Aku sudah tinggal di Bogor sejak kurang
lebih 4 tahun lalu. Bogor seru, walaupun tak selamanaya menyenangkan.
Setidaaknya di sana aku bias dapet banyak teman baru dengan jenis yang
berbeda-beda. Selama 4 tahun itu aku menjaring ilmu di sebuah universitas
negeri yang katanya kampus rakyat, ya Institut Pertanian Bogor (IPB). Artinya
ini adalah tahun terakhir menjadi mahasiswa di tingkat sarjana. Sudah
berbulan-bulan saat itu aku mulai menyusun tugas akhir. Banyak rintangan
tentunya, mulai dari dosen yang susah ditemui hingga perusahaan calon objek
penelitian yang susah dilobi. Selama 5 bulan gonta ganti proposal dan ku ajukan
ke perusahaan ini itu tak kunjung diterima, yang ada mereka menolak dan mendiamkan
permohonanku. Sempat mikir buat ganti judul, tapi berujung pada “Ah belum
rejekinya, nanti juga dapet”
Selama 10 hari pertama Ramadhan merupakan berkah
luar biasa bagiku, karena ada satu hari yang mana ada perusahaan yang
menerimaku untuk melakukan penelitian di sana, sebut saja PT. X. Walaupun teman
yang lain sudah menyandang gelar sarjana dibelakang namanya dan aku baru akan
memulai penelitian, tapi aku yakin ada jalan-Nya yang sudah diatur untuk
kebaikanku. Ya itu semua kehendak-Nya, diterimanya aku di sini adalah jalan-Nya
yang diturunkan kepada seorang alumni IPB untuk membantuku. Ga usaha banyak
mikir dua hari kemudian berusaha untuk mendapatkan tiket pesawat. PT. X
berada di Samarinda, Kalimantan Timur. Setelah membeli tiket ternyata salah
satu manajer di sana menghubungiku dan meberi kabar bahwa aku di sana bisa
tinggal di mes nya agar tidak perlu menyewa tempat tinggal, terlebih aku diberi
akses ke kantin agar tidak perlu membeli makan sendiri. Ini namanya 10 hari
pertama Ramadhan yang sungguh berkahnya turun kepada para hambaNya.
Hari-hari selama penelitianku di sana
terasa menyenangkan. Banyak teman baru yang profesional dan memberikan kemudahan mendapatkan data menjadi salah satu faktor
kesenangkanku. Taman-teman se kantor sangat baik dan ramah, segala sesuatu yang
ku tanyakan dijawabnaya dengan detail. Setelah satu pekan terlewati aku mencoba
untuk menyegarkan diri pergi beribur ke kota. Maklum karena PT. X berada di kampung,
jarak ke kota lumayan jauh dan dapat ditempuh selama kurang lebih 1 jam.
Akhir pekan saat itu mengalahkan akhir
akhir pekan selama 5 bulan yang lalu yang rasanya sangat biasa saja. Baru aku
tau rasanya bahwa akhir pekan memang ditunggu oleh para pekerja kantoran. Tak
mau rugi aku pergi berkeliling kota bersama seorang kawan yang baru ku kenal,
namanya Mba Rahma dan Mba Nuy yang hobinya jalan-jalan. Kami mengunjungi sebuah
masjid tertua di Samarinda. Di sana selalu digelar buka bersama
dengan takjil seadanya. Masjidnya tidak terlalu luas, paling cukup untuk shalat
sejumlah kurang lebih 300 orang.
Pemandangan dari Bukit Steling |
Anak-anak kecil bersemangat menunggu waktu
iftar datang, beberapa ibu-ibu membagikan bubur yang dilengkapi dengan telur
rebus serta minuman berupa susu dan air putih. “Semuanya kebagian, sabar ya”,
ucap salah satu orang. Ya memang mereka selalu menyediakan takjil tersebut dengan dana dari beberapa pihak.
Setelah makan dan shalat, kami berkelilng masjid mencari hal yang unik, yaitu masjid itu sendiri yang dilengkapi dengan menara setinggi kurang lebih 15 meter yang membuat masjid berama Shiratal Mustaqiem itu semakin gagah dan hidup karena lampu-lampu terangnya. Kami tak mau kehilangan momen untuk mengambil gambarnya, bagiku untuk kenang-kenangan, kapan lagi aku bisa ke sana.
Masjid Shiratal Mustaqiem |
Setelah makan dan shalat, kami berkelilng masjid mencari hal yang unik, yaitu masjid itu sendiri yang dilengkapi dengan menara setinggi kurang lebih 15 meter yang membuat masjid berama Shiratal Mustaqiem itu semakin gagah dan hidup karena lampu-lampu terangnya. Kami tak mau kehilangan momen untuk mengambil gambarnya, bagiku untuk kenang-kenangan, kapan lagi aku bisa ke sana.
Puncak Bukit Steling |
Menuju Kampung Tenun |
Tak puas hanya mendaki bukit saja. Kami melanjutkan perjalanan untuk menyeberangi Sungai Mahakam menuju ke Kampung Tenun. Hanya cukup mengeluarkan uang sejumlah Rp.5.000 saja kami bisa sampai di sana. Berkeliling di Kampung Tenun biasa dilakukan para wisatawan lokal maupun mancanegara. Sekedar melihat-lihat proses pembuatakn sarung tenun tak menjadi masalah bagi warga sana. Hampir setiap rumah memiliki alat untuk menenun sarung. Setelah selesai bisa dikumpulkan ke pengepul barus selanjutnya dijual ke konsumen. Harga sarung tenun berkisar dengan harga paling murah adalah Rp.300.000 sesuai dengan jumlah kain yang digunakan, kesulitan motif, dan warnanya. Selain sarung tenun, di sana juga menjadi tempat produksi kerajinan manik-manik, seperti kalung, gelang, syal, ikat pinggang, dan lain-lain.
Sarung tenun |
Puas berkeliling di sana kami melanjutkan lagi pergi ke puncak menara Islamic Center. Pengunjung dikenakan biaya Rp.15.000 untuk orang dewasa dan Rp.7.500 untuk anak-anak. Harga tersebut tergolong cukup murah untuk melihat pemandangan dari lantai 15.
Proses menenun sarung |
Islamic Center |
Ramadhan dan Lebaran itu bagi kamu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar