Sudah lama aku berjalan. Jauh sebelum
aku mengenal dunia ini. malam ini aku mencoba kembali mengingatnya. Dulu aku
adalah seorang anak kecil yang renggis. Mas
ku menyebutnya seperti itu. Hobiku adalah main becek di sawah atau naik bukit
di kebun kopi milik kakekku. Aku kumel dengan rambut yang selalu diikat satu ke
atas tanpa poni. Keningku jenong
seperti lapangan golf, mereka menyebutnya.
Aku sempat sangat frustasi dan
akhirnya aku memotong rambutku cepak. Walaupun itu keinginan yang telah lama
tersirat dalam pikiranku juga sih. Pada masa itu rasanya aku sangat jarang
punya teman perempuan sebaya. Aku lebih suka main dengan om-om ku yang usianya
3-5 tahun diatasku. Namun pada saat itu aku sangat tidak memanfaatkan keadaan
untuk bermanja-manja di depan mereka. Aku selalu mencoba terlihat strong.
Bukan menyombogkan kenakalanku
di masa lalu. Tapi aku hanya sedang megingat saja. Aku anak pertama dari dua
bersaudara. Saudaraku lelaki berusia 5 tahun lebih muda dariku. Sifatnya sangat
bertolak belakang denganku. Dia yang lembut dan penyayang anak kecil, berbeda
denganku yang menjadi ‘hantu’ di depan balita. Dia yang selalu dimanjakan Ibu, aku
bahkan lebih sering menyakiti hati Ibu kami.
touring bersama anak Purwokertoke Cirebon. |
Suatu saat aku kenal dengan
dunia baru selain hobiku memungut keong di sawah. Ada ‘tunggangan’ baru
untukku. Ya, aku seringkali menyempatkan waktu untuk bermain atau hanya sekedar
nongkrong dengan anak vespa. Itu dimulai sejak aku SMP. Awalnya kalau ada
kesempatan saja, tapi samakin hari rasanya aku semakin cinta dengan
kekeluargaannya, canda tawanya, dan mogoknya si vespa. Hampir setiap hari aku
duduk melingkar bersama anak-anak penggandrung vespa. Tempatnya fleksibel,
kadang di perempatan, kadang di depan warung, terminal, bahkan di teras WC
umum.
Memasuki SMA, aku kecintaanku
pada dunia itu semakin menjadi. Aku rela absen sekolah demi ‘tour’ dengan si
besi tua itu. Aku ga mau ketinggalan cerita setiap perjalanannya. Saat itu aku
merasa lebih bebas bermain vespa, karena kebetulan sekolahku jauh dari rumah
orangtua, sehingga aku harus tinggal di kos. Hal paling menyenangkan adalah
berangkat sekolah naik vespa. Aku harus berangkat lebih pagi, barangkali vespa
yang aku tunggangi harus memanja dan minta direparasi.
Dengan mesin kanan dan sedikit
kebandelan, aku mengenal kehidupan nyata. Hidup ini keras, bahkan lebih keras
dari ‘body’ vespa itu sendiri. Sesekali di saat ‘tour’ itu kami harus
kekurangan uang untuk membeli bahan bakar. mau didorong sampai rumah? Mana mungkin.
Di situlah kami mencoba bertahan hidup, tanpa siapapun di jalanan, justru hanya
debu tebal yang menempel pada seluruh tubuh kami. Aku merasa lebih kumel dari
masa renggisku dulu. Jalanan mengajarkan
kami begaimana mendapatkan sesuatu yang sangat dibutuhkan, mengajarkan kami
pada keramahan, dan kemuliaan memberi pada sesama.
komunitas Bocah Scooter Kalibening (BOSex), Banjarnegara |
Bertahun-tahun aku hidup bersama
mereka bahkan sampai saat ini, walaupun seringkali aku berganti tempat atau basecamp untuk menambah sekedar kenalan
atau ‘tumpangan’ hidup. Memang dari dulu aku tidak terlalu suka dengan
keterikatan, aku memilih bebas berada dimana saja. Aku punya seorang teman yang
kuanggap guru perjalananku. Dia sudah tua, kira-kira umurnya 12 tahun diatasku.
Awalnya dia seorang guru PNS yang mengajar pelajaran Agama Islam, namun dia
memutuskan untuk usaha sendiri sesuai dengan bakatnya mengutak-atik vespa. Dia membangun
bengkel vespa di samping rumahnya. Lelaki setengah tua itu bernama Pak Wahid,
dia berasal dari Kroya, Cilacap.
Pada suatu waktu aku meningat
masa kecilku yang punya kebebasan bercinta dengan alam bebas seperti sawah, air
terjun, dan bukit di sekitar rumahku. Aku bertanya pada diriku sendiri. Bagaimana
aku bisa melakukannya lagi? Tiba-tiba teman sekamarku memiliki keinginan yang
sama untuk menjadi jiwa yang bebas di alam jagad raya ini. Setelah sekian
banyak pertimbangan, akhirnya kami memutuskan untuk mengikuti salah satu Unit
Kegiatan Mahasiswa yang bergerak di alam bebas, yaitu Perkumpulan Mahasiswa Pecinta
Alam di kampus kami. Segala hal dapat aku lakukan di sini. Mendaki gunung, menelusuri gua, menyusuri sungai, menikmati keindahan pantai, memanjat tebing, dan belajar mengenal manusia dan lingkungan di suku pedalaman.
Di sanalah aku kembali menemukan
duniaku tanpa menghalagiku untuk tetap menjadi jiwa yang bebas di jalanan. Aku merasa
seperti capung yang bemain air di atas danau, aku juga merasa seperti ban vespa
yang menggelinding bebas di aspal. Di dunia baruku, aku menemukan banyak sosok
pendengar yang suka didengar pula. Aku tidak bisa hidup sendiri. Ratusan orang
dapat kutemui dengan mudah dimanapun aku berada. Namun yang paling penting
adalah 16 saudaraku yang konyol yang mengajarkanku menjadi pengejar mimpi. Semangatku
ada pada semangat mereka. Kami akan sangat merasa kekurangan jika salah satu
diantara kami tak memberi kabar. Semprit, Ubus, Bedur, Waluh, Japun, Komor,
Karat, Koprol, Kudet, Kuman, Cekit, Lambreto, Tihang, Belalang, Bakel, Dosol,
apakah akan selalu menjadi sweet seventeen?
Malam ini hanya sekelibat
selendang saja, hanya beberapa dunia yang sedang ku kenang. Mengenang sesuatu
itu selalu membawa kita terbang semau kita, menyelam semampu kita, dan melihat
masa depan semakin bersinar.
Twitter: @viedela_ve
Facebook: Viedela AK
Email: veviedelaak@gmail.com
No telp.: 085742283163
Tidak ada komentar:
Posting Komentar