Jumat, 13 Februari 2015

Memiliki Ibu dan Ayah di Kampung Merabu

Satu lagi yang unik di Kampung Merabu, pertama kalinya dipakaikan gelang oleh sebuah keluarga belum lama kami kenal. Gelang atau kalung yang terbuat dari manik-manik telah diberikan kepada seseorang, artinya dia telah sah diangkat menjadi anaknya. Dayak terkenal dengan manik-maniknya, keberadaan manik-manik sudah sangat lekat dengan kehidupan suku Dayak. Namun dayak Lebo yang ada di Merabu  tidak memproduksi manik-manik sendiri, pembuatan kerajinan manik-manik hanya dilakukan ketika ada keperluan saja, seperti sebagai hadian kepada pendatang yang diangkat menjadi anaknya. Tim ekspedisi yang berjumlah 13 orang semua diangkat menjadi anak oleh 13 keluarga. Prosesi pengangkatan dilakuakan dalam pesta pelepasan sebelum kami pulang.
Banyak jenis manik-manik khas Suku Dayak. Jenisnya digolongkan menurut bentuknya maupun bahan utama pembuatnya yang berasal dari batu, plastik, maupun yang lainnya. Setiap manik-manik juga digolongkan sesuai warnanya, karena setiap warna memiliki makna yang dalam dan sakral bagi setiap pemiliknya. Warna yang mencolok juga menjadi ciri bahwa manik tersebut merupakan manik Dayak, ada merah, kuning, hijau, dan biru. Merah bermakna semangat hidup, biru bermakna sumber kekuatan dari segala penjuru yang tidak mudah luntur, kuning bermakna simbol keagungan dan keramat, hijau bermakna intisari alam semesta, serta putih bermakna lambang kesucian iman seseorang kepada sang Pencipta.
Gelang yang diberikan kepada kami didominasi oleh warna kuning. Namun kami tidak mengetahui pasti apa tujuan mereka memberikan warna cerah tersebut, tapi yang pasti kami selalu mengagungkan dan menjadikan keramat untuk kampung Merabu. Jiwa kami telah tertanam di sana, dan kami tidak rela jika ada tangan-tangan yang mengusik kampung tanpa memperhatikan kesejahteraan orang tua kami. Kami juga tahu bahwa dengan dipakaikan gelang dan kalung oleh mereka, kami akan terjaga, terhindar dari gangguan roh jahat yang menginginkan mara bahaya bagi kami.
Ada kebanggan tersendiri ketika menjadi anak mereka. Kami merasa bahwa kami telah menjadi bagian dari Merabu. Kami bisa leluasa berkomunikasi pribadi dengan mereka, layaknya orang tua sendiri. Ada nama baik yang harus dijaga, bukan sebagai beban, namun justru menjadi kewajiban yang menyenangkan. Pengangkatan tersebut juga menandakan bahwa Merabu telah terbuka untuk kami, kapanpun kami datang sama artinya kami pulang, dan rumah pertama yang akan dituju pastilah orangtua di kampung tersebut.
Di waktu yang tersisa, kami menyempatkan diri untuk sekedar menyambangi rumah orang tua kami. Tujuannya agar lebih bisa terkenang kisahnya, kami bisa memandang wajah mereka dengan jelas, sehingga kami tahu bagaimana tepatnya garis wajah yang terlukis di sana. Lalu waktu tersebutlah yang kami manfaatkan untuk berpamitan. Kebaikan hati warga Merabu memang tidak pernah terukur, baru semalam kami menjadi anak mereka namun mereka sudah sangat menganggap kami seperti anak mereka yang keluar dari rahimhya. Segala perbekalan kami dapatkan, wejangan kehidupan telah kami genggam, satu lagi yang tak kalah mencirikan bahwa kami adalah anak dari kampung Merabu adalah dibekalinya kami dengan beberapa botol madu hutan asli khas Merabu.
Beberapa hal yang kami pelajari dalam keluarga mereka adalah adanya kenyamanan untuk selalu tinggal berssama. Sebagian besar warga tidak pergi dari rumahnya untuk meninggalkan keluarga. Pekerjaan yang dilakukan seluruhnya ada di kampung mereka. Siang hari mereka bekerja, malam tetap bisa berkumpul, bercengkrama dengan anak-anak membuat rasa lelah orangtua akan hilang. Di hari Minggu, mereka bersama-sama berjalan menuju gereja untuk beribadah.

twitter : @viedela_ve

Tidak ada komentar:

Posting Komentar