Sabtu, 02 Maret 2019

Sumber Daya Alam milik siapa?


Sebutan kampung nelayan karena mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai nelayan. Nelayan adalah orang yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan, terutama di laut. Sehingga tidak semua kampung pesisir dapat disebut kampung nelayan. Desa Les memiliki 9 banjar (dusun) yang beberapa diantaranya berada di pesisir dan mayroritas masyarakatnya adalah nelayan. Salah satunya adalah Banjar Penyumbahan, berada paling selatan desa dan berdampingan dengan laut. Banyak perahu  bersandar di pantai yang berbatu, kira-kira 70 perahu, salah satunya adalah milik Pak Cik, seorang nelayan yang telah melaut sejak muda.
Namun selain melaut, dulu dia pernah bekerja di sebuah perusahaan pengekspor karang yang sekarang sudah ditutup karena regulasi yang melarang penjualan karang. Dia juga pernah menjadi penangkap ikan hias yang saat ini sudah tidak lagi karena tidak ada tengkulak lagi yang menampung tangkapan ikan hias. Selain itu penangkapan ikan hias dengan cara yang tidak ramah lingkungan seperti menggunakan potassium sudah dilarang dan beriringan dengan kesadaran masayarakat itu sendiri.
Saat ini Pak Cik mengerjakan banyak hal seain melaut, contohnya adalah sebagai pmelihara sapi. Sapi itu adalah milik orang lain yang dititipkan kepada keluarga Pak Cik untuk merawatnya, kemudian akan dijual dalam jangka waktu tertentu atau sesuai dengan keinginan pemilik modal, namun biasanya minimal 6 bulan baru bisa dijual. Mereka memiliki sistem tersendiri dalam mengatur pembagian hasil yang harus sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Pekerjaan seperti ini banyak dilakukan oleh masyarakat penyumbahan sebagai pendapatan sampingan selain melaut.
Prosesnya adalah pemilik modal menyerahkan uang kepada pemeliraha untuk dibelikan anakan sapi. Anakan sapi dipilih sendiri oleh pemelihara, karena biasanya mereka yang tahu bibit unggul yang sehat dan lebih cepat tumbuh, karena ini berpengaruh juga dengan pendapatan mereka nantinya. Sistem yang Pak Cik pakai adalah 30% keuntungan untuk pemelihara, dan 70% untuk pemilik modal. Disamping itu Pak Cik juga mmemelihara babi miliknya sendiri. dia memilih babi karena perawatannya yang mudah dan permintaannya  banyak. dia bisa menjual babi kapan saja dia mau. Istrinya juga membantu dalam pekerjaan ini, seperti menyiapkan makanan untuk hewan-hewan ternaknya. Terutama ketika Pak Cik sedang pergi untuk bekerja di tempat lain seperti menjadi guide untuk diving dan snorkeling, atau sesekali menjadi buruh bangunan.
Istri Pak Cik merawat anaknya sepanang hari, sembari merawat kebun kopi milik orang lain. Hal yang dilakukan adalah memanen buah cokelat setiap pekan. Setelah panen dia harus mengupas dan menyimpannya dulu di dalam karung tertutut selama 2-3 hari agar air keluar dengan sendirinya sehingga proses penjemuran nantiya tidak teralu lama. Jika itu diilakukan maka penjemuran di bawah matahari ketika musim kemarau hanya membutuhkan waktu 2-3 hari. Selain lebih cepat dalam pengeringan, menyimpan biji cokelat dalam karung juga membuat biji kerig lebih awet dan bagus. Karena proses penjemuran yang tidak terlalu lama sehingga paparan matahari dan bakteri di biji cokelat tidak terlalu banyak. Pekerjaan merawat kebun cokelat akhirnya harus dilakukan setiap hari karena pohon yang dipanen berbeda-beda. Pemelihara memiliki hak 30% dari penjualan biji cokelat kering, sisanya untuk pemilik lahan. Harga biji cokelat kering saat ini berkisar antara Rp.25.000 sampai Rp.30.000 per kg. Dia menjualnya ke tengkulak yang seringkali datang atau diantarkan sendiri ke tengkulak jika hasilnyasudah menumpuk. Karena jika tidak langsung dijual maka akan cepat rusak dengan penyimpanan sederhana. Keluarga Pak Cik menghasilkan kurang lebih 30 kg per bulan.
Kepemilikan lahan sampai saat ini belum merata. Ketimpangan terjadi dimana-mana dan terlihat sangat jelas. Hal ini membuat petani kecil kurang berdaya. Kemudian seringkali msayarakat desa terusir ke tempat yang lebih jauh dari lahan pertanian, misalnyake daerah urban perkotaan. Mereka menjadi buruh di perusahaan-perusahaan milik konglongmerat. Selanjutnya mereka diperlalukan sama, tidak mendapatkan hak yang layak/ setimpal dengan apa yang dikerjakan. Atau mereka terusir ke daerah terpencil dengan sumberdaya yang terbatas sehingga harus bekerja lebih keras untuk menghidupi kehidupannya, misalnya di hutan pedalaman yang kemudian harus membuka hutan terlebih dahulu untuk dijadikan lahan pertanian. Namun setelah itu turunlah kebijakan pemerintah yang membatasi gerak masyarakat bahkan hanya untuk mencari makan sehari-hari karena alasan konservasi. Banyak lagi hal yang mungkin terjadi dengan melihat kasus ini. Itu semua adalah dampak dari lambatnya pemerintah dalam menjalankan Reforma Agraria. Semakin lama maka masyarakat kecil yang persentasenya jauh lebih tinggi akan semakin terhimpit dan tidak berdaya sedangkan masyrakat kelas atas saling berebut kekuasaan.


1 komentar:

  1. numpang promote ya min ^^
    buat kamu yang lagi bosan dan ingin mengisi waktu luang dengan menambah penghasilan yuk gabung di di situs kami www.fanspoker.com
    kesempatan menang lebih besar yakin ngak nyesel deh ^^,di tunggu ya.
    || WA : +855964283802 || LINE : +855964283802 ||

    BalasHapus