Petani hari
ini menjadi objek pembicaraan banyak orang. Hal ini berkaitan dengan peringatan
Hari Tani Nasional 2018. Banyak isu mengenai pahlawan perut ini, baik yang pro
maupun kontra. Pak Bagyo, petani dari Prambanan tak ambil pusing. “Biarin mbak
itu apa yang sedang dibicarakan wong’wong gede (para pejabat), yang penting
tidak mengganggu kita, nggak bikin kisruh”, ungkapnya sembari memanen cabai
yang sudah matang, ini adalah panenan ke 8. Dia yang sudah menjadi petani cabai selama kurang lebih 20
tahun tidak pernah mau ambil pusing dengan kebijakan yang terjadi. dia mandiri
dengan segala aktivitas pertaniannya. Sawahnya ada 4 petak di tempat yang
berbeda-beda. Dia menggarap 2 petak, sisanya dia garapkan kepada orang lain. Sepetak
lahannya dia tanami padi, tidak pernah megganti komoditasnya karena lokasinya
yang banyak air. Hasil panen padi tidak pernah ditujukan untuk dijual. Karena hanya
dia konsumsi sendiri. Sesekali dia menjual dalam bentuk lontong atau ketupat
ketika ada pesanan, itupun tidak sering. Menjual lontong baginya lebih
menguntungkan karena 1 kg beras dinilai memiliki harga Rp.30.000, karena dia
punya bahan lainnya sendiri, misalnya daun pisang sebagai pembungkus lontong. Sepetak
yang lain dia tanami cabai, seperti yang sedang dipanen hari ini. Lahan ini dia
olah bergantian 1 kali padi dan 1 kali cabai. Karena menurutnya hasil panen
cabai lebih bagus setelah tanahnya digunakan untuk menanam padi. Jenis cabai
yang biasanya dia tanam adalah padi jawa. Namun tanaman kali ini adalah cabai
yang disebut jenis Burga. Hal ini terjadi karena pada musim sebelumnya dia
gagal membibitkan cabai jawa miliknya, sehingga dia membeli benih dari toko
pertanian setempat. Ketika mulai tumbuh daun dia baru meyadari ternyata cabai
kali ini jenisnya berbeda. Cabai jenis ini lebih rentan, batangnya lemas
sehingga dia harus mengeluarkan tenaga lebih untuk memberikan patok sebagai
penahan batang cabai. “Menyesal ya iya, tapi mau bagaimana lagi wong sudah
terlanjur, daripada saya harus menanam ulang sedangkan bibitnya nggak ada”,
ungkapnya kental logat Jogja.
Perbedaan kedua
jenis cabai itu juga dapat dilihat dari buah cabai yang mendayu ke bawah
mengikuti arah gravitasi untuk cabai Burga, sedangkan cabai jawa buahnya tumbuh
menyumbul ke atas. Buah cabai Burgo lebih besar-besar namun lebih ringan,
berbeda dengan cabai jawa yang kecil namun padat sehingga lebih berat. Selanjutnya
perbedaan juga dirasakan oleh petani dinilai dari harganya, cabai Burga Rp.2.000
lebih murah dibandingkan dengan cabai jawa. Saat ini harga cabai jawa adalah
Rp.13.000.
Sepetak lahan yang memiliki luas sekitar 800 m2 ini terlihat hanya beberapa tanaman yang merupakan cabai jawa yang berhasil hidup dari pembibitannya sendiri dan ditanam di tepian lahan. Dia sendiri membutuhkan waktu 3 jam untuk panen sepetak cabai Burga miliknya, namun berbeda untuk cabai jawa yang membutuhkan seharian dari jam 6 pagi hingga 4 sore. Karena jenis Burga hanya menghasilkan sedikit buah di setiap tanaman dibandingkan dengan cabai jawa.
Sepetak lahan yang memiliki luas sekitar 800 m2 ini terlihat hanya beberapa tanaman yang merupakan cabai jawa yang berhasil hidup dari pembibitannya sendiri dan ditanam di tepian lahan. Dia sendiri membutuhkan waktu 3 jam untuk panen sepetak cabai Burga miliknya, namun berbeda untuk cabai jawa yang membutuhkan seharian dari jam 6 pagi hingga 4 sore. Karena jenis Burga hanya menghasilkan sedikit buah di setiap tanaman dibandingkan dengan cabai jawa.
Cabai Burga |
Pak Bagyo
mengatakan bahwa pada umumnya cabai yang dia tanam dapat berbuah setelah
ditanam sekitar 3 bulan. Setelah itu dia bisa panen setiap 4 hari sekali selama
5 bulan hingga tanaman tidak produktif lagi. Setiap panen cabai Burga dia
mendapatkan sekitar 15 kg, namun cabai jawa dapat menghasilkan kurang lebih 45
kg. Cabai yang dipanen seluruhnya dia jual kepada pengepul yang ada di
Tegalrejo. Karena menurutnya setiap orang punya tugas dan rejeki masing-masing.
Dia tidak pernah mengeluh jika pengepul menjual cabainya jauh lebih tinggi di
pasar. Pemikirannya begitu sederhana melihat lahan yang dia miliki. Baginya menggarap
pertanian adalah kesenangan, bukan sesuatu yang ngoyo (terburu-buru) untuk
kekayaan. Karena dengan bertani sederhana dan bisa mencukupi kehidupan
sehari-hari sudah merupakan anugerah yang harus disyukuri.
Cabai Jawa |
Lelaki
berusia 64 tahun ini memperlakukan tanamannya dengan baik. Dia mengungkapkan
bahwa dia tidak pernah nyemprot (menambahkan obat dengan cara disemprot)
tanamannya. Alasannya adalah karena dia menyayangi cabai dan tanahnya. Dia
percaya jika sudah sekali nyemprot maka tanamannya akan manja dan harus terus
disemprot. Selain itu dia juga berkaca pada pengalaman jika nyemprot adalah
kegiatan yang boros dan melelahkan. Pernah pada satu waktu dia nyemprot, hal
itu membuat badannya sakit selama semingguan. “Saya malah nggak bisa kerja,
ngga bisa ke sawah karena pegel-pegel”, ungkapnya mengingat kejadian itu. Hal
itu membuktikan ungkapannya di awal bahwa dia tidak bergantung pada kebijakan
pemerintah, dia tidak butuh subsidi harga obat-obatan tanaman pertanian dan
bantuan benih. Langkah itu juga dia terapkan di sawah yang ditanami padi. Dia hanya
menambahkan pupuk kandang di awal sebelum ditanami. Pupuk kandangnya dia
dapatkan dari tetangga yang punya ternak sapi atau kambing. Selain irit, dia
juga membantu pemillik ternak membersihkan kandang. Dia menyadari bahwa setiap
pekerjaan memiliki risiko dan tanggung jawab masing-masing. Baginya menjadi
petani tidak mudah, namun dia sangat menikmatinya. Sabar dan tekun adalah hal
penting yang masih dia lakukan saat ini. Dia menekankan yang penting orang
besar jangan mengusik, justru harus membantu, tetutama dalam hal harga jual hasil pertanian, maka sejahteralah petani. Dia juga percaya bahwa menjadi
petani sebaiknya menerapkan Panca usaha tani. Artinya adalah
petani memiliki upaya meningkatkan sebuah produktivitas lahan dengan cara
pemilihan/ pembuatan bibit unggul, pengolahan tanah yang baik, pemupukan yang
tepat, pengendalian hama dan penyakit, kemudian pengairan atau irigasi yang baik.
Ve dan Pak Bagyo |
Sejak beberapa
tahun lalu lahannya (yang kali ini ditanami cabai) yang berada di samping
pondok pesantren sudah ditawar oleh pihak pesantren dengan alasan untuk
memperluas bangunan. Namun Pak Bagyo tidak juga ingin melepaskan tanahnya,
walaupun harga yang ditawarkan sudah cukup tinggi untuk standar Yogyakarta, yaitu
Rp.1.500.000 per m2. Dia sendiri tidak bisa membayangkan hidupnya
tanpa mengolah sawah. Apa jadinya aktivitas hariannya dipangkas, bahkan hilang.
Pastinya kehidupannya tidak lagi berjalan baik, karena satu-satunya sumber
penghidupannya adalah dari sawahnya. Dia juga mengungkapkan jika tidak punya
sawah, hanya punya uang maka akan hangus dalam waktu singkat. Selain itu, badan
juga tidak sehat karena tidak lagi beraktivitas. Dia mencontohkan beberapa temannya yang dulu bekerja di kantoran saat ini sudah mungkruk
(sakit-sakitan) karena tidak pernah beraktivitas. Alasan lain mengapa dia tidak mau menjual lahannya adalah ketika memikirkan
anak-anaknya, dia akan merasa sangat bersalah jika tidak meneruskan warisan
berupa tanah kepada mereka. Karena sawah yang dia miliki saat ini sebagian merupakan
warisan dari orangtua dan mertuanya, yang bisa jadi itu adalah asset turun
temurun dari nenek moyangnya. Dia tidak mau warisan itu putus di dirinya.
Pak Bagyo memanen cabainya |
Mantappp inyong tulisannya.
BalasHapusTengkiu bosku
Hapus