Kamis, 12 Februari 2015

Cikuray bersama Redo

Aku tidak pernah menyangka akan seraapuh ini. Awalnyaa aku anggap masalah itu biasa saja, tapi aku lama-kelamaan frasa “aku rapopo” tidak lagi sanggup aku ucapkan. Biasanya untuk memulihkan keadaan, aku akan pulang dan melepaskan segalanya di rumah, dengan kondisi yang tenang, semua serba aman. Perasaanku terjaga di rumah sana.
Kali ini aku juga pulang, namun rumah yang kutuju berbeda dari biasanya. Aku menuju ketinggian 2821 MPDL. Yak, puncak gunung Cikuray, yang letaknya di Garut, Jawa Barat. Tanpa ragu aku mengajak temanku yang lama tidak bertemu, dia bernama Rendi, tapi aku biasa memanggilnya Kompas. Saat ajakanku sampai padanya, diapun langsung menerima tawaranku. Oke, mendaki berdua tidak masalah, karena memang suasanya sunyi yang sedang aku inginkan.
Segala persiapan kami komunikasikan lewat media sosial. Apa saja yang harus dibawa, Kapan akan berangakat, dan bagaimana cara meuju ke sana. Kami memutuskan untuk berangkat pada hari Selasa sore, 11 November 2014. Setelah sepakat,  aku belanja  dengan waktu yang singkat, alhasil barang belanjaan yang harusnya kubawa akhirnya tidak lengkap. Tapi tidak apa-apa, lanjut saja packing. Lihatlah packinganku berdiri sempurna, haha gagah kali si Redo (nama ranselku)

Sebelum berangkat, kami janjian dulu di terminal Kampung Rambutan, jam 7 malam kami bertemu dengan ranselnya masing-masing. Nggaa tau kenapa bawaan kita banyak banget, padahal Cuma berdua. Ya sudah lanjut saja, kami terlebih dahulu membeli memori card untuk kamera yang kubawa. Dan perjuangan dimulai, untuk mendapatkan barang yang kecil itu kami harus berjalan sekitar 1,5 km.
Tak lama kemudian kami naik bus menuju Patrol, tempat awal pendakian gunung Cikuray. Ongkos bis dengan fasilitas AC tersebut adalah Rp.42.000. Lelah seharian tadi untuk kuliah, dan packing membuat perjalanan di bis itu aku terlelap sangat pulas hingga sampai di Patrol. Oh ya, jangan lupa siapkan jaket untuk penghangat di dalam bis. Karena lumayan dingin juga 4 jam terkena AC.

Sampai di Patrol sekitar pulul 00.00 WIB kami mencari tempat untuk istirahat. Mushola menjadi pilihan terakhir kami. Di sana kami bisa nge’cas handphone, dan tidur. Walaupun sebenarnya tempat ibadah sebaiknya jangan digunakan untuk tidur. Baru saja sejam kami tertidur, ada seorang laki-laki berusia sekitar 50 tahun membangunkan dan akhirnya membawa kami untuk istirahat di rumah beliau. Beliau ini bernama mang Nana. “Kalau sudah malam tidak ada lagi ojek ke pemancar dek.”, ujarnya.
Ya sudah, semalaman kami istirahat di rumah mang Nana. pukul 6 pagi kami bangun. Kicauan burung terdengar merdu, dan pemandangan gunung Papandayan yang terlihaat dari jendela rumah mang Nana membuka mata kami di pagi itu. Jadi makin semangat. Suasana ini menemani kami sarapan, dengan masakan istri mang Nana yang rasanya sunda banget.
Selesai sarapan, kami menuju ke pemancar dengan ojek seharga Rp.35.000 selama 40 menit. Jalanan yang berbatu membuat kami bergoyang-goyang di atas sepeda motor. Asik juga pagi-pagi udah goyang. Kami meewati kebun teh milik PTPN. Ibu-ibu yang sedang memetik pucuk teh segar menyapa kami dengan ramah. Sinergitass antara manusia dan alamnya lagi-lagi membuat aku kagum.
Sampai di pemancar waktu itu pukul 8 pagi. Dan ternyat ada sekelompok orang yang akan mendaki juga, mereka berjumalh 6 orang yang bekerja di Carefur Jakarta Timur. Akhirnya kami memmutuskan untuk naik bersama. Selama 15 meni kami berjalan melewati perkebbunan teh, dengan sedikit kelelahan, mungkin karena belum panas. Nah setelah masuk hutan barulah lebih nyaman untuk berjalan. Pohon-pohon menyambut kedatangan kami, dengan angin sepoy-sepoy yang lebut membelai wajah kami. Hanya sekitar 90 menit kami sampai di pos 2. Di sana kami istirahat dulu melemaskan otot-otot kaki agar tidak kejang. Lalu kami berjalan lagi, namun sebelum sampai pos 3, salah satu dari kelompok Carefur sedikit trouble, kakinya sakit dan bengkak, hingga memerah, dia pun melepaskan sepatunya. Mereka berhenti agak lama, dan kami berdua memutuskan untuk berjalan pelan terlebih dahulu.
Tidak terasa sekitar 90 menit kami berjalan, sampai juga di pos 3. Tempatnya lebar, namun banyak sekali sampah di sana. Di sana kami istirahat lumayan lama, sambil menunggu kelompok Carefur barangkali mereka bisa menyusuli kami. Yap, ternyata benar, hampir satu jam kami menunggu, mereka nongol juga.

Hehehe, karena mereka juga ingin istirahat ya sudah kami jalan lagi terus dan terus hingga pos 6. Perjalanan memakan waktu 3 jam, itu pun dengan jalan santai. Karena melihat tracknya yang terjal. Akar-akar membantu perjalanan kami, mereka rela dijadikan pegangan. Mungkin ribuan orang juga melakukan hal sama dengan kami, hingga permukaan akar-akar tersebut terasa halus. Awas hati-hati, licin. Untung saja cuaca hari itu cerah, padahal menurut ornag-orang yang turun dari puncak, semalaman mereka kehujanan.





Di Pos 6, atau disebut puncak bayangan itu, kami bisa istirahat puas dan berfoto ria. Di pos tersebut sebenarnya bisa untuk mendirikan tenda, tapi kami berdua menginginkan lanjut saja dan nge’camp di pos 7. Perjalanan ke pos 7 itulah yang melelahkan. Hingga akhirnya belum sampai pos 7 kami sudah tidak kuat, ditambah lagi cuaca mendung, lalu kami turun lagi mencari tempat yang nyaman untuk nge’camp.
Selesai mendirikan tenda, kami berekspresi melalui masakan. Haha kali ini aku kebagian tugas memasak. Apa daya selesai masak kami berdua saling tertawa karena masakanku yang super duper asin. Di sinilah perhatiannya, bagi yang mau mendaki, latihan masak itu penting. Namun perut lapar mempersilahkan makanan asin itu masuk saja.
Sebelum malam kami ngopi-ngopi sambil menikmati udara yang dingin. Waktu serasa lama banget, dan akhirnya aku sampai tertidur. Kompas tidak bisa tidur sampai pagi. Jadi rencana kami untuk melihat sunrise di puncak gagal.
Jam 6 pagi kami bangun dan ngopi lagi. Tiba-tiba kelompok Carefur datang ke camp, mereka berjalan menuju puncak. Katanya sih mereka nge’camp di pos 6 semalam. Mereka pun menunggu kami untuk muncak bareng, jadi kami harus beres-beres tenda terlebih dahulu.
Tak lama kaami berjalan menuju puncak. Daan kami melewati pos 7 yang ternyata tidak jauh dari tenda kami berdua.


Dengan waktu sekitar 1 jam kami sampai di ketinggian 2821 MDPL. Namun keadaan puncak tidak terlalu cerah, kabut menylimuti lagit yang harusnya biru itu. Walaupun begitu, kami tetap merasa bahagia. Di sanalah mulai muncul jiwa narsis semua orang. Maklum saja, jarang-jarang kan mengabadikan gambar di puncak.



Hampir 2 jam di sana, kami pun turun. Dengan penuh kebahagiaan kami saling berbagi cerita. Kegalauan, kegelisahaan dalam diriku telah terbang dibawa angin. Inilah salah satu caraku, yaitu mendaki gunung, menyatu dengan alam semesta. Saling mengasihi antar makhuk hidup. Dan selalu membuat jejak yang baik disetiap langkah.

twitter : @viedela_ve

Tidak ada komentar:

Posting Komentar