Senin, 24 September 2018

Cabai Pedas Pak Bagyo

Petani hari ini menjadi objek pembicaraan banyak orang. Hal ini berkaitan dengan peringatan Hari Tani Nasional 2018. Banyak isu mengenai pahlawan perut ini, baik yang pro maupun kontra. Pak Bagyo, petani dari Prambanan tak ambil pusing. “Biarin mbak itu apa yang sedang dibicarakan wong’wong gede (para pejabat), yang penting tidak mengganggu kita, nggak bikin kisruh”, ungkapnya sembari memanen cabai yang sudah matang, ini adalah panenan ke 8. Dia yang sudah menjadi petani cabai selama kurang lebih 20 tahun tidak pernah mau ambil pusing dengan kebijakan yang terjadi. dia mandiri dengan segala aktivitas pertaniannya. Sawahnya ada 4 petak di tempat yang berbeda-beda. Dia menggarap 2 petak, sisanya dia garapkan kepada orang lain. Sepetak lahannya dia tanami padi, tidak pernah megganti komoditasnya karena lokasinya yang banyak air. Hasil panen padi tidak pernah ditujukan untuk dijual. Karena hanya dia konsumsi sendiri. Sesekali dia menjual dalam bentuk lontong atau ketupat ketika ada pesanan, itupun tidak sering. Menjual lontong baginya lebih menguntungkan karena 1 kg beras dinilai memiliki harga Rp.30.000, karena dia punya bahan lainnya sendiri, misalnya daun pisang sebagai pembungkus lontong. Sepetak yang lain dia tanami cabai, seperti yang sedang dipanen hari ini. Lahan ini dia olah bergantian 1 kali padi dan 1 kali cabai. Karena menurutnya hasil panen cabai lebih bagus setelah tanahnya digunakan untuk menanam padi. Jenis cabai yang biasanya dia tanam adalah padi jawa. Namun tanaman kali ini adalah cabai yang disebut jenis Burga. Hal ini terjadi karena pada musim sebelumnya dia gagal membibitkan cabai jawa miliknya, sehingga dia membeli benih dari toko pertanian setempat. Ketika mulai tumbuh daun dia baru meyadari ternyata cabai kali ini jenisnya berbeda. Cabai jenis ini lebih rentan, batangnya lemas sehingga dia harus mengeluarkan tenaga lebih untuk memberikan patok sebagai penahan batang cabai. “Menyesal ya iya, tapi mau bagaimana lagi wong sudah terlanjur, daripada saya harus menanam ulang sedangkan bibitnya nggak ada”, ungkapnya kental logat Jogja.
Perbedaan kedua jenis cabai itu juga dapat dilihat dari buah cabai yang mendayu ke bawah mengikuti arah gravitasi untuk cabai Burga, sedangkan cabai jawa buahnya tumbuh menyumbul ke atas. Buah cabai Burgo lebih besar-besar namun lebih ringan, berbeda dengan cabai jawa yang kecil namun padat sehingga lebih berat. Selanjutnya perbedaan juga dirasakan oleh petani dinilai dari harganya, cabai Burga Rp.2.000 lebih murah dibandingkan dengan cabai jawa. Saat ini harga cabai jawa adalah Rp.13.000.
Sepetak lahan yang memiliki luas sekitar 800 m2 ini terlihat hanya beberapa tanaman yang merupakan cabai jawa yang berhasil hidup dari pembibitannya sendiri dan ditanam di tepian lahan. Dia sendiri membutuhkan waktu 3 jam untuk panen sepetak cabai Burga miliknya, namun berbeda untuk cabai jawa yang membutuhkan seharian dari jam 6 pagi hingga 4 sore. Karena jenis Burga hanya menghasilkan sedikit buah di setiap tanaman dibandingkan dengan cabai jawa.
Cabai Burga
Pak Bagyo mengatakan bahwa pada umumnya cabai yang dia tanam dapat berbuah setelah ditanam sekitar 3 bulan. Setelah itu dia bisa panen setiap 4 hari sekali selama 5 bulan hingga tanaman tidak produktif lagi. Setiap panen cabai Burga dia mendapatkan sekitar 15 kg, namun cabai jawa dapat menghasilkan kurang lebih 45 kg. Cabai yang dipanen seluruhnya dia jual kepada pengepul yang ada di Tegalrejo. Karena menurutnya setiap orang punya tugas dan rejeki masing-masing. Dia tidak pernah mengeluh jika pengepul menjual cabainya jauh lebih tinggi di pasar. Pemikirannya begitu sederhana melihat lahan yang dia miliki. Baginya menggarap pertanian adalah kesenangan, bukan sesuatu yang ngoyo (terburu-buru) untuk kekayaan. Karena dengan bertani sederhana dan bisa mencukupi kehidupan sehari-hari sudah merupakan anugerah yang harus disyukuri.
