Pagi-pagi sekali aku
bangun untuk menjalankan ritual wajib kepada Tuhan. Udara masih terasa dingin
dan lembab. Aku bertahan agar tidak tenggelam dalam selimut tipis lagi,
apalagi untuk lelap. Kemarin sore aku dan Sonia sudah janjian dengan Bu Makiyah
pembuat kue dari Kampung Cilame Desa Tambakbaya untuk pergi ke ladang miliknya.
“Banyak tanaman neng, nanti kita ke sana lihat-lihat sambil panen jika ada yang
bisa dipanen”, ucapnya kemarin sore. Aku dan Sonia menembus pagi yang dingin
menuju rumah Bu Makiyah. Banyak hal yang sudah kami rencanakan, salah satunya
adalah liwetan (membuat nasi liwet) untuk bekal ke ladang. Sesampainya di rumah
Bu Makiyah ternyata liwet sudah masak. Kami tinggal berangkat saja. “Jangan
lupa pakai topinya neng, di lading nanti panas”, ucapnya sembari menutup pintu
rumah. Sebelum berangkat kami menjemput Bu Mu’ah dan Bu Makiyah. Mereka bertiga
adalah kakak adik, tapi tak ada yang mirip satupun wajah mereka.
|
petik buncis |
Kami berjalan
menuju belakang kampung, melewati kebun bambu yang luas dan teduh. Aku
keheranan dengan bambu yang sebanyak ini tidak ada warga yang memanfaatkan
untuk menjadi produk yang lebih bernilai. Mereka hanya menggunakannya jika
diperlukan dan menjualnya jika ada yang mau beli. Setelah aku tanyakan ke
beberapa orang ternyata mereka sebenarnya mau, tapi bingung siapa yang akan
beli setiap produk yang dihasilkan secara terus menerus? Paling ujung-ujungnya
dipakai sendiri. Tak terasa hanya kurang lebih 10 menit kami berjalan kaki
hingga sampai di ladangnya.
|
menu makan siang di ladang |
Aku tak kaget
kalau ternyata ladang milik Bu Makiyah ditanami banyak tanaman. Dia sudah memberi tahu kami sebelumnya. Sampai di sana kami langsung panen buncis yang katanya sudah
4 hari tidak dipanen. Biasanya dia memanen buncis setiap 2 hari sekali selama
dua bulan. Kalau untuk perawatannya sehingga buncis tumbuh, Bu Makiyah kurang
ingat karena dia hanya melihat kondisi tanaman saja dia tahu kapan harus
dipupuk, kapan harus dibersihkan dari tanaman lain, dan kapan bisa dipanen. Buncis
yang dipanen hanya yang muda saja, agar segar untuk dimasak. Buncis yang sudah
tua akan terlihat permukaannya menonjolkan biji serta teksturnya lebih keras. Aku
dan Sonia belum terbiasa membedakan antara yang tua dan muda, jadi maklum saja
kami memanen buncisnya lama. Ibu Makiyah tak menggunakan bahan-bahan kimia anorganik yang berbahaya
untuk semua tanamannya, sehingga bisa dikatakan organik sehingga aku sangat
menikmati saat itu dengan sesekali nyemil buncis muda, rasanya manis dan segar.
Untung saja tak banyak yang harus kami panen. Tak selesai di situ, kami harus
melanjutkan untuk memanen singkong dan ubi.
|
hasil panen singkong |
Selesai di
buncis, kami pindah ke petakan lahan sebelah untuk memanen singkong. Hanya beberapa
batang, kami dapat menghasilkan sekarung singkong. Sebenarnya masih banyak yang
sudah siap panen, tapi Bu Makiyah hanya mengambil seperlunya saja untuk diolah menjadi
berbagai jenis makanan. Panen singkong bukanlah hal yang mudah, harus rela
berkotor-kotor untuk mengeruk dulu tanah disekitar akar singkong agar mudah
dicabut. Karena cara mencabut singkong yang sembarangan bisa membuat
singkongnya patah, jadi harus kerja dua kali untuk mengambil kembali singkong
tersebut. Aku menyebutnya ‘mencari harta karun’. Pencarian harta karun juga
berlaku dalam panen ubi.
|
hama tanaman ubi |
Ada bermacam-macam
ubi yang dia tanam seperti ubi putih, ubi kuning, ubi ungu, ada juga ubi yang
merupakan hasil pengawinan tanaman dan menghasilkan kulit putih dengan daging
ungu atau sebaliknya. Sayang sekali ubi yang dia tanam terserang hama sehingga
hasilnya yang kurang maksimal. Hal itu terjadi karena Bu Makiyah memang tidak
menggunakan obat untuk membasmi hama tersebut. Beliau hanya ingin menggunakan
bahan-bahan organik saja untuk membasmi hama, tapi belum menemukan ramuannya.
|
hasil panen ubi ungu |
Kami selesai
panen ketika matahari mulai berada tepat di atas kepala. Kami memilih untuk
istirahat. Jarik yang ketiga kakak adik bawa tersebut dibentangkan untuk
dijadikan alas duduk. Makanan yang kami bawa juga dibuka. Kang Agus anak tertua
Bu Makiyah memotong daun pisang untuk alas makan alias piring. Wah gaya hidup
sehat nih, penggunaan alat makan yang mudah diperbaharui. Terlintas dalam
benakku betapa indahnya dunia jika tak ada sampah plastik yang berserakan yang
mengganggu pemandangan dan kesehatan ketika manusia menggunakan plastik
seperlunya saja. Kebersamaan makan siang bersama di ladang saat itu
mengingatkanku pada masa kecil. Aku sering ikut bibiku ke sawah hanya karena
ingin main lumpur dan makan siang di sana, karena aku sendiri tak punya sawah.
Muncul juga pertanyaan suatu hari nanti siapa yang akan menanam? Karena manusia
butuh makanan. Semua makanan berasal dari petani.
|
makan dengan menu sehat |
"Jangan lupa makan sayur, anak
Indonesia suka makan sayur. Anak Indonesia suka menanam."
Twitter: @viedela_ve
IG; ViedelaAK
WA: 085742283163