Pagi ini cuaca bersahabat dengan tim salam kaoem nelayan dan nelayan itu sendiri di Kampung Pamayang Sari, Desa Cikaung Ading, Tasikmalaya. Panasnya tidak terlalu terik namun menghangatkan, angin sepoy menghembus hingga ke pelabuhan. Di pinggir pelabuhan Pamayang Sari, Pak Nahtim (52) sedang beristirahat selepas melaut. Dia berangkat tadi jam 4 pagi dan baru sampai pelabuhan lagi jam 9 pagi. Dia mengeneki perahu milik orang lain. Ketika dapat ikan hasilnya dijual dan dia dapat 20% bersih setelah dikurangi untuk beli bensin. Sebesar 70% menjadi jatah pemilik perahu dan 10% bagi pengangkut hasil ke TPI. Mereka punya hari libur melaut, yaitu hari Jumat. Karena mereka percaya ketika ada yang melaut hari Jumat pasti akan celaka. "Sering ada yang mati di laut hari Jumat dulu sebelum kami sadari."
Senin, 04 September 2017
Senin, 10 Juli 2017
Bagiku Ramadahan dan Lebaran
Aku sudah tinggal di Bogor sejak kurang
lebih 4 tahun lalu. Bogor seru, walaupun tak selamanaya menyenangkan.
Setidaaknya di sana aku bias dapet banyak teman baru dengan jenis yang
berbeda-beda. Selama 4 tahun itu aku menjaring ilmu di sebuah universitas
negeri yang katanya kampus rakyat, ya Institut Pertanian Bogor (IPB). Artinya
ini adalah tahun terakhir menjadi mahasiswa di tingkat sarjana. Sudah
berbulan-bulan saat itu aku mulai menyusun tugas akhir. Banyak rintangan
tentunya, mulai dari dosen yang susah ditemui hingga perusahaan calon objek
penelitian yang susah dilobi. Selama 5 bulan gonta ganti proposal dan ku ajukan
ke perusahaan ini itu tak kunjung diterima, yang ada mereka menolak dan mendiamkan
permohonanku. Sempat mikir buat ganti judul, tapi berujung pada “Ah belum
rejekinya, nanti juga dapet”
Selama 10 hari pertama Ramadhan merupakan berkah
luar biasa bagiku, karena ada satu hari yang mana ada perusahaan yang
menerimaku untuk melakukan penelitian di sana, sebut saja PT. X. Walaupun teman
yang lain sudah menyandang gelar sarjana dibelakang namanya dan aku baru akan
memulai penelitian, tapi aku yakin ada jalan-Nya yang sudah diatur untuk
kebaikanku. Ya itu semua kehendak-Nya, diterimanya aku di sini adalah jalan-Nya
yang diturunkan kepada seorang alumni IPB untuk membantuku. Ga usaha banyak
mikir dua hari kemudian berusaha untuk mendapatkan tiket pesawat. PT. X
berada di Samarinda, Kalimantan Timur. Setelah membeli tiket ternyata salah
satu manajer di sana menghubungiku dan meberi kabar bahwa aku di sana bisa
tinggal di mes nya agar tidak perlu menyewa tempat tinggal, terlebih aku diberi
akses ke kantin agar tidak perlu membeli makan sendiri. Ini namanya 10 hari
pertama Ramadhan yang sungguh berkahnya turun kepada para hambaNya.
Hari-hari selama penelitianku di sana
terasa menyenangkan. Banyak teman baru yang profesional dan memberikan kemudahan mendapatkan data menjadi salah satu faktor
kesenangkanku. Taman-teman se kantor sangat baik dan ramah, segala sesuatu yang
ku tanyakan dijawabnaya dengan detail. Setelah satu pekan terlewati aku mencoba
untuk menyegarkan diri pergi beribur ke kota. Maklum karena PT. X berada di kampung,
jarak ke kota lumayan jauh dan dapat ditempuh selama kurang lebih 1 jam.
Akhir pekan saat itu mengalahkan akhir
akhir pekan selama 5 bulan yang lalu yang rasanya sangat biasa saja. Baru aku
tau rasanya bahwa akhir pekan memang ditunggu oleh para pekerja kantoran. Tak
mau rugi aku pergi berkeliling kota bersama seorang kawan yang baru ku kenal,
namanya Mba Rahma dan Mba Nuy yang hobinya jalan-jalan. Kami mengunjungi sebuah
masjid tertua di Samarinda. Di sana selalu digelar buka bersama
dengan takjil seadanya. Masjidnya tidak terlalu luas, paling cukup untuk shalat
sejumlah kurang lebih 300 orang.
Pemandangan dari Bukit Steling |
Anak-anak kecil bersemangat menunggu waktu
iftar datang, beberapa ibu-ibu membagikan bubur yang dilengkapi dengan telur
rebus serta minuman berupa susu dan air putih. “Semuanya kebagian, sabar ya”,
ucap salah satu orang. Ya memang mereka selalu menyediakan takjil tersebut dengan dana dari beberapa pihak.
Setelah makan dan shalat, kami berkelilng masjid mencari hal yang unik, yaitu masjid itu sendiri yang dilengkapi dengan menara setinggi kurang lebih 15 meter yang membuat masjid berama Shiratal Mustaqiem itu semakin gagah dan hidup karena lampu-lampu terangnya. Kami tak mau kehilangan momen untuk mengambil gambarnya, bagiku untuk kenang-kenangan, kapan lagi aku bisa ke sana.
Masjid Shiratal Mustaqiem |
Setelah makan dan shalat, kami berkelilng masjid mencari hal yang unik, yaitu masjid itu sendiri yang dilengkapi dengan menara setinggi kurang lebih 15 meter yang membuat masjid berama Shiratal Mustaqiem itu semakin gagah dan hidup karena lampu-lampu terangnya. Kami tak mau kehilangan momen untuk mengambil gambarnya, bagiku untuk kenang-kenangan, kapan lagi aku bisa ke sana.
Puncak Bukit Steling |
Menuju Kampung Tenun |
Tak puas hanya mendaki bukit saja. Kami melanjutkan perjalanan untuk menyeberangi Sungai Mahakam menuju ke Kampung Tenun. Hanya cukup mengeluarkan uang sejumlah Rp.5.000 saja kami bisa sampai di sana. Berkeliling di Kampung Tenun biasa dilakukan para wisatawan lokal maupun mancanegara. Sekedar melihat-lihat proses pembuatakn sarung tenun tak menjadi masalah bagi warga sana. Hampir setiap rumah memiliki alat untuk menenun sarung. Setelah selesai bisa dikumpulkan ke pengepul barus selanjutnya dijual ke konsumen. Harga sarung tenun berkisar dengan harga paling murah adalah Rp.300.000 sesuai dengan jumlah kain yang digunakan, kesulitan motif, dan warnanya. Selain sarung tenun, di sana juga menjadi tempat produksi kerajinan manik-manik, seperti kalung, gelang, syal, ikat pinggang, dan lain-lain.
Sarung tenun |
Puas berkeliling di sana kami melanjutkan lagi pergi ke puncak menara Islamic Center. Pengunjung dikenakan biaya Rp.15.000 untuk orang dewasa dan Rp.7.500 untuk anak-anak. Harga tersebut tergolong cukup murah untuk melihat pemandangan dari lantai 15.
Proses menenun sarung |
Islamic Center |
Ramadhan dan Lebaran itu bagi kamu?
Kasepuhan Ciptagelar
Kasepuhan
Ciptagelar adalah salah satu bagian dari Kasepuhan Banten Kidul selain Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cisitu, Kasepuhan
Cicarucub, Kasepuhan Citorek, serta Kasepuhan Cibedug. Warganya masih
melestarikan budaya tradisional dalam kehidupan sehari-hari, sehingga disebut
Kasepuhan. Setiap hari mereka memakai baju adat berupa kebaya dan samping bagi
perempuan, serta penutup kepala atau iket bagi laki-laki. Semua warga taat
kepada aturan adat yang berlaku. Aturan adat tersebut dibuat oleh Abah, seorang
pemimpin kasepuhan yang ditunjuk oleh leluhur. Kasepuhan Ciptagelar dipimpin
oleh Abah Ugie sejak 2007. Usianya 28 tahun saat ini. Dia menggantikan ayahnya
yang bernama Abah Anom yang meninggal dunia.
Abah Ugie merupakan perantara warga Kasepuhan Ciptagelar
dengan leluhur. Dia sebagai pemimpin dapat menentukan segala hal sesuai dengan
ajaran dan wangsit dari leluhurnya, kemudian perintah tersebut harus dijalankan
warga. Warga yang tidak menjalankan perintah dari Abah akan mengalami musibah
langsung dari leluhur. Jadi warga lain akan tau jika salah satu dari mereka
mengalami musibah artinya diatelah melakukan kesahalan. Musibah tersebut dapat
berhenti atau tidak sesuai dengan perbuatannya, serta atas ijin Abah dari
wangsit yang diterimanya. Hal tersebut juga mempengaruhi pelaksanaan kegiatan
religinya didominasi oleh kepercayaan adat dan tradisi yang dari para leluhur
walaupun kepercayaan mereka adalah Islam.
Walaupun mereka sangat taat kepada aturan adat, namun
pemikiran mereka sudah terbuka. Banyak dari mereka yang sudah mendapatkan
pendidikan formal. Selain itu Kasepuhan Adat Ciptagelar sudah mulai terbuka
dengan dunia luar dengan menggunakan listrik. Namun bukan dari pembangkit
listrik negara, mereka membuat pembangkit listrik dari tenaga air yang disebut
turbin mikrohidro yang dibuat sendiri oleh swadaya warga. Hal tersebut
menunjukkan mereka sudah terbuka akan teknologi. Banyak juga warga telah
menggunakan alat-alat tradisional seperti handphone, laptop, televisi, sepeda
motor, dan lain-lain.
Aliran sungai digunakan untuk pembangkit listrik mikrohidro |
Kasepuhan
ini terletak di kaki Gunung Halimun yang merupakan bagian dari Taman Nasional
Gunung Halimun Salak. Secara administratif,
Kampung Ciptagelar berada di wilayah Kampung Sukamulya Desa Sirnaresmi,
Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Jarak Kampung Ciptagelar dari Desa Sirnaresmi
14 Km, dari kota kecamatan 27 Km, dari pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi
103 Km dan dari Bandung 203 Km ke arah Barat. walaupun merupakan bagian dari
administratif desa, Kampung Ciptagelar juga mempunyai pemerintahan sendiri yang
dipimpin Abah Ugie. Jadi secara langsung mereka menaati dua peraturan, yaitu
dari desa yang merupakan bagian sebuah negara, serta dari kasepuhan itu
sendiri. Kedua peraturan dimusyawarahkan dengan baik sehingga tidak menimbulkan
perselisihan.
Leuit (lumbung padi) |
Selain
pakaian adat, Kasepuhan Ciptagelar juga memiliki keunikan bentuk rumah. Semua
rumah warga Kasepuhan Ciptagelar berbentuk panggung. Material yang digunakan
untuk membuat rumah merupakan hasil alam, seperti kayu sebagai lantai, anyaman
bambu sebagai dinding, serta ijuk sebagai atap rumahnya. Mereka tidak
menggunakan genteng sebagai atap karena menurut mereka tidak wajar orang yang
masih hidup berada di bawah tanah (genteng terbuat dari tanah), seperti
kuburan. Selain itu warga tidak membuat rumah secara permanen karena Kasepuhan
Ciptagelar dapat berpindah kapanpun jika ada perintah leluhur. Warga kasepuhan
tidak hanya berada di wiliayah kampung tersebut, namun ada dimana-mana. Area
Kasepuhan Ciptagelar yang berada di Kampung
Sukamulya Desa Sirnaresmi merupakan pusat pemerintahan Kasepuhan Ciptagelar,
warga lain yang berada di luar area tersebut dapat dikenali dari bentuk
rumahnya. Walaupun hidup di aera lain namun dia adalah warga Kasepuhan
Ciptagelar, pasti rumahnya panggung atau setidaknya dapurnya berbentuk
panggung. Karena menurut warga Kasepuhan Ciptagelar, dapur merupakan ruangan
utama bagi sebuah keluarga. Dapur memberikan mereka kahidupan, tempat untuk
makan dan bersilaturahmi.
Seperti
yang dijelaskan di atas bahwa Kasepuhan Ciptagelar memiliki pemerintahan
sendiri yang dipimpin oleh Abah. Dia tidak sendirian mengurus kasepuhan, dia
dibantu beberapa bawahan dia yang disebut kolot. Ada beberapa kolot yaitu kolot
Girang Serat, Sesepuh Kampung, Pamakayan (Dukun
Tani), Bengkong, Juru Pantun, Indung Beurang, Dalang, Tukang Tinggar, Penghulu,
Tukang Bas (kayu/bangunan), Panganteur, Tukang Bebersih, dan Kemit. Dalam
melancarkan urusan di bumi ageung terdapat beberapa orang yang membantu, yaitu
sebagai : Candoli, Palawari, Pangejeg, dan Tukang Potong. Setiap kolot
memiliki tugas masing-masing sesuai dengan aturan dari Abah serta wangsit yang
diterima. Biasanya kolot merupakan jabatan turun temurun, atau sesuai dengan
wangsit yang didapatkan.
Hamparan di Ciptagelar |
Kasepuhan Ciptagelar terkenal dengan sistem pertanian yang
unik. Mereka sangat menjaga kelestarian alamnya sehingga tidak menggunakan
bahan kimia berbahaya apapun dalam pertanian. Padi merupakan komoditas
pertanian yang paling terkenal di Kasepuhan Ciptagelar. Padi hanya dipanen
sekali dalam setahun. Namun mereka tidak pernah kekurangan, justru selalu
berlebih. Sehingga mereka tidak pernah membeli beras dari luar, hal itu menjadi
larangan bagi warga Kasepuhan Ciptagelar. Pra hingga pasca penanaman merupakan
proses yang panjang. Setiap proses selalu menggunakan upacara adat. Upacara-upacara
yang berkaitan dengan kegiatan bercocok tanam adalah upacara membuka ladang,
upacara ngaseuk, upacara mipit/nyalin (upacara pendahuluan sebelum dilakukan
panen pertama), upacara seren taun (upacara adat pasca panen), upacara
nganyaran (makan nasi yang pertama kali dari hasil panen), dan upacara
ngahudangkeun (membangunkan padi yang telah didiukeun di dalam leuit sebelum
dipergunakan oleh pemilik leuit). Dari semua upacara tersebut, seren taun
merupakan upacara yang paling ditunggu oleh warga dalam maupun luar Kasepuhan
Ciptagelar.
Ibu-ibu sedang menumbuk padi |
Selain upacara, padi juga diistimewakan dengan cara
menyimpannya dalam lumbung. Lumbung padi dimiliki paling tidak setiap kepala
rumah tangga. Lumbung padi disebut Leuit. Bentuknya seperti rumah panggung
namun hanya memiliki satu ruangan. Kasepuhan Ciptagelar sendiri memiliki satu
Leuit Ageng yang merupakan lumbung untuk menyimpan padi dari setiap leuit-leuit
perorangan. Padi dari Leuit Ageng merupakan cadangan yang hanya digunakan untuk
acara tertentu saja dengan izin Abah. Cara meletakkan dan megambil padi di leut
juga sangat hati-hati, tidak sembarang orang dapat melakukannya.
Kerajinan tangan dari rotan |
Padi yang dihasilkan di tanah Kasepuhan Ciptagelar adalah
dari bibit turun temurun yang saat ini jumlahnya sudah lebih dari 120 jenis
padi. Kebanyakan merupakan hasil kawin antara bibit padi sebelumnya. Jadi
hasilnya juga berbeda dan tidak dapat ditiru dan ditanam oleh warga luar
Kasepuhan Ciptagelar. Mereka tidak mengijinkan bibit lain ditanam di sana. Padi
juga tidak diperjualbelikan. Mereka menggunakannya sendiri. Jika ada yang
membutuhkan biasanya hanya diberikan gratis sesama warga Kasepuhan Ciptagelar.
Warga luar yang menginginkan biasanya diberikan dalam bentuk yang sudah matang.
Karena padi sangat dihargai oleh mereka. Mulai dari cara mereka mengupas kulit
padi menjadi beras hingga memasaknya juga dengan cara yang berbeda. Padi
dikupas dengan cara ditumbuk dalam lesung yang terbuat dari kayu. Penumbukan
padi juga menjadi kesenian yang unik karena menghasilkan berbagai macam suara
ketukan. Ibu-ibu yang menumbuk padi seringkali bernyanyi bersama lagu dengan
bahas sunda. Hal itu yang ditakutkan jika beras diberikan kepada yang bukan
warga Kasepuhan Ciptagelar, akan perlakukan tidak sesuai dengan cara mereka
yang menjadi larangan dari kasepuhan.
Wayang golek salah satu budaya Ciptagelar |
Ada juga upacara lain yang dilakukan selain yang berkaitan
dengan pertanian, seperti upacara empatbelasan, upacara tersebut dilakukan
setiap bulan di tanggal 14 menurut kalender perhitungan kasepuhan. Pada hari
tersebut bulan selalu dalam keadaan purnama. Ada juga selamatan pemberian nama
dan upacara mengubur bali (ari-ari atau tembuni), upacara masa kanak-kanak bagi
anak laki-laki biasa dilakukan upacara khitanan dan upacara helaran, upacara
yang berkaitan dengan perkawinan seperti lamaran, akad nikah, dan upacara yang
berkaitan dengan kematian. Makanan yang disajikan dalam setiap upacara berbeda
dan memiliki arti masing-masing yang menjadi kekuatan mereka. selain itu juga
disuguhkan beberapa kesenian adat yang menjadi simbol bagi Kasepuhan Ciptagelar
yang ditampilkan oleh warga sendiri. Hampir semua upacara dilakukan
beramai-ramai dan mengundang perhatian warga lain.
Jembatan penyeberang sungai sebelum Ciptagelar |
Selain pertanian, Kasepuhan Ciptagelar juga memiliki sistem pengelolaan
hutan yang rapih dan berlaku hingga saat ini. Mereka membagi hutan menjadi tiga jenis hutan berdasarkan filosofi hidup mereka,
yaitu hutan titipan, hutan tutupan dan hutan garapan atau bukaan. Hutan titipan adalah wilayah hutan yang dijaga dan dilindungi
manusia serta roh pelindung hutan. Warga dilarang memasuki hutan titipan tanpa
seijin Abah apalagi mengambil sesuatu dari sana. Hal itu menunjukkan mereka
menjaga keseimbangan kehidupan dan tidak serakah menggunakan hasil alam. Hutan
tutupan adalah hutan penyangga yang juga berfungsi sebagai hutan lindung. Wargahanya
dapat mengambil rempah-rempah dan akar-akaran untuk keperluan pengobatan dengan
jangka waktu terstentu. Hutan tutupan dapat dibuka menjadi lahan garapan
pertanian jika keadaan mendesak untuk kepentingan seluruh masyarakat adat
Kasepuhan dan atas izin Abah. Sedangkan di hutan bukaan atau garapan,
masyarakat hanya boleh beraktivitas untuk bersawah, berladang, berkebun,
membangun rumah, membuat jalan, membangun tempat ibadah, pemakaman,
penggembalaan dan sebagainya.
Hutan tetap diistimewakan dengan adanya aturan untuk memasuki dan
memperlakukan hutan dengan baik. Sesekali ada gotong royong untuk membersihkan
hutan. Hal itu juga menunjukkan kepedulian warga Kasepuhan Ciptagelar terhadap
keberlangsungan hidup keturunannya.
Hal diatas sudah menjelaskan beberapa keunikan dari Kasepuhan Ciptagelar
yang akan sangat bermanfaat untuk diikuti caranya. Mereka yang menghargai dan
melestarikan budayanya. Mereka melakukan segala hal secara bersama-sama tanpa
pamrih. Hal yang paling penting adalah mereka yang mengelola alamnya dengan
baik, menjadikan alam sebagai sahabat yang meguntungkan. Indonesia yang disebut
negara agraris perlu mencontoh sistem pertanian yang dilakukan oleh Kasepuhan
Ciptagelar agar tidak lagi melakukan impor hasil pertanian dari negara
tetangga. Dan sebuah perbedaan setiap budaya sangat perlu dilestarikan karena
Indonesia menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap
satu.
IG : ViedelaAK
Twitter : @viedela_ve
Phone : 085692226002
Nyanyi ngasal Salam dari Ciptagelar |
Rabu, 05 Juli 2017
Pulang Kampung ke Kampung Merabu
Setiap tahun banyak
dari kita melakukan mudik, tepatnya untuk merayakan hari idul fitri bersama keluarga
di kampung halaman. Hal tersebut juga berlaku padaku. Aku lahir dan dibesarkan
di sebuah kampung kecil di Banjarnegara. Jarang orang mengetahui keberadaanya
tapi kampungku patut ku banggakan karena memiliki kekayaan alam yang luar biasa.
Tahun lalu aku pulang kampung, tahun sebelumnya juga aku ikut meramaikan pulang
kampung. Lagi-lagi pulang kampung sudah menjadi hal yang biasa saja bagiku.
Menuju shalat Ied bersama Nabila dan Tante Ayu |
Tahun ini aku
ingin melakukan pulang kampung yang berbeda. Aku memilih untuk merayakan
lebaran bersama keluarga orang lain yang ku kenal karena ikatan himpunan alumni
dari perguruan tinggi tempatku menuntut ilmu. Rumahnya beradad di Kota
Samarinda, Kalimantan Timur. Suhardi namanya, biasa ku panggil dengan Om Kecap,
dia berbeda seperempat abad lebih tua denganku. Dia sudah ku anggap sebagai om
bahkan ayah sendiri. Aku numpang di sana selama beberapa hari sebelum hingga
sesudah lebaran. Istrinya, Tante Ayu juga alumni kampusku jadi semua obrolan kami nyambung
yang seringnya membahas perbedaan kampus dulu dan sekarang. Mereka memiliki 3
anak yang juga menerimaku dengan baik di rumahnya, namanya Ian, Ghaza, dan
Nabila. Aku sering membuat mereka kerepotan entah untuk mengantar dan
menjemputku, juga membukakan pintu rumah ketika aku pulang larut malam.
Rasanya cukup
beberapa hari aku menikmati lebaran di kota. Saatnya lebaran di kampung yang
sesungguhnya. Sudah terpaut lama aku tak pulang ke kampung yang satu itu. Yak Kampung
Merabu, yang berada di Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Tiga
tahun lalu aku pernah ke sana bersama 12 orang lainnya untuk melakukan
Ekspedisi Tanah Borneo. Hampir 3 pekan kami di sana untuk melakukan pendataan
gua, hutan, dan sosial masyarakat Kampung Merabu. Waktu tersebut terasa kurang
bagi kami, tapi bagaimanapun juga kami harus kembali ke kampus untuk melaporkan
apa yang kami dapatkan. Sebelum pulang, masyarakat Kampung Merabu
menyelenggarakan pesta untuk melepas kepergian kami. Beberapa orang sudah ‘sreg’
dengan keberadaan kami sehingga mereka berat melepas kami pulang dan
menginginkan kami kembali ke Kampung Merabu lagi nantinya. Begitu juga dengan
beberapa orang dari tim ekspedisi yang tidak ingin pulang karena kenyamanan
yang diberikan Kampung Merabu, salah satunya adalah aku. Tangisku tak
henti-hentinya hingga terisak menyesakkan dada ketika mobil penjemput sudah dating
ke kampung. Hal tersebut yang menguatkan aku untuk kembali lagi ke sana. Tahun ini
terbukti aku pulang kampung ke Kampung Merabu. Aku sudah menganggap Merabu
adalah kampungku, kampung kita semua.
Selamat datang di Kampung Merabu |
H+3 Idul Fitri 1438
H ku pilih untuk melakukan perjalanan pulang kampung. Aku mempersiapkan diri
dengan baik untuk perjalanan darat yang membutuhkan waktu 13 jam. Aku mencoba
menikmati perjalanan dengan baik karena itulah perjalanan yang sungguh ku
impikan sejak lama. Pagi hari pada 29 Juni 2017 aku sampai di Kampung Merabu. Aku
disambut oleh suasana sepi. Banyak warga yang sedang berkegiatan di luar kampung,
yaitu pekan pemuda di Miau Baru dan RAKERDA di Merasa, serta beberapa yang lain
mendaftarkan anak-anaknya untuk masuk ke sekolah menengah.
Maudy (anak Mba Mar) |
Kakiku secara
sadar melangkah menuju rumah Pak Asrani, beberapa kali ku ketuk pintunya
ternyata rumahnya kosong, “Mereka sedang ke Miau Baru”, ucap Bu Bidan yang
rumahnya tepat di kiri rumah Pak Ra (Asrani). Lalu mau tak mau aku ke rumah Mba
Marjayanti atau akrab kupanggil Mba Mar, karena dia adalah salah satu sosok
yang dulu paling ku kagumi di kampung, perempuan hebat dan berbakat. Bersyukurlah
ketika aku dating ternyata dia ada di rumahnya, sedang memberi susu botol
kepada bayi berusaia 3 bulan. Aku terkaget ketika mengetahui bahwa bayi lucu
itu adalah anak perempuannya hasil dari pernikahan dengan seorang pekerja media
bernama Mas Erwin. Aku disuguhi teh hangat dan bebrapa biskuit, kami saling
menanyakan kabar dan bernostalgia. Bahagianya aku karena masih diterima di
sana. Aku merasa sedang berada di rumah sendiri.
Sungai Lesan sepi tidak ada aktivitas warga |
Rumah Mba Mar
tepat menghadap ke Sungai Lesan. Dulu kami sering sekali mandi bersama di sana
ditemani beberapa ibu-ibu lain yang mencuci baju maupun sekedar cuci muka serta
anak-anak kecil yang berenang dengan riang. Pagi itu berbeda, tak ada satupun
orang melakukan aktivitas di sungai kecuali seorang bapak yang menyiapkan
ketinting (perahu kayu) untuk pergi. Sedangkan suasana di sungai yang ramai adalah
salah satu yang aku rindukan. Tak banyak pikir aku bersiap untuk mandi di
sungai, ternyata Mba Mar mengikutiku. “Sekarang jarang orang mandi dan mencuci
di sungai Ve semenjak air sudah mengalir ke rumah-rumah warga”, ucap Mba Mar
sembari ‘mengucek’ baju-baju kecil milik Maudy, anaknya. Hal tersebut benar
bahwa ada program dari desa yang berhasil mengalirkan air dari Danau Nyadeng ke
seluruh rumah warga. Dampak baiknya adalah mereka mendapatkan air bersih dengan
mudah, namun bagiku kurang oke ketika hal tersebut jutru merubah kebiasaan
warga untuk beraktivitas di sungai yang merupakan kegiatan yang sudah jarang
ditemukan di lain tempat. Aku sangat menyayangkan karena bagiku mandi di sungai
adalah salah satu cara untuk membuat kita menyatu erat dengan alam. Mandi di
sungai membuat kita menjaga sungai agar tetap bersih karena kita tau airnya
kita gunakan untuk keperluan sehari-hari. Bagaimana ya caranya agar warga
mendapat air bersih tapi tak harus merubah kebiasaan mandi di sungai? Itu menjadi
pertanyaan bagi kita semua termasuk aku.
Pulang Kampung
Merabu masih berlanjut di sesi berikutnya
Twitter
: @viedela_ve
IG :
ViedelaAK
Email
: veviedelaak@gmail.com
Phone
: 085692226002
Senin, 27 Februari 2017
Berenang di Umbul
Akhir-akhir ini
aku menyukai kegiatan olahraga berenang. Belum lama aku merasakan serunya
melakukan olahraga yang satu ini. Sebanyak 2-3 kali tak pernah terlewat setiap
pekannya. Namun hanya sebatas kolam renang saja, karena belum menemukan tempat
berenang yang lebih menyenangkan.
Berenang di Umbul Kapilaler |
Liburan datang
di saat yang tepat. Aku merencanakan pergi ke suatu kampong bernama Polan,
Kecamatan Polanharjo, Klaten. Di sana terkenal dengan kekayaan umbulnya. Kalau yang
ngga tau umbul, itu adalah sebutan mata air bagi warga Polanharjo. Ada 13 umbul
yang dapat dikunjungi di sana. Tidak semuanya berbayar, karena ada juga yang
gratis masuk, hanya bayar uang parkir saja itupun jika membawa alat
transportasi sendiri. Umbul yang berbayarpun maksimal hanya Rp.15.000
Beruntung ada
Rere , temanku dari Bogor yang sedang tinggal di sana. Jadi setidaknya ada yang
nganter keliling umbul. Kebetulan dia pernah melakukan pendataan umbul di sana
juga. Umbul pertama yang kami kunjungi adalah Umbul Kapilaler, letaknya tidak
jauh dari WKP. Umbul ini hanya berbayar ketika akhir pekan saja. Saat itu hari
kerja dan sore itu juga hampir berganti, kami buru-buru masuk ke umbul karena
sudah tak tahan ingin berenang di air yang super jernih. Oh ya kami juga pergi
bersama Tiara, temanku dari Bogor juga yang kebetulan sedang mapir ke WKP. Rasa
dingin di awal perlahan hilang sangkin serunya kami berenang sambil sesekali
bercanda. ikan berwarna-warni menemani kami berenang. Sudah tak banyak orang di
sana, membuat kami semakin menikmati
hawa sejuk dengan leluasa. Tidak perlu takut tenggelam, dalamnya hanya sekitar
1 meter saja kok. Berkesan sekali main ke Umbul Kapilaler, menjadi pembuka
liburan yang tidak terlupakan. Merasakan kesejukan setelah kemarin rasanya terbakar
panas justru di Kota Hujan.
Rere berenang di Umbul Manten |
Umbul selanjutnya
adalah Umbul Manten. Ini relatif lebih jauh dari Umbul Kapilaler. Di sana hanya
dipatok harga Rp.4.000 per orang. Umbul ini tak kalah menarik, suasananya lebih
ramai karena saat itu kami main di siang hari. Banyak juga warung di sekitarnya
yang menjual makanan dan minuman ringan selepas lelah berenang. Para penjual
yang ramah menambah kebetahanku di sana. Jadi ngga mau pulang. Air umbulnya jernih,
terlihat biru dari atasnya. Walaupun tidak terlalu banyak ikan di sana, tapi
seru juga. Di badan umbul melintang beberapa akar pephonan yang sudah tua,
menjadi tempat bersembunyi ikan-ikan kecil.
Pose berantem di Umbul Nilo |
Umbul Nilo
adalah umbul ke-3 yang aku kunjungi. Selain Rere, kali ini aku ditemani Dede
dan Pandi yang sedang magang di WKP. Mereka asli orang Aceh dan ternyata baru
aku tau kalo mereka narsis juga. Seneng diajak berfoto bersama. Serta Sendy
yang memang anggota WKP, orang Majenang yang ngapak inilah yang paling sering
minta difoto katanya untuk ganti foto profil. Sore itu cerah, kami memilih
Umbul Nilo karena sama-sama belum pernah ke sana, selain Rere yak an dia
petunjuk jalannya. Umbul Nilo menyenangkan dengan pemandangannya yang tak kalah
hijau juga dengan umbul yang lain. Saat itu airnya tidak terlalu biru, lebih
hijau karena banyak lumut di batu yang berada di dasar umbul. Ngga ada biaya
masuk ke sana, hanya bayar parkir saja. Kami tak melewatkan kesempatan berfoto
untuk kenang-kenangan, sah kan? Karena kami belum tau kapan bisa ketemu
ramai-rami berenang di umbul lagi.
Sendy, Dede, dan Pandi menemani berenang di Umbul Nilo |
Nah ini dia
umbul penutup liburanku. Umbul Ponggok, memang sudah terkenal di kalangan
pecinta wisata alam. Umbul ini juga sudah dikelola dengan baik. Umbulnya luas
dan dalamnya sekitar 3 meter. Di sana ditawarkan beberapa wahana seperti snorkeling
dan spot berfoto. Masing-masing ada harganya sendiri. Kebetulan karena kami ke
sana hanya untuk berenang, kami tidak menyewa itu semua. Saat itu masih pagi
pukul 7. Tadinya kita berharap ketika masuk belum ada penjaganya jadi bias gratis.
Ternyata kami melupakan bahwa hari itu adalah akhir pecan. Jadi jam 6 pun
mereka sudah buka, terpaksa kami membayar Rp.15.000 per orang. Sejumlah itu
tidak membuat kami kecewa, kami sangat menikmatinya. Kali ini kami berempat,
tanpa Sendy. Senangnya bias berenang pagi bersama ikan-ikan berwarna-warni
untuk menutup liburan. Badan rasanya setengah dingin di dalam umbul dan
setengah hangat terkena matahari yang mulai bersinar. Sayang sekali Pandi hanya
bertahan sebentar karena tidak kuat dengan dingin.
Berenang bersama ikan di Umbul Ponggok |
Umbul di sana masih terjaga, jumlah yang 13 itu belum pasti ternyata. Karena masih banyak umbul yang belum tercatat karena letaknya biasanya berada di dalam rumah warga dan tidak dibuka untuk umum. Senang melihat mata air yang jernih. Semoga saja masih terjaga hingga nanti dan kapanpun. Jangan lupa kalau main ke sana jangan membuang sampah sembarangan. Mari menjaga lingkungan bersama.
Rame-rame di Umbul Nilo |
Tampak umbul Ponggok di pagi hari |
Sabtu, 25 Februari 2017
Aku, Tali, dan Tuhan
Halo
penggiat alam bebas, saya akan menceritakan hobi saya dalam memanjat. Mungkin
udah bawaan sejak lahir saya suka panjat-memanjat. Meja, plavon, dan pohon
adalah beberapa benda yang saya pajat dari kecil. Nah, sekarang saya sedang
memperdalam ilmu panjat yang lebih serius dan terarah di salah satu Unit
Kegiatan Mahasiswa besar di IPB, yaitu Lawalata. Selain itu saya juga sedang
belajar memanjat (climbing) dengan suatu perkumpulan bernama DSP.
Perjalanan menuju Tebing Ciampea |
Kami
berlatih boulder dimana saja, seperti GOR Padjadjaran setiap Rabu dan Jum’at, di tebing Karst Ciampea pada hari
Minggu, dan lain
sebagainya. Ditambah lagi
latihan fisik sendiri di rumah masing-masing seperti push-up, sit-up, dan yang
paling penting adalah pull-up utuk
melatih kekuatan tangan.
Hari
Minggu adalah waktu yang paling saya tunggu, karena itulah saatnya kami manjat
tebing. Tebing Karst Ciampea yang akan kami panjat berada di sekitar lapangan
tembak TNI di Ciampea. Kami harus berjalan menanjak terlebih dahulu sekitar 20
menit dari jalan raya. Setelah tebing tepat di depan muka saatnya memasang tali
(kern mantle) di jalur pemanjatan. Di Tebing ini ada belasan jalur, seperti
jalur kambing, putih, strowbery, tiram, dan lainnya. Jalur tersebut beragam
dengan level kesulitan masing-masing.
Tali
telah terpasang, saatnya memanjat. Tapi persiapkan dulu alatnya terutama yang
menempel pada badan, seperti harnest, sepatu khusus panjat, chalk bag beserta
isinya, dan yang pasti ada belayer dengan alatnya yaitu harnest dan grigri atau
figue of 8. Kami menjunjung tinggi keselamatan dan etika memanjat. Kami selalu
belajar menghormati alat, karena alat adalah Tuhan kami saat memanjat. Jika
kami lalai dalam penggunaan alat dan membuatnya rusak, maka bayarannya bisa
jadi adalah nyawa kami sendiri.
Memanjat di Tebing Ciampea |
Memanjat,
merangkat-rangkak di tebing selalu membuat adrenalin saya meningkat. Jantung
serasa berdegub lebih cepat. Fokus saya terpecah untuk memperhatikan tangan,
pijakan kaki, dan badan agar tidak jatuh sebelum sampai pada tujuan.manjat
tebing itu bisa melatih kesabaran, tanggung jawab, koordinasi yang baik dengan
belayer, dan mengatur ego yang seringkali bergejolak. Selain berkeringat yang
membuat badan sehat, hobi ini membuat saya bisa tertawa dan melepaskan segala
beban pikiran yang berhari-hari terpendam.
Senja penutup kelelahan setelah manjat |
Jatuh, tergesek dengan tebing,
dan menggantung di tali adalah hal yang biasa terjadi saat memanjat. Bagaimanapun
kami harus selalu mencoba untuk menikmati kelelahan dan istirahat di puncak
pemanjatan. Kebanggaan mucul dengan sendirinya diiringi pemandangan kemerahan
saat matahari tenggelam.
Terusalah memanjat, karena bukan hanya tebing yang harus dipanjat. Cita-cita juga harus dipanjat hingga diraih puncaknya. karena setelah mencapai puncak, rasanya tak lain adalah sebuah kepuasan dan kebanggaan.
Jumat, 24 Februari 2017
Berebut Kebebasan
Saat ini kebanyakan orang terlalu sibuk dengan pekerjaan
masing-masing. Tidak hanya di kota-kota besar, di perkampunganpun orang-orang hilir mudik dengan kesibukannya. Tak ada pagi yang tak ramai. Semuanya
berbondong-bondong mengantri angkutan umum, berebut pintuk keluar masuk tol.
Tak ada pula sore yang senggang, semuanya masih terjebak macet di jalan pulang.
Kebanyakan mereka melakukannya dengan terpaksa karena kebutuhan semakin
membengkak. Bekerja pagi hingga larut malam demi lembaran uang untuk memenuhi
kebutuhan tadi. Tak jarang dari mereka ingin menjadi manusia bebas, tapi sikapnya
tidak selaras. Buktinya masih banyak lulusan Strata 1, 2, bahkan 3 yang mencari
pekerjaan. Padahal mereka tahu bahwa
yang mereka cari itu adalah sebuhah tempat yang akan serba terkekang, yang harus dilalui dengan berbagai macam aturan yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Tampak depan WKP |
Berbeda dengan pemuda-pemudi yang ada di Warung Kata Pusur (WKP).
Merekalah contoh pencipta kebebasan, bagi dirinya sendiri bahkan orang lain
di sekitarnya. Mereka bukanlah orang-orang yang sedang berebut kebebasan.
Risol isi sayur |
Salad dengan bahan pangan lokal |
Di WKP mereka dapat melakukan apapun yang mereka inginkan. Misalnya
berkebun, memasak dan menjual hasil masakannya, mengolah sampah, bereksperimen, dan berkreasi. Hal itulah yang membuat mereka dapat dengan mudahnya bersosialisasi dengan pengunjung. Segala hal yang mereka kerjakan
tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Mereka melakukannya dengan penuh
penghayatan, tentunya juga dengan pemahaman yang sudah tertanam bahwa betapa pentingnya mereka melakukan itu. Mereka berkebun karena mereka menyadari bahwa pangan adalah seutuhnya tanggung jawab
bersama. Untuk itu dari hal kecil mereka mulai menanam, setidaknya untuk
mencukupi kebutuhan sendiri.
Bunga telang hasil panen kebun WKP,
bahan utama untuk teh biru
|
Bukan hanya sampai menanam dan memanen. Mereka juga terus mencari ide untuk menciptakan sesuatu dari hasil panennya agar menjadi sesuatu yang lebih berharga, menarik, dan tentunya mencukupi
salah satu kebutuhan fisiologis manusia yaitu pangan. Mereka tak pernah lelah
mencoba menu baru dengan bahan yang mereka miliki, jika berhasil maka mereka
tak sungkan menyuguhkannya kepada pengunjung.
Sabtu, 28 Januari 2017
Bangga Jadi Sarjana?
Kuliah
merupakan kewajiban kami para mahasiswa. Seringkali belajar terus menerus di
kampus membuat kami jenuh. Maka dari itu liburan merupakan waktu yang kami
tunggu-tunggu. Banyak juga mahasiswa yang akhirnya bingung ketika liburan
datang. Mungkin awalnya menyenangkan karena bisa pulang dan berkumpul bersama
keluarga. Percayalah hal itu hanya
bertahan 3-5 hari. Setelah itu rasa bosanpun akan kembali hadir. Beberapa orang
akan sibuk mencari-cari kegiatan yang bisa dilakukan, termasuk aku. Liburan kali ini aku memilih untuk belajar mengenai manajemen dan segala hal di
sebuah warung. Aku ingin mengetahui seberapa banyak teori yang aku ketahui dan
apakah teori-teori tersebut dapat diterapkan ke dalam dunia bisnis yang nyata.
Warung Kata Pusur tampak depan |
Aku pergi ke
Desa Polan, Kecamatan Polanharjo, Klaten. Tepathya di Warung Kata Pusur. Sebuah
tempat yang tidak jauh dari kota besar seperti Solo dan Yogyakarta.
Selain mengenai
manajemen warung, aku juga belajar banyak mengenai gaya hidup sehat diawali
dengan makanan sehat. Warung ini menyediakan berbagai
menu makanan sehat yang sebagaian besar berbahan dasar organik. Warung ini
mulai berdiri pada November 2016 yang dimiliki oleh seorang alumni Institut Pertanian Bogor bernama
Rita Mustikasari. Dia mempercayakan warung Kata Pusur untuk dikelola oleh Fahmi bersama 3 orang lainnya yaitu Faradina, Cendi, dan Wiji.
Banyak yang
bertanya mengapa nama warungnya unik sekali. Hal tersebut berawal dari tujuan
diirikannya warung ini yaitu agar warung ini menjadi tempat atau wadah bagi
pengunjung untuk selalu KAnda TAkon. Artinya adalah untuk saling bertanya dan
berbicang mengenai apapun. Pusur sendiri ditambahkan ke nama warung karena
warung ini berada di dekat Sungai Pusur. Mengenai Sungai Pusur nanti kita ulas
di tulisan yang lain.
Sampai saat ini
warung Kata Pusur sudah mulai berhasil mencapai tujuannya. Para pengunjung yang
datang bukan hanya sekedar menikmati menu yang disediakan, tapi ramai ngobrol.
Terutama para pengunjung yang seringkali penasaran dengan menu yang ditawarkan.
Menu unik tersebut antara lain seblak, telur pusur, teh biru, jeruk ungu , dan
kombucha. Para pengelola dengan senang hati menjelaskan sedetail mungkin segala
sesuatu yang pengunjung tanyakan.
Seblak adalah
makanan berupa mie sayur, telur, sayur mayur, dan kerupuk yang dimasak dengan
bumbu pedas dan rasanya khas. Bahan tersebut keseluruhan berasal dari petani
sekitar warung. Makanan asli Bandung ini dimodifikasi sedemikian rupa sehingga
cita rasanya sesuai dengan lidah masyarakat sekitar. Banyak pengunjung yang
ketagihan dengan seblak.
Telur tubing
adalah telur mata sapi yang dimasak dengan air, bukan digoreng seperti biasa.
Setelah direbus kemudian dimasak dengan kuah yang berbumbu khas cita rasa
Indonesia.
Teh biru
merupakan minuman berwarna biru yang dihaslkan dari pewarna alami berupa bunga
telang. Bunga telang atau Clitoria ternatea yang
digunakan merupakan hasil panen kebun sendiri, pemanenan dilakukan setiap pagi.
Bunga yang telah dipanen kemudian dijemur dengan cara ditutup dengan kain agar
tidak terkena sinar matahari langsung. Selain tampilannya yang menari, teh biru
juga memilki banyak manfaat teruama untuk kesehatan otak dan peredaran darah.
Hasil panen bunga telang dari 10 tanaman. Doc. 25 Januari 2017 |
Jeruk ungu
merupakan air jeruk yang dicampurkan dengan air bunga telang. Air bunga telang
yang berwarna biru berubah menjadi ungu karena reaksi kimia dengan asam dari
air jeruk. Minuman ini sangat segar dan cocok diminum saat terik di siang hari
maupun penghangat ketika udara dingin menusuk tubuh. Stress setelah seharian
bekerja dan berfikir dapat hilang setelah minum ini.
Kombucha juga
menjadi daya tarik tersendiridi warung Kata Pusur. Belum banyak yang mengetahui
apa itu kombcha. Minuman ini merupakan minuman fermentasi alami dari jamur
kombucha yang rasanya asam. Teh manis yang didiamkan semala kurang lebih 2
bulan akan menghasilkan jamur di permukaannya, itulah yang disebut kombucha.
Setelah itu dikembangbiakkan sehingga menjadi bibit yang kemudian menjadi bahan
pembuatan minuman kombucha. Di sini menyediakan banyak jenis kombucha, seperti
pisang-telang, nanas-adas, salak, apel-telang, rosella, kelor, dan beberapa
jenis lain. Sebagai catatan, minuman ini tidak memabukkan justru bangus untuk
pencernaan.
Berbagai jenis kombucha |
Hal di atas hanyalah beberapa contoh makanan unik yang disediakan di warung Kata Pusur. Masih banyak lagi inovasi makanan yang dibuat. Kebetulan salah satu dari pengurus warung yang bernama Fahmi merupakan alumni Teknologi Pangan di Universitas Gajah Mada, selain berkreasi membuat makanan dan minuman yang unik mereka juga sangat memperhartikan bahan yang dipilih agar tetap pada pakem makanan sehat. Selain makanan dan minuman sehat siap santap, warung ini juga menjual berbagai bahan mentah organik seperti beras, kopi, tepung, gula, kedelai, kacang hijau, dan masih banyak lagi.
Setelah
beberapa hari di sini, aku sadar bahwa segala sesuatu yang didapat di bangku
perkuliahan tidak akan berkembang jika tidak dilanjutkan mempraktikkannya. Seperti metode perhitungan harga pokok yang saya dapatkan di
kelas ternyata belum dapat saya terapkan di sini. Terutama karna warung ini
tidak sepenuhnya berorientasi pada profit, yang paling penting dari mereka
adalah menyebarkan virus kebaikan mengenai makanan sehat dan menghargai bahan
lokal yang kita miliki. Ternyata aku belum ada apa-apanya, kondisi laangan tak
selalu sama dengan apa yang kita harapkan. Memperdayakan seluruh pelaku
pertanian dan peternakan di sekitar merupakan hal yang mereka upayakan setiap
saat.
Sekarang
saatnya yang muda berkarya!
Langganan:
Postingan (Atom)