Saat ini kebanyakan orang terlalu sibuk dengan pekerjaan
masing-masing. Tidak hanya di kota-kota besar, di perkampunganpun orang-orang hilir mudik dengan kesibukannya. Tak ada pagi yang tak ramai. Semuanya
berbondong-bondong mengantri angkutan umum, berebut pintuk keluar masuk tol.
Tak ada pula sore yang senggang, semuanya masih terjebak macet di jalan pulang.
Kebanyakan mereka melakukannya dengan terpaksa karena kebutuhan semakin
membengkak. Bekerja pagi hingga larut malam demi lembaran uang untuk memenuhi
kebutuhan tadi. Tak jarang dari mereka ingin menjadi manusia bebas, tapi sikapnya
tidak selaras. Buktinya masih banyak lulusan Strata 1, 2, bahkan 3 yang mencari
pekerjaan. Padahal mereka tahu bahwa
yang mereka cari itu adalah sebuhah tempat yang akan serba terkekang, yang harus dilalui dengan berbagai macam aturan yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Tampak depan WKP |
Berbeda dengan pemuda-pemudi yang ada di Warung Kata Pusur (WKP).
Merekalah contoh pencipta kebebasan, bagi dirinya sendiri bahkan orang lain
di sekitarnya. Mereka bukanlah orang-orang yang sedang berebut kebebasan.
Risol isi sayur |
Salad dengan bahan pangan lokal |
Di WKP mereka dapat melakukan apapun yang mereka inginkan. Misalnya
berkebun, memasak dan menjual hasil masakannya, mengolah sampah, bereksperimen, dan berkreasi. Hal itulah yang membuat mereka dapat dengan mudahnya bersosialisasi dengan pengunjung. Segala hal yang mereka kerjakan
tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Mereka melakukannya dengan penuh
penghayatan, tentunya juga dengan pemahaman yang sudah tertanam bahwa betapa pentingnya mereka melakukan itu. Mereka berkebun karena mereka menyadari bahwa pangan adalah seutuhnya tanggung jawab
bersama. Untuk itu dari hal kecil mereka mulai menanam, setidaknya untuk
mencukupi kebutuhan sendiri.
Bunga telang hasil panen kebun WKP,
bahan utama untuk teh biru
|
Bukan hanya sampai menanam dan memanen. Mereka juga terus mencari ide untuk menciptakan sesuatu dari hasil panennya agar menjadi sesuatu yang lebih berharga, menarik, dan tentunya mencukupi
salah satu kebutuhan fisiologis manusia yaitu pangan. Mereka tak pernah lelah
mencoba menu baru dengan bahan yang mereka miliki, jika berhasil maka mereka
tak sungkan menyuguhkannya kepada pengunjung.
“Aku seneng bikin makanan di sini, karena makanannya selalu
unik-unik dan baru aku kenal. Senang juga masak bareng sama temen-temen sesuka
hati. Apalagi dengan bahan makanan yang sehat”, ucap Wizjian (21) salah satu
anggota WKP. Menu-menu yang berhasil dibuat tak jarang mereka jual juga kepada pengunjung
sehingga mereka dapat menghasilkan uang. Beberapa menu menari adalah teh biiru dari bunga telang,
jeruk ungu, nasi uduk biru, dan kombucha. Tidak semua bahan berasal dari kebun WKP, mereka mengolah hasil panen kebun dan peternakan warga sekitar. Rata-rata pengunjung penasaran dengan
menu tersebut, tapi yang paling diminati kalangan remaja adalah jeruk ungu karena warnanya menarik dan
rasanya menyegarkan, pengunjung dewasa menyukai kombucha karena rasanya yang unik dan cocok di lidah mereka.
Selain membebaskan diri sendiri dalam berkreasi, seluruh kegiatan di WKP juga
mereka lakukan untuk membebaskan orang lain. Dengan menjual makanan organik
mereka dapat membantu petani dan peternak lokal. Hal itu menjadi solusi yang baik ketika petani dan peternak kesulitan dalam memasarkan hasil panennya.
Kombucha berbagai varian rasa |
Kebebasan juga menjadi milik Fahmi Irfan (22), lulusan Teknologi
Pangan Universitas Gajah Mada (UGM) itu memilih untuk tinggal dan mengelola WKP
dengan dasar ilmu yang dia miliki. Dia tidak ingin menghabiskan waktunya untuk
mencari-cari pekerjaan yang ditakutkan akan menekan kreativitasnya. Berada di WKP
merupakan sesuatu yang sudah lama dia impikan. Pada saat masih aktif menjadi mahasiswa dia menginginkan memiliki warung makanan
sehat, dengan begitu dia akan mudah berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Dia juga mengungkapkan bahwa dia akan segera membangun sebuah angkringan di dekat kampus UGM yang mana di dalamnya akan menawarkan menu-menu unik dari hasil penelitian mahasiswa. "Sayang sekali hasil penelitian masih jarang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari", ungkapnya. Founder Food For Nation (FFN) ini juga menuturkan bahwa warung semestinya menjadi tempat berbagi, bukan hanya
jualan dan bukan juga melulu tentang makanan. Karena kebetulan WKP berada di
dekat Sungai Pusur, Klaten, maka obrolan mengenai sungai dan lingkungan juga
menjadi berkembang.
Wizjian sedang merawat tanaman tomat |
Tak hanya dirinya, Faradina (22) lulusan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini juga memilih berada di WKP untuk mengabdi kepada masyarakat. Dia fokus pada pendampingan pengelolaan salah satu destinasi wisata di Sungai Pusur, yaitu River Tubing Pusur (RTP). Kegiatan itu menjadi sangat menyenangkan karena memang hobinya berpetualangan, bersentuan langsung dengan alam bebas. Dia mengatakan bahwa dirinya sangat menikmati kesehariannya di WKP dan tetap dengan RTP. Hal itu menjadi pembelajaran awal untuk menuju cita-citanya membangun sebuah tempat nongkrong bagi para pelancong, "Bentuknya akan semacam tempat makan gitu, orang yang datang ke sana akan berbagi cerita mengenai perjalanannya sembari menikmati makanan yang aku sediakan", tambahnya.
Ecobrick (sampah plastik yang dipadatkan) |
Selain berkebun dan menjual makanan, WKP juga fokus pada
penyelamatan lingkungan mulai dari diri sendiri, yaitu dengan mengolah sampah.
“Di sini sampah basah diolah menjadi pupuk cair dan kompos, kalau plastic jadi ecobrick.”, kata Sendy (14) salah satu anggota di sana.
Mereka semua melakukan aktivitasnya dengan senang hati tanpa dikekang
oleh siapapun. Mereka memiliki aturan sendiri yang mereka sepakati bersama. Itulah kebebasan
mereka. Seharusnya kita dapat menciptakan kebebasan masing-masing. WKP menjadi teladan yang baik bagaimana kita dapat mengaktualisasikan diri kepada yang kita
inginkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar