Jumat, 08 Mei 2020

Ujung Timur Indonesia





Jalan Trans Papua Menuju Kampung Tambat
Sebelum sore kami berangkat dari Kota Merauke menuju ke Kampung Tambat yang ada di kecamatan Tanah Miring. Perjalanan kami dengan kendaraan bermotor memakan waktu kurang lebih 1 jam. Melewati jembatan menyeberangi Sungai Maro menjadi pengalaman yang tidak terlupakan. Setelah itu masuklah ke jalan trans dengan padang di sisinya. Saat itu cuaca tidak terprediksi, tiba-tiba gerimis turun. Kami berhenti untuk memakai jas hujan saja, karena tidak ada tempat berteduh. Selain itu kami juga suka mengendarai sepeda motor di bawah rintik hujan. Beberapa saat kemudian gerimis berhenti, kami juga berhenti pada akhirnya untuk melepas jas hujan. Sembari beristirahat di tepi jalan, kami makan rambutan yang kami beli di kota sebelum berangkat. “Ini kitong pu rambutan paling enak sudah se-musantara”, ucap Monic yang gemar sekali dengan buah berambut satu itu.

Masuk Kampung Tambat, Distrik Tanah Miring


Kami mulai memasuki area kampung, jalanan dengan aspal tipis sehingga masih terlihat bebatuannya. Langit di sana cerah, biru, dengan awan yang sesekali bergeser ke sana kemari. “Tidak lama lagi, kitong su mau sampai”, kata Adriana sambil terus memakan rambutan dengan tangah kirinya.



Menokok batang sagu, diawasi Mama Magdalena berbaju biru



Benar saja, di sore yang cerah itu kami segera sampai di pabrik Sagu Dwitrap, Kampung Tambat, Tanah Miring. Ternyata Om Jack, begitu sebutannya seorang ayah berusia kurang lebih 40 tahun dengan nama asli Yakobus, dialah yang kami cari sedang tidak ada di rumah. Om Jack yang mengkoordinir produksi tepung sagu di pabrik Sagu Dwitrap. Kemudian kami menyusulnya ke tepian sungai di ujung kampung tempat dia menunggu potongan pohon sagu yang baru saja dipanen sampai ke kampung. Selain Om Jack, ada juga beberapa orang yang sedang memproses batang sagu yang dipanen di sekitaran sungai tersebut, “ada yang sedang memarut! Ko mo coba kah?”, kata Kak Nurmala, perempuan 30 tahunan dengan rambut panjang terkepang rapih. Gak pakai lama, aku melepas sepatu, bergabung menokok batang sagu dengan Mama Magdalena. Om Jack mengatakan bahwa di tempat itu biasa orang bekerja, bersana-sama di pagi hingga sore hari. Biasanya sebatang pohon dikerjakan bersama oleh anggota keluarga. Anak-anak kecil ikutan berkumpul meramaikan tempat tersebut tentunya tetap asik bermain sembari membantu orangtuanya. Hal yang paling bagi mereka adalah berenang di sungai itu, melompat dari pinggiran jalan membuat mereka terlihat lebih seru. “Besok kitong lihat”, tambahnya.

Potongan batang sagu 1 meter,
diangkut dengan mobil bak terbuka

Om Jack dengan karyawannya langsung cepat saja memotong menjadi per 1 meter batang sagu yang sudah sampai di tepian. Hal itu memudahkan untuk diangkut ke dalam mobil bak terbuka menuju ke pabrik Sagu Dwitrap, juga lebih mudah diproses selanjutnya. Sesampainya di depan pabrik Sagu Dwitrap, dibongkar saja di pinggiran agar tidak menghalangi jalan. “Besok kitong kupas dan belah, su sore kitong istirahat dulu.”, ungkap salah satu karyawan Om Jack sembari menurunkan potongan sagu.


Mengangkut batang sagu yang sudah dibelah ke pabrik


Istri Om Jack ikut membantu dalam proses produksi. Salah satunya dia mengangkut belahan batang sagu ke dalam pabrik. Pekerjaan yang tidak mudah karena beban yang begitu berat di dalam kereta dorongnya. Dia melakukannya dengan senang hati, ketika lelah dia akan berhenti sejenak, “Kalau su minum sa angkat lagi itu barang” katanya. Pekerjaan lain yang dia lakukan juga dalam mengurus anak, menyiapkan bahan makanan untuk para karyawan yang bekerja di Dwitrap, membersihkan rumah, dan tidak jarang berkebun.


Kukis Sagu yang dibuat oleh Nurmala
Malam itu kami menginap di kediaman Om Jack. Tepatnya di sebuah ruangan yang telah dipersiapkan untuk tempat produksi lanjutan, yaitu mengolah tepung sagu menjadi berbagai macam makanan siap santap. Di ruangan itu terdapat banyak alat yang siap digunakan, namun rupanya masih bersegel belum pernah digunakan, ruangan itu belum beroperasi. Om Jack menjelaskan, dirinya belum menemukan orang yang tertarik untuk mengolah sagu menjadi berbagai macam makanan, selain itu juga belum ada tenaga yang berkompeten untuk mengajari masyarakat mengolah tepung sagu. “Kitong suka makan sagu bakar saja, dengan kopi atau teh sudah cukup, tapi sa sendiri punya keinginan membuat berbagai olahan sagu agar sagu terserap dengan baik dan semua orang bisa menikmatinya”

Matahari terbit dari timur
Jalan pagi dengan Tante Tina

Malam berlalu terasa singkat karena kami berbincang hingga larut. Banyak hal yang diceritakan oleh Om Jack dan keluarganya. Ketika pagi menjelang, kami dibangunkan oleh suara burung yang mulai mencari makanan. Aku keluar dari ruang tidur dan melihat langit yang terlalu cantik untuk dilewatkan, fajar yang jingga. Akupun mulai berjalan mengikuti jalan kampung. Tidak lupa ku ajak Tante Tina yang menemani kami dalam perjalanan Kampung Tambat kali ini. Tante Tina adalah bagian dari Kon Muyu. Kami melepas alas kaki dan mulai menikmati aspal tipis sambil berbincang. “Ko pu muka itu bentol semua Ve, ko banyak dapat nyamuk kah semalam?”, tanyanya sambil memperhatikan wajahku. “Sa tidak berasa, mungkin karena kelelahan jadi sa tidur lelap sekali.”, jawabku. Kami bercengkrama layaknya kawan lama yang bertahun-tahun tak bertemu. Nyatanya mereka memang ramah. Mereka sangat terbuka dan menyenangkan, aku paling suka logat mereka yang membuat aku jadi terbawa. “Ko pu logat ni su rupa orang papua bicaranya.”,  Tante Tina mengakhirinya dalam perjalanan pagi itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar