Aku tidak pernah menyangka akan
seraapuh ini. Awalnyaa aku anggap masalah itu biasa saja, tapi aku
lama-kelamaan frasa “aku rapopo” tidak lagi sanggup aku ucapkan. Biasanya untuk
memulihkan keadaan, aku akan pulang dan melepaskan segalanya di rumah, dengan
kondisi yang tenang, semua serba aman. Perasaanku terjaga di rumah sana.
Kali ini aku juga pulang, namun
rumah yang kutuju berbeda dari biasanya. Aku menuju ketinggian 2821 MPDL. Yak,
puncak gunung Cikuray, yang letaknya di Garut, Jawa Barat. Tanpa ragu aku
mengajak temanku yang lama tidak bertemu, dia bernama Rendi, tapi aku biasa
memanggilnya Kompas. Saat ajakanku sampai padanya, diapun langsung menerima
tawaranku. Oke, mendaki berdua tidak masalah, karena memang suasanya sunyi yang
sedang aku inginkan.
Segala persiapan kami
komunikasikan lewat media sosial. Apa saja yang harus dibawa, Kapan akan
berangakat, dan bagaimana cara meuju ke sana. Kami memutuskan untuk berangkat
pada hari Selasa sore, 11 November 2014. Setelah sepakat, aku belanja dengan waktu yang singkat, alhasil barang
belanjaan yang harusnya kubawa akhirnya tidak lengkap. Tapi tidak apa-apa,
lanjut saja packing. Lihatlah packinganku berdiri sempurna, haha gagah kali si
Redo (nama ranselku)
Sebelum berangkat, kami janjian
dulu di terminal Kampung Rambutan, jam 7 malam kami bertemu dengan ranselnya
masing-masing. Nggaa tau kenapa bawaan kita banyak banget, padahal Cuma berdua.
Ya sudah lanjut saja, kami terlebih dahulu membeli memori card untuk kamera
yang kubawa. Dan perjuangan dimulai, untuk mendapatkan barang yang kecil itu
kami harus berjalan sekitar 1,5 km.
Tak lama kemudian kami naik bus
menuju Patrol, tempat awal pendakian gunung Cikuray. Ongkos bis dengan
fasilitas AC tersebut adalah Rp.42.000. Lelah seharian tadi untuk kuliah, dan
packing membuat perjalanan di bis itu aku terlelap sangat pulas hingga sampai
di Patrol. Oh ya, jangan lupa siapkan jaket untuk penghangat di dalam bis.
Karena lumayan dingin juga 4 jam terkena AC.
Sampai di Patrol sekitar pulul
00.00 WIB kami mencari tempat untuk istirahat. Mushola menjadi pilihan terakhir
kami. Di sana kami bisa nge’cas handphone, dan tidur. Walaupun sebenarnya
tempat ibadah sebaiknya jangan digunakan untuk tidur. Baru saja sejam kami
tertidur, ada seorang laki-laki berusia sekitar 50 tahun membangunkan dan
akhirnya membawa kami untuk istirahat di rumah beliau. Beliau ini bernama mang
Nana. “Kalau sudah malam tidak ada lagi ojek ke pemancar dek.”, ujarnya.
Ya sudah, semalaman kami
istirahat di rumah mang Nana. pukul 6 pagi kami bangun. Kicauan burung
terdengar merdu, dan pemandangan gunung Papandayan yang terlihaat dari jendela
rumah mang Nana membuka mata kami di pagi itu. Jadi makin semangat. Suasana ini
menemani kami sarapan, dengan masakan istri mang Nana yang rasanya sunda
banget.
Selesai sarapan, kami menuju ke
pemancar dengan ojek seharga Rp.35.000 selama 40 menit. Jalanan yang berbatu
membuat kami bergoyang-goyang di atas sepeda motor. Asik juga pagi-pagi udah
goyang. Kami meewati kebun teh milik PTPN. Ibu-ibu yang sedang memetik pucuk
teh segar menyapa kami dengan ramah. Sinergitass antara manusia dan alamnya
lagi-lagi membuat aku kagum.
Sampai di pemancar waktu itu
pukul 8 pagi. Dan ternyat ada sekelompok orang yang akan mendaki juga, mereka
berjumalh 6 orang yang bekerja di Carefur Jakarta Timur. Akhirnya kami
memmutuskan untuk naik bersama. Selama 15 meni kami berjalan melewati
perkebbunan teh, dengan sedikit kelelahan, mungkin karena belum panas. Nah
setelah masuk hutan barulah lebih nyaman untuk berjalan. Pohon-pohon menyambut
kedatangan kami, dengan angin sepoy-sepoy yang lebut membelai wajah kami. Hanya
sekitar 90 menit kami sampai di pos 2. Di sana kami istirahat dulu melemaskan
otot-otot kaki agar tidak kejang. Lalu kami berjalan lagi, namun sebelum sampai
pos 3, salah satu dari kelompok Carefur sedikit trouble, kakinya sakit dan
bengkak, hingga memerah, dia pun melepaskan sepatunya. Mereka berhenti agak
lama, dan kami berdua memutuskan untuk berjalan pelan terlebih dahulu.
Tidak terasa sekitar 90 menit
kami berjalan, sampai juga di pos 3. Tempatnya lebar, namun banyak sekali
sampah di sana. Di sana kami istirahat lumayan lama, sambil menunggu kelompok
Carefur barangkali mereka bisa menyusuli kami. Yap, ternyata benar, hampir satu
jam kami menunggu, mereka nongol juga.
Hehehe, karena mereka juga ingin
istirahat ya sudah kami jalan lagi terus dan terus hingga pos 6. Perjalanan
memakan waktu 3 jam, itu pun dengan jalan santai. Karena melihat tracknya yang
terjal. Akar-akar membantu perjalanan kami, mereka rela dijadikan pegangan.
Mungkin ribuan orang juga melakukan hal sama dengan kami, hingga permukaan
akar-akar tersebut terasa halus. Awas hati-hati, licin. Untung saja cuaca hari
itu cerah, padahal menurut ornag-orang yang turun dari puncak, semalaman mereka
kehujanan.
Di Pos 6, atau disebut puncak
bayangan itu, kami bisa istirahat puas dan berfoto ria. Di pos tersebut
sebenarnya bisa untuk mendirikan tenda, tapi kami berdua menginginkan lanjut
saja dan nge’camp di pos 7. Perjalanan ke pos 7 itulah yang melelahkan. Hingga
akhirnya belum sampai pos 7 kami sudah tidak kuat, ditambah lagi cuaca mendung,
lalu kami turun lagi mencari tempat yang nyaman untuk nge’camp.
Selesai mendirikan tenda, kami
berekspresi melalui masakan. Haha kali ini aku kebagian tugas memasak. Apa daya
selesai masak kami berdua saling tertawa karena masakanku yang super duper
asin. Di sinilah perhatiannya, bagi yang mau mendaki, latihan masak itu
penting. Namun perut lapar mempersilahkan makanan asin itu masuk saja.
Sebelum malam kami ngopi-ngopi
sambil menikmati udara yang dingin. Waktu serasa lama banget, dan akhirnya aku
sampai tertidur. Kompas tidak bisa tidur sampai pagi. Jadi rencana kami untuk
melihat sunrise di puncak gagal.
Jam 6 pagi kami bangun dan ngopi
lagi. Tiba-tiba kelompok Carefur datang ke camp, mereka berjalan menuju puncak.
Katanya sih mereka nge’camp di pos 6 semalam. Mereka pun menunggu kami untuk
muncak bareng, jadi kami harus beres-beres tenda terlebih dahulu.
Tak lama kaami berjalan menuju
puncak. Daan kami melewati pos 7 yang ternyata tidak jauh dari tenda kami
berdua.
Dengan waktu sekitar 1 jam kami
sampai di ketinggian 2821 MDPL. Namun keadaan puncak tidak terlalu cerah, kabut
menylimuti lagit yang harusnya biru itu. Walaupun begitu, kami tetap merasa
bahagia. Di sanalah mulai muncul jiwa narsis semua orang. Maklum saja,
jarang-jarang kan mengabadikan gambar di puncak.
Hampir 2 jam di sana, kami pun
turun. Dengan penuh kebahagiaan kami saling berbagi cerita. Kegalauan,
kegelisahaan dalam diriku telah terbang dibawa angin. Inilah salah satu caraku,
yaitu mendaki gunung, menyatu dengan alam semesta. Saling mengasihi antar
makhuk hidup. Dan selalu membuat jejak yang baik disetiap langkah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar