tapi ceritanya tidak terlalu beda. Satu hal yang membedakan hanyalah suasananya yang lebih ramai karena kita mendaki di saat libur lebaran. Oh ya satu lagi, ini adalah kali pertamaku mengajak adikku mendaki gunung. Semoga saja dia tidak ketagihan.


Kedua kalinya aku ke Dieng adalah bersama saudara baikku, tepatnya om dan tante kecilku. Kami ke sana untuk melihat esta lampion yang telah beberapa tahun rutin diadakan di Dieng sebagai simbol penutupan Dieng Culture Festival. Sesuatu yang penting terjadi saat itu, saat tanteku muntah di dalam mobil karena memang jalanan menuju Dieng sangat berliku dan naik turun. Kami sempat merasa bosan saat itu, dan kami mencoba menghibur diri dengan ngopi diiringi musik disko bervolume kencang dari dalam mobil kami. hampir semalaman kami nongkrong di Candi Arjuna sembari menunggu jalanan bisa dilewati, saat itu kemacetan di sana melebihi Jakarta di kala orang-orang kantor mulai pulang kerja.

Siang hari setelah merayakan pesta lampion di Dieng aku memutuskan untuk ikut om ku pulang ke Bogor. Ngomong-ngomong aku kangen juga dengan suasana kota tempatku kuliah, walaupun kuliah masih lama dimulai. Nyatanya hanya 3 hari aku di Kota Hujan rasanya sudah bosan. Aku mengumpulkan beberapa lembar uang yang kemudian kugunakan untuk membeli tiket kereta ke Cilacap. Kebetulan ada teman lama yang mengajakku untuk ikut tour vespa (lagi) ke Pangandaran. Tidak mungkin aku tolak, itu adalah salah satu hobikku yang pernah juga aku ceritakan.

Jumat, 11 September 2015

Kado dari Puncak Tertinggi Jawa Tengah

Usia bukanlah hal yang paling berpengaruh terhadap kedewasaan seseorang. Banyak orang tua yang bersikap seperti anak kecil, mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan dengan matang hal-hal yang berpengaruh. Banyak juga para mudawan yang sudah bisa berfikir dewasa dalam menentukan masa depan maupun mengambil kebijakan. Hari itu aku berfikir tentang usiaku yang semakin bertambah. Adikku pernah bilang “Usia tuh hanya angka kak, kakak bisa menjadi dewasa sebelum usia kakak semakin mena.”

Aku sempat merancang untuk merayakan ulang tahunku yang ke 1/5 abad ini dengan matang. Aku ingin pergi ke suatu tempat yang menawan, bermain di Segara Anak di Gunung Rinjani. Nyatanya aku harus menerima kenyataan kalau Tuhan memilihkan tempat lain yang tentunya lebih baik. Telah lama aku ingin mendaki gunung nan gagah yang biasa ku lihat sepanjang perjalanan di Kota Tegal, yaitu Gunung Slamet. Pasir yang terlihat keabu-abuan dari kejauhan menggodaku, seakan-akan berbisik “Sini, main bersamaku.”

Aku membuat rencana ulang untuk mendaki Gunung Slamet, ada beberapa teman yang bersedaia menemani perjalanan istimewaku kali ini. Mereka adalah Kholik (UPL Unsoed), Tio (Sky Prabumulih), Galang (Lawalata IPB), dan Lukman (Lawalata IPB). Kami bersepakat untuk bertemu di Purwokerto, tepatnya di sekretariat UPL Unsoed, sebelum selanjutnya kami memualai petualangan ini.

Banyak hal yang kita persiapkan untuk perjalanan 3 hari. Manajemen perjalanan yang sehari-hari kami pelajari kita terapkan kembali di sini. Aku tidak akann menceritakan tentang hal itu kali ini. Kita memilih untuk melewati jalur Baturaden, karena ini jalur yang paling dekat dengan posisi kita saat itu, selain perijinannya yang lebih mudah. Aku selalu mengambil posisi di

Selasa, 08 September 2015

Studi Lapangan Kecil nan Pnjang di awal 2015 part 2

masih ingat cerita Studi Lapangan Kecil nan Panjang di awal 2015? lihat kembali http://veviedelaak.blogspot.com/2015/05/studi-lapangan-kecil-nan-pnjang-di-awal.html.

Tanggal 1 Februari kami melanjutkan perjalanan ke Kasepuhan Adat Ciptagelar . seperti biasa sebelum berjalan, terlebih dahulu materi navigasi darat diterapkan, tentunya agar jalur yang akan dilewati benar-benar tepat. Hanya 2 jam perjalanan melewati jalur tanah yang licin dan banyak pohon tumbang kami pun sampai pada kampung tujuan. Melihat pemandangan yang menawan dari atas kampung membuat kami lega, karena sebentar lagi kami akan beristirahat dan pastinya akan ketemu Abah Ugi.

Gambar 4 Kasrizal, Ariya, Akbar, Ve (ki-ka) begaya dalam perjalanan menuju Kasepuhan Adat Ciptagelar
Sesampainya di sana kami langsung bersih-bersih karena badan kami yang basah dan penuh lumpur. Kami merinding, kulitpun mengeriput karena air di kampung ini terasa sangat dingin. Teh hangat adalah minuman ampuh yang dapat meningkatkan suhu tubuh kami. Bersisir-sisir pisang terhidang di depan kami, dan racikan kopi berhasil membuat mata kami liar meliriknya. Dengan gelas-gelas kaca kami dipersilahkan untuk menyeduhnya sendiri, karena kebiasaan warga kampung agar pengunjung merasa berada di rumah senidiri. Dan prasmanan makan sore siap menyambangi perut kami yang rasanya permukaan dalam usus telah saling menempel.

Sambil santai, kami berbincang dengan warga dan menikmatisejuknya kampung adat ini. Kasepuhan Adat Ciptagelar memiliki pranata sosial yang menurut Kang Yoyo berjalan lebih teratur daripada negara kita ini. Dengan beberapa rorokan yang ada, kampung ini sangat teratur. Setiap rorokan yang diibaratkan seperti menteri di suatu negara memiliki fokus pekerjaan tersendiri. Untuk mengkajinya, kami membagi MPCA ke setiap rumah rorokan. Tiap rumah rorokan dibagi ke setiap 2 orang MPCA. Kajian yang dilakukan tidak terpaku pada hal yang dilakukan rorokan yang ditinggali. Mereka bebas akan mencaritahu tentang hal yang membuat mereka tertarik. Waktu satu malam dirasa kurang, namun kami harus melaksanakan rencana kegiatan yang telah dirancang.

Cerita tentang leuit, kesenian, kerajinan tangan, upacara adat, dan lainnya cukup membuat kami penasaran untuk kembali lagi di waktu berikutnya agar bisa mempelajari lebih dalam tentang Kasepuhan Ciptagelar ini.
Gambar 5 Deretan Leuit yang menjadi salah satu kekhasan dari Kasepuhan Adat Ciptagelar

Tiga Dunia Satu Kenangan

Sudah lama aku berjalan. Jauh sebelum aku mengenal dunia ini. malam ini aku mencoba kembali mengingatnya. Dulu aku adalah seorang anak kecil yang renggis. Mas ku menyebutnya seperti itu. Hobiku adalah main becek di sawah atau naik bukit di kebun kopi milik kakekku. Aku kumel dengan rambut yang selalu diikat satu ke atas tanpa poni. Keningku jenong seperti lapangan golf, mereka menyebutnya.

Aku sempat sangat frustasi dan akhirnya aku memotong rambutku cepak. Walaupun itu keinginan yang telah lama tersirat dalam pikiranku juga sih. Pada masa itu rasanya aku sangat jarang punya teman perempuan sebaya. Aku lebih suka main dengan om-om ku yang usianya 3-5 tahun diatasku. Namun pada saat itu aku sangat tidak memanfaatkan keadaan untuk bermanja-manja di depan mereka. Aku selalu mencoba terlihat strong.

Bukan menyombogkan kenakalanku di masa lalu. Tapi aku hanya sedang megingat saja. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Saudaraku lelaki berusia 5 tahun lebih muda dariku. Sifatnya sangat bertolak belakang denganku. Dia yang lembut dan penyayang anak kecil, berbeda denganku yang menjadi ‘hantu’ di depan balita. Dia yang selalu dimanjakan Ibu, aku bahkan lebih sering menyakiti hati Ibu kami.

touring bersama anak Purwokertoke Cirebon.