Senin, 27 Februari 2017

Berenang di Umbul

Akhir-akhir ini aku menyukai kegiatan olahraga berenang. Belum lama aku merasakan serunya melakukan olahraga yang satu ini. Sebanyak 2-3 kali tak pernah terlewat setiap pekannya. Namun hanya sebatas kolam renang saja, karena belum menemukan tempat berenang yang lebih menyenangkan.
Berenang di Umbul Kapilaler
Liburan datang di saat yang tepat. Aku merencanakan pergi ke suatu kampong bernama Polan, Kecamatan Polanharjo, Klaten. Di sana terkenal dengan kekayaan umbulnya. Kalau yang ngga tau umbul, itu adalah sebutan mata air bagi warga Polanharjo. Ada 13 umbul yang dapat dikunjungi di sana. Tidak semuanya berbayar, karena ada juga yang gratis masuk, hanya bayar uang parkir saja itupun jika membawa alat transportasi sendiri. Umbul yang berbayarpun maksimal hanya Rp.15.000
Beruntung ada Rere , temanku dari Bogor yang sedang tinggal di sana. Jadi setidaknya ada yang nganter keliling umbul. Kebetulan dia pernah melakukan pendataan umbul di sana juga. Umbul pertama yang kami kunjungi adalah Umbul Kapilaler, letaknya tidak jauh dari WKP. Umbul ini hanya berbayar ketika akhir pekan saja. Saat itu hari kerja dan sore itu juga hampir berganti, kami buru-buru masuk ke umbul karena sudah tak tahan ingin berenang di air yang super jernih. Oh ya kami juga pergi bersama Tiara, temanku dari Bogor juga yang kebetulan sedang mapir ke WKP. Rasa dingin di awal perlahan hilang sangkin serunya kami berenang sambil sesekali bercanda. ikan berwarna-warni menemani kami berenang. Sudah tak banyak orang di sana,  membuat kami semakin menikmati hawa sejuk dengan leluasa. Tidak perlu takut tenggelam, dalamnya hanya sekitar 1 meter saja kok. Berkesan sekali main ke Umbul Kapilaler, menjadi pembuka liburan yang tidak terlupakan. Merasakan kesejukan setelah kemarin rasanya terbakar panas justru di Kota Hujan.
Rere berenang di Umbul Manten
Umbul selanjutnya adalah Umbul Manten. Ini relatif lebih jauh dari Umbul Kapilaler. Di sana hanya dipatok harga Rp.4.000 per orang. Umbul ini tak kalah menarik, suasananya lebih ramai karena saat itu kami main di siang hari. Banyak juga warung di sekitarnya yang menjual makanan dan minuman ringan selepas lelah berenang. Para penjual yang ramah menambah kebetahanku di sana. Jadi ngga mau pulang. Air umbulnya jernih, terlihat biru dari atasnya. Walaupun tidak terlalu banyak ikan di sana, tapi seru juga. Di badan umbul melintang beberapa akar pephonan yang sudah tua, menjadi tempat bersembunyi ikan-ikan kecil.
Pose berantem di Umbul Nilo
Umbul Nilo adalah umbul ke-3 yang aku kunjungi. Selain Rere, kali ini aku ditemani Dede dan Pandi yang sedang magang di WKP. Mereka asli orang Aceh dan ternyata baru aku tau kalo mereka narsis juga. Seneng diajak berfoto bersama. Serta Sendy yang memang anggota WKP, orang Majenang yang ngapak inilah yang paling sering minta difoto katanya untuk ganti foto profil. Sore itu cerah, kami memilih Umbul Nilo karena sama-sama belum pernah ke sana, selain Rere yak an dia petunjuk jalannya. Umbul Nilo menyenangkan dengan pemandangannya yang tak kalah hijau juga dengan umbul yang lain. Saat itu airnya tidak terlalu biru, lebih hijau karena banyak lumut di batu yang berada di dasar umbul. Ngga ada biaya masuk ke sana, hanya bayar parkir saja. Kami tak melewatkan kesempatan berfoto untuk kenang-kenangan, sah kan? Karena kami belum tau kapan bisa ketemu ramai-rami berenang di umbul lagi.
Sendy, Dede, dan Pandi menemani berenang di Umbul Nilo
Nah ini dia umbul penutup liburanku. Umbul Ponggok, memang sudah terkenal di kalangan pecinta wisata alam. Umbul ini juga sudah dikelola dengan baik. Umbulnya luas dan dalamnya sekitar 3 meter. Di sana ditawarkan beberapa wahana seperti snorkeling dan spot berfoto. Masing-masing ada harganya sendiri. Kebetulan karena kami ke sana hanya untuk berenang, kami tidak menyewa itu semua. Saat itu masih pagi pukul 7. Tadinya kita berharap ketika masuk belum ada penjaganya jadi bias gratis. Ternyata kami melupakan bahwa hari itu adalah akhir pecan. Jadi jam 6 pun mereka sudah buka, terpaksa kami membayar Rp.15.000 per orang. Sejumlah itu tidak membuat kami kecewa, kami sangat menikmatinya. Kali ini kami berempat, tanpa Sendy. Senangnya bias berenang pagi bersama ikan-ikan berwarna-warni untuk menutup liburan. Badan rasanya setengah dingin di dalam umbul dan setengah hangat terkena matahari yang mulai bersinar. Sayang sekali Pandi hanya bertahan sebentar karena tidak kuat dengan dingin.
Berenang bersama ikan di Umbul Ponggok

Umbul di sana masih terjaga, jumlah yang 13 itu belum pasti ternyata. Karena masih banyak umbul yang belum tercatat karena letaknya biasanya berada di dalam rumah warga dan tidak dibuka untuk umum. Senang melihat mata air yang jernih. Semoga saja masih terjaga hingga nanti dan kapanpun. Jangan lupa kalau main ke sana jangan membuang sampah sembarangan. Mari menjaga lingkungan bersama.
Rame-rame di Umbul Nilo
Tampak umbul Ponggok di pagi hari

Sabtu, 25 Februari 2017

Aku, Tali, dan Tuhan

Halo penggiat alam bebas, saya akan menceritakan hobi saya dalam memanjat. Mungkin udah bawaan sejak lahir saya suka panjat-memanjat. Meja, plavon, dan pohon adalah beberapa benda yang saya pajat dari kecil. Nah, sekarang saya sedang memperdalam ilmu panjat yang lebih serius dan terarah di salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa besar di IPB, yaitu Lawalata. Selain itu saya juga sedang belajar memanjat (climbing) dengan suatu perkumpulan bernama DSP.
Perjalanan menuju Tebing Ciampea

Kami berlatih boulder dimana saja, seperti GOR Padjadjaran setiap Rabu dan Jum’at, di tebing Karst Ciampea pada hari Minggu, dan lain sebagainya.  Ditambah lagi latihan fisik sendiri di rumah masing-masing seperti push-up, sit-up, dan yang paling penting adalah pull-up utuk melatih kekuatan tangan.
Hari Minggu adalah waktu yang paling saya tunggu, karena itulah saatnya kami manjat tebing. Tebing Karst Ciampea yang akan kami panjat berada di sekitar lapangan tembak TNI di Ciampea. Kami harus berjalan menanjak terlebih dahulu sekitar 20 menit dari jalan raya. Setelah tebing tepat di depan muka saatnya memasang tali (kern mantle) di jalur pemanjatan. Di Tebing ini ada belasan jalur, seperti jalur kambing, putih, strowbery, tiram, dan lainnya. Jalur tersebut beragam dengan level kesulitan masing-masing.
Tali telah terpasang, saatnya memanjat. Tapi persiapkan dulu alatnya terutama yang menempel pada badan, seperti harnest, sepatu khusus panjat, chalk bag beserta isinya, dan yang pasti ada belayer dengan alatnya yaitu harnest dan grigri atau figue of 8. Kami menjunjung tinggi keselamatan dan etika memanjat. Kami selalu belajar menghormati alat, karena alat adalah Tuhan kami saat memanjat. Jika kami lalai dalam penggunaan alat dan membuatnya rusak, maka bayarannya bisa jadi adalah nyawa kami sendiri.
Memanjat di Tebing Ciampea
Memanjat, merangkat-rangkak di tebing selalu membuat adrenalin saya meningkat. Jantung serasa berdegub lebih cepat. Fokus saya terpecah untuk memperhatikan tangan, pijakan kaki, dan badan agar tidak jatuh sebelum sampai pada tujuan.manjat tebing itu bisa melatih kesabaran, tanggung jawab, koordinasi yang baik dengan belayer, dan mengatur ego yang seringkali bergejolak. Selain berkeringat yang membuat badan sehat, hobi ini membuat saya bisa tertawa dan melepaskan segala beban pikiran yang berhari-hari terpendam.
Senja penutup kelelahan setelah manjat

Jatuh, tergesek dengan tebing, dan menggantung di tali adalah hal yang biasa terjadi saat memanjat. Bagaimanapun kami harus selalu mencoba untuk menikmati kelelahan dan istirahat di puncak pemanjatan. Kebanggaan mucul dengan sendirinya diiringi pemandangan kemerahan saat matahari tenggelam.


Terusalah memanjat, karena bukan hanya tebing yang harus dipanjat. Cita-cita juga harus dipanjat hingga diraih puncaknya. karena setelah mencapai puncak, rasanya tak lain adalah sebuah kepuasan dan kebanggaan.

Jumat, 24 Februari 2017

Berebut Kebebasan

Saat ini kebanyakan orang terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tidak hanya di kota-kota besar, di perkampunganpun orang-orang hilir mudik dengan kesibukannya. Tak ada pagi yang tak ramai. Semuanya berbondong-bondong mengantri angkutan umum, berebut pintuk keluar masuk tol. Tak ada pula sore yang senggang, semuanya masih terjebak macet di jalan pulang. Kebanyakan mereka melakukannya dengan terpaksa karena kebutuhan semakin membengkak. Bekerja pagi hingga larut malam demi lembaran uang untuk memenuhi kebutuhan tadi. Tak jarang dari mereka ingin menjadi manusia bebas, tapi sikapnya tidak selaras. Buktinya masih banyak lulusan Strata 1, 2, bahkan 3 yang mencari pekerjaan.  Padahal mereka tahu bahwa yang mereka cari itu adalah sebuhah tempat yang akan serba terkekang, yang harus dilalui dengan berbagai macam aturan yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Tampak depan WKP
Berbeda dengan pemuda-pemudi yang ada di Warung Kata Pusur (WKP). Merekalah contoh pencipta kebebasan, bagi dirinya sendiri bahkan orang lain di sekitarnya. Mereka bukanlah orang-orang yang sedang berebut kebebasan.
Risol isi sayur
Salad dengan bahan pangan lokal
Di WKP mereka dapat melakukan apapun yang mereka inginkan. Misalnya berkebun, memasak dan menjual hasil masakannya, mengolah sampah, bereksperimen, dan berkreasi. Hal itulah yang membuat mereka dapat dengan mudahnya bersosialisasi dengan pengunjung. Segala hal yang mereka kerjakan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Mereka melakukannya dengan penuh penghayatan, tentunya juga dengan pemahaman yang sudah tertanam bahwa betapa pentingnya mereka melakukan itu. Mereka berkebun karena mereka menyadari bahwa pangan adalah seutuhnya tanggung jawab bersama. Untuk itu dari hal kecil mereka mulai menanam, setidaknya untuk mencukupi kebutuhan sendiri.
Bunga telang hasil panen kebun WKP, 
bahan utama untuk teh biru
Bukan hanya sampai menanam dan memanen. Mereka juga terus mencari ide untuk menciptakan sesuatu dari hasil panennya agar menjadi sesuatu yang lebih berharga, menarik, dan tentunya mencukupi salah satu kebutuhan fisiologis manusia yaitu pangan. Mereka tak pernah lelah mencoba menu baru dengan bahan yang mereka miliki, jika berhasil maka mereka tak sungkan menyuguhkannya kepada pengunjung.