Jumat, 12 Oktober 2018

Tangan Dingin Seorang Petani

Kebun Ve di samping rumah

Bertani bukanlah hal yang mudah dilakukan. Namun pekerjaan ini seringkali diremehkan karena dikira tidak berpendidikan, tidak banyak menghasilkan uang, apalagi penampakan petani yang dianggap tifak keren. Kehidupan manusia tak jauh dari sumbangsih pertanian, terutama Indonesia yang dikenal dengan negeri agraris. Nyatanya luasan lahan pertanian saat ini semakin berkurang, disebabkan oleh banyaknya pengalihfungsian menjadi gedung, jalan, pertambangan, dan lain-lain. Selain itu keinginan masyarakat untuk menjadi seorang petani juga semakin rendah. Ada juga keinginan yang kemudian dibatasai oleh orang terdekat. Misalnya seorang anak yang menginginkan menjadi petani untuk meneruskan/ menggantikan orangtuanya namun tidak diijinkan orangtua, karena mereka akan merasa tidak sukses telah memberikan fasilitas dan pembelajaran pada anaknya jika berujung pada anaknya menjadi petani.
Terong sedang berbunga
Hal itu tidak terjadi pada Suhada, seorang petani, peternak, pedagang, sekaligus pensiunan pegawai negeri sipil itu menginginkan jalannya sebagai petani diteruskan oleh anak cucunya. Sayangnya tidak satupun anaknya berhasil menjadi petani. Sebanyak 5 orang anaknya memiliki profesi yang berbeda-beda, namun tak jauh berbeda dari orangtuanya. Anak pertama menjadi pedagang seperti ayah dan ibunya, memiliki toko yang saat ini menjadi pusat pembelajaan bagi banyak retailer di desa-desa sekitar. Anak keduanya mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang guru pegawai negeri sipil. Dia adalah satu-satunya anak yang menginginkan menjadi petani di samping pekerjaannya mengajar. Namun dia menyadari bahwa setelah berkali-kali mencoba nyatanya dia tidak bisa. Dia meyakini bahwa petani selain pekerjaan yang bisa dipelajari, ini juga sebuah hidayah. Karena sekeras apapun dia mencoba hal kecil seperti menanam, tanamannya selalu mati walaupun sudah dirawat sedemikian mirip dengan yang dilakukan ayahnya. “Menanam itu tergantung tangannya, kalau saya yang nanam pasti mati entah kekeringan atau malah membusuk, padahal caranya sama, tempatnya sama, yang ditanam juga sama dengan kakek (Suhada)”, katanya sembari menyirami tanaman cabai yang mulai kering. Anak ketiga, menjadi peternak sekaligus jual beli kambing dan sapi. Anak ke empat menjadi seorang perustakawan di suatu lembaga pendidikan. Serta anak ke lima yang lebih suka menjual jasanya menjadi seorang supir. Namun Suhada yang kini usianya lebih dari 70 tahun tidak berhenti mencoba mengarahkan keturunannya menjadi seorang petani. Cucu ke-dua yang bernama Restu kali ini yang paling potensial mengikuti jejak kakeknya. Dia memilih untuk tidak melanjutkan untuk
sekolah di jenjang yang lebih tinggi. Setelah lulus sekolah menengah atas dia memilih untuk belajar kepada kakeknya. Dia berusaha sebaik mungkin, salah satu yang bisa dilihat adalah upayanya untuk mencangkul di sawah, dia tidak mengeluh walaupun sudah lelah hingga tangannya terluka. “Dia nurut banget, disuruh nyangkul, nanam biji, membersihkan rumput liar, sampai ngangkat karung isi padi yang berat tidak pernah mengeluh, walaupun tangannya sakit dia tetap berangkat lagi besoknya”, ungkap Suhada kental dengan bahasa jawa.
Bunga cepokak, buah cepokak biasa digunakan sebagai bumbu tambahanan memasak sayur

