Musim panen telah selesai. Artinya
uang memanggil para pemilik mesin giling. Karena petani mulai membutuhkan beras
untuk dimasak. Kali ini Pak Sarono keliling di Dusun Karangmojo dengan mesin
gilingan berasnya. Dia bertemu pelanggan pertamanya di sana. Bapak yang jenaka
itu sangat menikmati pekerjaannya. Menggiling padi hanyalah sampingan untuk
mengisi waktu luangnya. Kegiatan utamanya adalah bertani. Dia memiliki sawah
seluas 1500m2. Setiap kali musim panen dan pekerjaan di rumahnya
sudah selesai maka dia berkeliling untuk menggiling padi. Dia memiliki mesin
gilingan padi sejak tahun 2013. Namun baru 3 tahun terakhir pekerjaan
menggiling dirasakan tenang. Sebelumnya dia dan para penggiling lain selalu
dikejar-kejar oleh polisi karena tidak memiliki izin usaha. Hal berbeda dengan
tampat penggilingan padi yang menetap karena memiliki izin usaha. Namun untuk
menjadi penggiling yang memiliki tempat sendiri bukanlah hal yang mudah, karena
paling tidak mereka harus memiliki lahan sendiri. Artinya mereka harus
mengurangi luas lahan yang digunakan untuk bertani. Terlebih jika mereka tidak
memiliki tanah sendiri yang mengakibatkan harus menyewa, maka mereka pendapatan
bersih mereka harus berkurang untuk membayar sewa tempat. Kurang lebih 5 sejak
5 tahun lalu, Desa Jongkangan terkenal dengan para penggiling padi keliling. “Di
desa saya banyak tukang giling, ada belasan”, ungkapnya sembari memasukkan padi
ke dalam mesin penggiling. Dia mendapatkan Rp350 dalam setiap kilogram beras
yang sudah digiling, pemilik gabah hanya mendapatkan beras saja. Sekam dan
dedak yang menjadi produk sampingan dari gabah diambil oleh pemilik mesih
giling untuk pakan sapi miliknya. Namun dia juga bisa menjual sekam tersebut
dengan harga Rp2.000 per karung. Begitupun jika pemilik padi yang membelinya. Pagi ini dibuka dengan gilingan yang menghasilkan beras sejumlah 98 kg.
Proses memasukkan padi ke dalam gilingan |
Dia cerdas dalam menerapkan
konsep hemat, yang dia akui sebagai permainan. “Begini permainannya mbak, kalau
sudah bisa main semuanya gampang”, katanya setelah menjelaskan mengenai mesin
gilingnya. Mesinnya dia rakit sendiri dengan bantuan teman-temannya. Hanya 1
buah mesin yang berfungsi menjadi mesin penggiling sekaligus mesin penggerak
mobilnya. Hal tersebut dapat menghemat pengeluaran bahan bakar. Selain itu dia
juga bercerita mengenai pendapatannya dalam setiap pekerjaan yang dia lakukan. Menurutnya
menjadi petani juga harus bisa ‘bermain’. Lelaki yang berusia 45 tahun ini
menggunakan sawahnya untuk menanam padi sekali saja dalam setahun. Sisa
waktunya untuk menanam cabai dan sayur. Permainan itu dilakukan agar tidak
rugi. Karena menurutnya dengan menanam padi terus menerus yang rugi bukan hanya
dia dan keluarganya, namun tanah juga akan rugi karena kehilangan nutrisinya. Menanam
padi hanyalah untuk mencukupi kebutuhan pokoknya saja, dia tidak menjual padi
hasil sawahnya. Menanam cabai dan sayuran dimanfaatkan untuk dijual dan
mendapatkan uang lebih banyak. karena komoditas tersebut dapat dipanen
berkali-kali dalam sekali tanam, paling tidak perputaran uangnya lebih cepat.
Mendapatkan sekam padi untuk makan Sapi di rumah |
Kemampuan bermainnya juga dia
lakukan dalam hal berternak. Saat ini dia memiliki 8 ekor sapi. Dia menjual
sapi hanya ketika musim harga tinggi saja seperti pada hari raya idul adha dan
natal. Biasanya maksimal 5 ekor yang dia jual agar komposisi sapi yang ada di kandangnya beragam. Itu juga yang dia sebut sebagai permainan. Dia menyisihkan sebagian uangnya untuk membeli sapi muda yang siap dikembangkan
lagi, sehingga dia harus menahan keinginan untuk membeli hal lain yang belum
terlalu penting.
Pembagian lahan yang terjadi di
keluarga Bapak Sarono mengikuti aturan agama yang mereka anut, yang mana lelaki
lebih banyak mendapatkan bagian. Sawah yang sekarang digarap oleh Bapak Sarono
adalah sebagian dari warisan dari orangtuanya. Luasan yang dimiliki sampai saat
ini cukup untuk memenuhi kebutuhan bahkan kadang keinginannya. “Kalau tidak
punya sawah saya mau makan apa?”, ungkapnya. Pekerjaan yang dia lakukan memang
banyak, namun sawah tetap menjadi pemenuhan kebutuhan pokoknya. Hidup sebagai seorang petani di desa mengajarkannya untuk bersikap sederhana, namun bekerja keras itu pasti harus dilakukan. Sekeras suara mesin giling yang dia miliki, bahkan lebih. Seperti pilihannya yang hanya memiliki satu jenis mesin giling saja khusus untuk menggiling padi menjadi beras. Ada jenis mesin lain yaitu yang memisahkan padi dengan daunnya yang digunakan dalam penggilingan padi yang baru saja dipanen. Sebetulnya jika dia mau, dia juga mampu membali atau merakit mesin jenis tersebut, namun dia menyadari bahwa membagi rejeki bukanlah hal yang buruk yang dapat dia lakukan. Tanpa memiliki 2 mesin giling sekaligus juga dia masih tetap bisa makan beras dari sawahnya. Kesederhanaan itulah yang tidak dapat ditemukan di perkotaan. Karena semua orang menjadi gila materi, jika tidak maka mereka mengira tidak akan bisa bertahan hidup.
Salah satu mesin penggiling yang juga teman sekampung Pak Sarono |