Gula batu terbuat dari seluruhnya gula pasir
yang dimasak lagi dengan tambahan air kemudian didiamkan hingga dingin dan
dipecah. Teksurnya serupa dengan kristal. Kandungan gula batu tidak jauh
berbeda dengan gula pasir, karena dalam pembuatannya hanya ditambakan dengan
air yang juga hanya sedikit dalam membantu pencairan saja.
|
Penambahan air bunga telang ke dalam gula pasir |
Desa Bogem, Kecamatan Kalasan merupakan salah
satu penghasil gula batu yang melimpah. Sekitar tahun 2000 hingga 2008 ada
lebih dari 10 pembuat gula batu di desa tersebut. Namun sekarang hanya tersisa
3 pembuat saja. Hal itu terjadi karena persaingan pasar yang ketat. Beberapa
pembuat memutuskan untuk menurunkan harga secara besar-besaran, kemudian
mengalami bangkut. Ketiga pembuat yang sekarang masih ada memiliki standar
harga yang sama, namun diantara mereka memiliki konsumen masing-masing.
Sehingga tidak ada kekhawatiran diantara mereka.
|
Pemasakan gula batu biru di samping gula batu
pewarna kuning (buatan) |
Salah satu pembuat gula batu di Desa Bogem
adalah Pak Alan. Dia membuat gula batu sejak lulus sekolah pada tahun 2008. Dia
mampu memproduksi gula baju sejumlah 1 kwintal per har. Proses pemasakan untuk
gula tersebut adalah sebanyak 8 wajan. Dia memiliki 2 kompor sehingga setiap
kompor dapat memasak 4 wajan dalam sehari. Sekali pemasakan hanya membutuhkan
waktu 30-45 menit dengan api besar. Setelah itu didinginkan selama kurang lebih
2 jam sebelum kemudian dipecahkan sehingga berbentuk seperti batu kristal.
Setiap hari dia menjual gula batunya di pasar dengan cara menitipkannya ke
beberapa penjual. Dia menjual dengan harga Rp.12.000 per kg.
|
Proses pendinginan gula yang sudah dimasak |
Masyarakat melihat makanan atau bahan makanan
dari bentuk dan warnanya. Hal itu terbukti ketika gula batu berwarna kuning
kecokelatan, mereka mau mengkonsumsi. Namun pada suatu waktu ketika gula batu
dibuat tanpa menggunakan pewarna makanan maka konsumen tidak mau membelinya
karena mengira rasanya tidak enak. Hal ini yang membuat Martani tertantang
untuk mencoba hal baru dengan menambahkan bunga telang ke dalam gula sebagai
pewarna alami untuk membuat gula batu. Martani tidak melakukannya sendiri,
seperti biasanya, menjaring lebih banyak masyarakat terutama yang baru pernah
mengenal bunga telang diajak untuk membuat bersama agar pengetahuan mengenai
bunga telang menyebar semakin luas. Respon beberapa orang ketika melihat proses
pembuatan gula batu biru bunga telang agaknya sedikit sulit dipahami. Komentar
yang tidak mengenakan yang berada pada unggahan Bu Miana, istri dari Pak Alan. Dia
mengatakan “Apa itu? Berbahaya ga ya?” Namun diluar itu, mereka sangat senang
dan terkesan dengan adanya bunga telang sehingga mereka dapat membuat kreasi
warna baru pada gula batu yang mereka buat. Dia berharap nantinya gula batu
yang berwarna biru dapat laku dijual di pasaran. Mereka juga mengetahu bahwa
proses mengenalkan produk baru bukan hal yang mudah.
|
Proses pemecahan gula batu setelah dingin dan keras |
Ketidaktahuan itu yang harus kita benarkan. Bunga
telang hanyalah salah satu komoditas yang harus dikenalkan, masih banyak lagi
produk lain yang berasal dari petani lokal yang mana harus dikenalkan ke publik
agar petani sejahtera dan masyarakat umum mendapatkan manfaat kesehatan yang
lebih baik dengan harga yang terjangkau. Sejauh ini Martani memahami bahwa
tidak semua pengusaha/ produsen memiliki sifat terbuka. Beberapa yang tidak terbuka
tersebut merasa tidak nyaman ketika proses produksinya diketahui oleh orang
lain, terutama jika orang lain mengetahui komposisi yang dia gunakan. Itulah yang
membuat Martani punya cara tersendii memulai sebuah kerjasama. Bukan dengan
hanya melihat, namun menawarkan diri untuk menambahkan bahan tertentu. Misalnya
pembuatan gula batu yang baru saja dibahas. Ketika awal Martani mengetahui
bahwa Pak Alan adalah produsen gula batu dan Rita ingin melihat proses
pembuatannya, namun Pak Alan tidak mencoba menutupi seolah tidak mengizinkan masuk
ke ruang produksi. Namun ketika datang lagi dan menawarkan bunga telang agar
ditambahkan ke gula batunya dan hasilnya akan dibeli maka ruang produksi
terbuka lebar untuk Martani.Proses pembelajaran yang didapatan oleh Martani
bukan hasil dari pengalaman yang singkat. Paling tidak 2 tahun hingga Martani
dapat beradaptasi dengan lingkungan setelah berpindah dari kota ke desa.
|
Gula Batu siap konsumsi |
Bagaimanapun juga konsumsi gula sebaiknya
dikurangi. Karena gula adalah sumber penyakit dalam tubuh manusia. Segala
penyakit akan mudah timbul jika gula dalam darah tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar