Selasa, 16 Juni 2015

Cahaya Bunda

Dialah yang selalu heran dengan segala perbuatanku. bermain dengan saudara kaleng tua (vespa), bercengkrama dengan kucing buluk, fokus dengan ponsel genggamku, kebiasaan susah mandi, dan sebagainya. Nampaknya dia mulai terbiasa dengan kekonyolan yang kuperbuat. Kekonyolan terbaru adalah mengajaknya untuk mendaki sebuah bukit. Ya, kua ajak dirinya untuk sejenak menikmati keindahan-Nya di sebuah bukit bernama Sikunir. Akhir-akhir ini Sikunir yang terletak di Dieng, Jawa Tengah menjadi trend pembicaraan para pemburu keidahan.

Dia selalu memuji keindahan itu dari beberapa lembar foto yang sering kuperlihatkan padanya. "Daripada hanya melihat di foto saja mending kita lihat langsung.". Tidak kusangka dia menyetujuinya. Oke waktunya bernagkat. Kebetulan ada satu kawanku yang juga ingin pergi ke sana, namanya Cepot. Lucu ya? Ya memang mukanya mirip wayang golek berwajah merah asli Tanah Sunda itu loh, bedanya Cepot yang ini mukanya coklat sawo hampir busuk. Oh ya hampir lupa, aku juga mengajak teman kecilku bernama Dasir orang ngapak yang gaya bicaranya selalu membuat orang tertawa.

Menunggu Cepot di Pertigaan Dieng

Kembali ke topik. Aku, bunda, dan Dasir berangkat dari rumah di siang hari, keadaan saat itu hujan lebat. Apakah ini pertanda buruk? Kami berjanjian dengan Cepot di pertigaan depan terminal Dieng.

Ujikesabaran pertama adalah menunggu selama berjam-jam. sampai ngantuk, lapar, dan sedikit-sedikit muncul prasangka buruk. Beda dengan Bunda yang dengan sabar untuk berprasangka baik. Beda juga dengan Dasir yang selalu bertanya "Dia sampe mana?"



Waktu menjawab pertanyaan kami, Cepot datang dengan muka tak berdosa. Yasudah lanjut saja untuk langsung ke tempat tujuan. Jalanan berkelok dengan lubang jalanan yang tidak beraturan membuat Bunda agak merasa ngeri. Dataran tinggi memang identik dengan kondisi tersebut, ditambah dengan jalanan yang naik turun. Hanya beberapa menit saja kami sampai di lapangan awal pendakian Bukit Sikunir. Pendaki dilarang untuk menginap di puncak, jadi terpaksa kami mendirikan tenda di lapangan itu.

Kali pertama bermalam dengan orang-orang tersayang, bunda dan sahabat-sahabatku. Malam itu rupanya bersahabat juga dengan kami. Sedikit demi sedikit bintang bermunculan menemani obrolan sederhana kami. Tidak lupa bercangkir-cangkir kopi dan teh hangat merasuki tubu kami. Tidak mengnal lagi kesunyian, yang ada hanya tawa yang memecah langit dan membangunkan bulan. Jika Payung Teduh punya lagu Menuju Senja, kami punya kenyataan menuju pagi. Karena mata kami enggan terpejam untuk sedikitpun melewatkan waktu kebersamaan itu (lebay kan sampai tak sedetikpun terpejam). 
 
Sebelum sang fajar datang terlebih dulu kami menjemputnya. Aku menggandeng hangat tangan bundaku untuk mendaki bersama ke Puncak Sikunir. Setengah perjalanan kami menikmati lampu-lampu yang satu per satu mulai dipadamkan. Cahaya mentari pun sedikit-sedikit menyelinap diantara dedaunan. Agak lama ya, karena bundaku sudah lumayan lemas dan harus banyak istirahat di perjalanan. Setelah sabar berjalan akhirnya bundaku sampai loh di puncak itu. Aku sangat bersyukur bunda bisa menikmatinya bukan hanya dalam lembaran fotoku, ya ngga?
Akhirnya tersenyum juga. Fb : Intan Nur Aini
Tau kan lembutnya, hangatnya, indahnya cahaya matahari pagi? Itulah kiasan untuk bundaku. Orang yang kuat, mimpi yang tinggi, tapi tetap lembut, hangat, dan cantik. 


ini bundaku, mana bundamu?
ini sahabatku, mana sahabatmu?
inilah kebahagiaan dari Tuhan.

Seseorang yang selalu bersinar di depan anaknya, selalu memberikan semangat di pagi hari, menyadarkan di siang hari, dan melelapkan di malam hari.
Maafkan aku yang hanya begini-begini saja kerjaannya. Merenung, menghayal, dan memikirkan hal yang tidak penting. Yang pasti aku tidak mau kehilangan CAHAYA BUNDA ku
twitter : @viedela_ve
IG : veviedelaak
phone : 085742283163

Tidak ada komentar:

Posting Komentar