Jumat, 10 Agustus 2018

Organik Milik dan Untuk Siapa?

      Saat ini masyarakat sudah menyadari bahwa segala hal yang masuk ke dalam tubuhnya dapat mempengaruhi kehidupan selanjutnya. Kali ini kita berbicara mengenai pangan. Perhatian tersebut ditunjukkan dengan banyaknya permintaan produk organik di pasaran. Masyarakat sudah berani membayar mahal demi produk yang baik untuk tubuhnya. Hal yang paling mudah dilakukan adalah berbelanja bahan makanan di supermarket. Karena di sana kita bisa mendapatkan apa saja yang kita inginkan, termasuk produk organik. Mulai dari sayur, buah, bumbu, hingga kosmetik atau produk kecantikan.
Pak Wagiran sedang menanam padi
      Produk organik bagi masyarakat adalah produk yang sudah tercantum label 'sertifikat organik'. Lalu bagaimana dengan produk pertanian yang diproses secara organik namun tidak memiliki sertifikat yang disebutkan tadi? Jawabannya adalah tidak laku. Kemungkinan laku lebih rendah dari produk yang memiliki label tersebut.
      Beberapa petani yang ada di Karangmojo, Kecamatan Kalasan, Yogyakarta sudah dapat menerapkan pertanian organik. Selain Bu Hadi, ada juga Pak Wagiran yang memiliki beberapa petak sawah organik. Dia mengaku melakukannya sejak tahun 2009 ketika ada program dari pemerintah untuk pertanian organik. Hingga saat ini dia adalah salah satu yang masih bertahan walaupun tanpa dampingan dari mereka lagi. Beberapa lainnya tidak melanjutkan lagi karena merasa hasilnya tidak sebanyak jika menggunakan pupuk buatan. Hal tersebut terjadi karena tanah baru dalam proses memulihkan diri. Buktinya beberapa dari mereka yang menerapkan pertanian organik mendapatkan hasil yang maksimal setelah beberapa tahun tidak menggunakan pupuk dan obat-obatan buatan. "Dulu waktu awal-awal beberapa kali panen memang sedikit, kalau sekarang sama saja jumlah panennya kok.", ungkap Pak Wagiran. Dia juga menambahkan bahwa dengan menerapkan pertanian organik ini dia harus memiliki usaha yang lebih misalnya lebih sering ke sawah untuk mengecek tanamannya. Jika ada hama dia harus dapat menyelesaikan sendiri dan mencari jalan keluar selain menggunakan bahan kimia buatan. Pak Wagiran dan istrinya menerapkan tidak hanya untuk sawah padinya, namun kebun terongnya pun tidak ditambahkan pupuk dan obatan lain kecuali pupuk kandang dan pupuk cair buatannya sendiri.
Pak Wagiran bersama istrinya bertani tanpa obat dan pupuk buatan
      Pak Wagiran mengatakan bahwa dulu sawah ini (yang saat ini sedang meraka tanami) adalah lahan yang kering dan tidak bagus untuk ditanami apapun. Dia mencoba menganalisis sendiri apa yang terjadi dengan tanah itu dan ternyata hal itu terjadi karena telah bertahun-tahun dipaksa untuk memproduksi dengan cara ditambahkan obat-obatan terus menerus dengan dosis yang selalu ditambah hingga akhirnya tanah tersebut mengalami kejenuhan. Setelah sekitar 1 tahun diterapkan pertanian organik maka tanah kembali subur dan menunjukkan hasil yang baik bagi mereka. Namun mereka sadar bahwa arti organik itu sukar dipahami. "Ya saya melakukan begini tidak pakai bahan pupuk buatan, tapi kan saya tidak tahu mbak kalau sawah sebelah saya masih pakai obat.", ungkapnya. "Kadang kan juga misalnya waktu penggilingan, kami menggunakan penggilingan keliling yang mana semua petani menggiling sama dia, bisa saja kecampur, nah kadang orang yang beli bisa nanya sampai itu.", tambahnya sembari berfikir.
     Seperti syarat yang tertulis pada Peraturan Kementerian Pertanian No. 64 Tahun 2013 pasal 1 bahwa "Sistem Pertanian Organik adalah sistem manajemen produksi yang holistik untuk meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agroekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah." Namun bagaimana jika petani sudah menerapkan hal tersebut namun dianggap tidak sempurna melakukannya karena terdapat pengertian tambahan dalam pasal tersebut juga bahwa "Organik adalah istilah pelabelan yang menyatakan bahwa suatu produk telah diproduksi sesuai dengan standar produksi organik dan disertifikasi oleh lembaga sertifikasi resmi.". Sedangkan untuk mendapatkan sertifikat organik bukan hal yang mudah bagi petani karena birokrasinya yang menyulitkan dan memerlukan biaya yang mahal. Dampak dari peraturan tersebut adalah produk petani kurang dilirik oleh pasar sehingga tetap saja pendapatan petani kurang memuaskan padahal sudah melakukan usaha yang lebih.
      Bagaimanapun juga pasangan sumi istri Pak Wagiran dan Ibu mengaku senang melakukannya, karena hasilnyapun memuaskan. "Saya suka dengan beras saya ini karena 3 sampai 4 hari saja tidak bau dan tidak busuk, paling cuma kering saja, kalau beras biasa paling 2 hari sudah busuk.", ungkap Bu Wagiran sembari menanam padi di sawah pagi itu. Selain itu mereka juga senang karena harga jualnya lebih tinggi dari beras biasa. Beras organik dihargai Rp15.000 per kilogram, sedangkan beras biasa hanya maksimal Rp11.000. Merka tetap bersyukur walaupun beras organik yang memiliki label sertifikat resmi damat mencapai Rp20.000 per kilogramnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar