Kamis, 12 Februari 2015

Hadiah Termanis dari Kota Empek-Empek




Gunung Dempo, salah satu wisata pendakian yang terkenal di Palembang selain Serelo dan bukit Jempol. Kali ini dempo menjadi hadiah awal tahun untukku. Keindahan pemandangannya membuat aku tertarik. Apalagi dengan kawah gunung Merapinya yang seringkali berganti warna mulai dari abu-abu, biru, dan hijau.

Kebetulan saat itu ada beberapa nama yang sudah mempersiapkan diri untuk mendaki bersamaku, namun karena beberapa hal yang tidak bisa diganggu gugat akhirya aku melakukan pendakian ditemani dengan Tio, anggota Mapal Sky Prabumulih dan Buduk anggota Mapatri Palembang yang akan menyusul tim Mapatri lain yang sudah berada di kampung IV. Kami berangkat dari sekertariat Mapatri.

Untuk menuju gunung dengan ketinggian 3159 MDPL tersebut, terlebih dahulu kami harus menuju pagaralaam, menggunakan bus dengan tiket seharga Rp60.000 kami sampai di sana dengan waktu maksimal 9 jam. Pukul satu dini hari pada tanggal 18 Januari kami sampai. Rumah pertama yang harus dituju adalah Ayah Anton yang berada di Kampung I. Karena di sanalah pendaki harus mengisi daftar pendakian. Maka sediakanlah fotokopi KTP atau tanda pengenal lainnya seperti SIM dan Kartu Anggota. Biasanya untuk anggota kelompok mahasiswa pencinta alam, perlu menggunakan surat jalan dengan persetujuan ketua umumnya. Serta tidak lupa uang Rp5.000 kepada Ayah Anton.
Sampi di basecamp Ayah Anton, kami mandi, tujuannya adalah membiasakan diri dengan kedinginan, agar badan tidak terlalu kaget. Setelah mandi tentu saja mnghangatkan diri kembali dengan segelas kopi dan bercanda dengan pendaki lain. Tak lama kemudian Ayah Anton menemui kami dan obrolannya semakin seru, karena beliau yang sangat lucu sehingga kami puas tertawa.
Rencana memulai pendakian menuju kampung IV pada pukul 07.00 wib akhirnya gagal, karena kami baru terbangun pada pukul 10.00. Dengan gerakan cepat kami mulai packing dan berpamitan kepada keluarga Ayah Anton untuk berangkat. Namun sebelum berangkat kami terlebih dahulu mengisi perut di kantin. Rata-rata penghuni daerah kampung I ini adalah orang Jawa, sehingga masakan yang kami makan di pagi itu sangat kental dengan rasa jawanya, yaitu manis gurih.

Siang itu juga kami langsung menuju ke kampung IV. Perjalanan kami ditemani bukit-bukit yang penuh daun teh milik PTPN. Memang segar sih semuanya hijau, membuat mata kami terbuka lebar, namun lama kelamaan kami merasa bosan dengan pemandangan yang sama. Kami berjalan sangat santai, banyak istirahat, karena perjaanan ini adalah awal yang kami jadikan pemanasan.

Udara dingin yang awalnya menembus kulit berubah mejadi cucuran keringat di pori-pori kulit kami. Namun akhirnya lelah kami berakhir. 3 jam perjalanan yang kami tempuh cukup untuk membuat kami kepanasan. Pukul 15.00 wib kami sampai di resort, tempat yang biasa digunakan untuk mendirikan tenda. Di sana sudah ada beberapa tenda yang berdiri, yaitu dari Mapatri dan Alfedya.
Semalam kami beristirahat di sana, rencana kami untuk muncak di malam hari urung, karena cuaca yang kurang bagus. Kabut tebal sepanjang jalan dan gerimis akan membahayakan jalan kami nantinya, apalagi hanya kami berdua yang akan muncak pada malam itu. Santai saja karena masih ada hari esok yang menunggu kami. Ternyata saat malam telah larut, pemandangan langit begitu indah, sehingga kami memutuskan untuk keluar dari tenda dan menuju ke lapangan kampung IV untuk menikmati ratusan bintang yang bersinar.

Benar saja, esok harinya terlihat lebih cerah dari hari sebelumnya. Kami langsung saja bersiap dengan carrier yang tinggi. Kami merasa gagah. Dan hari itu juga kami sangat beruntung, karena ada 7 orang pendaki lain yang akan muncak. Mereka memutuskan untuk melewati jalur JBL, yaitu jalur yang dibuat oleh anggota Alfedya. Jalur tersebut relatif bersih daripada jalur umum, sehingga aku dan Tio juga memutuskan untuk mengikuti mereka.

Masih tetap sama, sebelum masuk pintu rimba kami harus melewati hamparan kebun teh yang luas. Di sanalah kami sedikit bosan. Namun hanya 1 jam kami telah masuk pintu rimba. Di sana kami beristirahat dan mengumpulkan tenaga untuk memulai lagi perjalanan. Jalan yang akan dilewati akan lebih terjal dari perjalanan tadi.

Sepanjang perjalanan sampai shelter 1 kami masih merasa aman. Kami masih bisa tertawa bahagia sambil bernyanyi-nyanyi. Perjalanan menuju shelter 1 menempuh waktu hampir 2 jam. Begitulah terus menerus hingga melewati simpang Catim, shelter 2, webbing 1, webbing 2, webbing 3, hutan mati, hutan lumut, puncak bayangan, puncak dempo hingga sampai pelataran. Kami dapat mengambil air di shelter 2, tapi tenang saja, karena d pelataran masih ada sumber air, jaadi tidak perlu membawa terlalu banyak air dari bawah. Selain itu di jalur iini masih banyak ditemukan jamur yang berwarna-warni, kantung semar, dan anggrek.

Jalur selalu menanjak terjal sepanjang perjalanan dari pintu rimba sampai puncak dempo. Jadi para pendaki harus benar-benar mempersiapkan fisik dan mentalnya, jangan sampai berhenti di tengah jalan, karena selain menyusahkan dirinya, juga akan sangat menyusahkan teman-temannya. Apalagi pada musim hujan seperti ini, jalanan yang licin dan berlumpur harus dilewati dengan sangat hati-hati, dan jangan lupa untuk menggunakan raincode untuk melindungi dari rintik air hujan. Setelah sampai puncak dempo kami merasa lega, karena perjalanan menuju pelataran tempat mendirikan tenda sudah tidak ada lagi tanjakan, yang ada datar dan turunan. Hanya sekitar 15 menit dari  puncak dempo ke pelataran. Jadi total perjalanan kami kali ini adalah 10 jam, karena memang jalan kami sangat santai. Sebenarnyaa perjalanan normal bisa ditempuh hanya dengan 7-8 jam saja.
Sesampainya di pelataran tentunya kami langsung mendirikan tenda, karena sudah malam juga, yaitu sekitar pukul 20.00 wib. Udara di sana sangat dingin dan lembab. Setelah tenda berdiri maka langsung kami mengganti baju yang kotor dan basah itu, lalu bersiap memasak, makan dan beristirahat. Malam itu bintang bertaburan di langit kami, semoga besok akan menjadi hari bahagia bagi kami semua dengan melihat kawah berwarna biru yang diidamkan banyak orang.
Pagi telah menjelang, tepat pukul 06.30 wib kami bangun. Semalam kami tidak bisa tidur nyenyak karena udara dingin yang menembus hingga ke sumsum tulang. Pagi ini kami berencana untuk mengunjungi kawah di puncak Merapi yang selalu menjadi tujuan pendakian Gunung Dempo. Sebelum itu, kami terlebih dahulu melakukan peregangan otot agar tidak kram saat perjalanan.

Hanya sebentar saja, kurang dari 1 jam melewati hamparan KPU dan jalur berbatu kami telah sampai di kawah tersebut. Apadaya kawah yang yang kami harapkan berwarna biru ternyata bertahan di warna abu-abunya. Kami sedikit kecewa, namun tanpa berlarut kami mencoba mengabadikan momen tersebut. Tidak masalah abu-abu oleh-oleh kami, daripada tidak sama sekali. Sebelum kabut kembali turun kami memutuskan untuk turun terlebih dahulu ke pelataran.

Sesampainya di pelataran kami mengisi perut yang sudah sangat kosong, beberapa bungkus mie instan dan telur kami rasa cukup. Karena kami tidak mau lagi repot-repot memasak, perut ini sudah tidak tahan untuk menunggu lama. Selesai makan kami kembali packing dan membongkar tenda. Selesai bongkar semuanya, kami numpang dahulu di tenda tetangga, karena kondisinya yang gerimis. Di sanalah ternyata kami menemukan lagi teman untuk turun. Lagi-lagi kami tidak hanya berdua. Senangnya kala itu ternyata teman yang akan turun sempat bertemu dengan kami saat emnginap pertama kali di Ayah Anton, jadi tidak lama kami berbincang langsung akrab.

Setelah gerimis mereda, kami langsung saja bersiap dengan carrier masing-masing. Dan beruntungnya lagi diriku, carrierku dibawakan oleh kiting tanpa aku memintanya. “aku aja yang bawa dek, daripada aku ngga bawa apa-apa”, ucapnya.
Hanya 3 jam kami turun sampai ke kampung 4 melewati jalur umum. Benar saja, jalur tersebut sangat becek dan licin. Karena rata-rata pendaki melewati jalur ini. hampir setiap hari puluhan kaki menginjak tanah berlumpur itu. Jalur tersebut juga banyak dikenal dengan jakur tamia dan jalur tikusnya. Karena dengan lorongnya yang sempit dan lumpurnya yang membuat kaki ini terpeleset berjalan seperti tamia.

Setelah melewati shelter 2, sheltr 1, dinding lemari, dan pintu rimba, akhirnya kami kembali dimanjakan dengan pemandangan hamparan kebunteh yang luas. Betapa kotornya kami sesampainya di kampung 4. Apalagi aku yang beberapa kali terpeleset hingga badanku tertelungkup maupun terlentang. Tapi semua itu membuat kami puas dan bersyukur telah sampai kembali di kaki gunung nan gagah tersebut.

twitter : @viedela_ve

Tidak ada komentar:

Posting Komentar