Cabai Jawa
Lelaki berusia 64 tahun ini memperlakukan tanamannya dengan baik. Dia mengungkapkan bahwa dia tidak pernah nyemprot (menambahkan obat dengan cara disemprot) tanamannya. Alasannya adalah karena dia menyayangi cabai dan tanahnya. Dia percaya jika sudah sekali nyemprot maka tanamannya akan manja dan harus terus disemprot. Selain itu dia juga berkaca pada pengalaman jika nyemprot adalah kegiatan yang boros dan melelahkan. Pernah pada satu waktu dia nyemprot, hal itu membuat badannya sakit selama semingguan. “Saya malah nggak bisa kerja, ngga bisa ke sawah karena pegel-pegel”, ungkapnya mengingat kejadian itu. Hal itu membuktikan ungkapannya di awal bahwa dia tidak bergantung pada kebijakan pemerintah, dia tidak butuh subsidi harga obat-obatan tanaman pertanian dan bantuan benih. Langkah itu juga dia terapkan di sawah yang ditanami padi. Dia hanya menambahkan pupuk kandang di awal sebelum ditanami. Pupuk kandangnya dia dapatkan dari tetangga yang punya ternak sapi atau kambing. Selain irit, dia juga membantu pemillik ternak membersihkan kandang. Dia menyadari bahwa setiap pekerjaan memiliki risiko dan tanggung jawab masing-masing. Baginya menjadi petani tidak mudah, namun dia sangat menikmatinya. Sabar dan tekun adalah hal penting yang masih dia lakukan saat ini. Dia menekankan yang penting orang besar jangan mengusik, justru harus membantu, tetutama dalam hal harga jual hasil pertanian, maka sejahteralah petani. Dia juga percaya bahwa menjadi petani sebaiknya menerapkan Panca usaha tani. Artinya adalah petani memiliki upaya meningkatkan sebuah produktivitas lahan dengan cara pemilihan/ pembuatan bibit unggul, pengolahan tanah yang baik, pemupukan yang tepat, pengendalian hama dan penyakit, kemudian pengairan atau irigasi yang baik.
Ve dan Pak Bagyo
Sejak beberapa tahun lalu lahannya (yang kali ini ditanami cabai) yang berada di samping pondok pesantren sudah ditawar oleh pihak pesantren dengan alasan untuk memperluas bangunan. Namun Pak Bagyo tidak juga ingin melepaskan tanahnya, walaupun harga yang ditawarkan sudah cukup tinggi untuk standar Yogyakarta, yaitu Rp.1.500.000 per m2. Dia sendiri tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa mengolah sawah. Apa jadinya aktivitas hariannya dipangkas, bahkan hilang. Pastinya kehidupannya tidak lagi berjalan baik, karena satu-satunya sumber penghidupannya adalah dari sawahnya. Dia juga mengungkapkan jika tidak punya sawah, hanya punya uang maka akan hangus dalam waktu singkat. Selain itu, badan juga tidak sehat karena tidak lagi beraktivitas. Dia mencontohkan beberapa temannya yang dulu bekerja di kantoran saat ini sudah mungkruk (sakit-sakitan) karena tidak pernah beraktivitas. Alasan lain mengapa dia tidak mau menjual lahannya adalah ketika memikirkan anak-anaknya, dia akan merasa sangat bersalah jika tidak meneruskan warisan berupa tanah kepada mereka. Karena sawah yang dia miliki saat ini sebagian merupakan warisan dari orangtua dan mertuanya, yang bisa jadi itu adalah asset turun temurun dari nenek moyangnya. Dia tidak mau warisan itu putus di dirinya.
Pak Bagyo memanen cabainya

2 komentar: