Minggu, 05 Agustus 2018

Perempuan dan Pertanian

Perempuan kurus menjemur padi yang tak lebih dari 5 karung. Dia tidak menghitung berapa kilogram yang dia dapat. Karena memang dia tidak pernah menghitung. Biasanya kalau butuh beras tinggal dia giling saja. Tak pernah sama sekali dia menjual gabah, apalagi beras. Semua digunakan untuk keperluan makan sehari-hari di rumahnya atau dibagikan kepada anaknya. Dia baru selesai panen 2 hari yang lalu. Beberapa hari ini panasnya tidak terlalu terik sehingga padinya belum kering sempurna. Dia memprediksi 2 kali penjemuran lagi akan siap giling jika panasnya stabil seperti ini. Dia adalah Ibu Hadi. Usianya sudah 54 tahun. Namun dia setiap hari selalu pergi ke sawah. Ada saja pekerjaan yang harus dilakukan. Entah itu membersihkan rumput, mengaliri air, atau mengusir burung. Sesekali juga dia memaneh hasil sayur yang usia tanamnya hanya dalam hitungan pekan. 
Hasil panen padinya sekarang berkurang, tidak sebanyak panen musim lalu. Setelah melihat hasil panen yang seperti itu, dia memperkirakan akan membeli beras nanti di waktu ujung sebelum panen selanjutnya datang. Padinya terkena hama sejak awal penanaman, sehingga pertumbuhannya tidak maksimal. “Waktu itu kena hama yang putih-putih itu loh mba.”, ucapnya dengan nada sedih. Selain itu, ini adalah panenan padi ke 5. Sehingga bisa diduga nutrisi tanahnya sudah berkurang. Artinya setelah ini dia akan menanam palawija. Karena dia memilih malakukan penggantian komoditas berpola 5-1. Sebanyak 5 kali tanam padi, maka ada 1 kali tanam palawija. Setahun penanaman dilakukan 3 kali. Artinya pola itu dapat berputar setiap 2 tahun sekali. Biasanya dia memilih kacang, sama seperti kebanyakan petani. Dia mengaku menanam dengan cara organik. Karena tidak memakai pupuk buatan. Dia hanya menggunakan pupuk kandang saja.
Dulu perempuan yang beranak 2 ini pernah mengikuti program dari pemerintah yang bertujuan membuat petani menanam secara organik pada tahun 2008. Namun sayangnya pendampingan itu tidak dilakukan dengan tuntas. Artinya petani hanya disuruh untuk menanam secara oraganik namun tidak ada solusi hingga akhir. Hasilnya adalah petani dibuat capek sendiri. Penyuluhan pembuatan pupuk juga tidak sampai memastikan semua peserta yang ikut dapat mempraktikkan sendiri. Tidak semua peserta yang ikut dari awal dapat bertahan. Namun Ibu Hadi masih bertahan hingga sekarang. 
Beberapa peserta yang memutuskan berhenti biasanya mereka yang memiliki lahan luas dan memperuntukkan hasil panennya untuk dijual. Karena ketika hasil panen organik sudah didapatkan, penjualan justru melambat karena harganya yang lebih tinggi. Itulah poin pentingnya lagi, pihak pembuat progam tidak menentaskan pekerjaannya yang seharusnya dapat menampung hasil panen petani, atau setidaknya memberikan jalan agar produk petani yang sudah susah payah diuji coba dapat terjual.
Mbah Hadi sedang menyiangi rumput liar
Namun bagi Ibu Hadi, itu tidak penting. Karena dia menggunakan berasnya sendiri, maka seberapapun harga beras di pasaran tidak pernah membuatnya pusing. Justru dengan menanam secara organik dia dapat merasakan manfaatnya makan sehat. Buktinya dia masih bugar hingga usianya 64 tahun ini. 
Selain padi, dia juga menanam berbagai macam sayuran seperti sawi, kangkung, kobis, cabai, dan lain sebagainya di pinggiran petakan sawah. Sayur mayur tersebut yang kadang dia jual jika hasilnya banyak. Karena sayur tidak dapat tahan lama jika disimpan. Dijualnya pun hanya ke tetengga saja, tidak sampai menggelar lapak. Baginya menanam sayur mayur menjadi hiburan dikala menunggu panen padi. Hal itu adalah salah satu yang dia sebut pekerjaan di sawah.
Sawi yang subur dengan pupuk kandang dan kotoran burung
peliharaan anaknya
Ibu Hadi bukan orang yang terjun ke pertanian sejak muda seperti Mbah Budi. Dia baru menjadi petani setelah menikah, yaitu pada usia 23 tahun. setelah menikah dia langsung pindah ke dusun suaminya, yaitu Dusun Karangmojo, Desa Taman Martani, Kalasan, Yogyakarta. Sebelumnya dia berdagang, mulai dari di pinggir jalan, berjualan keliling, hingga punya lapak di Pasar Prambanan. Dia berjualan kelapa di Pasar Prambanan, yang sekarang menjadi halte bus Prambanan. Ingatannya terbang ke masa lalu yang mana dia selalu membawa anak sulungnya ke pasar, mencari uang sekaligus momong anak. Walaupun begitu, dia masih punya energi lebih, sepulang dari pasar dia akan mengurus rumah terlebih dahulu. Setelah itu dia pergi ke sawah untuk membantu suaminya. Rutinitas hariannya relatif sama, namun dia tidak pernah merasa lelah, dia selalu bahagia dan menebar senyumnya. Terakhir dia berjualan di pasar pada tahun 1998. Setelah itu dia memutuskan berhenti karena suaminya meninggal. Dia harus mengurus rumah, anak, dan sawahnya sendiri.
Setiap hari dia ke sawah walaupun sudah dilarang oleh anak-anaknya. Tapi dia tidak bisa diam saja di rumah. Karena dia merasakan jika sehari saja tidak ke sawah maka badannya akan sakit dan dia merasa bingung apa yang bisa dia lakukan. Lalu dia berfikir jika tidak mengurus sawah maka dia tidak bisa makan. Makanan yang dihasilkan dari sawah sendiri terasa lebih enak dibandingkan dengan bahan yang dibeli.
Setiap sore dia main ke rumah anaknya untuk sekedar bercengkrama dengan cucunya atau membantu anaknya yang memiliki usaha angkringan. Terkadang dia di rumah anaknya sampai malam. Namun tidak lebih dari pukul 9 malam dia sudah kembali ke rumah untuk istirahat. Hari-harinya dilalui dengan penuh senyuman yang sungguh ikhlas. Baginya ada harapan ketika pagi datang, karena artinya dia akan kembali ke sawah dan meneruskan titipan dari suaminya. "Walaupun sedikit kalau diopenin (baca: diurus) nanti dapat menghidupi kita", ungkapnya menutup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar