Senin, 04 September 2017

Pak Nahtim kenek nelayan Tasikmalaya


Pagi ini cuaca bersahabat dengan tim salam kaoem nelayan dan nelayan itu sendiri di Kampung Pamayang Sari, Desa Cikaung Ading, Tasikmalaya. Panasnya tidak terlalu terik namun menghangatkan, angin sepoy menghembus hingga ke pelabuhan. Di pinggir pelabuhan Pamayang Sari, Pak Nahtim (52) sedang beristirahat selepas melaut. Dia berangkat tadi jam 4 pagi dan baru sampai pelabuhan lagi jam 9 pagi. Dia mengeneki perahu milik orang lain. Ketika dapat ikan hasilnya dijual dan dia dapat 20% bersih setelah dikurangi untuk beli bensin. Sebesar 70% menjadi jatah pemilik perahu dan 10% bagi pengangkut hasil ke TPI.  Mereka punya hari libur melaut, yaitu hari Jumat. Karena mereka percaya ketika ada yang melaut hari Jumat pasti akan celaka. "Sering ada yang mati di laut hari Jumat dulu sebelum kami sadari."

Senin, 10 Juli 2017

Bagiku Ramadahan dan Lebaran

Aku sudah tinggal di Bogor sejak kurang lebih 4 tahun lalu. Bogor seru, walaupun tak selamanaya menyenangkan. Setidaaknya di sana aku bias dapet banyak teman baru dengan jenis yang berbeda-beda. Selama 4 tahun itu aku menjaring ilmu di sebuah universitas negeri yang katanya kampus rakyat, ya Institut Pertanian Bogor (IPB). Artinya ini adalah tahun terakhir menjadi mahasiswa di tingkat sarjana. Sudah berbulan-bulan saat itu aku mulai menyusun tugas akhir. Banyak rintangan tentunya, mulai dari dosen yang susah ditemui hingga perusahaan calon objek penelitian yang susah dilobi. Selama 5 bulan gonta ganti proposal dan ku ajukan ke perusahaan ini itu tak kunjung diterima, yang ada mereka menolak dan mendiamkan permohonanku. Sempat mikir buat ganti judul, tapi berujung pada “Ah belum rejekinya, nanti juga dapet”
Selama 10 hari pertama Ramadhan merupakan berkah luar biasa bagiku, karena ada satu hari yang mana ada perusahaan yang menerimaku untuk melakukan penelitian di sana, sebut saja PT. X. Walaupun teman yang lain sudah menyandang gelar sarjana dibelakang namanya dan aku baru akan memulai penelitian, tapi aku yakin ada jalan-Nya yang sudah diatur untuk kebaikanku. Ya itu semua kehendak-Nya, diterimanya aku di sini adalah jalan-Nya yang diturunkan kepada seorang alumni IPB untuk membantuku. Ga usaha banyak mikir dua hari kemudian berusaha untuk mendapatkan tiket pesawat. PT. X berada di Samarinda, Kalimantan Timur. Setelah membeli tiket ternyata salah satu manajer di sana menghubungiku dan meberi kabar bahwa aku di sana bisa tinggal di mes nya agar tidak perlu menyewa tempat tinggal, terlebih aku diberi akses ke kantin agar tidak perlu membeli makan sendiri. Ini namanya 10 hari pertama Ramadhan yang sungguh berkahnya turun kepada para hambaNya.  
Hari-hari selama penelitianku di sana terasa menyenangkan. Banyak teman baru yang profesional dan memberikan kemudahan mendapatkan data menjadi salah satu faktor kesenangkanku. Taman-teman se kantor sangat baik dan ramah, segala sesuatu yang ku tanyakan dijawabnaya dengan detail. Setelah satu pekan terlewati aku mencoba untuk menyegarkan diri pergi beribur ke kota. Maklum karena PT. X berada di kampung, jarak ke kota lumayan jauh dan dapat ditempuh selama kurang lebih 1 jam.
Akhir pekan saat itu mengalahkan akhir akhir pekan selama 5 bulan yang lalu yang rasanya sangat biasa saja. Baru aku tau rasanya bahwa akhir pekan memang ditunggu oleh para pekerja kantoran. Tak mau rugi aku pergi berkeliling kota bersama seorang kawan yang baru ku kenal, namanya Mba Rahma dan Mba Nuy yang hobinya jalan-jalan. Kami mengunjungi sebuah masjid tertua di Samarinda. Di sana selalu digelar buka bersama dengan takjil seadanya. Masjidnya tidak terlalu luas, paling cukup untuk shalat sejumlah kurang lebih 300 orang.
Pemandangan dari Bukit Steling
Anak-anak kecil bersemangat menunggu waktu iftar datang, beberapa ibu-ibu membagikan bubur yang dilengkapi dengan telur rebus serta minuman berupa susu dan air putih. “Semuanya kebagian, sabar ya”, ucap salah satu orang. Ya memang mereka selalu menyediakan takjil tersebut dengan dana dari beberapa pihak.
Masjid Shiratal Mustaqiem

Setelah makan dan shalat, kami berkelilng masjid mencari hal yang unik, yaitu masjid itu sendiri yang dilengkapi dengan menara setinggi kurang lebih 15 meter yang membuat masjid berama Shiratal Mustaqiem itu semakin gagah dan hidup karena lampu-lampu terangnya. Kami tak mau kehilangan momen untuk mengambil gambarnya, bagiku untuk kenang-kenangan, kapan lagi aku bisa ke sana.

Puncak Bukit Steling
Malam minggu kami lewati untuk sekedar bersantai di pinggir sungai tepat di belakang Big Mall. Karena ketika aku diajak ke mall kok tiba-tiba mual. Hehehe. Nongkrong sambil menikmati kerupuk amplang khas Samarinda dan anginnya yang sepoy itu menjadikan badan kembali rileks setelah seminggu mengerjakan laopran tugas akhir. Ngobrol sana sini, pengalamanku dan pengalaman teman-teman baruku itu. Ternyata perjalananku belum seberapa dibanding dengan mereka. Akhirnya malam itu kami akhiri untuk menyambut hari esok yang menyenangkan.

Menuju Kampung Tenun
Hari Minggu datang, akhir dari akhir pekan adalah waktu yang berharga. Pagi itu kami bangun dengan semangat, langsung mandi dan bersiap. Kami pergi ke sebuah bukit bernama Bukit Steling, letaknya tak jauh dari rumah Mba Rahma. Cukup 10 menit menggunakan sepeda motor kemudian mendaki deh. Pagi menuju siang begini mendaki rasanya berat sekali, apalagi dalam keadaan berpuasa. Namun setelah kurng lebih 20 menit mencoba mengayunkan kaki untuk naik akhirnya sampailah kami di puncak bukit itu. Pemandangan dari atas sana rasanya membuat mata melek lagi. Sungai Mahakam yang luas dan rumah penduduk yang padat, serta aktivitas lain yang terlihat dari atas sana mengobati rasa haus selama perjalanan. Kami berfikir seandainya di sana menjadi sebuah tempat wisata yang dikelola dengan baik pastinya akan lebih bagus untuk kita semua terutama penduduk di sekitar yang mendapatkan manfaatnya.

Tak puas hanya mendaki bukit saja. Kami melanjutkan perjalanan untuk menyeberangi Sungai Mahakam menuju ke Kampung Tenun. Hanya cukup mengeluarkan uang sejumlah Rp.5.000 saja kami bisa sampai di sana. Berkeliling di Kampung Tenun biasa dilakukan para wisatawan lokal maupun mancanegara. Sekedar melihat-lihat proses pembuatakn sarung tenun tak menjadi masalah bagi warga sana. Hampir setiap rumah memiliki alat untuk menenun sarung. Setelah selesai bisa dikumpulkan ke pengepul barus selanjutnya dijual ke konsumen. Harga sarung tenun berkisar dengan harga paling murah adalah Rp.300.000 sesuai dengan jumlah kain yang digunakan, kesulitan motif, dan warnanya. Selain sarung tenun, di sana juga menjadi tempat produksi kerajinan manik-manik, seperti kalung, gelang, syal, ikat pinggang, dan lain-lain.
Sarung tenun




Puas berkeliling di sana kami melanjutkan lagi pergi ke puncak menara Islamic Center. Pengunjung dikenakan biaya Rp.15.000 untuk orang dewasa dan Rp.7.500 untuk anak-anak. Harga tersebut tergolong cukup murah untuk melihat pemandangan dari lantai 15.

Proses menenun sarung
Setelah menikmati jalan-jalan, saatnya bertemu dengan kawan-kawan. Aku membuat janji untuk ketemu dengan Kak Miftah (seniorku di organisasi Lawalata IPB) dan Om Suhardi (Alumni Kehutanan IPB). Hanya sekedar canda tawa dan saling menyapa saja sudah cukup untuk mengakhiri puasa hari itu. Malam pun datang, kami (aku, Kak Miftah, dan Mba Rahma) memutuskan pergi nongkrong di sebuah cafe yaitu Lopecafe. Kami nikmati kopi hingga larut malam. Obrolan kami tidak akan ada habisnya jika tidak segera diakhiri. Padahal besok aku harus masuk kantor lagi melanjutkan tugas akhirku.

Islamic Center
Semua itu merupakan berkah Ramadhan yang tak dapat digantikan. Untuk ku Ramadhan itu silaturahmi. Sekarang sudah saatnya 10 hari terakhir sebelum lebaran. Bagiku lebaran itu bertemu orang baru. Aku rela tidak merayakan lebaran di kampung halaman bersama keluarga karena aku pikir nanti aku akan mendapat lebih banyak saudara di sini sembari menyelesaikan tugas akhirku. Sehingga pasca lebaran semoga dengan segera aku mendapat gelar sarjana di belakang namaku agar bias menyusul kawan-kawan yang lain.
Ramadhan dan Lebaran itu bagi kamu?

Kasepuhan Ciptagelar

Kasepuhan Ciptagelar adalah salah satu bagian dari Kasepuhan Banten Kidul selain Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cisitu, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek, serta Kasepuhan Cibedug. Warganya masih melestarikan budaya tradisional dalam kehidupan sehari-hari, sehingga disebut Kasepuhan. Setiap hari mereka memakai baju adat berupa kebaya dan samping bagi perempuan, serta penutup kepala atau iket bagi laki-laki. Semua warga taat kepada aturan adat yang berlaku. Aturan adat tersebut dibuat oleh Abah, seorang pemimpin kasepuhan yang ditunjuk oleh leluhur. Kasepuhan Ciptagelar dipimpin oleh Abah Ugie sejak 2007. Usianya 28 tahun saat ini. Dia menggantikan ayahnya yang bernama Abah Anom yang meninggal dunia.
Abah Ugie merupakan perantara warga Kasepuhan Ciptagelar dengan leluhur. Dia sebagai pemimpin dapat menentukan segala hal sesuai dengan ajaran dan wangsit dari leluhurnya, kemudian perintah tersebut harus dijalankan warga. Warga yang tidak menjalankan perintah dari Abah akan mengalami musibah langsung dari leluhur. Jadi warga lain akan tau jika salah satu dari mereka mengalami musibah artinya diatelah melakukan kesahalan. Musibah tersebut dapat berhenti atau tidak sesuai dengan perbuatannya, serta atas ijin Abah dari wangsit yang diterimanya. Hal tersebut juga mempengaruhi pelaksanaan kegiatan religinya didominasi oleh kepercayaan adat dan tradisi yang dari para leluhur walaupun kepercayaan mereka adalah Islam.
Walaupun mereka sangat taat kepada aturan adat, namun pemikiran mereka sudah terbuka. Banyak dari mereka yang sudah mendapatkan pendidikan formal. Selain itu Kasepuhan Adat Ciptagelar sudah mulai terbuka dengan dunia luar dengan menggunakan listrik. Namun bukan dari pembangkit listrik negara, mereka membuat pembangkit listrik dari tenaga air yang disebut turbin mikrohidro yang dibuat sendiri oleh swadaya warga. Hal tersebut menunjukkan mereka sudah terbuka akan teknologi. Banyak juga warga telah menggunakan alat-alat tradisional seperti handphone, laptop, televisi, sepeda motor, dan lain-lain.
Aliran sungai digunakan untuk pembangkit listrik mikrohidro

Kasepuhan ini terletak di kaki Gunung Halimun yang merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Secara administratif, Kampung Ciptagelar berada di wilayah Kampung Sukamulya Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Jarak Kampung Ciptagelar dari Desa Sirnaresmi 14 Km, dari kota kecamatan 27 Km, dari pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi 103 Km dan dari Bandung 203 Km ke arah Barat. walaupun merupakan bagian dari administratif desa, Kampung Ciptagelar juga mempunyai pemerintahan sendiri yang dipimpin Abah Ugie. Jadi secara langsung mereka menaati dua peraturan, yaitu dari desa yang merupakan bagian sebuah negara, serta dari kasepuhan itu sendiri. Kedua peraturan dimusyawarahkan dengan baik sehingga tidak menimbulkan perselisihan.
Leuit (lumbung padi)

Selain pakaian adat, Kasepuhan Ciptagelar juga memiliki keunikan bentuk rumah. Semua rumah warga Kasepuhan Ciptagelar berbentuk panggung. Material yang digunakan untuk membuat rumah merupakan hasil alam, seperti kayu sebagai lantai, anyaman bambu sebagai dinding, serta ijuk sebagai atap rumahnya. Mereka tidak menggunakan genteng sebagai atap karena menurut mereka tidak wajar orang yang masih hidup berada di bawah tanah (genteng terbuat dari tanah), seperti kuburan. Selain itu warga tidak membuat rumah secara permanen karena Kasepuhan Ciptagelar dapat berpindah kapanpun jika ada perintah leluhur. Warga kasepuhan tidak hanya berada di wiliayah kampung tersebut, namun ada dimana-mana. Area Kasepuhan Ciptagelar yang berada di Kampung Sukamulya Desa Sirnaresmi merupakan pusat pemerintahan Kasepuhan Ciptagelar, warga lain yang berada di luar area tersebut dapat dikenali dari bentuk rumahnya. Walaupun hidup di aera lain namun dia adalah warga Kasepuhan Ciptagelar, pasti rumahnya panggung atau setidaknya dapurnya berbentuk panggung. Karena menurut warga Kasepuhan Ciptagelar, dapur merupakan ruangan utama bagi sebuah keluarga. Dapur memberikan mereka kahidupan, tempat untuk makan dan bersilaturahmi.
Seperti yang dijelaskan di atas bahwa Kasepuhan Ciptagelar memiliki pemerintahan sendiri yang dipimpin oleh Abah. Dia tidak sendirian mengurus kasepuhan, dia dibantu beberapa bawahan dia yang disebut kolot. Ada beberapa kolot yaitu kolot Girang Serat, Sesepuh Kampung, Pamakayan (Dukun Tani), Bengkong, Juru Pantun, Indung Beurang, Dalang, Tukang Tinggar, Penghulu, Tukang Bas (kayu/bangunan), Panganteur, Tukang Bebersih, dan Kemit. Dalam melancarkan urusan di bumi ageung terdapat beberapa orang yang membantu, yaitu sebagai : Candoli, Palawari, Pangejeg, dan Tukang Potong. Setiap kolot memiliki tugas masing-masing sesuai dengan aturan dari Abah serta wangsit yang diterima. Biasanya kolot merupakan jabatan turun temurun, atau sesuai dengan wangsit yang didapatkan.
Hamparan di Ciptagelar
Kasepuhan Ciptagelar terkenal dengan sistem pertanian yang unik. Mereka sangat menjaga kelestarian alamnya sehingga tidak menggunakan bahan kimia berbahaya apapun dalam pertanian. Padi merupakan komoditas pertanian yang paling terkenal di Kasepuhan Ciptagelar. Padi hanya dipanen sekali dalam setahun. Namun mereka tidak pernah kekurangan, justru selalu berlebih. Sehingga mereka tidak pernah membeli beras dari luar, hal itu menjadi larangan bagi warga Kasepuhan Ciptagelar. Pra hingga pasca penanaman merupakan proses yang panjang. Setiap proses selalu menggunakan upacara adat. Upacara-upacara yang berkaitan dengan kegiatan bercocok tanam adalah upacara membuka ladang, upacara ngaseuk, upacara mipit/nyalin (upacara pendahuluan sebelum dilakukan panen pertama), upacara seren taun (upacara adat pasca panen), upacara nganyaran (makan nasi yang pertama kali dari hasil panen), dan upacara ngahudangkeun (membangunkan padi yang telah didiukeun di dalam leuit sebelum dipergunakan oleh pemilik leuit). Dari semua upacara tersebut, seren taun merupakan upacara yang paling ditunggu oleh warga dalam maupun luar Kasepuhan Ciptagelar.
Ibu-ibu sedang menumbuk padi

Selain upacara, padi juga diistimewakan dengan cara menyimpannya dalam lumbung. Lumbung padi dimiliki paling tidak setiap kepala rumah tangga. Lumbung padi disebut Leuit. Bentuknya seperti rumah panggung namun hanya memiliki satu ruangan. Kasepuhan Ciptagelar sendiri memiliki satu Leuit Ageng yang merupakan lumbung untuk menyimpan padi dari setiap leuit-leuit perorangan. Padi dari Leuit Ageng merupakan cadangan yang hanya digunakan untuk acara tertentu saja dengan izin Abah. Cara meletakkan dan megambil padi di leut juga sangat hati-hati, tidak sembarang orang dapat melakukannya.

Kerajinan tangan dari rotan

Padi yang dihasilkan di tanah Kasepuhan Ciptagelar adalah dari bibit turun temurun yang saat ini jumlahnya sudah lebih dari 120 jenis padi. Kebanyakan merupakan hasil kawin antara bibit padi sebelumnya. Jadi hasilnya juga berbeda dan tidak dapat ditiru dan ditanam oleh warga luar Kasepuhan Ciptagelar. Mereka tidak mengijinkan bibit lain ditanam di sana. Padi juga tidak diperjualbelikan. Mereka menggunakannya sendiri. Jika ada yang membutuhkan biasanya hanya diberikan gratis sesama warga Kasepuhan Ciptagelar. Warga luar yang menginginkan biasanya diberikan dalam bentuk yang sudah matang. Karena padi sangat dihargai oleh mereka. Mulai dari cara mereka mengupas kulit padi menjadi beras hingga memasaknya juga dengan cara yang berbeda. Padi dikupas dengan cara ditumbuk dalam lesung yang terbuat dari kayu. Penumbukan padi juga menjadi kesenian yang unik karena menghasilkan berbagai macam suara ketukan. Ibu-ibu yang menumbuk padi seringkali bernyanyi bersama lagu dengan bahas sunda. Hal itu yang ditakutkan jika beras diberikan kepada yang bukan warga Kasepuhan Ciptagelar, akan perlakukan tidak sesuai dengan cara mereka yang menjadi larangan dari kasepuhan.

Wayang golek salah satu budaya Ciptagelar
Ada juga upacara lain yang dilakukan selain yang berkaitan dengan pertanian, seperti upacara empatbelasan, upacara tersebut dilakukan setiap bulan di tanggal 14 menurut kalender perhitungan kasepuhan. Pada hari tersebut bulan selalu dalam keadaan purnama. Ada juga selamatan pemberian nama dan upacara mengubur bali (ari-ari atau tembuni), upacara masa kanak-kanak bagi anak laki-laki biasa dilakukan upacara khitanan dan upacara helaran, upacara yang berkaitan dengan perkawinan seperti lamaran, akad nikah, dan upacara yang berkaitan dengan kematian. Makanan yang disajikan dalam setiap upacara berbeda dan memiliki arti masing-masing yang menjadi kekuatan mereka. selain itu juga disuguhkan beberapa kesenian adat yang menjadi simbol bagi Kasepuhan Ciptagelar yang ditampilkan oleh warga sendiri. Hampir semua upacara dilakukan beramai-ramai dan mengundang perhatian warga lain.
Jembatan penyeberang sungai sebelum Ciptagelar

Selain pertanian, Kasepuhan Ciptagelar juga memiliki sistem pengelolaan hutan yang rapih dan berlaku hingga saat ini. Mereka membagi hutan menjadi tiga jenis hutan berdasarkan filosofi hidup mereka, yaitu hutan titipan, hutan tutupan dan hutan garapan atau bukaan. Hutan titipan adalah wilayah hutan yang dijaga dan dilindungi manusia serta roh pelindung hutan. Warga dilarang memasuki hutan titipan tanpa seijin Abah apalagi mengambil sesuatu dari sana. Hal itu menunjukkan mereka menjaga keseimbangan kehidupan dan tidak serakah menggunakan hasil alam. Hutan tutupan adalah hutan penyangga yang juga berfungsi sebagai hutan lindung. Wargahanya dapat mengambil rempah-rempah dan akar-akaran untuk keperluan pengobatan dengan jangka waktu terstentu. Hutan tutupan dapat dibuka menjadi lahan garapan pertanian jika keadaan mendesak untuk kepentingan seluruh masyarakat adat Kasepuhan dan atas izin Abah. Sedangkan di hutan bukaan atau garapan, masyarakat hanya boleh beraktivitas untuk bersawah, berladang, berkebun, membangun rumah, membuat jalan, membangun tempat ibadah, pemakaman, penggembalaan dan sebagainya.
Hutan tetap diistimewakan dengan adanya aturan untuk memasuki dan memperlakukan hutan dengan baik. Sesekali ada gotong royong untuk membersihkan hutan. Hal itu juga menunjukkan kepedulian warga Kasepuhan Ciptagelar terhadap keberlangsungan hidup keturunannya.

Hal diatas sudah menjelaskan beberapa keunikan dari Kasepuhan Ciptagelar yang akan sangat bermanfaat untuk diikuti caranya. Mereka yang menghargai dan melestarikan budayanya. Mereka melakukan segala hal secara bersama-sama tanpa pamrih. Hal yang paling penting adalah mereka yang mengelola alamnya dengan baik, menjadikan alam sebagai sahabat yang meguntungkan. Indonesia yang disebut negara agraris perlu mencontoh sistem pertanian yang dilakukan oleh Kasepuhan Ciptagelar agar tidak lagi melakukan impor hasil pertanian dari negara tetangga. Dan sebuah perbedaan setiap budaya sangat perlu dilestarikan karena Indonesia menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu.
IG : ViedelaAK
Twitter : @viedela_ve
Phone : 085692226002
Nyanyi ngasal Salam dari Ciptagelar

Rabu, 05 Juli 2017

Pulang Kampung ke Kampung Merabu

Setiap tahun banyak dari kita melakukan mudik, tepatnya untuk merayakan hari idul fitri bersama keluarga di kampung halaman. Hal tersebut juga berlaku padaku. Aku lahir dan dibesarkan di sebuah kampung kecil di Banjarnegara. Jarang orang mengetahui keberadaanya tapi kampungku patut ku banggakan karena memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Tahun lalu aku pulang kampung, tahun sebelumnya juga aku ikut meramaikan pulang kampung. Lagi-lagi pulang kampung sudah menjadi hal yang biasa saja bagiku.
Menuju shalat Ied bersama Nabila dan Tante Ayu

Tahun ini aku ingin melakukan pulang kampung yang berbeda. Aku memilih untuk merayakan lebaran bersama keluarga orang lain yang ku kenal karena ikatan himpunan alumni dari perguruan tinggi tempatku menuntut ilmu. Rumahnya beradad di Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Suhardi namanya, biasa ku panggil dengan Om Kecap, dia berbeda seperempat abad lebih tua denganku. Dia sudah ku anggap sebagai om bahkan ayah sendiri. Aku numpang di sana selama beberapa hari sebelum hingga sesudah lebaran. Istrinya, Tante Ayu juga alumni kampusku jadi semua obrolan kami nyambung yang seringnya membahas perbedaan kampus dulu dan sekarang. Mereka memiliki 3 anak yang juga menerimaku dengan baik di rumahnya, namanya Ian, Ghaza, dan Nabila. Aku sering membuat mereka kerepotan entah untuk mengantar dan menjemputku, juga membukakan pintu rumah ketika aku pulang larut malam.


Rasanya cukup beberapa hari aku menikmati lebaran di kota. Saatnya lebaran di kampung yang sesungguhnya. Sudah terpaut lama aku tak pulang ke kampung yang satu itu. Yak Kampung Merabu, yang berada di Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Tiga tahun lalu aku pernah ke sana bersama 12 orang lainnya untuk melakukan Ekspedisi Tanah Borneo. Hampir 3 pekan kami di sana untuk melakukan pendataan gua, hutan, dan sosial masyarakat Kampung Merabu. Waktu tersebut terasa kurang bagi kami, tapi bagaimanapun juga kami harus kembali ke kampus untuk melaporkan apa yang kami dapatkan. Sebelum pulang, masyarakat Kampung Merabu menyelenggarakan pesta untuk melepas kepergian kami. Beberapa orang sudah ‘sreg’ dengan keberadaan kami sehingga mereka berat melepas kami pulang dan menginginkan kami kembali ke Kampung Merabu lagi nantinya. Begitu juga dengan beberapa orang dari tim ekspedisi yang tidak ingin pulang karena kenyamanan yang diberikan Kampung Merabu, salah satunya adalah aku. Tangisku tak henti-hentinya hingga terisak menyesakkan dada ketika mobil penjemput sudah dating ke kampung. Hal tersebut yang menguatkan aku untuk kembali lagi ke sana. Tahun ini terbukti aku pulang kampung ke Kampung Merabu. Aku sudah menganggap Merabu adalah kampungku, kampung kita semua.
Selamat datang di Kampung Merabu

H+3 Idul Fitri 1438 H ku pilih untuk melakukan perjalanan pulang kampung. Aku mempersiapkan diri dengan baik untuk perjalanan darat yang membutuhkan waktu 13 jam. Aku mencoba menikmati perjalanan dengan baik karena itulah perjalanan yang sungguh ku impikan sejak lama. Pagi hari pada 29 Juni 2017 aku sampai di Kampung Merabu. Aku disambut oleh suasana sepi. Banyak warga yang sedang berkegiatan di luar kampung, yaitu pekan pemuda di Miau Baru dan RAKERDA di Merasa, serta beberapa yang lain mendaftarkan anak-anaknya untuk masuk ke sekolah menengah.
Maudy (anak Mba Mar)

Kakiku secara sadar melangkah menuju rumah Pak Asrani, beberapa kali ku ketuk pintunya ternyata rumahnya kosong, “Mereka sedang ke Miau Baru”, ucap Bu Bidan yang rumahnya tepat di kiri rumah Pak Ra (Asrani). Lalu mau tak mau aku ke rumah Mba Marjayanti atau akrab kupanggil Mba Mar, karena dia adalah salah satu sosok yang dulu paling ku kagumi di kampung, perempuan hebat dan berbakat. Bersyukurlah ketika aku dating ternyata dia ada di rumahnya, sedang memberi susu botol kepada bayi berusaia 3 bulan. Aku terkaget ketika mengetahui bahwa bayi lucu itu adalah anak perempuannya hasil dari pernikahan dengan seorang pekerja media bernama Mas Erwin. Aku disuguhi teh hangat dan bebrapa biskuit, kami saling menanyakan kabar dan bernostalgia. Bahagianya aku karena masih diterima di sana. Aku merasa sedang berada di rumah sendiri.
Sungai Lesan sepi tidak ada aktivitas warga

Rumah Mba Mar tepat menghadap ke Sungai Lesan. Dulu kami sering sekali mandi bersama di sana ditemani beberapa ibu-ibu lain yang mencuci baju maupun sekedar cuci muka serta anak-anak kecil yang berenang dengan riang. Pagi itu berbeda, tak ada satupun orang melakukan aktivitas di sungai kecuali seorang bapak yang menyiapkan ketinting (perahu kayu) untuk pergi. Sedangkan suasana di sungai yang ramai adalah salah satu yang aku rindukan. Tak banyak pikir aku bersiap untuk mandi di sungai, ternyata Mba Mar mengikutiku. “Sekarang jarang orang mandi dan mencuci di sungai Ve semenjak air sudah mengalir ke rumah-rumah warga”, ucap Mba Mar sembari ‘mengucek’ baju-baju kecil milik Maudy, anaknya. Hal tersebut benar bahwa ada program dari desa yang berhasil mengalirkan air dari Danau Nyadeng ke seluruh rumah warga. Dampak baiknya adalah mereka mendapatkan air bersih dengan mudah, namun bagiku kurang oke ketika hal tersebut jutru merubah kebiasaan warga untuk beraktivitas di sungai yang merupakan kegiatan yang sudah jarang ditemukan di lain tempat. Aku sangat menyayangkan karena bagiku mandi di sungai adalah salah satu cara untuk membuat kita menyatu erat dengan alam. Mandi di sungai membuat kita menjaga sungai agar tetap bersih karena kita tau airnya kita gunakan untuk keperluan sehari-hari. Bagaimana ya caranya agar warga mendapat air bersih tapi tak harus merubah kebiasaan mandi di sungai? Itu menjadi pertanyaan bagi kita semua termasuk aku.
Pulang Kampung Merabu masih berlanjut di sesi berikutnya

Twitter : @viedela_ve
IG : ViedelaAK

Phone : 085692226002

Senin, 27 Februari 2017

Berenang di Umbul

Akhir-akhir ini aku menyukai kegiatan olahraga berenang. Belum lama aku merasakan serunya melakukan olahraga yang satu ini. Sebanyak 2-3 kali tak pernah terlewat setiap pekannya. Namun hanya sebatas kolam renang saja, karena belum menemukan tempat berenang yang lebih menyenangkan.
Berenang di Umbul Kapilaler
Liburan datang di saat yang tepat. Aku merencanakan pergi ke suatu kampong bernama Polan, Kecamatan Polanharjo, Klaten. Di sana terkenal dengan kekayaan umbulnya. Kalau yang ngga tau umbul, itu adalah sebutan mata air bagi warga Polanharjo. Ada 13 umbul yang dapat dikunjungi di sana. Tidak semuanya berbayar, karena ada juga yang gratis masuk, hanya bayar uang parkir saja itupun jika membawa alat transportasi sendiri. Umbul yang berbayarpun maksimal hanya Rp.15.000
Beruntung ada Rere , temanku dari Bogor yang sedang tinggal di sana. Jadi setidaknya ada yang nganter keliling umbul. Kebetulan dia pernah melakukan pendataan umbul di sana juga. Umbul pertama yang kami kunjungi adalah Umbul Kapilaler, letaknya tidak jauh dari WKP. Umbul ini hanya berbayar ketika akhir pekan saja. Saat itu hari kerja dan sore itu juga hampir berganti, kami buru-buru masuk ke umbul karena sudah tak tahan ingin berenang di air yang super jernih. Oh ya kami juga pergi bersama Tiara, temanku dari Bogor juga yang kebetulan sedang mapir ke WKP. Rasa dingin di awal perlahan hilang sangkin serunya kami berenang sambil sesekali bercanda. ikan berwarna-warni menemani kami berenang. Sudah tak banyak orang di sana,  membuat kami semakin menikmati hawa sejuk dengan leluasa. Tidak perlu takut tenggelam, dalamnya hanya sekitar 1 meter saja kok. Berkesan sekali main ke Umbul Kapilaler, menjadi pembuka liburan yang tidak terlupakan. Merasakan kesejukan setelah kemarin rasanya terbakar panas justru di Kota Hujan.
Rere berenang di Umbul Manten
Umbul selanjutnya adalah Umbul Manten. Ini relatif lebih jauh dari Umbul Kapilaler. Di sana hanya dipatok harga Rp.4.000 per orang. Umbul ini tak kalah menarik, suasananya lebih ramai karena saat itu kami main di siang hari. Banyak juga warung di sekitarnya yang menjual makanan dan minuman ringan selepas lelah berenang. Para penjual yang ramah menambah kebetahanku di sana. Jadi ngga mau pulang. Air umbulnya jernih, terlihat biru dari atasnya. Walaupun tidak terlalu banyak ikan di sana, tapi seru juga. Di badan umbul melintang beberapa akar pephonan yang sudah tua, menjadi tempat bersembunyi ikan-ikan kecil.
Pose berantem di Umbul Nilo
Umbul Nilo adalah umbul ke-3 yang aku kunjungi. Selain Rere, kali ini aku ditemani Dede dan Pandi yang sedang magang di WKP. Mereka asli orang Aceh dan ternyata baru aku tau kalo mereka narsis juga. Seneng diajak berfoto bersama. Serta Sendy yang memang anggota WKP, orang Majenang yang ngapak inilah yang paling sering minta difoto katanya untuk ganti foto profil. Sore itu cerah, kami memilih Umbul Nilo karena sama-sama belum pernah ke sana, selain Rere yak an dia petunjuk jalannya. Umbul Nilo menyenangkan dengan pemandangannya yang tak kalah hijau juga dengan umbul yang lain. Saat itu airnya tidak terlalu biru, lebih hijau karena banyak lumut di batu yang berada di dasar umbul. Ngga ada biaya masuk ke sana, hanya bayar parkir saja. Kami tak melewatkan kesempatan berfoto untuk kenang-kenangan, sah kan? Karena kami belum tau kapan bisa ketemu ramai-rami berenang di umbul lagi.
Sendy, Dede, dan Pandi menemani berenang di Umbul Nilo
Nah ini dia umbul penutup liburanku. Umbul Ponggok, memang sudah terkenal di kalangan pecinta wisata alam. Umbul ini juga sudah dikelola dengan baik. Umbulnya luas dan dalamnya sekitar 3 meter. Di sana ditawarkan beberapa wahana seperti snorkeling dan spot berfoto. Masing-masing ada harganya sendiri. Kebetulan karena kami ke sana hanya untuk berenang, kami tidak menyewa itu semua. Saat itu masih pagi pukul 7. Tadinya kita berharap ketika masuk belum ada penjaganya jadi bias gratis. Ternyata kami melupakan bahwa hari itu adalah akhir pecan. Jadi jam 6 pun mereka sudah buka, terpaksa kami membayar Rp.15.000 per orang. Sejumlah itu tidak membuat kami kecewa, kami sangat menikmatinya. Kali ini kami berempat, tanpa Sendy. Senangnya bias berenang pagi bersama ikan-ikan berwarna-warni untuk menutup liburan. Badan rasanya setengah dingin di dalam umbul dan setengah hangat terkena matahari yang mulai bersinar. Sayang sekali Pandi hanya bertahan sebentar karena tidak kuat dengan dingin.
Berenang bersama ikan di Umbul Ponggok

Umbul di sana masih terjaga, jumlah yang 13 itu belum pasti ternyata. Karena masih banyak umbul yang belum tercatat karena letaknya biasanya berada di dalam rumah warga dan tidak dibuka untuk umum. Senang melihat mata air yang jernih. Semoga saja masih terjaga hingga nanti dan kapanpun. Jangan lupa kalau main ke sana jangan membuang sampah sembarangan. Mari menjaga lingkungan bersama.
Rame-rame di Umbul Nilo
Tampak umbul Ponggok di pagi hari

Sabtu, 25 Februari 2017

Aku, Tali, dan Tuhan

Halo penggiat alam bebas, saya akan menceritakan hobi saya dalam memanjat. Mungkin udah bawaan sejak lahir saya suka panjat-memanjat. Meja, plavon, dan pohon adalah beberapa benda yang saya pajat dari kecil. Nah, sekarang saya sedang memperdalam ilmu panjat yang lebih serius dan terarah di salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa besar di IPB, yaitu Lawalata. Selain itu saya juga sedang belajar memanjat (climbing) dengan suatu perkumpulan bernama DSP.
Perjalanan menuju Tebing Ciampea

Kami berlatih boulder dimana saja, seperti GOR Padjadjaran setiap Rabu dan Jum’at, di tebing Karst Ciampea pada hari Minggu, dan lain sebagainya.  Ditambah lagi latihan fisik sendiri di rumah masing-masing seperti push-up, sit-up, dan yang paling penting adalah pull-up utuk melatih kekuatan tangan.
Hari Minggu adalah waktu yang paling saya tunggu, karena itulah saatnya kami manjat tebing. Tebing Karst Ciampea yang akan kami panjat berada di sekitar lapangan tembak TNI di Ciampea. Kami harus berjalan menanjak terlebih dahulu sekitar 20 menit dari jalan raya. Setelah tebing tepat di depan muka saatnya memasang tali (kern mantle) di jalur pemanjatan. Di Tebing ini ada belasan jalur, seperti jalur kambing, putih, strowbery, tiram, dan lainnya. Jalur tersebut beragam dengan level kesulitan masing-masing.
Tali telah terpasang, saatnya memanjat. Tapi persiapkan dulu alatnya terutama yang menempel pada badan, seperti harnest, sepatu khusus panjat, chalk bag beserta isinya, dan yang pasti ada belayer dengan alatnya yaitu harnest dan grigri atau figue of 8. Kami menjunjung tinggi keselamatan dan etika memanjat. Kami selalu belajar menghormati alat, karena alat adalah Tuhan kami saat memanjat. Jika kami lalai dalam penggunaan alat dan membuatnya rusak, maka bayarannya bisa jadi adalah nyawa kami sendiri.
Memanjat di Tebing Ciampea
Memanjat, merangkat-rangkak di tebing selalu membuat adrenalin saya meningkat. Jantung serasa berdegub lebih cepat. Fokus saya terpecah untuk memperhatikan tangan, pijakan kaki, dan badan agar tidak jatuh sebelum sampai pada tujuan.manjat tebing itu bisa melatih kesabaran, tanggung jawab, koordinasi yang baik dengan belayer, dan mengatur ego yang seringkali bergejolak. Selain berkeringat yang membuat badan sehat, hobi ini membuat saya bisa tertawa dan melepaskan segala beban pikiran yang berhari-hari terpendam.
Senja penutup kelelahan setelah manjat

Jatuh, tergesek dengan tebing, dan menggantung di tali adalah hal yang biasa terjadi saat memanjat. Bagaimanapun kami harus selalu mencoba untuk menikmati kelelahan dan istirahat di puncak pemanjatan. Kebanggaan mucul dengan sendirinya diiringi pemandangan kemerahan saat matahari tenggelam.


Terusalah memanjat, karena bukan hanya tebing yang harus dipanjat. Cita-cita juga harus dipanjat hingga diraih puncaknya. karena setelah mencapai puncak, rasanya tak lain adalah sebuah kepuasan dan kebanggaan.

Jumat, 24 Februari 2017

Berebut Kebebasan

Saat ini kebanyakan orang terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tidak hanya di kota-kota besar, di perkampunganpun orang-orang hilir mudik dengan kesibukannya. Tak ada pagi yang tak ramai. Semuanya berbondong-bondong mengantri angkutan umum, berebut pintuk keluar masuk tol. Tak ada pula sore yang senggang, semuanya masih terjebak macet di jalan pulang. Kebanyakan mereka melakukannya dengan terpaksa karena kebutuhan semakin membengkak. Bekerja pagi hingga larut malam demi lembaran uang untuk memenuhi kebutuhan tadi. Tak jarang dari mereka ingin menjadi manusia bebas, tapi sikapnya tidak selaras. Buktinya masih banyak lulusan Strata 1, 2, bahkan 3 yang mencari pekerjaan.  Padahal mereka tahu bahwa yang mereka cari itu adalah sebuhah tempat yang akan serba terkekang, yang harus dilalui dengan berbagai macam aturan yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Tampak depan WKP
Berbeda dengan pemuda-pemudi yang ada di Warung Kata Pusur (WKP). Merekalah contoh pencipta kebebasan, bagi dirinya sendiri bahkan orang lain di sekitarnya. Mereka bukanlah orang-orang yang sedang berebut kebebasan.
Risol isi sayur
Salad dengan bahan pangan lokal
Di WKP mereka dapat melakukan apapun yang mereka inginkan. Misalnya berkebun, memasak dan menjual hasil masakannya, mengolah sampah, bereksperimen, dan berkreasi. Hal itulah yang membuat mereka dapat dengan mudahnya bersosialisasi dengan pengunjung. Segala hal yang mereka kerjakan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Mereka melakukannya dengan penuh penghayatan, tentunya juga dengan pemahaman yang sudah tertanam bahwa betapa pentingnya mereka melakukan itu. Mereka berkebun karena mereka menyadari bahwa pangan adalah seutuhnya tanggung jawab bersama. Untuk itu dari hal kecil mereka mulai menanam, setidaknya untuk mencukupi kebutuhan sendiri.
Bunga telang hasil panen kebun WKP, 
bahan utama untuk teh biru
Bukan hanya sampai menanam dan memanen. Mereka juga terus mencari ide untuk menciptakan sesuatu dari hasil panennya agar menjadi sesuatu yang lebih berharga, menarik, dan tentunya mencukupi salah satu kebutuhan fisiologis manusia yaitu pangan. Mereka tak pernah lelah mencoba menu baru dengan bahan yang mereka miliki, jika berhasil maka mereka tak sungkan menyuguhkannya kepada pengunjung.

Sabtu, 28 Januari 2017

Bangga Jadi Sarjana?

Kuliah merupakan kewajiban kami para mahasiswa. Seringkali belajar terus menerus di kampus membuat kami jenuh. Maka dari itu liburan merupakan waktu yang kami tunggu-tunggu. Banyak juga mahasiswa yang akhirnya bingung ketika liburan datang. Mungkin awalnya menyenangkan karena bisa pulang dan berkumpul bersama keluarga.  Percayalah hal itu hanya bertahan 3-5 hari. Setelah itu rasa bosanpun akan kembali hadir. Beberapa orang akan sibuk mencari-cari kegiatan yang bisa dilakukan, termasuk aku. Liburan kali ini aku memilih untuk belajar mengenai manajemen dan segala hal di sebuah warung. Aku ingin mengetahui seberapa banyak teori yang aku ketahui dan apakah teori-teori tersebut dapat diterapkan ke dalam dunia bisnis yang nyata.
Warung Kata Pusur tampak depan
Aku pergi ke Desa Polan, Kecamatan Polanharjo, Klaten. Tepathya di Warung Kata Pusur. Sebuah tempat yang tidak jauh dari kota besar seperti Solo dan Yogyakarta.
Selain mengenai manajemen warung, aku juga belajar banyak mengenai gaya hidup sehat diawali dengan makanan sehat. Warung ini menyediakan berbagai menu makanan sehat yang sebagaian besar berbahan dasar organik. Warung ini mulai berdiri pada November 2016 yang dimiliki oleh seorang alumni Institut Pertanian Bogor bernama Rita Mustikasari. Dia mempercayakan warung Kata Pusur untuk dikelola oleh Fahmi bersama 3 orang lainnya yaitu Faradina, Cendi, dan Wiji.
Banyak yang bertanya mengapa nama warungnya unik sekali. Hal tersebut berawal dari tujuan diirikannya warung ini yaitu agar warung ini menjadi tempat atau wadah bagi pengunjung untuk selalu KAnda TAkon. Artinya adalah untuk saling bertanya dan berbicang mengenai apapun. Pusur sendiri ditambahkan ke nama warung karena warung ini berada di dekat Sungai Pusur. Mengenai Sungai Pusur nanti kita ulas di tulisan yang lain.
Sampai saat ini warung Kata Pusur sudah mulai berhasil mencapai tujuannya. Para pengunjung yang datang bukan hanya sekedar menikmati menu yang disediakan, tapi ramai ngobrol. Terutama para pengunjung yang seringkali penasaran dengan menu yang ditawarkan. Menu unik tersebut antara lain seblak, telur pusur, teh biru, jeruk ungu , dan kombucha. Para pengelola dengan senang hati menjelaskan sedetail mungkin segala sesuatu yang pengunjung tanyakan.
Seblak adalah makanan berupa mie sayur, telur, sayur mayur, dan kerupuk yang dimasak dengan bumbu pedas dan rasanya khas. Bahan tersebut keseluruhan berasal dari petani sekitar warung. Makanan asli Bandung ini dimodifikasi sedemikian rupa sehingga cita rasanya sesuai dengan lidah masyarakat sekitar. Banyak pengunjung yang ketagihan dengan seblak.
Telur tubing adalah telur mata sapi yang dimasak dengan air, bukan digoreng seperti biasa. Setelah direbus kemudian dimasak dengan kuah yang berbumbu khas cita rasa Indonesia.
Teh biru merupakan minuman berwarna biru yang dihaslkan dari pewarna alami berupa bunga telang. Bunga telang atau Clitoria ternatea yang digunakan merupakan hasil panen kebun sendiri, pemanenan dilakukan setiap pagi. Bunga yang telah dipanen kemudian dijemur dengan cara ditutup dengan kain agar tidak terkena sinar matahari langsung. Selain tampilannya yang menari, teh biru juga memilki banyak manfaat teruama untuk kesehatan otak dan peredaran darah.
Hasil panen bunga telang dari 10 tanaman.
Doc. 25 Januari 2017
Jeruk ungu merupakan air jeruk yang dicampurkan dengan air bunga telang. Air bunga telang yang berwarna biru berubah menjadi ungu karena reaksi kimia dengan asam dari air jeruk. Minuman ini sangat segar dan cocok diminum saat terik di siang hari maupun penghangat ketika udara dingin menusuk tubuh. Stress setelah seharian bekerja dan berfikir dapat hilang setelah minum ini.
Kombucha juga menjadi daya tarik tersendiridi warung Kata Pusur. Belum banyak yang mengetahui apa itu kombcha. Minuman ini merupakan minuman fermentasi alami dari jamur kombucha yang rasanya asam. Teh manis yang didiamkan semala kurang lebih 2 bulan akan menghasilkan jamur di permukaannya, itulah yang disebut kombucha. Setelah itu dikembangbiakkan sehingga menjadi bibit yang kemudian menjadi bahan pembuatan minuman kombucha. Di sini menyediakan banyak jenis kombucha, seperti pisang-telang, nanas-adas, salak, apel-telang, rosella, kelor, dan beberapa jenis lain. Sebagai catatan, minuman ini tidak memabukkan justru bangus untuk pencernaan.
Berbagai jenis kombucha

Hal di atas hanyalah beberapa contoh makanan unik yang disediakan di warung Kata Pusur. Masih banyak lagi inovasi makanan yang dibuat. Kebetulan salah satu dari pengurus warung yang bernama Fahmi merupakan alumni Teknologi Pangan di Universitas Gajah Mada, selain berkreasi membuat makanan dan minuman yang unik mereka juga sangat memperhartikan bahan yang dipilih agar tetap pada pakem makanan sehat. Selain makanan dan minuman sehat siap santap, warung ini juga menjual berbagai bahan mentah organik seperti beras, kopi, tepung, gula, kedelai, kacang hijau, dan masih banyak lagi. 
Setelah beberapa hari di sini, aku sadar bahwa segala sesuatu yang didapat di bangku perkuliahan tidak akan berkembang jika tidak dilanjutkan mempraktikkannya. Seperti metode perhitungan harga pokok yang saya dapatkan di kelas ternyata belum dapat saya terapkan di sini. Terutama karna warung ini tidak sepenuhnya berorientasi pada profit, yang paling penting dari mereka adalah menyebarkan virus kebaikan mengenai makanan sehat dan menghargai bahan lokal yang kita miliki. Ternyata aku belum ada apa-apanya, kondisi laangan tak selalu sama dengan apa yang kita harapkan. Memperdayakan seluruh pelaku pertanian dan peternakan di sekitar merupakan hal yang mereka upayakan setiap saat.
Sekarang saatnya yang muda berkarya!