Selasa, 01 Oktober 2019

Mereka Sebut Saya 'Rambu Jawa'

Sumba dari ketinggian
Merupakan bagian dari provinsi Nusa Tenggara Timur, terkenal dengan daerah padang rumput, seribu bukit, dan tanahnya yang berbatu. Sumba Timur memang menggoda untuk dikunjungi. Banyak pengunjung yang menguber matahari terbit maupun matahari tenggelam yang cantik. Menjadikannya objek wisata yang mulai terkenal. Banyak pihak percaya, Sumba akan menjadi serbuan wisatawan seperti Bali nantinya. Kabar tersebut membuat senang sekaligus gelisah. Jika itu benar terjadi, maka perekonomian masyarakat meningkat. Seperti yang terjadi di banyak terjadi di daerah wisata, masyarakat dapat mejual barang maupun jasa. Kehawatiran juga menyusul, barangkali akan banyak para pemilik modal menanamkan investasi di sana, keuntungan pastinya mengalir kepada mereka. Seperti yang terjadi di daerah wisata lainnya juga, masyarakat lokal hanya menjadi buruh sehingga walaupun ada penambahan pendapatan, tetap saja hanya menjadi kroco.
Terlepas dari hal tesebut, saya ingin cerita mengenai perjalanan di Sumba Timur selama sepuluh hari di pertengahan September 2019. Perjalanan kali ini kami sebut PSS 'Perjalanan Singkong Sumba', karena  perjalanan itu terwujud atas dasar obrolan singkong. Aku memang menyukai singkong karena rasanya yang unik, apalagi dia merupakan bahan dasar dari banyak makanan di kampung halamanku. Sehingga aku bisa merasakan kenikmatan dari ubi kayu itu.
Ibu-ibu di Desa Umamanu, Kecamatan Lewa sedang membuat olahan singkong
Seorang teman yang ku kenal setahun lalu menghubungiku “Hai Ve, bagaimana kabar? Masih suka makan singkong?”, ku jawab “Pastinya! Ada apa dengan singkong?”. Obrolan mengenai singkong berlanjut berhari-hari, sehingga pada akhirnya dia mewarkan kepadaku perjalanan Sumba Timur untuk belajar tentang singkong bersama masyarakat. Tanah Sumba Timur memang cocok untuk tanaman umbi-umbian, salah satunya singkong. Namun masyarakat belum banyak memanfaatkannya. Mereka sudah puas dengan singkong rebus sebagai teman minum kopi di pagi hari. Jika perut mereka dirasa sudah tidak mampu lagi menampung singkong, maka akan dibagikan kepada babi dan ternak lainnya. Aku suka cara mereka berbagi, karena menurut mereka, ternak juga harus merasakan apa yang kita rasakan, terutama dalam hal makanan.
Bagi saya, yang paling tidak, pernah merasakan berbagai makanan yang terbuat dari singkong sejak masa kanak-kanak, rasanya sayang sekali jika diresbus saja sudah memuaskan. Ya, perjalanan ini menjadi dilema sebenarnya. Kami ingin membuat masyarakat bisa mengolah pangan lokalnya, singkong itulah tadi. Tapi kami juga khawatir nantinya jika masyarakat sudah bisa mengolah singkong menjadi berbagai macam makanan manusia, bagaimana nasib ternak? Tapi seiring berjalannya waktu, banyaknya diskusi membuat kami menemukan solusi sehingga ternak masih tetap bisa makan walaupun bukan singkong.
Opak singkong yang telah dikukus
Sepuluh hari kami menyusuri beberapa kampung untuk berbagi resep produk olahan singkong. Kami berusaha untuk berbekal pengetahuan dan alat sederhana untuk mengolah singkong. Sehingga kami bisa berbagai beberapa macam olahan seperti keripik singkong, opak, kerupuk combro, biskuit, kue, hingga mie. Mereka menyambut kami hangat. Hal itu ditunjukkan dengan pemberian cium Sumba, yaitu dengan menggesekkan pucuk hidung ke kanan dan ke kiri. Mereka mencoba menerka apa yang akan kami lakukan di sana. "Rambu Jawa" adalah sebutan untuk saya. Pemuda perempuan disebut Rambu, sedangkan laki-laki disebut  Umbu. Saya suka dengan sebutan itu.  Senyum mereka membuat saya bersemangat.  Kami memulainya dengan bercerita mengenai singkong, terutama bagaimana mengolahnya agar makanan bisa bervariasi. Pengolahan singkong adalah hal baru bagi mereka. Kami makan bersama olahan singkong berupa keripik, opak, dan kerupuk combro, mereka menyukainya. Sontak beberapa dari mereka berkata “Oh mudah ya membuatnya, besok saya akan buat dan saya jual”. Lega dan teduh hati saya mendengar ucapan itu. beberapa hari kemudian setelah kami belajar bersama mengolah singkong, saya dan kawan datang lagi untuk belajar lagi mengolah singkong menjadi produk olahan lain. Sebelum mulai belajar, seorang ibu berbisik “Rambu (sebutan untuk anak muda perempuan), saya kemarin sudah membuat keripik, saya bungkus kecil-kecil, dan dijual di sekolahan, habis semua 20 bungkus”. Saya tidak sadar tiba-tiba memeluk dia hingga dia kaget.
Makan Kerupuk Combro
Kami bersemangat bersama-sama untuk menumbuhkan rasa cinta pada bahan pangan lokal. Mimpi sederhana sekaligus luar biasa dari kami adalah membuat semua orang di Sumba bisa manikmati makanan dari tanahnya sendiri. Mimpi itu muncul setelah kami lama tertidur. Banyak produk yang beredar di Sumba Timur sendiri ternyata berasal dari pulau lain. Padahal kami tahu bahwa di banyak bahan pangan di Sumba Timur. Saya sedih, pertama kali datang ke kios kecil di sana, ada anak-anak kecil membeli mie instan kemudian mereka bermain sambil ngemil mie instan tanpa dimasak. Ya, mie instan menjadi jajanan kesukaan mereka. Saya berharap setelah ini jajanan anak-anak beralih ke makanan ringan lokal.
AYO MAKAN SINGKONG!