Senin, 10 Juli 2017

Bagiku Ramadahan dan Lebaran

Aku sudah tinggal di Bogor sejak kurang lebih 4 tahun lalu. Bogor seru, walaupun tak selamanaya menyenangkan. Setidaaknya di sana aku bias dapet banyak teman baru dengan jenis yang berbeda-beda. Selama 4 tahun itu aku menjaring ilmu di sebuah universitas negeri yang katanya kampus rakyat, ya Institut Pertanian Bogor (IPB). Artinya ini adalah tahun terakhir menjadi mahasiswa di tingkat sarjana. Sudah berbulan-bulan saat itu aku mulai menyusun tugas akhir. Banyak rintangan tentunya, mulai dari dosen yang susah ditemui hingga perusahaan calon objek penelitian yang susah dilobi. Selama 5 bulan gonta ganti proposal dan ku ajukan ke perusahaan ini itu tak kunjung diterima, yang ada mereka menolak dan mendiamkan permohonanku. Sempat mikir buat ganti judul, tapi berujung pada “Ah belum rejekinya, nanti juga dapet”
Selama 10 hari pertama Ramadhan merupakan berkah luar biasa bagiku, karena ada satu hari yang mana ada perusahaan yang menerimaku untuk melakukan penelitian di sana, sebut saja PT. X. Walaupun teman yang lain sudah menyandang gelar sarjana dibelakang namanya dan aku baru akan memulai penelitian, tapi aku yakin ada jalan-Nya yang sudah diatur untuk kebaikanku. Ya itu semua kehendak-Nya, diterimanya aku di sini adalah jalan-Nya yang diturunkan kepada seorang alumni IPB untuk membantuku. Ga usaha banyak mikir dua hari kemudian berusaha untuk mendapatkan tiket pesawat. PT. X berada di Samarinda, Kalimantan Timur. Setelah membeli tiket ternyata salah satu manajer di sana menghubungiku dan meberi kabar bahwa aku di sana bisa tinggal di mes nya agar tidak perlu menyewa tempat tinggal, terlebih aku diberi akses ke kantin agar tidak perlu membeli makan sendiri. Ini namanya 10 hari pertama Ramadhan yang sungguh berkahnya turun kepada para hambaNya.  
Hari-hari selama penelitianku di sana terasa menyenangkan. Banyak teman baru yang profesional dan memberikan kemudahan mendapatkan data menjadi salah satu faktor kesenangkanku. Taman-teman se kantor sangat baik dan ramah, segala sesuatu yang ku tanyakan dijawabnaya dengan detail. Setelah satu pekan terlewati aku mencoba untuk menyegarkan diri pergi beribur ke kota. Maklum karena PT. X berada di kampung, jarak ke kota lumayan jauh dan dapat ditempuh selama kurang lebih 1 jam.
Akhir pekan saat itu mengalahkan akhir akhir pekan selama 5 bulan yang lalu yang rasanya sangat biasa saja. Baru aku tau rasanya bahwa akhir pekan memang ditunggu oleh para pekerja kantoran. Tak mau rugi aku pergi berkeliling kota bersama seorang kawan yang baru ku kenal, namanya Mba Rahma dan Mba Nuy yang hobinya jalan-jalan. Kami mengunjungi sebuah masjid tertua di Samarinda. Di sana selalu digelar buka bersama dengan takjil seadanya. Masjidnya tidak terlalu luas, paling cukup untuk shalat sejumlah kurang lebih 300 orang.
Pemandangan dari Bukit Steling
Anak-anak kecil bersemangat menunggu waktu iftar datang, beberapa ibu-ibu membagikan bubur yang dilengkapi dengan telur rebus serta minuman berupa susu dan air putih. “Semuanya kebagian, sabar ya”, ucap salah satu orang. Ya memang mereka selalu menyediakan takjil tersebut dengan dana dari beberapa pihak.
Masjid Shiratal Mustaqiem

Setelah makan dan shalat, kami berkelilng masjid mencari hal yang unik, yaitu masjid itu sendiri yang dilengkapi dengan menara setinggi kurang lebih 15 meter yang membuat masjid berama Shiratal Mustaqiem itu semakin gagah dan hidup karena lampu-lampu terangnya. Kami tak mau kehilangan momen untuk mengambil gambarnya, bagiku untuk kenang-kenangan, kapan lagi aku bisa ke sana.

Puncak Bukit Steling
Malam minggu kami lewati untuk sekedar bersantai di pinggir sungai tepat di belakang Big Mall. Karena ketika aku diajak ke mall kok tiba-tiba mual. Hehehe. Nongkrong sambil menikmati kerupuk amplang khas Samarinda dan anginnya yang sepoy itu menjadikan badan kembali rileks setelah seminggu mengerjakan laopran tugas akhir. Ngobrol sana sini, pengalamanku dan pengalaman teman-teman baruku itu. Ternyata perjalananku belum seberapa dibanding dengan mereka. Akhirnya malam itu kami akhiri untuk menyambut hari esok yang menyenangkan.

Menuju Kampung Tenun
Hari Minggu datang, akhir dari akhir pekan adalah waktu yang berharga. Pagi itu kami bangun dengan semangat, langsung mandi dan bersiap. Kami pergi ke sebuah bukit bernama Bukit Steling, letaknya tak jauh dari rumah Mba Rahma. Cukup 10 menit menggunakan sepeda motor kemudian mendaki deh. Pagi menuju siang begini mendaki rasanya berat sekali, apalagi dalam keadaan berpuasa. Namun setelah kurng lebih 20 menit mencoba mengayunkan kaki untuk naik akhirnya sampailah kami di puncak bukit itu. Pemandangan dari atas sana rasanya membuat mata melek lagi. Sungai Mahakam yang luas dan rumah penduduk yang padat, serta aktivitas lain yang terlihat dari atas sana mengobati rasa haus selama perjalanan. Kami berfikir seandainya di sana menjadi sebuah tempat wisata yang dikelola dengan baik pastinya akan lebih bagus untuk kita semua terutama penduduk di sekitar yang mendapatkan manfaatnya.

Tak puas hanya mendaki bukit saja. Kami melanjutkan perjalanan untuk menyeberangi Sungai Mahakam menuju ke Kampung Tenun. Hanya cukup mengeluarkan uang sejumlah Rp.5.000 saja kami bisa sampai di sana. Berkeliling di Kampung Tenun biasa dilakukan para wisatawan lokal maupun mancanegara. Sekedar melihat-lihat proses pembuatakn sarung tenun tak menjadi masalah bagi warga sana. Hampir setiap rumah memiliki alat untuk menenun sarung. Setelah selesai bisa dikumpulkan ke pengepul barus selanjutnya dijual ke konsumen. Harga sarung tenun berkisar dengan harga paling murah adalah Rp.300.000 sesuai dengan jumlah kain yang digunakan, kesulitan motif, dan warnanya. Selain sarung tenun, di sana juga menjadi tempat produksi kerajinan manik-manik, seperti kalung, gelang, syal, ikat pinggang, dan lain-lain.
Sarung tenun




Puas berkeliling di sana kami melanjutkan lagi pergi ke puncak menara Islamic Center. Pengunjung dikenakan biaya Rp.15.000 untuk orang dewasa dan Rp.7.500 untuk anak-anak. Harga tersebut tergolong cukup murah untuk melihat pemandangan dari lantai 15.

Proses menenun sarung
Setelah menikmati jalan-jalan, saatnya bertemu dengan kawan-kawan. Aku membuat janji untuk ketemu dengan Kak Miftah (seniorku di organisasi Lawalata IPB) dan Om Suhardi (Alumni Kehutanan IPB). Hanya sekedar canda tawa dan saling menyapa saja sudah cukup untuk mengakhiri puasa hari itu. Malam pun datang, kami (aku, Kak Miftah, dan Mba Rahma) memutuskan pergi nongkrong di sebuah cafe yaitu Lopecafe. Kami nikmati kopi hingga larut malam. Obrolan kami tidak akan ada habisnya jika tidak segera diakhiri. Padahal besok aku harus masuk kantor lagi melanjutkan tugas akhirku.

Islamic Center
Semua itu merupakan berkah Ramadhan yang tak dapat digantikan. Untuk ku Ramadhan itu silaturahmi. Sekarang sudah saatnya 10 hari terakhir sebelum lebaran. Bagiku lebaran itu bertemu orang baru. Aku rela tidak merayakan lebaran di kampung halaman bersama keluarga karena aku pikir nanti aku akan mendapat lebih banyak saudara di sini sembari menyelesaikan tugas akhirku. Sehingga pasca lebaran semoga dengan segera aku mendapat gelar sarjana di belakang namaku agar bias menyusul kawan-kawan yang lain.
Ramadhan dan Lebaran itu bagi kamu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar