Masih bisu, masih tak dapat
melihat apapun. Aku masih merenung dalam lamunanku. Beberapa waktu lalu aku
menikmati liburan kuliahku yang mencapai 2 bulan. Aku mengunjungi tempat
disela-sela kesibukanku mengasuh anak budheku. Walaupun hanya ‘mengasuh anak’ tapi
membuatku kelelahan. Dari hal tersebut aku memahami bagaimana seorang ibu rela
remuk badan untuk selalu menjaga anaknya. Rela bangun pagi untuk mengucapkan
“selamat pagi malaikat kecil”. Dan pastinya rela mati untuk melihat anaknya
menikmati dunia yang sungguh terang dan luas ini, yang pastinya belum pernah
kurasakan.
Tempat yang pertama kali aku
kunjungi adalah Slamet. Ya, aku merayakan ulang tahunku yang ke-20 tahun di
puncak nan megah itu. Aku rasa bisa dilihat di ceritaku http://veviedelaak.blogspot.co.id/2015/09/kado-dari-puncak-tertinggi-jawa-tengah.html . Dieng
adalah tempat menarik yang kerap dikunjungi wisatawan lokal hingga asing setiap
liburan mapun hari kerja. Sebagian wilayah Dieng masuk ke dalam Kabupaten
Wonosobo dan sebagian lainnya Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah. Liburan ini
aku sempat mengunjungi dataran tinggi nan dingin itu 2 kali. Untuk pertama
kalinya aku mengantar teman seperjuangan di kampung halaman untuk mendaki
Gunung Prau yang sedang menjadi destinasi yang ramai akhir-akhir ini.
Ada beberapa pendapat mengapa
tempat itu menjadi terkenal, salah satunya adalah karena viewnya yang menarik yang terdapat pada kemasan air mineral
ternama di Indonesia. Tak heran memang, karena ketika mendaki gunung tersebut
kita merasa seperti berada di bukit ‘teletubbies’ orang menyebutnya. Apalagi
suasana di puncaknya yang membuat kita merasaka seperti ada di negeri di atas
awan, diselimuti udara dingin yang kadang mencapai minus saat musim kemarau.
Selain itu, untuk mendaki gunung ini aksesnya sangat mudah, hanya membayar
beberapa ribu rupiah untuk retribusi dan jalur yang aman (pendek dan landai)
untuk pemula yang tidak terbiasa naik gunung.
Untuk cerita mendaki Gunung
Prau ini sudah pernah aku ceritakan
walaupun pada waktu dan orang yang berbeda, tapi ceritanya tidak terlalu beda. Satu
hal yang membedakan hanyalah suasananya yang lebih ramai karena kita mendaki di
saat libur lebaran. Oh ya satu lagi, ini adalah kali pertamaku mengajak adikku
mendaki gunung. Semoga saja dia tidak ketagihan.
Kedua kalinya aku ke Dieng
adalah bersama saudara baikku, tepatnya om dan tante kecilku. Kami ke sana
untuk melihat esta lampion yang telah beberapa tahun rutin diadakan di Dieng
sebagai simbol penutupan Dieng Culture Festival. Sesuatu yang penting terjadi
saat itu, saat tanteku muntah di dalam mobil karena memang jalanan menuju Dieng
sangat berliku dan naik turun. Kami sempat merasa bosan saat itu, dan kami
mencoba menghibur diri dengan ngopi diiringi musik disko bervolume kencang dari
dalam mobil kami. hampir semalaman kami nongkrong di Candi Arjuna sembari
menunggu jalanan bisa dilewati, saat itu kemacetan di sana melebihi Jakarta di
kala orang-orang kantor mulai pulang kerja.
Siang hari setelah merayakan
pesta lampion di Dieng aku memutuskan untuk ikut om ku pulang ke Bogor.
Ngomong-ngomong aku kangen juga dengan suasana kota tempatku kuliah, walaupun
kuliah masih lama dimulai. Nyatanya hanya 3 hari aku di Kota Hujan rasanya
sudah bosan. Aku mengumpulkan beberapa lembar uang yang kemudian kugunakan
untuk membeli tiket kereta ke Cilacap. Kebetulan ada teman lama yang mengajakku
untuk ikut tour vespa (lagi) ke
Pangandaran. Tidak mungkin aku tolak, itu adalah salah satu hobikku yang pernah
juga aku ceritakan.