Selasa, 08 September 2015

Tiga Dunia Satu Kenangan

Sudah lama aku berjalan. Jauh sebelum aku mengenal dunia ini. malam ini aku mencoba kembali mengingatnya. Dulu aku adalah seorang anak kecil yang renggis. Mas ku menyebutnya seperti itu. Hobiku adalah main becek di sawah atau naik bukit di kebun kopi milik kakekku. Aku kumel dengan rambut yang selalu diikat satu ke atas tanpa poni. Keningku jenong seperti lapangan golf, mereka menyebutnya.

Aku sempat sangat frustasi dan akhirnya aku memotong rambutku cepak. Walaupun itu keinginan yang telah lama tersirat dalam pikiranku juga sih. Pada masa itu rasanya aku sangat jarang punya teman perempuan sebaya. Aku lebih suka main dengan om-om ku yang usianya 3-5 tahun diatasku. Namun pada saat itu aku sangat tidak memanfaatkan keadaan untuk bermanja-manja di depan mereka. Aku selalu mencoba terlihat strong.

Bukan menyombogkan kenakalanku di masa lalu. Tapi aku hanya sedang megingat saja. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Saudaraku lelaki berusia 5 tahun lebih muda dariku. Sifatnya sangat bertolak belakang denganku. Dia yang lembut dan penyayang anak kecil, berbeda denganku yang menjadi ‘hantu’ di depan balita. Dia yang selalu dimanjakan Ibu, aku bahkan lebih sering menyakiti hati Ibu kami.

touring bersama anak Purwokertoke Cirebon.


Suatu saat aku kenal dengan dunia baru selain hobiku memungut keong di sawah. Ada ‘tunggangan’ baru untukku. Ya, aku seringkali menyempatkan waktu untuk bermain atau hanya sekedar nongkrong dengan anak vespa. Itu dimulai sejak aku SMP. Awalnya kalau ada kesempatan saja, tapi samakin hari rasanya aku semakin cinta dengan kekeluargaannya, canda tawanya, dan mogoknya si vespa. Hampir setiap hari aku duduk melingkar bersama anak-anak penggandrung vespa. Tempatnya fleksibel, kadang di perempatan, kadang di depan warung, terminal, bahkan di teras WC umum.

Memasuki SMA, aku kecintaanku pada dunia itu semakin menjadi. Aku rela absen sekolah demi ‘tour’ dengan si besi tua itu. Aku ga mau ketinggalan cerita setiap perjalanannya. Saat itu aku merasa lebih bebas bermain vespa, karena kebetulan sekolahku jauh dari rumah orangtua, sehingga aku harus tinggal di kos. Hal paling menyenangkan adalah berangkat sekolah naik vespa. Aku harus berangkat lebih pagi, barangkali vespa yang aku tunggangi harus memanja dan minta direparasi.

Dengan mesin kanan dan sedikit kebandelan, aku mengenal kehidupan nyata. Hidup ini keras, bahkan lebih keras dari ‘body’ vespa itu sendiri. Sesekali di saat ‘tour’ itu kami harus kekurangan uang untuk membeli bahan bakar. mau didorong sampai rumah? Mana mungkin. Di situlah kami mencoba bertahan hidup, tanpa siapapun di jalanan, justru hanya debu tebal yang menempel pada seluruh tubuh kami. Aku merasa lebih kumel dari masa renggisku dulu. Jalanan mengajarkan kami begaimana mendapatkan sesuatu yang sangat dibutuhkan, mengajarkan kami pada keramahan, dan kemuliaan memberi pada sesama.
komunitas Bocah Scooter Kalibening (BOSex), Banjarnegara

Bertahun-tahun aku hidup bersama mereka bahkan sampai saat ini, walaupun seringkali aku berganti tempat atau basecamp untuk menambah sekedar kenalan atau ‘tumpangan’ hidup. Memang dari dulu aku tidak terlalu suka dengan keterikatan, aku memilih bebas berada dimana saja. Aku punya seorang teman yang kuanggap guru perjalananku. Dia sudah tua, kira-kira umurnya 12 tahun diatasku. Awalnya dia seorang guru PNS yang mengajar pelajaran Agama Islam, namun dia memutuskan untuk usaha sendiri sesuai dengan bakatnya mengutak-atik vespa. Dia membangun bengkel vespa di samping rumahnya. Lelaki setengah tua itu bernama Pak Wahid, dia berasal dari Kroya, Cilacap.


Lulus SMA aku harus meneruskan keinginanku yaitu kuliah di Perguruan Tinggi Negeri yang lumayan dikenal di Bogor. Sedih seringkali menyelimuti hariku yang tidak bisa membagi waktu antara kuliahku dengan hobi menunggang vespa lagi. Faktornya adalah jadwal kuliahku yang padat, sudah menjadi rahasia umum bahwa ketidakhadiran kuliah bisa masuk penilaian akhir juga. Awalnya hariku terasa tidak bermakna, pagi berangkat ke kampus sampai sore. Akhir pekan ku kunakan untuk istirahat atau mengunjungi saudaraku yang ada di sekitar Jabodetabeka.
mendaki Gunung Dempo, Palembang bersama teman dari Mapala Universitas Tridinanti

Pada suatu waktu aku meningat masa kecilku yang punya kebebasan bercinta dengan alam bebas seperti sawah, air terjun, dan bukit di sekitar rumahku. Aku bertanya pada diriku sendiri. Bagaimana aku bisa melakukannya lagi? Tiba-tiba teman sekamarku memiliki keinginan yang sama untuk menjadi jiwa yang bebas di alam jagad raya ini. Setelah sekian banyak pertimbangan, akhirnya kami memutuskan untuk mengikuti salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa yang bergerak di alam bebas, yaitu Perkumpulan Mahasiswa Pecinta Alam di kampus kami. Segala hal dapat aku lakukan di sini. Mendaki gunung, menelusuri gua, menyusuri sungai, menikmati keindahan pantai, memanjat tebing, dan belajar mengenal manusia dan lingkungan di suku pedalaman.

Di sanalah aku kembali menemukan duniaku tanpa menghalagiku untuk tetap menjadi jiwa yang bebas di jalanan. Aku merasa seperti capung yang bemain air di atas danau, aku juga merasa seperti ban vespa yang menggelinding bebas di aspal. Di dunia baruku, aku menemukan banyak sosok pendengar yang suka didengar pula. Aku tidak bisa hidup sendiri. Ratusan orang dapat kutemui dengan mudah dimanapun aku berada. Namun yang paling penting adalah 16 saudaraku yang konyol yang mengajarkanku menjadi pengejar mimpi. Semangatku ada pada semangat mereka. Kami akan sangat merasa kekurangan jika salah satu diantara kami tak memberi kabar. Semprit, Ubus, Bedur, Waluh, Japun, Komor, Karat, Koprol, Kudet, Kuman, Cekit, Lambreto, Tihang, Belalang, Bakel, Dosol, apakah akan selalu menjadi sweet seventeen?

seru-seruan bersama teman seperjuangan. Februari 2015

Malam ini hanya sekelibat selendang saja, hanya beberapa dunia yang sedang ku kenang. Mengenang sesuatu itu selalu membawa kita terbang semau kita, menyelam semampu kita, dan melihat masa depan semakin bersinar.

Twitter: @viedela_ve
Facebook: Viedela AK
No telp.: 085742283163

Tidak ada komentar:

Posting Komentar