Telepon genggam
tak pernah lepas dari genggaman kami, dari mata terbuka hingga terpejam lagi. Seharian
kami membaca apapun yang dapat ditampilkan di layar telepon masing-masing. Mulai
berita aktual, gosip panas, serta status-status teman yang kadang kurang
penting. Hal itu lebih baik daripada kami tak melakukan apapun. Kami berenam yaitu aku, Sonia, Ninis, Anita, Baskoro, dan Jefry tergabung dalam kelompok Kuliah Kerja Nyata - Tematik (KKN-T) yang ditempatkan
di Desa Tambakbaya, Kecamatan Cisurupan, Garut. Lokasinya tak terlalu jauh dari
kampus kami di IPB Dramaga dibanding teman lain yang ditempatkan di luar Pulau
Jawa. Ternyata jarak yang tak jauh itu masih tetap saja menjadi alasan untuk kita
mengeluh. Udara, kondisi alam, dan kondisi sosial yang berbeda dari tempat
tinggal menjadi topik utama keluhan bagi beberapa orang yang belum siap atau
belum terbiasa melakukan hal ini. Akupun masih mencoba menikmati keadaan
dimanapun berada. Kalau bias dibuat enak dengan hal yang baik, kenapa harus
berbuat yang tidak penting (mengeluh) yang tak ada gunanya?
Desa kami tak
terlalu jauh dari jalan utama. Akses untuk ke kantor kecamatan sangat mudah,
hanya sekali naik angkot dengan biaya dua ribu rupiah. Suhu udara yang dingin
dapat dimaklumi karena desa ini terletak di kaki gunung. Gunung CIkuray, Gunung
Papandayan, dan Gunung Guntur terlihat jelas dari sini, bahkan dari rumah
tinggal kami. Setiap pagi, aku selalu menikmati pemandangan Gunung Cikuray nan
gagah dari jendela kamar mandi yang terbuat dari jaring-jaring. Sinar mentari
mengintip di sela pepohonan menyapaku setiap pagi. Itulah yang membuatku rajin
bangun pagi dan menguatkanku untuk membasuh air ke tubuh yang selalu kedinginan
dengan suhu 13-15 derajat celcius. Sesekali puncak itu meneriakkan sesuatu
padaku “Sini lah, bukankah kau tak merindukan memandang seluruh Garut dari
puncaku ini?” yang menimbulkan perasaan ingin mendaki gunung itu lagi, tapi
KKN-T ini harus kami selesaikan dulu.
Gunung Cikuray |
Tak boleh dilewatkan agenda yang disusun tiap malam untuk esok hari. Pembagian tugas
menjadi solusi ketika harus menyelesaikan agenda dalam satu waktu. Aku sendiri
lebih suka berurusan dengan warga, berkeliling yang intelek biasa sebut ‘observasi’.
Banyak juga hal-hal menarik diantara mereka, kegiatan sehari-hari, masalah yang
dihadapi, dan paling penting adalah potensi alam maupun usaha yang dapat
dikembangkan. Mendatangi ibu-ibu yang sedang bergerombol di teras rumah pada
sore hari menjadi peluang besar untuk menjaring informasi. Bawalah bungkusan
permen saja, tak perlu yang mahal, mereka mudah sekali menerima orang baru dan
berbincang mengenai apa saja yang aku tanyakan.
Sebagian besar mereka bekerja sebagai buruh dan pedagang kecil-kecilan. Buruh bangunan, bahkan buruh petani. Terenyuh ketika sawah yang luas di desa ini kebanyakan bukan milik warganya sendiri, justru orang dari luar desa yang memilikinya, warga hanya menjadi buruh di tanah desanya sendiri. Pekerjaan itu mungkin dipilihnya karena dirasa dapat mencukupi kebutuhan dan mereka merasa sangat menikmati, atau mungkin juga mereka tidak mendapatkan pekerjaan yang lebih baik karena sulit diraihnya. Tingkat pendidikan yang rendah menjadi salah satu alasan. Banyak dari remaja yang aku temui hanya lulusan SMP bahkan SD saja. “Kami sebenarnya ingin lanjut sekolah teh (panggilan kepada perempuan yang lebih tua), tapi orang tua tidak punya dana.”, ucap salah satu dari mereka. Terbayang sekali betapa mahal pendidikan bagi mereka. Isu besar yang selalu menjadi topik bahasan para pejabat tinggi dan solusi nyata sepertinya sulit dikabulkan.
Beberapa remaja
yang telah lulus SD atau SMP memilih bekerja, ada juga yang memilih untuk
menikah atau dinikahkan. Hal ini yang kemudian menjadi pertanyaan selanjutnya. Bukankan
biaya hidup setelah menikah akan lebih besar? Aku kurang mengerti atas pilihan
mereka. Pastinya aku tak perlu terlalu khawatir, karena bergurau dengan mereka
membuatku melihat raut-raut bahagia yang sepertinya sangat menikmati segala hal
atas pilihannya tanpa ada tekanan.
Desa yang memiliki
lahan luas dan subur menjadi sesuatu yang dapat membanggakan desa ini. Banyak sekali
komoditas yang dihasilkan. Mulai dari beras, kentang, tomat, cabai, singkong,
ubi, dan banyak lagi. Selain itu hewan seperti domba, ayam, dan sapi juga menjadi ternak yang cocok di sini, suhunya cocok. Sangkin banyaknya, desa ini justru tidak
memiliki ciri khas komoditas yang dihasilkan. Hal tersebut harus dipikirkan bagaimana
SDM dan pejabat desa berkolaborasi memanfaatkan potensi yang ada itu.
Nenek membungkus bugis |
Kebanyakan rumah
di sini memiliki ruang usaha sendiri. Membuat kue basah seperti bugis, lepet, jewel,
awug, dan sebagainya. Mereka membuat dengan telaten di malam hari, pagi buta
mereka jual ke pasar. Pukul 9 pagi habis, mereka bias mengerjakan pekerjaan
lain. Suatu sore aku dan Sonia salah satu anggota tim kami mengunjungi rumah
panggung dengan papan dan bambu sebagai pagar rumahnya. Rumah itu dihuni beberapa orang. Dua diantaranya adalah nenek-nenek yang sedang membungkus
adonan untuk dikukus menjadi bugis. Tangannya cekatan walaupun kulitnya sudah
keriput. Tak sampai 10 detik, satu calon bugis telah terbungkus. Aku dan Sonia kewalahan
mengikuti gerakannya, beberapa kali mencoba dan beberapa kali juga daun yang
digunakan untuk membungkus selalu sobek.
Sebelum adzan
maghrib, satu baskom adonan sudah habis terbungkus semua. Siap untuk dikukus. Hanya
satu sampai dua jam akan matang. Tak sabar aku mencicipinya, hangat dan manis
sudah terbayang dalam benakku. Kami menjaga tungku dan sesekali memasukkan kayu
ke dalamnya hingga api melahap dengan cepat. “Gas harganya mahal neng, lagian
kalau pakai tungku bugisnya lebih enak, sekaligus rumah menjadi hangat”, ucap
nenek yang berusia 107 tahun dengan bahasa dan logat sundanya yang kental.
Setelah beberapa
malam di desa yang dikelilingi gunung ini, aku mulai terbiasa dengan suhu yang
rendah. Aku tak lagi menggigil.
Twitter
: @viedela_ve
IG :
ViedelaAK
Whatsapp:
085742283163
Tidak ada komentar:
Posting Komentar