Satu
lagi yang unik di Kampung Merabu, pertama kalinya dipakaikan gelang oleh sebuah
keluarga belum lama kami kenal. Gelang atau kalung yang terbuat dari
manik-manik telah diberikan kepada seseorang, artinya dia telah sah diangkat
menjadi anaknya. Dayak terkenal dengan manik-maniknya, keberadaan manik-manik
sudah sangat lekat dengan kehidupan suku Dayak. Namun dayak Lebo yang ada di
Merabu tidak memproduksi manik-manik
sendiri, pembuatan kerajinan manik-manik hanya dilakukan ketika ada keperluan
saja, seperti sebagai hadian kepada pendatang yang diangkat menjadi anaknya.
Tim ekspedisi yang berjumlah 13 orang semua diangkat menjadi anak oleh 13
keluarga. Prosesi pengangkatan dilakuakan dalam pesta pelepasan sebelum kami
pulang.
Banyak
jenis manik-manik khas Suku Dayak. Jenisnya digolongkan menurut bentuknya
maupun bahan utama pembuatnya yang berasal dari batu, plastik, maupun yang
lainnya. Setiap manik-manik juga digolongkan sesuai warnanya, karena setiap
warna memiliki makna yang dalam dan sakral bagi setiap pemiliknya. Warna yang
mencolok juga menjadi ciri bahwa manik tersebut merupakan manik Dayak, ada
merah, kuning, hijau, dan biru. Merah bermakna semangat hidup, biru bermakna
sumber kekuatan dari segala penjuru yang tidak mudah luntur, kuning bermakna
simbol keagungan dan keramat, hijau bermakna intisari alam semesta, serta putih
bermakna lambang kesucian iman seseorang kepada sang Pencipta.
Gelang
yang diberikan kepada kami didominasi oleh warna kuning. Namun kami tidak
mengetahui pasti apa tujuan mereka memberikan warna cerah tersebut, tapi yang
pasti kami selalu mengagungkan dan menjadikan keramat untuk kampung Merabu. Jiwa
kami telah tertanam di sana, dan kami tidak rela jika ada tangan-tangan yang
mengusik kampung tanpa memperhatikan kesejahteraan orang tua kami. Kami juga tahu
bahwa dengan dipakaikan gelang dan kalung oleh mereka, kami akan terjaga,
terhindar dari gangguan roh jahat yang menginginkan mara bahaya bagi kami.
Ada
kebanggan tersendiri ketika menjadi anak mereka. Kami merasa bahwa kami telah
menjadi bagian dari Merabu. Kami bisa leluasa berkomunikasi pribadi dengan
mereka, layaknya orang tua sendiri. Ada nama baik yang harus dijaga, bukan
sebagai beban, namun justru menjadi kewajiban yang menyenangkan. Pengangkatan
tersebut juga menandakan bahwa Merabu telah terbuka untuk kami, kapanpun kami
datang sama artinya kami pulang, dan rumah pertama yang akan dituju pastilah
orangtua di kampung tersebut.
Di
waktu yang tersisa, kami menyempatkan diri untuk sekedar menyambangi rumah
orang tua kami. Tujuannya agar lebih bisa terkenang kisahnya, kami bisa
memandang wajah mereka dengan jelas, sehingga kami tahu bagaimana tepatnya
garis wajah yang terlukis di sana. Lalu waktu tersebutlah yang kami manfaatkan
untuk berpamitan. Kebaikan hati warga Merabu memang tidak pernah terukur, baru
semalam kami menjadi anak mereka namun mereka sudah sangat menganggap kami
seperti anak mereka yang keluar dari rahimhya. Segala perbekalan kami dapatkan,
wejangan kehidupan telah kami genggam, satu lagi yang tak kalah mencirikan
bahwa kami adalah anak dari kampung Merabu adalah dibekalinya kami dengan
beberapa botol madu hutan asli khas Merabu.
Beberapa
hal yang kami pelajari dalam keluarga mereka adalah adanya kenyamanan untuk
selalu tinggal berssama. Sebagian besar warga tidak pergi dari rumahnya untuk
meninggalkan keluarga. Pekerjaan yang dilakukan seluruhnya ada di kampung
mereka. Siang hari mereka bekerja, malam tetap bisa berkumpul, bercengkrama
dengan anak-anak membuat rasa lelah orangtua akan hilang. Di hari Minggu,
mereka bersama-sama berjalan menuju gereja untuk beribadah.
twitter : @viedela_ve
Tidak ada komentar:
Posting Komentar