Jumat, 22 April 2016

Senja di Pulau Dewata

Biarkan aku sedikit mengenang pulau indah penuh pesona di siang bolong. Saat ini aku sedang menikmati secangkir kopi pahit lengkap dengan beberapa batang rokok.
Pura Uluwatu

Oke, berawal dari sebuah obrolan singkat mengenai liburan, aku dengan temanku DIJ. kami adalah muda-mudi yang gila jalan-jalan. Perjalanan kali ini berbeda dari biasanya, karna kali ini kami berdua (sejujurnya aku tak pernah melakukan ini dan lebih suka melakukan solo travelling). Seperti burung yang di masa migrasi, kesana kemari mengepakan sayap dan singgah di suatu sarang dengan pemandangan yang cantik di depannya. Awalnya naik gunung adalah tujuan kami, karena naik gunung merupakan sebagian dari hobi yang tidak bisa kami hilangkan. Bahkan pertemuan pertama kami ya di gunung kala itu. Namun setelah pertimbangan yang panjang dari alternatif yang banyak, kami pun memutuskan untuk berlibur ke Bali, Pulau Dewata dengan kecantikan alam, kekayaan budaya, maupun kota yang hampir serupa dengan Jakarta, macet dan panas.

Jogja-Banyuwangi
Perjalanan dimulai dari Bogor. Kami memilih menggunakan transportasi darat demi menghemat biaya dan memboroskan waktu. Setidaknya kami bisa menikmati perjalanan lebih lama biar berasa capeknya. Sehingga dari commuterline, kereta antar kota, bus, angkot, hingga kapal veri penyebrangan dapat kami rasakan. Aku rasa tak usah jauh bercerita tentang waktu dan harga untuk sampai Bali dan kembali lagi ke Bogor ya.

Kami meluangkan waktu selama 11 hari untuk liburan, terhitung hanya seminggu waktu kita bermain-main setelah dikurangi dengan lamanya perjalanannya. Banyak sekali perdebatan selama mata sama-sama terbuka. Mengenai lokasi tujuan, penginapan, makan, dan rokok yang pasti. Kami benar merasakan bahwa manajemen perjalanan memang sangat penting. Selamat datang di Bali, hmm kali ke berapa ya aku ke sana, namun rasanya tak jauh berbeda, ramai wisatawan lokal maupun asing berkeliaran dan pribumi menjajakan dagangannya. Miris sih sebenarnya. Kute adalah tempat wajib dan mungkin menjadi pilihan terakhir kami di hari pertama ada di Bali, karena penginapan kami di area dekat Kute. Pantai Kute dan Legian menjadi tempat kami menikmati matahari tenggelam di sore pertama di Bali. Paling tidak kami tak terlalu capek untuk pergi jauh, karena perjalanan kami juga baru saja sangat jauh untuk sampai di kota yang dikelilingi laut itu.

Oke menuju hari ke dua. Masih bersemangat dan lagi-lagi kami ke pantai. Berjemur di Pantai Pandawa sejak mentari tepat di atas kepala hingga sore  sembari menikmati beberapa kelapa muda dan beberapa bungkus rokok. Yay ini lokasi berhasil membuat kulitku melegam, gosong, love it much! Eksotisme kulit ini kami bawa ke pantai ke dua di hari itu. Yak setelah puas menikmati dan mengambil beberapa gambar di Pantai Pandawa itu kami lanjutkan ke salah satu pantai dekat sana. *lupa nama pantainya.
Ngemper di Pantai Pandawa
Menuju tenggelamnya mentari di pantai yang lupa namanya




Kami duduk di atas pasir putih menikmati ombak-ombak kecil yang bergulung bergiliran. Obrolan kala itu sungguh tidak jelas, tapi seneng, bawaannya mau ketawa aja. Matahari mulai tenggelam nampak di sebelah kanan kami. Kemilau jingganya menyorot hingga bola mataku. Kami menyipit dan tak tau membayangkan hal apa hingga kami saling berpandang dan makin ngakak. Betapa indah ciptaan-Nya.  Hari itu ditutup dengan makan ayam goreng di warung lamongan pinggiran jalan. Oh ya, dijamin halal. Mas penjualnya orang Jawa Timur looh.

"Mentari datanglah kembali esok hari untukku"


Pantai Legian

Setiap malam kami beradu pendapat menyusun rencana perjalanan besok. Hingga pagi datang belum juga selesai. Akhirnya aku putuskan untuk kami mengunjungi tempat sakral bagi umat Hindu, Pure Uluwatu. Perjalanan panjang dari sebuah penginapan kecil di Poppies Lane tak menjadi masalah. Toh kami puas dengan keindahan yang ditampilkannya. Bangunan tua yang kokoh dengan ratusan anak tangga harus kami tapaki. Selendang berwarna ungu dipersilahkan oleh penjaga untuk dipakai jika memasuki wilayah pure. Tidak harus ungu, tapi kali hanya ada warna janda itu, ah aku tidak suka pakai warna ini sebenarnya. Kami terima saja segala peraturannya demi menghormati umat antaragama. Sendi-sendi kaki mulai mengeras ketika harus melewati tangga-tangga kecil yang naik dan turun terus menerus. Kami berhenti sejenak sembari menikmati sepoi-sepoi angin laut. Panasnya menggodaku untuk menceburkan diri ke bak mandi. Tapi apadaya si dia ga bisa berenang, ah lelaki macam apa kau!


Halaman Pura Uluwatu
Pulang dari Pure Uluwatu, tanpa sengaja kami melewati pantai (lagi). Greenbowl nama pantainya. Wow menarik juga, aku membayangkan laut seperti rumput laut yang telah dimasak dan berwarna hijau ada dalam mangkok yang sangat besar, mmmmm segar. Aku menyoleknya menandakan aku ingin berhenti dan kembali menikmati senja di tempat terbentuknya garis pertemuan antara laut dan pasir daratan. Ku tunjuk dengan tegas menggunakan tanganku ke arah pantai itu yang tepat berada di bawah jembatan. Dari atas terlihat sepi. "Cocok untuk santai", dalam benakku. Motor yang kami sewa lima puluh ribu rupiah per hari itu kami parkirkan. Kami harus menuruni jalan melewati anak tangga. Melewati lorong gelap yang sedikit menyeramkan, takut tiba-tiba ada ular boooo. Banyak monyet yang meminta makanan pada pengunjung di sana. Kami cekikikan saling meledek "eh lo mirip monyet". 
Pelangi di Bibir Pantai
Sampai di bibir pantai, aku langsung mengganti bajuku dengan baju berbahan dasar kain tipis berwarna-warni yang baru saja ku beli di TKP, karena tak ada tujuan ke pantai maka kami tak membawa peralatan ganti. Setelan anak pantai banget. Tak sabar aku mencebur ke airnya. Huok, aku tak sengaja meminum air laut. Asin. Hal itu terjadi karena aku terdorong oleh pantat si bule ketika aku sedang berenang menjauhi bibir pantai. Mukaku lucu kali ya saat itu. Sayang sekali di pantai ini kami tak dapat menikmati matahari tenggelam. Karena tertutup oleh tebing yang menjulang di pinggiran (kiri) pantai. Selesainya kami bermain di air akhirnya kami kembali ke penginapan murah nan nyaman itu. Namun dalam perjalanannya lagi-lagi mataku tertarik dengan sunset di Kute (sebelum sampai di penginapan). Dalam lapisan pakaian yang basah aku duduk dan merenungi penyesalanku pada keterlambatan berjumpa dengan matahari tenggelam untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal saja (walaupun besok ia datang lagi). Beberapa batang rokok membuatku  lebih myelow. Dia tak cukup cepat mengambil keputusan dan berinisiatif untuk kesenanganku. Lelaki yang terlalu penurut dan menunggu perintah demi orang lain (aku), ih amit amiiiit kalo nanti punya cowo kayak dia.

Kami kembali, mandi, dan terkapar. Malam ini menjadi malam yang pas untuk sebotol dua botol beer. Sembari memikirkan perjalanan untuk besok.
Danau Tamblingan
Siang di hari berikutnya kami bimbang menentukan kemana lagi kami akan pergi. Setelah melakukan pencarian dan berselancar di ponsel pintar, akhirnya 'tween lake' adalah pilihannya. Utamanya sih Danau Tamblingan. Perjalanan kali ini lebih berat, jauh, menerjang kabut tebal dan gerimis, dingin, melewati jalanan tanjakan yang beraspal licin. Setelah sampai di danau , justru kami kecewa. Ratusan anak tangga yang kami turuni dan berlumut itu seolah menjadi saksi kekecewaan kami. Sesungguhnya danau itu menarik, tapi sayang tak ada lagi pemeliharaan oleh pihak yang berwenang, tak ada manajemenya. Kami hanya menemui seorang lelaki berusia kisaran 40 tahunan yang sedang memancing di pinggiran danau dari dalam gubug yang dibangunya dari atap ijuk dan kain sebagai didndingnya untuk melindunginya dari hujan dan panas. Kami terpaksa harus kembali lagi sebelum gelap menjadi penghambat jarak pandang kami.

Hari terakhir kami habiskan untuk menghabiskan uang (macam kaya aja), tentu saja sudah menyisihkan sebagian untuk perjalanan pulang. Kami belanja sesukanya dan makan apa saja sebelum kami menyeberang lautan menuju Banyuwangi tempat kami naik kereta yang berakhir di Yoyakarta kota pelajar yang asik untuk nongkrong sembari menunggu pagi.

Liburan kala itu berujung di Yogyakarta, kami memilih untuk menginap di rumah temanku Rita yang biasa ku sebut Mba Itok. Pagi itu aku mengajak serta 2 perempuan temanku di perkumpulan pecinta alam Indonesia dan satu lelaki tampan anggota Lawalata IPB yang juga 'ngapak' seperti aku yang seangkatan denganku dan berpindah kuliah ke Jogja untuk menginap. Pagi hari kami makan nasi merah dengan lauk tempe dan tahu serta pecel khas Jogja. Nikmat Tuhan manakah yang mau kami didustakan? Tak ada. Kami bahagia menikmati perempatan perkampungan di Prambanan, dimana rumah Mba Itok berdiri. Suasana yang tidak terlalu ramai seperti di kota Jogja membuat kami nyaman. Matahari mulai mengintip muncul ke langit dan menyinari kami. Betapa damai tinggal di perkampungan seperti ini.

Siangnya kami mengunjungi Candi Ijo yang tidak terlalu jauh dari Candi Prambanan dan Ratu Boko. Tak mahal, bahkan kami hanya disuruh membayar uang parkir saja. Memang Jogja terkenal dengan murah meriahnya. Candi dengan area yang tidak terlalu luas itu memberi kesan terakhir liburan ini yang mengesankan. Langit cerah memberi senyuman manisnya padaku. Ujung candi seperti menusuk sang awan dan awan seperti digelitiki olehnya sehingga selalu tertawa pada kami. Keceriaan kami bawa hingga sampai ke rumahku di Banjarnegara. Liburan berjuta warna, ah sampai bosan rasanya liburan.
Candi Ijo
Setelah puas, kere karena kehabisan uang, gembel karena belum mandi, dan kusut karena wajah yang terpapar langsung sinar matahari dan debu kami pun pulang. Aku pulang ke kampung halaman bersama DIJ, dan akhirnya dia pulang lebih dulu ke Bogor. Aku menikmati beberapa hari kebersamaan dengan keluarga di rumah yang kusebut menjadi subjek yang selalu ku rindukan.
Menyenangkan. Lalu kemana dan dengan siapa ya liburan besok?
Kali Anget #explorekalibening


Twittter : @viedela_ve
IG : ViedelaAK
WA: 085742283163

Tidak ada komentar:

Posting Komentar