Gunung Dempo, salah satu wisata
pendakian yang terkenal di Palembang selain Serelo dan bukit Jempol. Kali ini
dempo menjadi hadiah awal tahun untukku. Keindahan pemandangannya membuat aku
tertarik. Apalagi dengan kawah gunung Merapinya yang seringkali berganti warna
mulai dari abu-abu, biru, dan hijau.
Kebetulan saat itu ada beberapa
nama yang sudah mempersiapkan diri untuk mendaki bersamaku, namun karena
beberapa hal yang tidak bisa diganggu gugat akhirya aku melakukan pendakian
ditemani dengan Tio, anggota Mapal Sky Prabumulih dan Buduk anggota Mapatri
Palembang yang akan menyusul tim Mapatri lain yang sudah berada di kampung IV.
Kami berangkat dari sekertariat Mapatri.
Untuk menuju gunung dengan
ketinggian 3159 MDPL tersebut, terlebih dahulu kami harus menuju pagaralaam,
menggunakan bus dengan tiket seharga Rp60.000 kami sampai di sana dengan waktu
maksimal 9 jam. Pukul satu dini hari pada tanggal 18 Januari kami sampai. Rumah
pertama yang harus dituju adalah Ayah Anton yang berada di Kampung I. Karena di
sanalah pendaki harus mengisi daftar pendakian. Maka sediakanlah fotokopi KTP
atau tanda pengenal lainnya seperti SIM dan Kartu Anggota. Biasanya untuk
anggota kelompok mahasiswa pencinta alam, perlu menggunakan surat jalan dengan
persetujuan ketua umumnya. Serta tidak lupa uang Rp5.000 kepada Ayah Anton.
Sampi di basecamp Ayah Anton,
kami mandi, tujuannya adalah membiasakan diri dengan kedinginan, agar badan
tidak terlalu kaget. Setelah mandi tentu saja mnghangatkan diri kembali dengan
segelas kopi dan bercanda dengan pendaki lain. Tak lama kemudian Ayah Anton
menemui kami dan obrolannya semakin seru, karena beliau yang sangat lucu
sehingga kami puas tertawa.
Rencana memulai pendakian menuju
kampung IV pada pukul 07.00 wib akhirnya gagal, karena kami baru terbangun pada
pukul 10.00. Dengan gerakan cepat kami mulai packing dan berpamitan kepada
keluarga Ayah Anton untuk berangkat. Namun sebelum berangkat kami terlebih
dahulu mengisi perut di kantin. Rata-rata penghuni daerah kampung I ini adalah
orang Jawa, sehingga masakan yang kami makan di pagi itu sangat kental dengan rasa
jawanya, yaitu manis gurih.
Siang itu juga kami langsung
menuju ke kampung IV. Perjalanan kami ditemani bukit-bukit yang penuh daun teh
milik PTPN. Memang segar sih semuanya hijau, membuat mata kami terbuka lebar,
namun lama kelamaan kami merasa bosan dengan pemandangan yang sama. Kami
berjalan sangat santai, banyak istirahat, karena perjaanan ini adalah awal yang
kami jadikan pemanasan.
Udara dingin yang awalnya
menembus kulit berubah mejadi cucuran keringat di pori-pori kulit kami. Namun
akhirnya lelah kami berakhir. 3 jam perjalanan yang kami tempuh cukup untuk
membuat kami kepanasan. Pukul 15.00 wib kami sampai di resort, tempat yang
biasa digunakan untuk mendirikan tenda. Di sana sudah ada beberapa tenda yang
berdiri, yaitu dari Mapatri dan Alfedya.
Semalam kami beristirahat di
sana, rencana kami untuk muncak di malam hari urung, karena cuaca yang kurang
bagus. Kabut tebal sepanjang jalan dan gerimis akan membahayakan jalan kami
nantinya, apalagi hanya kami berdua yang akan muncak pada malam itu. Santai
saja karena masih ada hari esok yang menunggu kami. Ternyata saat malam telah
larut, pemandangan langit begitu indah, sehingga kami memutuskan untuk keluar
dari tenda dan menuju ke lapangan kampung IV untuk menikmati ratusan bintang
yang bersinar.
Benar saja, esok harinya
terlihat lebih cerah dari hari sebelumnya. Kami langsung saja bersiap dengan
carrier yang tinggi. Kami merasa gagah. Dan hari itu juga kami sangat beruntung,
karena ada 7 orang pendaki lain yang akan muncak. Mereka memutuskan untuk
melewati jalur JBL, yaitu jalur yang dibuat oleh anggota Alfedya. Jalur
tersebut relatif bersih daripada jalur umum, sehingga aku dan Tio juga
memutuskan untuk mengikuti mereka.
Masih tetap sama, sebelum masuk
pintu rimba kami harus melewati hamparan kebun teh yang luas. Di sanalah kami
sedikit bosan. Namun hanya 1 jam kami telah masuk pintu rimba. Di sana kami
beristirahat dan mengumpulkan tenaga untuk memulai lagi perjalanan. Jalan yang
akan dilewati akan lebih terjal dari perjalanan tadi.
Sepanjang perjalanan sampai
shelter 1 kami masih merasa aman. Kami masih bisa tertawa bahagia sambil
bernyanyi-nyanyi. Perjalanan menuju shelter 1 menempuh waktu hampir 2 jam. Begitulah
terus menerus hingga melewati simpang Catim, shelter 2, webbing 1, webbing 2,
webbing 3, hutan mati, hutan lumut, puncak bayangan, puncak dempo hingga sampai
pelataran. Kami dapat mengambil air di shelter 2, tapi tenang saja, karena d
pelataran masih ada sumber air, jaadi tidak perlu membawa terlalu banyak air
dari bawah. Selain itu di jalur iini masih banyak ditemukan jamur yang
berwarna-warni, kantung semar, dan anggrek.
Jalur selalu menanjak terjal
sepanjang perjalanan dari pintu rimba sampai puncak dempo. Jadi para pendaki
harus benar-benar mempersiapkan fisik dan mentalnya, jangan sampai berhenti di
tengah jalan, karena selain menyusahkan dirinya, juga akan sangat menyusahkan
teman-temannya. Apalagi pada musim hujan seperti ini, jalanan yang licin dan
berlumpur harus dilewati dengan sangat hati-hati, dan jangan lupa untuk
menggunakan raincode untuk melindungi dari rintik air hujan. Setelah sampai
puncak dempo kami merasa lega, karena perjalanan menuju pelataran tempat
mendirikan tenda sudah tidak ada lagi tanjakan, yang ada datar dan turunan.
Hanya sekitar 15 menit dari puncak dempo
ke pelataran. Jadi total perjalanan kami kali ini adalah 10 jam, karena memang
jalan kami sangat santai. Sebenarnyaa perjalanan normal bisa ditempuh hanya
dengan 7-8 jam saja.
Sesampainya di pelataran
tentunya kami langsung mendirikan tenda, karena sudah malam juga, yaitu
sekitar pukul 20.00 wib. Udara di sana sangat dingin dan lembab. Setelah tenda
berdiri maka langsung kami mengganti baju yang kotor dan basah itu, lalu
bersiap memasak, makan dan beristirahat. Malam itu bintang bertaburan di langit
kami, semoga besok akan menjadi hari bahagia bagi kami semua dengan melihat
kawah berwarna biru yang diidamkan banyak orang.
Pagi telah menjelang, tepat
pukul 06.30 wib kami bangun. Semalam kami tidak bisa tidur nyenyak karena udara
dingin yang menembus hingga ke sumsum tulang. Pagi ini kami berencana untuk
mengunjungi kawah di puncak Merapi yang selalu menjadi tujuan pendakian Gunung
Dempo. Sebelum itu, kami terlebih dahulu melakukan peregangan otot agar tidak
kram saat perjalanan.
Hanya sebentar saja, kurang dari
1 jam melewati hamparan KPU dan jalur berbatu kami telah sampai di kawah
tersebut. Apadaya kawah yang yang kami harapkan berwarna biru ternyata bertahan
di warna abu-abunya. Kami sedikit kecewa, namun tanpa berlarut kami mencoba
mengabadikan momen tersebut. Tidak masalah abu-abu oleh-oleh kami, daripada
tidak sama sekali. Sebelum kabut kembali turun kami memutuskan untuk turun
terlebih dahulu ke pelataran.
Sesampainya di pelataran kami
mengisi perut yang sudah sangat kosong, beberapa bungkus mie instan dan telur
kami rasa cukup. Karena kami tidak mau lagi repot-repot memasak, perut ini
sudah tidak tahan untuk menunggu lama. Selesai makan kami kembali packing dan
membongkar tenda. Selesai bongkar semuanya, kami numpang dahulu di tenda
tetangga, karena kondisinya yang gerimis. Di sanalah ternyata kami menemukan
lagi teman untuk turun. Lagi-lagi kami tidak hanya berdua. Senangnya kala itu
ternyata teman yang akan turun sempat bertemu dengan kami saat emnginap pertama
kali di Ayah Anton, jadi tidak lama kami berbincang langsung akrab.
Setelah gerimis mereda, kami
langsung saja bersiap dengan carrier masing-masing. Dan beruntungnya lagi
diriku, carrierku dibawakan oleh kiting tanpa aku memintanya. “aku aja yang
bawa dek, daripada aku ngga bawa apa-apa”, ucapnya.
Hanya 3 jam kami turun sampai ke
kampung 4 melewati jalur umum. Benar saja, jalur tersebut sangat becek dan
licin. Karena rata-rata pendaki melewati jalur ini. hampir setiap hari puluhan
kaki menginjak tanah berlumpur itu. Jalur tersebut juga banyak dikenal dengan
jakur tamia dan jalur tikusnya. Karena dengan lorongnya yang sempit dan
lumpurnya yang membuat kaki ini terpeleset berjalan seperti tamia.
Setelah melewati shelter 2,
sheltr 1, dinding lemari, dan pintu rimba, akhirnya kami kembali dimanjakan
dengan pemandangan hamparan kebunteh yang luas. Betapa kotornya kami
sesampainya di kampung 4. Apalagi aku yang beberapa kali terpeleset hingga
badanku tertelungkup maupun terlentang. Tapi semua itu membuat kami puas dan
bersyukur telah sampai kembali di kaki gunung nan gagah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar