Jumat, 13 Februari 2015

Merabu Juga Punya Rambo

Hutan Merabu adalah tempat main bapak borotot yang satu ini. Pak Rana adalah pribadi yang unik di Kampung Merabu. Parasnya yang kekar dengan gigi yang sedikit hitam membuat penampilannya semakin gagah, sehingga warga sering memanggilnya Rambo. Kebiasaan tidak memakai baju adalah salah satu hal unik Pak Rana yang memudahkan kami mengenalnya. Celana pendek dan sepatu karet cukup untuk menemaninya dalam petualangan di hutan. Dan seperti suku Dayak pada umumnya, Pak Rana tidak pernah lalai menggantungkan mandau di pinggangnya. “Kalau tidak bawa mandau, aku merasa ada yang kurang.”, ucap Rambo saat membersihkan tanah dari rumput liar.

Parasnya yang seram membuat kami takut menatapnya saat pertemuan pertama kami. Saat itu kami beradaa di kantor Kerima Puri sembari melakukan pembagian sumberdaya warga yang menemani kami dalam pengambilan data di hutan. Asap rokok pekat menyebul dari mulutnya, duduk di pojok ruangan Kantor Kerima Puri. Kami belum sempat berbincang dengannya, hanya saja beberapa kali kami meliriknya dari kejauhan tanpa sepengetahuannya.
Betapa kagetnya kami ketika mendengarnya tertawa, kami tertawa melihatnya tertawa. Gigi-gigi hitamnya ditonjolkan dan matanya yang sipit semakin tak terlihat ketika beliau tertawa. Dari hal tersebut kami tidak lagi canggung berkegiatan dengan beliau. Tergambar jelas bahwa beliau benar-benar seorang kawan yang peduli. Kami dibuat selalu ceria oleh Rambo yang satu ini. Hatinya begitu lembut, jauh berbeda dengan paras seramnya.
Pak Rana adalah mertua dari Kepala Kampung Merabu, Pak Franly Oley. Saat itu beliau sudah memiliki seorang cucu yang berernama Jesica Oley hasil perkawinan anak perempuannya. Pak Rana menyayangi Jesica, beliau mengabulkan semua kemauan cucu pertamanya tersebut.
Bicara tentang Merabu, tidak lepas juga bicara tentang hutannya yang menyimpan kekayaan nan melimpah. Hutan menjadi tempatnya unruk pulang. Karena hampir setiap hari beliau pergi ke sana. Banyak yang ia kerjakaan, dan sangkin seringnya hingga beliau hafal semua jenis pohon di hutan Merabu. Bukan hanya jenisnya, beliaupun paham manfaat dari setiap pohon. Karena beliau sendiri dengan warga Kampung Merabu masih sering menggunakan obat-obat alamiah yang diambil dari hutan. Sehingga beliau diutus oleh pihak The Nature Concervation untuk membantu kami mengambil data pohon dalam analisis vegetasi, untuk mengetahui nama lokal dan fungsi pohon tersebut.
Pak Rana menemani kami dalam pengambilan data analisi vegetasi di sekitar mulut gua Bloyot, Lubang Tembus, dan Sedepan Bu. Di Bloyot didapatkan hasil beberapa jenis pohon, yaitu petek, kelideng, ngelo, ketek-ketek, repeh, goros. Di Lubang Tembus memiliki beberapa jenis pohon, yaitu nayub, merenai, binang, langkor, dan ketek. Di sana juga terdapat banyak tumbuhan liana dan rotan yang biasa dimanfaatkan warga Merabu sebagai bahan kreatifitas. Sedangkan di gua Sedepan Bu hanya terdapat beberapa jenis pohon saja, hal tersebut terjadi karena jenis tanahnya yang berbeda dari Gua Bloyot dan Lubang Tembus. Tanah di Gua Sedepan Bu relatif lebih becek (karena merupakan aliran Sungai Bu), dan berbatu. Jenis yang diamati seperti binang dan ngelo, ukuran pohon juga relatif lebih kecil dari pohon-pohon yang diamati di eksokarst Bloyot dan Lubang Tembus.

Memiliki Ibu dan Ayah di Kampung Merabu

Satu lagi yang unik di Kampung Merabu, pertama kalinya dipakaikan gelang oleh sebuah keluarga belum lama kami kenal. Gelang atau kalung yang terbuat dari manik-manik telah diberikan kepada seseorang, artinya dia telah sah diangkat menjadi anaknya. Dayak terkenal dengan manik-maniknya, keberadaan manik-manik sudah sangat lekat dengan kehidupan suku Dayak. Namun dayak Lebo yang ada di Merabu  tidak memproduksi manik-manik sendiri, pembuatan kerajinan manik-manik hanya dilakukan ketika ada keperluan saja, seperti sebagai hadian kepada pendatang yang diangkat menjadi anaknya. Tim ekspedisi yang berjumlah 13 orang semua diangkat menjadi anak oleh 13 keluarga. Prosesi pengangkatan dilakuakan dalam pesta pelepasan sebelum kami pulang.
Banyak jenis manik-manik khas Suku Dayak. Jenisnya digolongkan menurut bentuknya maupun bahan utama pembuatnya yang berasal dari batu, plastik, maupun yang lainnya. Setiap manik-manik juga digolongkan sesuai warnanya, karena setiap warna memiliki makna yang dalam dan sakral bagi setiap pemiliknya. Warna yang mencolok juga menjadi ciri bahwa manik tersebut merupakan manik Dayak, ada merah, kuning, hijau, dan biru. Merah bermakna semangat hidup, biru bermakna sumber kekuatan dari segala penjuru yang tidak mudah luntur, kuning bermakna simbol keagungan dan keramat, hijau bermakna intisari alam semesta, serta putih bermakna lambang kesucian iman seseorang kepada sang Pencipta.
Gelang yang diberikan kepada kami didominasi oleh warna kuning. Namun kami tidak mengetahui pasti apa tujuan mereka memberikan warna cerah tersebut, tapi yang pasti kami selalu mengagungkan dan menjadikan keramat untuk kampung Merabu. Jiwa kami telah tertanam di sana, dan kami tidak rela jika ada tangan-tangan yang mengusik kampung tanpa memperhatikan kesejahteraan orang tua kami. Kami juga tahu bahwa dengan dipakaikan gelang dan kalung oleh mereka, kami akan terjaga, terhindar dari gangguan roh jahat yang menginginkan mara bahaya bagi kami.
Ada kebanggan tersendiri ketika menjadi anak mereka. Kami merasa bahwa kami telah menjadi bagian dari Merabu. Kami bisa leluasa berkomunikasi pribadi dengan mereka, layaknya orang tua sendiri. Ada nama baik yang harus dijaga, bukan sebagai beban, namun justru menjadi kewajiban yang menyenangkan. Pengangkatan tersebut juga menandakan bahwa Merabu telah terbuka untuk kami, kapanpun kami datang sama artinya kami pulang, dan rumah pertama yang akan dituju pastilah orangtua di kampung tersebut.
Di waktu yang tersisa, kami menyempatkan diri untuk sekedar menyambangi rumah orang tua kami. Tujuannya agar lebih bisa terkenang kisahnya, kami bisa memandang wajah mereka dengan jelas, sehingga kami tahu bagaimana tepatnya garis wajah yang terlukis di sana. Lalu waktu tersebutlah yang kami manfaatkan untuk berpamitan. Kebaikan hati warga Merabu memang tidak pernah terukur, baru semalam kami menjadi anak mereka namun mereka sudah sangat menganggap kami seperti anak mereka yang keluar dari rahimhya. Segala perbekalan kami dapatkan, wejangan kehidupan telah kami genggam, satu lagi yang tak kalah mencirikan bahwa kami adalah anak dari kampung Merabu adalah dibekalinya kami dengan beberapa botol madu hutan asli khas Merabu.
Beberapa hal yang kami pelajari dalam keluarga mereka adalah adanya kenyamanan untuk selalu tinggal berssama. Sebagian besar warga tidak pergi dari rumahnya untuk meninggalkan keluarga. Pekerjaan yang dilakukan seluruhnya ada di kampung mereka. Siang hari mereka bekerja, malam tetap bisa berkumpul, bercengkrama dengan anak-anak membuat rasa lelah orangtua akan hilang. Di hari Minggu, mereka bersama-sama berjalan menuju gereja untuk beribadah.

twitter : @viedela_ve

Kamis, 12 Februari 2015

Pempek Jembatan Ampera

Hari ini begitu panas aku rasakan. Tak seperti hari-hari kemarin saat aku berada di kota empek-empek. Kota yang menyimpan banyak tempat wisata menarik tersebut tak sengaja menarik seluruh jiwa dan ragaku ke sana. Mau tidak mau aku harus meluangkan waktu untuk menyelesaikan sebuah misi rahasia di sana.

Beruntunglah aku karena misi tersebut datang pada saat ujian akhir semester tiga pada perkuliahanku di Institut Pertanian Bogor telah usai. Langsung saja aku bersiap untuk berangkat ke kota Palembang. Sebelum itu terlebih dahulu aku menuju ke Jakarta untuk memperjelas misi yang harus ku selesaikan. Esok harinya aku tancap gas, walaupun pak supir yang menginjak gas bus nya menuju ke pelabuhan Merak. Aku sengaja tidak menunggangi pesawat untuk menuju ke kota tujuan. Bukan karena takut setelah kecelakaan Air Asia, namun karena uangku pas-pasan. Dengan uang lima puluh ribu rupiah aku diantarkaan bus kota sampai pelabuhan Merak. Barulah sesamainya di sana aku menyebrangi lautan dengan kapal yang harga tiketnya adalah lima belas ribu rupiah untuk  sampa di pelabuhan Bakauheni. Saat kapal menepi, mulailah pemuda-pemuda ini beraksi, para penumpang melemparkan koin kepada mereka. Itulah cara mereka mendapatkan uang, sungguh membahayakan, tapi mereka seperti tak memiliki rasa takut.


Di bakauheni aku memilih beberapa bus yang bisa mengantrkanku ke terminal Rajabasa. Sore itu aku sengaja menuju ke rumah kos temanku terlebih dahulu, karena perjalanan ke Palembang masih jauh. Bus tersebut berpenumpang sangat paat, dan sialnya teryata bus yang ku naiki tidak memiliki fasilitas AC. Pantas saja harganya murah, hanya dengan Rp25.000 aku sampai di terminal Rajabasa.

Semalam istirahat di Lampung, aku pun melanjutkan perjalanan ke Palembang di pagi harinya. Kala itu sedikit melakukan kesalahan teknis. Harusnya aku memesan tiket kereta pagi dari stasiun tanjung karang menuju Palembang yang harganya Rp30.000, namun hal itu tidak ku lakukan. Hasilnya adalah aku harus menggunakan bus kembali, yang tentunya dengan harga yang lebih mahal, yaitu Rp125.000.  selama 12 jam perjalananku melewati lintas timur Sumatera dengan jalan yang berkelok, naik turun, dan seringkali berlubang membuat badanku serasa remuk berkeping-keping.

Tempat yang pertama aku tuju adalah sekertariat Mapatri Universitas Tridinanti, karena tidak ada tempat lain untuk ku beristirahat. Sepuasnya aku beristirahat semalaman di sana. seperti biasa, namanya saja Palembang, aku selalu di suguhi empek-empek, jajanan yang tidak pernah membuatku bosan. Pada malam hari berikutnya aku diajak berkeliling kota Palembang nan berwarna itu. Kami mengelilingi jembatan Ampera, Benteng Kuto Besak, Monpera, dan gelora Sriwijaya. Betapa bahagianya kami, sehingga beban misi yang kubawa agak terasa ringan.

Hadiah Termanis dari Kota Empek-Empek




Gunung Dempo, salah satu wisata pendakian yang terkenal di Palembang selain Serelo dan bukit Jempol. Kali ini dempo menjadi hadiah awal tahun untukku. Keindahan pemandangannya membuat aku tertarik. Apalagi dengan kawah gunung Merapinya yang seringkali berganti warna mulai dari abu-abu, biru, dan hijau.

Kebetulan saat itu ada beberapa nama yang sudah mempersiapkan diri untuk mendaki bersamaku, namun karena beberapa hal yang tidak bisa diganggu gugat akhirya aku melakukan pendakian ditemani dengan Tio, anggota Mapal Sky Prabumulih dan Buduk anggota Mapatri Palembang yang akan menyusul tim Mapatri lain yang sudah berada di kampung IV. Kami berangkat dari sekertariat Mapatri.

Untuk menuju gunung dengan ketinggian 3159 MDPL tersebut, terlebih dahulu kami harus menuju pagaralaam, menggunakan bus dengan tiket seharga Rp60.000 kami sampai di sana dengan waktu maksimal 9 jam. Pukul satu dini hari pada tanggal 18 Januari kami sampai. Rumah pertama yang harus dituju adalah Ayah Anton yang berada di Kampung I. Karena di sanalah pendaki harus mengisi daftar pendakian. Maka sediakanlah fotokopi KTP atau tanda pengenal lainnya seperti SIM dan Kartu Anggota. Biasanya untuk anggota kelompok mahasiswa pencinta alam, perlu menggunakan surat jalan dengan persetujuan ketua umumnya. Serta tidak lupa uang Rp5.000 kepada Ayah Anton.
Sampi di basecamp Ayah Anton, kami mandi, tujuannya adalah membiasakan diri dengan kedinginan, agar badan tidak terlalu kaget. Setelah mandi tentu saja mnghangatkan diri kembali dengan segelas kopi dan bercanda dengan pendaki lain. Tak lama kemudian Ayah Anton menemui kami dan obrolannya semakin seru, karena beliau yang sangat lucu sehingga kami puas tertawa.
Rencana memulai pendakian menuju kampung IV pada pukul 07.00 wib akhirnya gagal, karena kami baru terbangun pada pukul 10.00. Dengan gerakan cepat kami mulai packing dan berpamitan kepada keluarga Ayah Anton untuk berangkat. Namun sebelum berangkat kami terlebih dahulu mengisi perut di kantin. Rata-rata penghuni daerah kampung I ini adalah orang Jawa, sehingga masakan yang kami makan di pagi itu sangat kental dengan rasa jawanya, yaitu manis gurih.

Siang itu juga kami langsung menuju ke kampung IV. Perjalanan kami ditemani bukit-bukit yang penuh daun teh milik PTPN. Memang segar sih semuanya hijau, membuat mata kami terbuka lebar, namun lama kelamaan kami merasa bosan dengan pemandangan yang sama. Kami berjalan sangat santai, banyak istirahat, karena perjaanan ini adalah awal yang kami jadikan pemanasan.

Udara dingin yang awalnya menembus kulit berubah mejadi cucuran keringat di pori-pori kulit kami. Namun akhirnya lelah kami berakhir. 3 jam perjalanan yang kami tempuh cukup untuk membuat kami kepanasan. Pukul 15.00 wib kami sampai di resort, tempat yang biasa digunakan untuk mendirikan tenda. Di sana sudah ada beberapa tenda yang berdiri, yaitu dari Mapatri dan Alfedya.

Cikuray bersama Redo

Aku tidak pernah menyangka akan seraapuh ini. Awalnyaa aku anggap masalah itu biasa saja, tapi aku lama-kelamaan frasa “aku rapopo” tidak lagi sanggup aku ucapkan. Biasanya untuk memulihkan keadaan, aku akan pulang dan melepaskan segalanya di rumah, dengan kondisi yang tenang, semua serba aman. Perasaanku terjaga di rumah sana.
Kali ini aku juga pulang, namun rumah yang kutuju berbeda dari biasanya. Aku menuju ketinggian 2821 MPDL. Yak, puncak gunung Cikuray, yang letaknya di Garut, Jawa Barat. Tanpa ragu aku mengajak temanku yang lama tidak bertemu, dia bernama Rendi, tapi aku biasa memanggilnya Kompas. Saat ajakanku sampai padanya, diapun langsung menerima tawaranku. Oke, mendaki berdua tidak masalah, karena memang suasanya sunyi yang sedang aku inginkan.
Segala persiapan kami komunikasikan lewat media sosial. Apa saja yang harus dibawa, Kapan akan berangakat, dan bagaimana cara meuju ke sana. Kami memutuskan untuk berangkat pada hari Selasa sore, 11 November 2014. Setelah sepakat,  aku belanja  dengan waktu yang singkat, alhasil barang belanjaan yang harusnya kubawa akhirnya tidak lengkap. Tapi tidak apa-apa, lanjut saja packing. Lihatlah packinganku berdiri sempurna, haha gagah kali si Redo (nama ranselku)

Sebelum berangkat, kami janjian dulu di terminal Kampung Rambutan, jam 7 malam kami bertemu dengan ranselnya masing-masing. Nggaa tau kenapa bawaan kita banyak banget, padahal Cuma berdua. Ya sudah lanjut saja, kami terlebih dahulu membeli memori card untuk kamera yang kubawa. Dan perjuangan dimulai, untuk mendapatkan barang yang kecil itu kami harus berjalan sekitar 1,5 km.
Tak lama kemudian kami naik bus menuju Patrol, tempat awal pendakian gunung Cikuray. Ongkos bis dengan fasilitas AC tersebut adalah Rp.42.000. Lelah seharian tadi untuk kuliah, dan packing membuat perjalanan di bis itu aku terlelap sangat pulas hingga sampai di Patrol. Oh ya, jangan lupa siapkan jaket untuk penghangat di dalam bis. Karena lumayan dingin juga 4 jam terkena AC.

Sampai di Patrol sekitar pulul 00.00 WIB kami mencari tempat untuk istirahat. Mushola menjadi pilihan terakhir kami. Di sana kami bisa nge’cas handphone, dan tidur. Walaupun sebenarnya tempat ibadah sebaiknya jangan digunakan untuk tidur. Baru saja sejam kami tertidur, ada seorang laki-laki berusia sekitar 50 tahun membangunkan dan akhirnya membawa kami untuk istirahat di rumah beliau. Beliau ini bernama mang Nana. “Kalau sudah malam tidak ada lagi ojek ke pemancar dek.”, ujarnya.
Ya sudah, semalaman kami istirahat di rumah mang Nana. pukul 6 pagi kami bangun. Kicauan burung terdengar merdu, dan pemandangan gunung Papandayan yang terlihaat dari jendela rumah mang Nana membuka mata kami di pagi itu. Jadi makin semangat. Suasana ini menemani kami sarapan, dengan masakan istri mang Nana yang rasanya sunda banget.
Selesai sarapan, kami menuju ke pemancar dengan ojek seharga Rp.35.000 selama 40 menit. Jalanan yang berbatu membuat kami bergoyang-goyang di atas sepeda motor. Asik juga pagi-pagi udah goyang. Kami meewati kebun teh milik PTPN. Ibu-ibu yang sedang memetik pucuk teh segar menyapa kami dengan ramah. Sinergitass antara manusia dan alamnya lagi-lagi membuat aku kagum.
Sampai di pemancar waktu itu pukul 8 pagi. Dan ternyat ada sekelompok orang yang akan mendaki juga, mereka berjumalh 6 orang yang bekerja di Carefur Jakarta Timur. Akhirnya kami memmutuskan untuk naik bersama. Selama 15 meni kami berjalan melewati perkebbunan teh, dengan sedikit kelelahan, mungkin karena belum panas. Nah setelah masuk hutan barulah lebih nyaman untuk berjalan. Pohon-pohon menyambut kedatangan kami, dengan angin sepoy-sepoy yang lebut membelai wajah kami. Hanya sekitar 90 menit kami sampai di pos 2. Di sana kami istirahat dulu melemaskan otot-otot kaki agar tidak kejang. Lalu kami berjalan lagi, namun sebelum sampai pos 3, salah satu dari kelompok Carefur sedikit trouble, kakinya sakit dan bengkak, hingga memerah, dia pun melepaskan sepatunya. Mereka berhenti agak lama, dan kami berdua memutuskan untuk berjalan pelan terlebih dahulu.
Tidak terasa sekitar 90 menit kami berjalan, sampai juga di pos 3. Tempatnya lebar, namun banyak sekali sampah di sana. Di sana kami istirahat lumayan lama, sambil menunggu kelompok Carefur barangkali mereka bisa menyusuli kami. Yap, ternyata benar, hampir satu jam kami menunggu, mereka nongol juga.

Hehehe, karena mereka juga ingin istirahat ya sudah kami jalan lagi terus dan terus hingga pos 6. Perjalanan memakan waktu 3 jam, itu pun dengan jalan santai. Karena melihat tracknya yang terjal. Akar-akar membantu perjalanan kami, mereka rela dijadikan pegangan. Mungkin ribuan orang juga melakukan hal sama dengan kami, hingga permukaan akar-akar tersebut terasa halus. Awas hati-hati, licin. Untung saja cuaca hari itu cerah, padahal menurut ornag-orang yang turun dari puncak, semalaman mereka kehujanan.