Rabu, 13 Mei 2020

Berapa Banyak Upacara di Bali?

Tidak hanya perut sendiri yang dipikirin, hidup di Bali pasti dekat dengan perayaan, artinya harus memberikan sesajian untuk para Dewa juga. Seluruhnya itu berkaitan dengan kepercayan. Kebutuhan itu juga nilainya besar. Setiap hari setiap keluarha harus merogoh kocek untuk membeli canang yang digunakan 3 kali dalam sehari. Bagi mereka yang bisa membuat canang sendiri, biaya yang dikeluarkan lebih sedikit. Namun sayangnya lebih banyak dari mereka yang memilih membeli saja canang untuk ibadah. Sebuah canang berisi 4 warna bunga yang diletakkan sesuai dengan arah mata angin, ditambah dengan irisan pandan, roti, permen, rokok, kopi, maupun teh. Selain itu juga ada jenis sesajian yang isinya hanyalah apa yang dimakan oleh keluarga di hari iru, sehingga persembahannya dilakukan di pagi hari setelah perempuan memasak. Peletakkan sesajian itu setiap keluarga berbeda, sesuai dengan apa yang mereka hormati. Misalnya salah satu tempat penguburan ari-ari anaknya. Namun umumnya adalah sanggah keluarga, kamar besar (kamar pasangan suami istri), dapur, pintu gerbang masuk rumah, alat transportasi/ barang berharga lainnya.
Pada saat itu kebetulan aku berkesempatan mengunjungi malam 3 harian kematian ayah Luh Nia. selanjutnya ada acara 11 harian dan 21 harian. Serupa dengan umat Islam, di sini pun ada acara doa bersama yang diadakan di rumah duka selama 3 malam. Pelantun doa diawali oleh orang dari pura yang terhormat, kemudian disusul bergantian dengan orang lain. Orang silih berganti mungunjungi untuk turut berduka dan mendoakan yang terbaik. Pemilik rumah juga sibuk mempersiapkan persediaan untuk para tamu, minimal minuman. Jika memiliki kemampuan yang berlebih biasanya mereka menyugihkan makanan ringan, makanan berat, hingga alkohol. Keseluruhan rangkaian tersebut membutuhkan biaya yang besar. Sesame keluarga biasanya saling bahu-membahu untuk menanggung beban tersebut. Sehingga terlihat kerjasama yang masih terjaga hingga saat ini.
Selain kematian, penyambutan kehamilan hingga kelahiran juga menjadi hajat yang tidak kalah banyak mengeluarkan uang. Apalagi sebuah pernikahnan, dan banyak lagi upacara yang dilakukan. Selain upacara yang tidak dapat diprediksi itu, ada juga upacara rutin yang harus dilakukan.
Selain itu, obrolan dengan Pak Eka juga menghasilkan kesimpulan bahwa di Bali terdapat enam hari suci yang disebut tumpek atau keselamatan. Pertama, Tumpek Landep yaitu upacara untuk selamatan senjata taja, serperti pada bahasa Bali yaitu landep berarti tajam. Kedua, Tumpek Uye yaitu upacara untuk keselamatan kandang yang mana mereka memberikan keselamatan pada kandang ternak atau binatang peliharaan. Ketiga, Tumpek Wayang yaitu untuk selamatan wayang. Keempat, Tumpek Kuningan yang dilakukan untuk keselamatan gamelan atau alat musik. Kelima, Tumpek Bubuh yaitu selamatan yang dilakukan untuk tumbuhan agar mendapatkan hasil yang berkah untuk kehidupan mereka. Keenam, Tumpek Krulut yang dilakukan untuk selamatan unggas, namun tumpek ini biasa digabungkan dengan Tumpek Uye.
Nyepi adalah salah satu perayaan di Bali yang ditunggu-tunggu. Perayaan ini dilakukan setiap tahun baru Saka. Perayaan ini ditujukan untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk menyucikan alam manusia (Bhuana Alit) sebagai microcosmos dan alam semesta (Bhuana Agung) sebagai macrocosmos. Selain umat Hindu dan warga Bali, Nyepi menjadi hal yang unik bagi wistawan. Sebelum nyepi, ada banyak rangkaian upacara adat di Bali, misalnya Melasti yang mana seluruh sarana persembahyangan yang ada di pura diarak ke laut atau danau (air) karena zat itulah sumber kesucian (tirta amerta). Upacara ini dilakukan antara dua hingga 3 hari sebelum nyepi. Kemudian sehari sebelum nyepi dilakukan upacara Buta Yadnya. Inilah yang seringkali ditunggu-tunggu, yaitu mengarak buta ke seluruh desa yang disimbolkan dengan patung raksasa dengan muka menyeramkan. Patung tersebut biasanya dibuat di masing-masing tingkatan masyarakat, misalnya keluarga, banjar, hingga desa. Sebulan bahkan dua bulan sebelum arakan tersebut, warga bergotong-royong membuat patung tersebut, hingga larut malam itu sudah biasa. Kebersamaan dapat terlihat jelas pada prosesnya. Arakan di hari yang ditunggu itu diiringi dengan tabuhan atau pukulan pada benda apa saja, biasanya dengan kentongan dari bambu sehingga menimbulkan suara gaduh yang bertujuan mengusir buta kala. Masyarakat menyebutnya pawai ogoh-ogoh. Setelah selesai diarak, kemudian patung-patung tersebut dibakar karena sebuah kepercayaan bahwa setelah diarak keliling desa, Buta Kala dan segala keburukan/ kejahatan masuk ke patung tersebut yang harus dimusnahkan.
Selesai semua perayaan itu, masuklah Hari Raya Nyepi di keesokan harinya. Hari tersebut seluruh Bali sama sekali harus beristirahat, tidak ada kendaraan bermotor yang berlalu lalang, tidak ada aktivitas jual beli, bahkan menyalakan api juga merupakan larangan sehingga masyarakat biasanya mempersiapkan makanan di hari sebelum nyepi karena tentunya proses memasak memerlukan api. Beberapa daerah memiliki aturan yang lebih ketat seperti mematikan aliran listrik dan koneksi internet. Beberapa orang memaknai nyepi secara dalam hingga melakukan puasa, tidak makan atau minum. Mereka yang melakukannya percaya, ketika berpuasa kita dapat berpikit lebih jernih untuk merefleksikan diri apa saja kesalahan yang telah dibuat selama setahun lalu dan membangun lagi mimpi di lembaran baru yang suci setelah nyepi sehingga diharapkan tidak melakukan kesalahan yang sama. Beberapa anak menangis ketika malam hari karena kegelapan tanpa cahaya lampu maupun karena pansa tanpa kipas/ AC. Para ibu dari anak-anak tersebut diuji kesabarannya untuk menenangkan mereka hingga pagi menjelang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar