Setiap tahun banyak
dari kita melakukan mudik, tepatnya untuk merayakan hari idul fitri bersama keluarga
di kampung halaman. Hal tersebut juga berlaku padaku. Aku lahir dan dibesarkan
di sebuah kampung kecil di Banjarnegara. Jarang orang mengetahui keberadaanya
tapi kampungku patut ku banggakan karena memiliki kekayaan alam yang luar biasa.
Tahun lalu aku pulang kampung, tahun sebelumnya juga aku ikut meramaikan pulang
kampung. Lagi-lagi pulang kampung sudah menjadi hal yang biasa saja bagiku.
Menuju shalat Ied bersama Nabila dan Tante Ayu |
Tahun ini aku
ingin melakukan pulang kampung yang berbeda. Aku memilih untuk merayakan
lebaran bersama keluarga orang lain yang ku kenal karena ikatan himpunan alumni
dari perguruan tinggi tempatku menuntut ilmu. Rumahnya beradad di Kota
Samarinda, Kalimantan Timur. Suhardi namanya, biasa ku panggil dengan Om Kecap,
dia berbeda seperempat abad lebih tua denganku. Dia sudah ku anggap sebagai om
bahkan ayah sendiri. Aku numpang di sana selama beberapa hari sebelum hingga
sesudah lebaran. Istrinya, Tante Ayu juga alumni kampusku jadi semua obrolan kami nyambung
yang seringnya membahas perbedaan kampus dulu dan sekarang. Mereka memiliki 3
anak yang juga menerimaku dengan baik di rumahnya, namanya Ian, Ghaza, dan
Nabila. Aku sering membuat mereka kerepotan entah untuk mengantar dan
menjemputku, juga membukakan pintu rumah ketika aku pulang larut malam.
Rasanya cukup
beberapa hari aku menikmati lebaran di kota. Saatnya lebaran di kampung yang
sesungguhnya. Sudah terpaut lama aku tak pulang ke kampung yang satu itu. Yak Kampung
Merabu, yang berada di Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Tiga
tahun lalu aku pernah ke sana bersama 12 orang lainnya untuk melakukan
Ekspedisi Tanah Borneo. Hampir 3 pekan kami di sana untuk melakukan pendataan
gua, hutan, dan sosial masyarakat Kampung Merabu. Waktu tersebut terasa kurang
bagi kami, tapi bagaimanapun juga kami harus kembali ke kampus untuk melaporkan
apa yang kami dapatkan. Sebelum pulang, masyarakat Kampung Merabu
menyelenggarakan pesta untuk melepas kepergian kami. Beberapa orang sudah ‘sreg’
dengan keberadaan kami sehingga mereka berat melepas kami pulang dan
menginginkan kami kembali ke Kampung Merabu lagi nantinya. Begitu juga dengan
beberapa orang dari tim ekspedisi yang tidak ingin pulang karena kenyamanan
yang diberikan Kampung Merabu, salah satunya adalah aku. Tangisku tak
henti-hentinya hingga terisak menyesakkan dada ketika mobil penjemput sudah dating
ke kampung. Hal tersebut yang menguatkan aku untuk kembali lagi ke sana. Tahun ini
terbukti aku pulang kampung ke Kampung Merabu. Aku sudah menganggap Merabu
adalah kampungku, kampung kita semua.
Selamat datang di Kampung Merabu |
H+3 Idul Fitri 1438
H ku pilih untuk melakukan perjalanan pulang kampung. Aku mempersiapkan diri
dengan baik untuk perjalanan darat yang membutuhkan waktu 13 jam. Aku mencoba
menikmati perjalanan dengan baik karena itulah perjalanan yang sungguh ku
impikan sejak lama. Pagi hari pada 29 Juni 2017 aku sampai di Kampung Merabu. Aku
disambut oleh suasana sepi. Banyak warga yang sedang berkegiatan di luar kampung,
yaitu pekan pemuda di Miau Baru dan RAKERDA di Merasa, serta beberapa yang lain
mendaftarkan anak-anaknya untuk masuk ke sekolah menengah.
Maudy (anak Mba Mar) |
Kakiku secara
sadar melangkah menuju rumah Pak Asrani, beberapa kali ku ketuk pintunya
ternyata rumahnya kosong, “Mereka sedang ke Miau Baru”, ucap Bu Bidan yang
rumahnya tepat di kiri rumah Pak Ra (Asrani). Lalu mau tak mau aku ke rumah Mba
Marjayanti atau akrab kupanggil Mba Mar, karena dia adalah salah satu sosok
yang dulu paling ku kagumi di kampung, perempuan hebat dan berbakat. Bersyukurlah
ketika aku dating ternyata dia ada di rumahnya, sedang memberi susu botol
kepada bayi berusaia 3 bulan. Aku terkaget ketika mengetahui bahwa bayi lucu
itu adalah anak perempuannya hasil dari pernikahan dengan seorang pekerja media
bernama Mas Erwin. Aku disuguhi teh hangat dan bebrapa biskuit, kami saling
menanyakan kabar dan bernostalgia. Bahagianya aku karena masih diterima di
sana. Aku merasa sedang berada di rumah sendiri.
Sungai Lesan sepi tidak ada aktivitas warga |
Rumah Mba Mar
tepat menghadap ke Sungai Lesan. Dulu kami sering sekali mandi bersama di sana
ditemani beberapa ibu-ibu lain yang mencuci baju maupun sekedar cuci muka serta
anak-anak kecil yang berenang dengan riang. Pagi itu berbeda, tak ada satupun
orang melakukan aktivitas di sungai kecuali seorang bapak yang menyiapkan
ketinting (perahu kayu) untuk pergi. Sedangkan suasana di sungai yang ramai adalah
salah satu yang aku rindukan. Tak banyak pikir aku bersiap untuk mandi di
sungai, ternyata Mba Mar mengikutiku. “Sekarang jarang orang mandi dan mencuci
di sungai Ve semenjak air sudah mengalir ke rumah-rumah warga”, ucap Mba Mar
sembari ‘mengucek’ baju-baju kecil milik Maudy, anaknya. Hal tersebut benar
bahwa ada program dari desa yang berhasil mengalirkan air dari Danau Nyadeng ke
seluruh rumah warga. Dampak baiknya adalah mereka mendapatkan air bersih dengan
mudah, namun bagiku kurang oke ketika hal tersebut jutru merubah kebiasaan
warga untuk beraktivitas di sungai yang merupakan kegiatan yang sudah jarang
ditemukan di lain tempat. Aku sangat menyayangkan karena bagiku mandi di sungai
adalah salah satu cara untuk membuat kita menyatu erat dengan alam. Mandi di
sungai membuat kita menjaga sungai agar tetap bersih karena kita tau airnya
kita gunakan untuk keperluan sehari-hari. Bagaimana ya caranya agar warga
mendapat air bersih tapi tak harus merubah kebiasaan mandi di sungai? Itu menjadi
pertanyaan bagi kita semua termasuk aku.
Pulang Kampung
Merabu masih berlanjut di sesi berikutnya
Twitter
: @viedela_ve
IG :
ViedelaAK
Email
: veviedelaak@gmail.com
Phone
: 085692226002
Kamu keren cokk
BalasHapusKomennya begitu terus mabro. Bosan aku hahahaha
HapusKomennya begitu terus mabro. Bosan aku hahahaha
Hapus