Kesulitan yang dihadapi oleh petani bukan hanya kemampuan yang dipandang sebelah mata. Seringkali cuaca yang tidak bisa diprediksi seperti yang terjadi sekarang ini membuat hasil panennya memburuk. Selain itu juga kondisi pasar yang fluktuaif terkadang meenjadikan petani merugi dengan harga jual yang rendah tidak sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Hal ini yang menyebabkan anggapan bahwa bertani tidak bisa menghasilkan banyak uang semakin terbukti.
Cabai mulai berbuah siap petik
Tangan dingin Suhada memang selalu bisa membuat tanahnya bekerja dengan baik, sehingga padi, jagung, labu, nangka, kopi, dan berbagai tanaman lainnya bisa berproduksi. Hobinya menanam dilakukannya sejak masa remaja karena ajaran ayahnya. Hingga kini semua lahannya diolah sendiri tanpa disewakan ke orang lain. Jika dia butuh tenaga tambahan maka dia baru akan menyewa tenaga kerja harian. Misalnya ketika musim tanam atau musim panen. Selebihnya merupakan kegiatan sehari-hari yang dia lakukan sendiri untuk mengisi masa tua. Sesekali anak dan isterinya menginginkan dia untuk tidak lagi ke sawah atau ke kebun dan disarankan untuk focus ibadah saja, namun dia menolaknya karena baginya jika tidak pergi ke sawah atau kebun dia merasa bosan dan justru sakit badan. Inilah semangat yang sedang dibangun kepada cucunya bahwa bekerja juga merupakan ibadah.
Labu siam yang ditanam kakek berumur 20 hari
Seperti petani pada umumnya, dia geram melihat lahan kosong yang tidak digunakan. Beberapa kali datang ke kebun di samping rumah saya yang kosong, dia memutuskan untuk tinggal di rumah saya kurang lebih 2 pekan untuk mengolahnya menjadi lahan produktif. Beberapa tanaman saya yang sudah mulai kering karena musim kemarau panjang yang tak kunjung berakhirpun dirawatya hingga menjadi segar kembali. Dia juga menambahkan beberapa tanaman, yang belum ada di kebun itu. Saya kaget ketika pulang ke rumah melihat kebun yang mulai rimbun dengan berbagai tanaman yang tidak pernah saya tanam. Ternyata ini adalah buah dari tangan kakek saya. Saat bercerita sembari menunggu pagi dia berucap bahwa dia merasa senang mendengar cucu pertamanya (saya) suka berkebun dan menanam beberapa tanaman baru untuk semakin memenuhi kebunnya. Dia juga menyampaikan agar tidak sibuk memikirkan bagaimana menjual hasil kebunnya terlebih dahulu, yang penting menanam, setelah itu kita bisa menikmatinya sendiri, dan jika ada lebihnya bisa berbagi kepada orang lain.
Pohon kelengkek berumur 4 bulan

Berkebun dan merawat hewan ternak bisa menjadi alternatif bagi orang tua yang sudah tidak memiliki pekerjaan. Selain bisa memberikan kesenangan, juga menyehatkan. Fenomena stress pasca usia kerja terjadi ketika setelah tidak memiliki pekerjaan tidak melakukan kegiatan sama sekali. Terutama bagi yang sebelumnya memiliki jabatan tinggi yang bisa menyuruh orang/ bosy, kemudian kaget tidak bisa menyuruh orang seenaknya sendiri. Terapi lansia dengan cara berkebun belum banyak muncul ke permukaan. Hal ini serupa dengan lansia di Eropa yang mengisi hari tuanya dengan merajut. Selain menumbuhkan rasa bahagia juga bisa menjadi pendapatan tambahan. Bisa jadi ide usaha ini dijalankan sehingga tidak ada lansia yang dikurung di dalam rumah lagi karena rasa senang justru membuat badan sehat, jika mereka bosan di dalam rumah tanpa melakukan apapun maka kesehatannya juga akan memburuk.
Ke kabun kopi bersama kakek yang sudah bungkuk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar