Rabu, 05 Juli 2017

Pulang Kampung ke Kampung Merabu

Setiap tahun banyak dari kita melakukan mudik, tepatnya untuk merayakan hari idul fitri bersama keluarga di kampung halaman. Hal tersebut juga berlaku padaku. Aku lahir dan dibesarkan di sebuah kampung kecil di Banjarnegara. Jarang orang mengetahui keberadaanya tapi kampungku patut ku banggakan karena memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Tahun lalu aku pulang kampung, tahun sebelumnya juga aku ikut meramaikan pulang kampung. Lagi-lagi pulang kampung sudah menjadi hal yang biasa saja bagiku.
Menuju shalat Ied bersama Nabila dan Tante Ayu

Tahun ini aku ingin melakukan pulang kampung yang berbeda. Aku memilih untuk merayakan lebaran bersama keluarga orang lain yang ku kenal karena ikatan himpunan alumni dari perguruan tinggi tempatku menuntut ilmu. Rumahnya beradad di Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Suhardi namanya, biasa ku panggil dengan Om Kecap, dia berbeda seperempat abad lebih tua denganku. Dia sudah ku anggap sebagai om bahkan ayah sendiri. Aku numpang di sana selama beberapa hari sebelum hingga sesudah lebaran. Istrinya, Tante Ayu juga alumni kampusku jadi semua obrolan kami nyambung yang seringnya membahas perbedaan kampus dulu dan sekarang. Mereka memiliki 3 anak yang juga menerimaku dengan baik di rumahnya, namanya Ian, Ghaza, dan Nabila. Aku sering membuat mereka kerepotan entah untuk mengantar dan menjemputku, juga membukakan pintu rumah ketika aku pulang larut malam.


Rasanya cukup beberapa hari aku menikmati lebaran di kota. Saatnya lebaran di kampung yang sesungguhnya. Sudah terpaut lama aku tak pulang ke kampung yang satu itu. Yak Kampung Merabu, yang berada di Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Tiga tahun lalu aku pernah ke sana bersama 12 orang lainnya untuk melakukan Ekspedisi Tanah Borneo. Hampir 3 pekan kami di sana untuk melakukan pendataan gua, hutan, dan sosial masyarakat Kampung Merabu. Waktu tersebut terasa kurang bagi kami, tapi bagaimanapun juga kami harus kembali ke kampus untuk melaporkan apa yang kami dapatkan. Sebelum pulang, masyarakat Kampung Merabu menyelenggarakan pesta untuk melepas kepergian kami. Beberapa orang sudah ‘sreg’ dengan keberadaan kami sehingga mereka berat melepas kami pulang dan menginginkan kami kembali ke Kampung Merabu lagi nantinya. Begitu juga dengan beberapa orang dari tim ekspedisi yang tidak ingin pulang karena kenyamanan yang diberikan Kampung Merabu, salah satunya adalah aku. Tangisku tak henti-hentinya hingga terisak menyesakkan dada ketika mobil penjemput sudah dating ke kampung. Hal tersebut yang menguatkan aku untuk kembali lagi ke sana. Tahun ini terbukti aku pulang kampung ke Kampung Merabu. Aku sudah menganggap Merabu adalah kampungku, kampung kita semua.
Selamat datang di Kampung Merabu

H+3 Idul Fitri 1438 H ku pilih untuk melakukan perjalanan pulang kampung. Aku mempersiapkan diri dengan baik untuk perjalanan darat yang membutuhkan waktu 13 jam. Aku mencoba menikmati perjalanan dengan baik karena itulah perjalanan yang sungguh ku impikan sejak lama. Pagi hari pada 29 Juni 2017 aku sampai di Kampung Merabu. Aku disambut oleh suasana sepi. Banyak warga yang sedang berkegiatan di luar kampung, yaitu pekan pemuda di Miau Baru dan RAKERDA di Merasa, serta beberapa yang lain mendaftarkan anak-anaknya untuk masuk ke sekolah menengah.
Maudy (anak Mba Mar)

Kakiku secara sadar melangkah menuju rumah Pak Asrani, beberapa kali ku ketuk pintunya ternyata rumahnya kosong, “Mereka sedang ke Miau Baru”, ucap Bu Bidan yang rumahnya tepat di kiri rumah Pak Ra (Asrani). Lalu mau tak mau aku ke rumah Mba Marjayanti atau akrab kupanggil Mba Mar, karena dia adalah salah satu sosok yang dulu paling ku kagumi di kampung, perempuan hebat dan berbakat. Bersyukurlah ketika aku dating ternyata dia ada di rumahnya, sedang memberi susu botol kepada bayi berusaia 3 bulan. Aku terkaget ketika mengetahui bahwa bayi lucu itu adalah anak perempuannya hasil dari pernikahan dengan seorang pekerja media bernama Mas Erwin. Aku disuguhi teh hangat dan bebrapa biskuit, kami saling menanyakan kabar dan bernostalgia. Bahagianya aku karena masih diterima di sana. Aku merasa sedang berada di rumah sendiri.
Sungai Lesan sepi tidak ada aktivitas warga

Rumah Mba Mar tepat menghadap ke Sungai Lesan. Dulu kami sering sekali mandi bersama di sana ditemani beberapa ibu-ibu lain yang mencuci baju maupun sekedar cuci muka serta anak-anak kecil yang berenang dengan riang. Pagi itu berbeda, tak ada satupun orang melakukan aktivitas di sungai kecuali seorang bapak yang menyiapkan ketinting (perahu kayu) untuk pergi. Sedangkan suasana di sungai yang ramai adalah salah satu yang aku rindukan. Tak banyak pikir aku bersiap untuk mandi di sungai, ternyata Mba Mar mengikutiku. “Sekarang jarang orang mandi dan mencuci di sungai Ve semenjak air sudah mengalir ke rumah-rumah warga”, ucap Mba Mar sembari ‘mengucek’ baju-baju kecil milik Maudy, anaknya. Hal tersebut benar bahwa ada program dari desa yang berhasil mengalirkan air dari Danau Nyadeng ke seluruh rumah warga. Dampak baiknya adalah mereka mendapatkan air bersih dengan mudah, namun bagiku kurang oke ketika hal tersebut jutru merubah kebiasaan warga untuk beraktivitas di sungai yang merupakan kegiatan yang sudah jarang ditemukan di lain tempat. Aku sangat menyayangkan karena bagiku mandi di sungai adalah salah satu cara untuk membuat kita menyatu erat dengan alam. Mandi di sungai membuat kita menjaga sungai agar tetap bersih karena kita tau airnya kita gunakan untuk keperluan sehari-hari. Bagaimana ya caranya agar warga mendapat air bersih tapi tak harus merubah kebiasaan mandi di sungai? Itu menjadi pertanyaan bagi kita semua termasuk aku.
Pulang Kampung Merabu masih berlanjut di sesi berikutnya

Twitter : @viedela_ve
IG : ViedelaAK

Phone : 085692226002

3 komentar: