Menuju Hari Tani Nasional yang
diperingati pada tanggal 24 September, Indonesia mengalami pelemahan nilai
rupiah. Pada 4 September 2018 malam, nilai tukar rupiah sejumlah Rp.15.029 per
dolar AS. Hal ini kemudian menjadi topik panas dalam obrolan langsung maupun
media sosial. Topik tersebut semakin memanas karena adanya pro kontra yang
kemudian mengaitkn dengan dunia perpolitikan. Sri Mulyani sebagai Menteri
Keuangan sendiri mengungkapkan bahwa ada banyak cara untuk menurunkan kurs
tersebut, salah satunya adalah mengurangi impor terutama komodtas konsumtif
seperti kedelai, jagung, gula, gandum, hingga terigu, selain itu juga kita
harus meningkatkan aktivitas di sektor pariwisata.
Sebagai warga sipil yang baik
seharusnya kita menemukan solusi untuk bersama-sama mengurangi keterpurukan
rupiah ini. Komentar positif dan negatif memang selalu ada, namun sebaikya
tidak terlalu berlebihan. Karena itu hanya akan memperburuk suasana. Biasanya
yang berkomentar justru kalangan menengah ke atas, padahal yang terkena dampak
buruk secara langsung adalah kalangan menengah ke bawah, yaitu menghadapi semua
harga naik padahal pendapatan tetap. Cara termudah adalah mengurangi penggunaan
bahan impor seperti yang dikatakan oleh Menteri Keuangan kita.
Martani mempraktikkan hal yang
sederhana namun aplikatif sehingga dapat ditiru dengan mudah. Caranya adalah
mencoba memanfaatkan produk lokal yang dihasilkan oleh petani setempat
dimanapun Martani berada. Penggunaan produk tersebut tidak hanya untuk sendiri,
namun Martani mencoba mengenalkannya kepada masyarakat yang lebih luas bahwa
setiap tempat memiliki pangan lokal khas yang dapat dikonsumsi untuk
menggantikan produk impor ataupun produk yang berbahan dasar impor. Hal yang
juga dilakukan adalah dengan menanam sendiri, memanfaatkan lahan seadanya
sehingga menghasilkan bahan yang diperlukan, misalnya sayuran dan aneka
keperluan bumbu dapur.
Namun hal itu dirasa tidak
cukup. Karena hidup ini bukan hanya masalah makan, namun banyak keperluan lain
yang harus diselesaikan. Misalnya adalah biaya sekolah dan biaya transportasi.
Kedua hal tersebut yang belum dapat ditanggung oleh negara. Biaya sekolah yang
terus meningkat membuat masyarakat resah, terutama kalangan petani. Pendapatan
petani tidak cukup untuk membayar sekolah sedangkan jika tidak sekolah dianggap
tidak berpendidikan. Sehingga banyak petani mencari jalan keluar dengan menjual
tanahnya. Lantas pekerjaannya sebagai petani bagaimana? Beberapa dari mereka
memilih untuk menyewa tanah dan digarap untuk komoditas pertanian, atau bahkan
ke luar kota untuk menjadi buruh pabrikan atau pembantu rumah tangga.
Kondisinya tak jauh dari hal itu, bahkan tidka dapat menyelesaikan masalah.
Peran negara sebagai paying kehidupan masyarakat ternyata tidak banyak
terlihat. Lagi-lagi petani terabaikan, ketika harga komoditas pertanian tinggi
barulah protes.
Contoh kasus tersebut yang
akhirnya ditangkap Martani, bagaimana dengan lahan yang dimiliki oleh petani
dapat mencukupi kebutuhan makan dan kebutuhan lainnya yang sudah disebutkan
tadi. Caranya adalah membangun jaringan untuk bersama-sama belajar dengan
petani untuk mengolah hasil pertaniannya agar harga jualnya lebih tinggi.
Jaringan tersebut juga yang membantu memasarkan produk hasil petani. Semakin
luas pertemanan maka akan semakin luas juga jangkauan produk pertanian di
masyarakat.
Selain membuat kalangan petani
memiliki pendapatan yang lebih baik, cara ini juga ditujukan agar kasus petani
menjual tanahnya berkurang. Karena beberapa petani mengungkapkan bahwa jika
dirinya tidak memiliki sawah maka tidak tau akan berbuat apa. Hal itu
menunjukkan bahwa petani memang spesialis dalam memproduksi dari lahan yang
mereka miliki. Ketika berpindah profesi maka performancenya tidak terlalu baik.
Semoga hari tani tahun ini
membawa kabar gembira bagi petani maupun bagi masyarakat luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar