Usia bukanlah hal yang paling
berpengaruh terhadap kedewasaan seseorang. Banyak orang tua yang bersikap
seperti anak kecil, mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan dengan matang
hal-hal yang berpengaruh. Banyak juga para mudawan yang sudah bisa berfikir
dewasa dalam menentukan masa depan maupun mengambil kebijakan. Hari itu aku
berfikir tentang usiaku yang semakin bertambah. Adikku pernah bilang “Usia tuh
hanya angka kak, kakak bisa menjadi dewasa sebelum usia kakak semakin mena.”
Aku sempat merancang untuk merayakan ulang tahunku yang ke 1/5 abad ini dengan matang. Aku ingin pergi ke suatu tempat yang menawan, bermain di Segara Anak di Gunung Rinjani. Nyatanya aku harus menerima kenyataan kalau Tuhan memilihkan tempat lain yang tentunya lebih baik. Telah lama aku ingin mendaki gunung nan gagah yang biasa ku lihat sepanjang perjalanan di Kota Tegal, yaitu Gunung Slamet. Pasir yang terlihat keabu-abuan dari kejauhan menggodaku, seakan-akan berbisik “Sini, main bersamaku.”
Aku membuat rencana ulang untuk
mendaki Gunung Slamet, ada beberapa teman yang bersedaia menemani perjalanan
istimewaku kali ini. Mereka adalah Kholik (UPL Unsoed), Tio (Sky Prabumulih),
Galang (Lawalata IPB), dan Lukman (Lawalata IPB). Kami bersepakat untuk bertemu
di Purwokerto, tepatnya di sekretariat UPL Unsoed, sebelum selanjutnya kami
memualai petualangan ini.
Banyak hal yang kita persiapkan
untuk perjalanan 3 hari. Manajemen perjalanan yang sehari-hari kami pelajari
kita terapkan kembali di sini. Aku tidak akann menceritakan tentang hal itu
kali ini. Kita memilih untuk melewati jalur Baturaden, karena ini jalur yang
paling dekat dengan posisi kita saat itu, selain perijinannya yang lebih mudah.
Aku selalu mengambil posisi di
tengah, tidak seperti biasanya aku selalu ingin di depan. Kali itu aku ingin dekat dengan mereka, lebih dekat dengan depan dan belakang. Kalau bisa sih kita berjalan berjajaran, tapi itu hal mustahil yang sempt aku pikirkan.
tengah, tidak seperti biasanya aku selalu ingin di depan. Kali itu aku ingin dekat dengan mereka, lebih dekat dengan depan dan belakang. Kalau bisa sih kita berjalan berjajaran, tapi itu hal mustahil yang sempt aku pikirkan.
Malam pertama kita menginap di
pintu masuk rimba. Tepatnya sih masih di pinggir jalanan aspal. Terbukti dengan
dikagetkannya kita saat ada orang mencari rumput di sekitar tenda kita di pagi
hari. Semalaman kita tidak banyak beraktivitas, hanya memasak, makan, sedikit
bergurau, dan beristirahat. Karena perjalanan esok hari masih panjang. Kita
harus berjalan 10 jam untuk mencapai pertigaan yang bagus untuk camping.
Setelah bersiap, kita berdoa bersama, selanjutnya diawali dengan langkah kaki kanan untuk menggapai puncak yang lama ‘mengajakku bermain’ itu. Jalur yang terjal dipenuhi akar yang seringkali membuat kita tersandung. Inilah yang kita sebut hutan, masih terjaga kehijauan dan keberagaman warnanya. Terlihat jelas perubahan tipe tumbuhannya dari bawah hingga puncak. Mungkin inilah yang menyebabkan musim kemaraupun masih dengan mudah menemukan sungai sebagai tempat kami mengisi ulang persediaan air minum kita.
Hampir di setiap pos kita
berhenti untuk beristirakat maupun hanya sekedar mwngomel sendiri karena
melihat adanya satu dua plastik (sampah) yang menyelip diantara dedaunan
kering. “Buanglah sampah pada tempatnya” rasanya sudah berulang diajarkan seja
TK oleh guru-guru kita. Ya sudahlah berfikir positif saja, mungkin sampah itu
terjatuh tanpa diketahui pemiliknya, atau angin yang membawanya hingga ke
tengah hutan seperti itu.
Sore menjelang matahari tenggelam,
kita masih dalam perjalanan. Untungnya tinggal sekitar 1 jam lagi kami sampai
pada tujuan tempat kami menginap. Kita berhenti sejenak untuk memberi salam
kepada Sang Surya dan menikmati mandi jingga yang berhanduk kesejukan. Tak ada
lagi pohon besar yang kita temui, seringkali hanya semak-semak yang semakin
menyulitkan jalannya langkah kita. Semakin naik rasanya semakin berat. Kontur tanah
yang semakin terjal mengakibatkan dengkul ketemu dada dan dagu. Tangaanku hanya
bisa terpaku di kedua pahaku yang semakin terasa kencang. Di situlah kesabaran
kita diuji. Ingin teriak, menangis, dan turun kembali seakan tidak mungkin aku
lakukan. Dalam hati bicara “Kamu besok 20 tahun loh Ve.” Itulah satu-satunya
kekuatan batik yang ku rasakan.
Aku tak bisa lagi berbuat apapun
selain berteriak sekencang-kencagnya. Akhirnya kita sampai di tempat tujuan
kita untuk bermalam lagi. Ini adalah surga terindah yang pernah aku rasakan
selama ini. aku mencoba mengingat rasa sakit yang ibuku rasakan pada malam ini
20 tahun lalu. Dialah yang terus berusaha menahan kesadaran dan air matanya
sebelum esok paginya aku bisa melihat dunia ini. Malam itu aku memandang ke
arah puncak Gunung Slamet nan gagah, kita berada diantara 2 kota besar
Purwokerto dan Tegal. Lampu-lampu jalanan yang tersusun rapih dan sesekali ada
sorotan lampu ke atas menunjukkan ada kehidupan di bawah sana. Kita menyebutnya
bintang daratan rendah. Ya, karena kita berada di atasnya.
Satu hal yang membuat aku ternganga.
Aku berada di bawah beribu-ribu bintang. Beberapa bintang bergerak dan aku
dengan cepat melontarkan permintaanku kepada Tuhan, seperti yang biasa
dilakukan banyak orang. Wajah ibu dan adikku terlukis diantara bintang, alunan
ayat suci ibuku terngiang di telingaku. Entahlah, mata dan telingaku seakan
sedang mencoba menghadirkan kado untukku esok hari.
Sebenarnya kita memulai pendakian ini 5 orang, tapi ternyata ada pendaki lain yang bertemu 5 pendaki lain yang melewati jalur yang sama, hanya saja mereka lebih dulu dari kita. Kita bukanlah sedang berkompetisi, kita sedang mewujudkan jiwa kami yang bebas dalam perjalanan ini. Satu per satu bercerita tentang hidupnya msaing-masing, bergiliran menjaga api tetap menyala dan menjaga puncak Gunung Slamet tetap pada tempatnya, hehe.
Menjelang pagi kita terbangun,
kado pertamaku di ulangtahunku ke-20 adalah melihat mentari yang malu-malu
mengintip dibalik kemegahan puncak Gunung Slamet. Jingga dan menyala. Kita pun
bersiap untuk ‘muncak’. Bekal yang kita bawa hanyalah makanan ringan dan air
seadanya (kondisi air yang menipis. Beberapa menit pertama kita masih bisa
ketawa-ketiwi dengan medan yang agak menurun. Kita juga masih bisa menemukan
buah beri yang merahnya begitu menggoda.
Rasanya agak asam, tapi ampuh menghilangkan haus. Kebetulan saat itu sedang
musimnya, jadi buah beri dengan mudah kita temui.
Sampailah kita di perbatasan
vegetasi, yak ini dia medan pasirnya. Terlihat gersang dan susah dilewati. Tumpuan
kaki harus lebih kuat, hidung harus lebih beradaptasi dengandebu, dan tangan
bersiap untuk mencari pegangan batu yang mudah lepas. Bagi yang dibelakang
bersiap juga untuk terkena bebatuan yang jatuh dari atas akibat langkah kaki
orang-orang di depan yang menapakkan kaki kurang sempurna.
Sekitar 3 jam kita baru sampai di
puncak. Rasa pegal dan pusing semua hilang. Kita merasakan dingin akibat angin
kencang yanng sesua hari bertiup kesana-kemari. Puncaknya yang menyuguhkan
kawah bagi kita, sesekali asap putih keluar dari kawah terlihat dari atas. Percaya
ngga percaya aku sampai di sana, yang selama ini aku impikan. Daku berada pada
ketinggian 3428 mdpl. Kita harus ekstra hati-hati berada di puncak itu, kondisi
tanah berpasirnya yang rapun bisa saja membawa celaka bagi kita.
Langit melindungi kita. Birunya
cerah terhampar luas. Benar-benar wangi seperti bunga edelweis rasanya kado tahun ini. Terus mengucap terimakasih pada Tuhan, alam, dan
teman-teman. Perjalanan itu belum berakhir, kita harus menuruni pasir dan
tentunya lebih mengerikan karena harus merosot-merosot. Aku sendiri
memanfaatkan ‘bokong’ku demi menyelamatkan wajahku. Itu istimewa dan aku tak
akan melupakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar