Banyak hal yang
dapat dipelajari di Ciptagelar, sebuah Kasepuhan Adat Ciptagelar yang ada di
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kasepuhan yang sangat unik sehingga lambat laun
saya rasa tempat tersebut menjadi daerah wisata yang cocok untuk pembelajaran.
Keunikan tampak sangat jelas saat pertama kali kaki saya melangkah di jalan
bebatuan yang memang sedikit susah ditapaki. Rumah-rumah yang terlihat seragam
dengan gaya rumah panggungnya, serta gubuk-gubuk kecil yang setelah saya
ketahui itu disebut leuit (lumbung padi) dan bentukya agak berbeda pada bagian
atapnya yang lebih runcing di depan. Atapnya yang berbeda, karena tersusun rapi
dari ijuk hitam seragam. Bukan hanya itu yang saya temui, mata saya melihat
jelas setiap lelaki yang lekat dengan ikatan kepalanya, serta perempuan yang
anggun dengan kain yang melekat dari pinggang sampai lututnya seolah-olah
mereka berseragam.
Untuk pertama
kalinya saya mengetahui dan memasuki rumah besar yang ramai dikunjungi orang,
ternyata rumah tersebut dinamakan “Imah Gede” karena tulisan tersebut
terpampang jelas di atas pintu rumah.
Saya dan 13 orang lainya merasa masuk ke dalam istana yang begitu sejuk dan
damai setelah kami membersihkan diri dan menyamakan cara berpakaian dengan
mereka. Dalam ruang tamu yang kira-kira berukuran 3x5 meter kami disuguhi
minuman hangat dan cemilan yang membuat kami semakin nyaman dengan obrolan
kecil dengan senior serta mungkin penerima tamu Imah Gede. Yang membuat kami
saling memandang dan saling tersenyum adalah ketika kami dipersilahkan untuk
mengisi perut, ya kami yang lapar setelah perjalanan dari hutan Pamegpeuk tanpa
makan nasi saat akan berangkat, langsung menuju ruang prasmanan untuk mengambil
makananya. Saat kembali ke ruang tamu, kami dibisiki senior bahwa kami disuruh
meletakan piring di lantai saat makan, sangat berbeda dengan kebiasaan kami
yang saat makan sering menyangga
piring di tangan agar lebih dekat dengan mulut. Hal itu sdikit membuat kami
bingung, namun sementara kami jalani saja dulu perintahnya.
Sembari
menunggu senior yang sedang berkumpul di belakang yang entah sedang membahas
apa, kami sempatkan melihat-lihat hiasan yang tertempel di dinding-dinding
ruang tamu. Di sana banyak sekali foto lelaku dengan dagu panjang dan sedikit
jambang yang rapi di pipinya, serta khas dengan ikat di kepalanya.kami belum
tahu mengapa sampai orang tersebut selalu ada di setiap foto yang tertempel di
dinding ruang tamu. Di sana juga tampak sebuah banner yang rupanya hasil laporan tentang Kasepuhan Adat
Ciptagelar. Dari sanalah kami bisa menemukan sedikit informasi, misal bahwa
Kasepuhan tersebut dipimpin oleh seorang Abah. Selain itu kami temukan juga
informasi mengenai adat-adat kesenian serta struktur oragansasi yang ada di
sana.
Setelah
beberapa saat senior dating, kami pun diberitahu bahwa foto lelaki yang membuat
kami bingung adalah Abah dari Kasepuhan Ciptagelar, beliau bernama Abah Ugi.
Walaupun umurnya masij muda, yaitu sekitar 24 tahun, namun beliau sangat
dipatuhi warganya. Setelah itu kami diberi tugas untuk mencari tahu segala
informasi tentang Kasepuhan tersebut, terutama yang membuat kami penasaran.
Maka dari itu, kami yang berjumlah 14 orang akhirnya dibagi menjadi 7 kelompok
untuk disebar ke 7 rumah rorokan. Yang kami dapatkan dari banner tepatnya pada
struktur organisasi, kedudukan rorokan setara dengan seksi yang kami ketahui
pada organisasi umumnya.
Saya
berpasangan dengan Komor dan kebagian di rumah Ki Ukher, seorang rorokan
keagamaan. Kami langsung menyambangi rumah beliau, dan saat memasuki rumah
tersebut, kami langsung di sambut dengan ramahnya. Sembari berbincang, kami
disuguhi cemilan dan segelas air putih. Perbincangan awal kami adalah mengenai
identitas beliau dan keluarganya. Ternyata Ki Ukher yang berumur 52 tahun
hanyalah penerima titipan mandat rorokan kragamaan dari ayahnya. Kerena untuk
menjadi rorokan haruslah memiliki istri, sedangkan saat itu istri dari ayahnya
telah meninggal. Selain sebagai titipan, Ki Ukher juga mengabdi pada Abah,
yaitu mengurus Keramat, Keramat adalah kuburan Abah terdahulu, sesuai dengan
namanya, Keramat harus benar-benar dijaga.Umi Beti, istrinya yang berumur 60
tahun, setiap harinya mengabdi kepada Abah dengan cara memasak nasi di dapur
Imah Gede. Anak perempuannya yang bernama Indah, dia bertugas menjaga rumah
sembari mengurus adik dan keponakanya saja. Anak lelakinya yaitu Alwi dan satu
cucunya yang bernama Selvi masih belajar di tingkat SD. Terakhir adalah cucunya
yang bernama Hafizah, dia belum sekolah dan kerjaanya hanya bermain saja.
Perbincangan kami mulai meruncing pada suatu pembicaraan yaitu
seputar selamatan, karena mengingat Ki Ukher adalah seorang titipan rorokan
keagamaan. Beliau adalah sosok yang selalu melafalkan/ memimpin doa pada setiap
selamatan yang diadakan. Sebagai informasi bahwa titipan tidak akan bisa
menggantikan rorokan yang sebenarnya tanpa wangsit yang diterima oleh Abah.
Dengan seijin Abah, doa yang turun temurun yang harus dilafalkan tidak dapat
dihafalkan oleh calon titipan walaupun dengan waktu yang lama. Namun dengan
ijinnya maka doa yang digunakan dapat dihafalkan oleh Ki Ukher hanya dalam
waktu satu minggu. Sangat banyak sebenarnya selamatan yang diadakan di
Kasepuhan tersebut disepanjang tahunya. Mulai dari selamatan yang kecil
disetiap rumah, sampai selamatan besar yang diadakan di Imah Gede. Adapun
beberapa informasi selamatan yang kami dapatkan, yaitu :
1. Tutup nyamut, yaitu selamatan yang diadakan setelah selesai segala
urusan penanaman padi. Acara tersebut dilengkapi dengan cemilan dan makan besar
berupa nasi.
2. Pare nyiram/ mapag parebekah, yaitu selamatan yang dilakukan saat
pengairan sawah dengan tujuan agar tanaman tetap subur dan menghasilkan buah
yang baik. Makanan yang disuguhkan tetap berupa cemilan, namun makan besar
diganti dengan bubur ketan putih yang disiram dengan cairan gula merah yang
legit yang disana disebut sebagai kinca.
3. Mipit/ nyiram pari/ bade panen, yaitu selamatan yang dilakukan saat
akan melakukan pemanenan. Suguhannya sama seperti pada selamatan tutup nyamut.
4. Nganyaran, yaitu selamatan yang dilakukan setelah selesai pemanenan.
Namun pada saat itu padi belum dibawa pulang ke rumah. Padinya masih
dikumpulkan di sepanjang lahan di sawah tersebut. Setiap padi diikat per
lima-lima.
Setelah
itu padi dibawa terlebih dahulu ke halaman Imah Gede. Setelah sampai pun padi
tidak langsung dibawa ke rumah pemilik masing-masing. Setiap keluarga
menyumbangkan padinya untuk istilahnya sebagai tabungan yang disimpan di leuit
Gede. Sumbangan yang diberikan tidak menuntut banyak, karena hal tersebut
dihitungnya sebagai zakat, sehingga nilainya seikhlas pihak yang memberikan.
5. Pangdaringan, yaitu selamatan yang acaranya adalah menyimpan
sesajen, namun sesajen tersebut hanya satu jenis saja.
6. Nganyaran, yaitu selamat yang menuju selamatan besarr, sehingga
memerlukan biaya yang lebih besar. Selamatan ini juga memerlukan sesajen yang
jenisnya sampai belasan.
7. Selamat yang paling besar dan menjadi sorotan semua warga Kasepuhan
itu sendiri maupun masyarakat lain yang ingin menyaksikan keunikanya. Dalam selamatan
ini dipertunujan berbagai kesenian tradisional, utamanya adalah kesenian
angklung yang sangat khas adat disana. Selamatan ini disebut seren taun,
acaranya mirip seperti pesta panen.
Masih banyak lagi selamat lain yang diselenggarakan
di Kasepuhan Ciptageler tersebut. Sama, yaitu ada selamatan yang diadakan
disetiap rumah maupun selamatan di Imah Gede. Misalnya selamatan hajat sunatan
(dengan syarat dilaksanakan sebelum seren taun), selamatan hajat perikahan,
serta selamatan karena meninggalnya salah satu anggota keluarga. Ada sedikit
yang berbeda dengan selamatan kematian, karena setiap orang meninggal akan
didoakan sebanyak dua kali, yang pertama adalah dari keagamaan Islam, doanya
berupa bahasa arab, karena sebagian besar dari warga Kasepuhan Ciptagelar
menganut agama Islam. Kemudian kedua adalah doa yang dipimpin oleh Ki Ukher
sebagai rorokan keagamaan, dengan khas doanya yang turun-temurun serta
menggunakan bahasa sunda.
Setelah selesai menerima
informasi yang kami butuhkan disana, kami bersiap untuk kembali ke Imah Gede
untuk berkumpul dengan teman yang lain. Dengan mengucap banyak terimakasih
kepada keluarga beliau atas segala yang mereka berikan kepada kami, seraya
memohon maaf karena kami rasa kami telah banyak merepotkan mereka.
Segala sesuatu yang
telah kami dapatkan di Kasepuhan Ciptagelar sangatlah banyak, dan mungkin masih
banyak yang belum termuat oleh tulisan saya. Pesan saya adalah contohlah
keteraturan, kekeluargaan, kepatuhan pada peraturan, kejujuran, kesederhanaan,
komitmen, saling menghargai, dan lain sebagainya yang baik-baik. Jangan ganggu
adat mereka, namun harus kita lestarikan karena merupakan kekayaan adat yang
masih kita miliki disamping globalisasi yang sekarang sedang merambah luas ke
seluruh negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar